Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

Trauma Thoraks

Disusun Oleh:
Erlangga Permadi Yudha
Noval Febri Indrawan

Pembimbing :
dr. Dini Sapardini W , Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WALED
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas refrat yang berjudul “Trauma Thoraks”. Tugas
ini ditulis untuk menambahkan pengetahuan dan wawasan dan merupakan salah
satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Bedah
Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dokter pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan pengarahan dalam penyusunan tugas ini dari awal hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan saran
demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga tugas ini dapat berguna bagi
kita semua.

Cirebon, Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS……………………………………………. 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 9
3.1 Anatomi.............................................................................................. 9
3.2 Fisiologi............................................................................................... 15
3.3 Definisi trauma thorax...................................................................... 15
3.4 Etiologi................................................................................................ 16
3.5 Mekanisme trauma............................................................................ 16
3.6 Initial Assessment dan Pengelolaan................................................. 18
BAB III Kesimpulan................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 32

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah
lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari
pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru-paru dan mediastinum.
Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru-paru, di
dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem
pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada
yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan kelenjar getah
bening.1
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir
dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.
Tulang kosta berfungs melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung,
paru-paru, hati dan Lien.
Fraktur skapula relatif jarang terjadi. Berdasarkan beberapa
penelitian, kejadian fraktur skapula ini hanya sekitar 0.4% – 0.9% dari
angka total kejadian fraktur dan sekitar 3% hingga 5% dari semua fraktur
di sendi bahu (Voleti,2012). Minimnya angka kejadian fraktur ini
disebabkan karena adanya perlindungan yang sangat baik dari selubung
otot yang kuat di sekitar sendi bahu, tulang-tulang sekitarnya (clavicula,
humerus), mobilitasnya dan lokasinya yang terletak di dinding dada yang
relatif elastis. Fraktur skapula kebanyakan terjadi akibat trauma energi
tinggi dan, oleh karenanya, sering ditemukan pada pasien multi trauma
(Apley,1993). Biasanya sifat fraktur ini adalah unilateral, fraktur bilateral
dan terbuka jarang terjadi (Rockwood,2001). Fraktur skapula biasanya
terjadi bersamaan dengan cedera lain, termasuk fraktur clavicula (26%
angka kejadian pada sebuah penelitian), fraktur tulang tempurung kepala
(24%), contusio cerebral (20%), defisit neurologis (13%) dan kontusio
pulmonal atau hemopneumothorax (16%) (Van der Weert,2012). Fraktur
skapula terjadi terutama pada pria (72%) dengan rerata usia 44 tahun.1
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
Toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah
lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari
pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru-paru dan mediastinum.
Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru-paru, di
dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem
pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu;
esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan kelenjar getah bening.1

Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir
dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.
Tulang kosta berfungs melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-
paru, hati dan Lien.2

Gambar 1. Anatomi thorax.2

5
a. Kerangka dinding thorax
Kerangka dinding thorax membentuk sangkar dada
osteokartilagineus yang melindungi jantung, paru-paru, dan beberapa
organ abdomen (misalnya hepar). Kerangka toraks terdiri dari : di
posterior, terdiri dari 12 vertebra toraksika beserta discus
intervertebralisnya, di lateral dinding tersusun atas tulang costa (12
pasang) dan 3 lapis musculus pipih yang terletak di spatium intercostale, di
antara costae yang berdekatan untuk menggerakkan costae dan menyangga
spatium intercostale. Di anterior, dinding tersusun dari sternum yang
terdiri atas manibrium sterni, corpus sterni, dan processus xyphoideus.3,4
1. Costae
Costae adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan
membatasi bagian terbesar sangkar dada. Tujuh atau delapan kosta
pertama disebut costae sejati (vertebrosternal) karena menghubungkan
vertebra dengan sternum melalui kartilago kostalisnya. Costae VIII
sampai costae X adalah costae tak sejati (vertebrokondral) karena
kartilago kostalis tepat diatasnya. Costae XI dan XII adalah costae
bebas atau costae melayang karena ujung kartilago kostalis masing-
masing costae berakhir dalam susunan otot abdomen dorsal. Cartilago
costalis memperpanjang costae kearah ventral dan turut menambah
kelenturan dinding thorax. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya
fraktur pada sternum atau costae karena benturan. Costae berikut
cartilago costalis-nya terpisahdari satu yang lain oleh spatium
intercostale yang berisi muskulus interkostalis, arteria interkostalis,
vena interkostalis, dan nervus intercostalis. Bagian costae terlemah,
terletak tepat ventral terhadap angulus costae. Fraktur costae umumnya
terjadi secara langsung karena benturan, atau secara tidak langsung
karena cedera yang mememarkan. Ruda paksa langsung dapat
menyebabkan fraktur di sembarang tempat pada costae, dan ujung
patahan dapat mencederai organ dalam (misalnya paru-paru dan atau
limpa).5
6
2. Sternum
Sternum adalah tulang pipih yang memanjang dan membatasi
bagian ventral sangkar dada. Sternum terdiri dari tiga bagian :
manubrium sterni, korpus sterni, dan processus xyphoideus.
Manubrium sterni berbentuk seperti segitiga, terletak setinggi vertebra
T-III dan vertebra T-IV. Corpus sterni berbentuk panjang, sempit, dan
lebih tipis dari manubrium sterni. Bagian ini terletak setinggi vertebra
(T-V) - (T-IX).
Processus xyphoideus, bagian sternum terkecil dan paling variabel,
berupa tulang rawan pada orang muda, tetapi pada usia lebih daripada
40 tahun sedikit banyak menulang. Fraktur sternum umum terjadi
setelah kompresi traumatik pada dinding thorax (misalnya pada
kecelakaan lalu lintas, jika dada pengemudi terdorong pada batang
kemudi). Umumnya korpus sterni yang mengalami fraktur, dan
biasanya bersifat fraktur komunitiva artinya terpecah berkeping-
keping. Pemasangan kantong udara dalam kendaraan otomotif telah
menurunkan frekuensi fraktur sternum dan wajah. Untuk memasuki
kavitas torasis pada bedah jantung dan pembuluh besar, sternum
dibelah dalam bidang median. Corpus sterni seringkali dimanfaatkan
untuk biopsy sumsum tulang dengan jarum karena lebarnya dan
letaknya yang superfisial.5
3. Appertura thoracis
Cavitas thoracis berhubungan dengan leher melalui apertura
thoracis superior yang berbentuk seperti ginjal. Apertura thoracis
superior ini yang terletak miring, dilalui oleh struktur yang memasuki
atau meninggalkan cavitas thoracis, yakni tenggorok (trakea)
kerongkongan (esofagus), pembuluh dan saraf. Cavitas torasis
berhubungan dengan abdomen melalui apertura torasis inferior yang
ditutup oleh diafragma. Struktrur-struktur yang berlalu ke dan dari
kavitas torasis, dari dan ke kavitas abdominis melewati diafragma
(misalnya vena kava inferior) atau di belakangnya (misalnya aorta).5

7
4. Otot saraf dan vaskularisasi dinding thoraxSpatium intercostale yang
khas berisi tiga lapis muskulus interkostalis. Lapis paling superfisial
dibentuk oleh muskulus intercostalis eksternus, lapis kedua oleh
muskulus intercostalis internus, dan lapis paling profunda oleh
muskulus intercostalis intimus.

Gambar 2. Otot, persarafan, dan perdarahan pada thorax.2

5. Setelah melewati foramen intervertebrale, kedua belas pasang nervus


thoracici terpecah manjadi rami anteriores dan rami posteriores. Rami
anteriores nervus thoracici I-XI membentuk nervus intercostales yang
memasuki spatia intercostalia. Ramus anterior nervus thoracicus XII
yang terdapat kaudal dari costa XII, disebut nervi subcostalis. Rami
posteriores melintas ke arah dorsal, tepat lateral dari processus
artikularis vertebra untuk mempersarafi otot, tulang, sendi dan kulit di
punggung.4
6. Pasokan darah arterial untuk dinding thorax berasal dari: arteria
subklavia melalui arteria thoracica interna dan arteria intercostalis
terkranial, arteria aksilaris, orta melalui arteria intercostalis dan arteria
subcostalis. Vena intercostalis mengiringi arteria intercostalis dan

8
terletak paling dalam (terkranial) dalam sulcus costa. Di masing-
masing sisi terdapat 11 vena intercostalis posterior dan satu vena
subcostalis. Vena intercostalis posterior beranastomosis dengan vena
intercostalis anterior yang merupakan anak cabang vena thoracica
interna. Vena intercostalis terbanyak berakhir dalam vena azygos yang
membawa darah ke venosa ke vena cava inferior.5
b. Pleura

Gambar 3. Bagian-bagian dari thorax.2

Paru-paru masing-masing diliputi oleh sebuah kantong pleura yang


terdiri dari dua selaput serosa yang disebut pleura, yakni pleura parietalis
melapisi dindin thorax, dan pleura viseralis meliputi paru-paru, termasuk
permukaannya fisura. Kavitas pleuralis adalah ruang potensial antara
kedua lembar pleura dan berisi selapis kapiler cairan pleura serosa yang

9
melumasi permukaan pleura dan memungkinkan lembar-lembar pleura
menggeser secara lancar satu terhadap yang lain pada pernapasan.5
Pleura parietalis melekat pada dinding thorax, mediastinum, dan
diafragma. Pleura parietalis mencakup bagian-bagian berikut:4
1. Pleura kostal menutupi permukaan dalam dinding thorax (sternum,
cartilage costalis, costa, musculus intercostalis, membrana
intercostalis, dan sisi-sisi vertebra thoraxika)
2. Pleura mediastinal menutupi mediatinum;
3. Pleura diafragmatik menutupi permukaan torakal diafragma;
4. pleural servikal (cupula pleurae) menjulang sekitar 3 cm ke dalam
leher, dan puncaknya membentuk kubah seperti mangkuk di atas apeks
pulmonis.

10
3.2 Fisiologi

Dada berisi organ vital yaitu paru dan jantung. Pernapasan


berlangsung dengan gerak dinding dada. Jaringan paru dibentuk oleh
jutaan alveolus yang mengembang dan mengempis tergantung pada
mengembang atau mengecilnya rongga dada. Inspirasi terjadi karena
kontraksi otot pernapasan, yaitu m. intercostalis dan diafragma, yang
menyebabkan rongga dada membesar dan paru mengembang sehingga
udara terisap ke alveolus melalui trakea dan bronkus.6
Sebaliknya, bila m. intercostalis melemas, dinding dada mengecil
kembali dan udara terdorong ke luar. Sementara itu, karena tekanan
intra abdomen, diafragma akan naik ketika m. intercostalis tidak
berkontraksi. Ketiga faktor ini, yaitu kelenturan dinding toraks,
kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intra abdomen, menyebabkan
ekspirasi jika otot interkostal dan diafragma kendur dan tidak
mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan demikian, ekspirasi
merupakan kegiatan yang pasif.6
Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja,
ventilasi paru dapat dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru
mengembang di dalam toraks bersamaan dengan mengembangnya
toraks.Kekuatan tiupan harus melebihi kelenturan dinding dada,
kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intra abdomen. Hal ini
dilakukan pada ventilasi dengan respirator.6
Adanya lubang di dinding dada atau di pleura viseralis
akanvmenyebabkan udara masuk ke cavum pleura sehingga pleura
viseralis terlepas dari pleura parietalis dan pulmo tidak lagi ikut
dengan gerak napas dinding toraks dan diafragma. Hal ini terjadi pada
pneumotoraks. Jika dipasang drainase tertutup yang diberi tekanan
negative, maka udara ini akan terisap dan pulmo dapat mengembang
lagi.6

11
3.3 Definisi Trauma Thorax
Trauma thorax adalah luka atau cedera mengenai rongga thorax yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum
thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thorax akut.7

Trauma thorax dapat meliputi kerusakan pada dinding dada,


vertebra thoracalis, jantung, paru-paru, aorta thoracalis dan
pembuluh darah besar, namun jarang mengenai esophagus.7

3.4 Etiologi
a. Trauma tembus (tajam)
Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi)
langsung akibat penyebab trauma, terutama akibat tusukan benda tajam
(pisau, kaca, peluru, dsb). Sekitar 10-30% dari trauma tembus memerlukan
operasi torakotomi.8
b. Trauma tumpul
Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
Penyebabnya antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera olahraga,
dsb. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
<10% trauma jenis ini memerlukan operasi torakotomi.8
3.5 Mekanisme Trauma
a. Akselarasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab
trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan
(akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi
juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak
dari trauma tersebut).
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak
tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata
militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan
kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar
lubang masuk peluru.

12
Deselerasi Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi
dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba
terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma,
organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ
visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat
tumbukan pada dinding thorax/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan
dari jaringan pengikat organ tersebut.
Torsio dan Rotasi Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya
diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian
strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta,
bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang
tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar
dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.
Blast injury Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa
adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan
bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energi. Faktor lain yang mempengaruhi:
1. Sifat jaringan tubuh Jenis jaringan tubuh bukan merupakan
mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat menentukan pada
akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga
pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding
bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau
sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau
orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding
pria, dsb.
2. Lokasi
Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang
menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka
tembus pada daerah pre-kordial.
3. Arah trauma Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga
sangat mentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau
jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya efek pantulan dari
penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya: trauma yang

13
terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan
peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau
organ apa yang terkena sulit diperkirakan.
4. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis Hipoksia jaringan merupakan
akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh
karena hipovolemia (perdarahan), pulmonary ventilation/perfusion
missmatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan
perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh: tension pneumothorax,
pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh
tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau
penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolic disebabkan oleh
hipoperfusi dan jaringan (syok).
3.6 Initial Assessment dan Pengelolaan

Prinsip-prinsip initial assessment dan pengelolaan:5

1. Pengelolaan terdiri dari:

a. Primary survey

b. Resusitasi fungsi vital

c. Secondary survey yang rinci

d. Perawatan definitif

2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera toraks,

intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.

3. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung, dilakukan

terapi secepat dan sesederhana mungkin.

4. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam nyawa diterapi

dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang toraks

atau dekompresi toraks dengan jarum.

5. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan

14
yang tinggi terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus.

6. Primary Survey: cedera yang mengancam nyawa

Primary survey pada penderita cedera toraks dimulai dengan airway.

Masalah utama harus dikoreksi begitu teridentifikasi.5

Penatalaksanaan pada setiap pasien trauma tetap tidak melupakan prinsip

penilaian awal (initial assessment).Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi

didasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien

yang terluka parah, terapi tetap harus diberikan berdasarkan orioritas.Tanda vital

pasien harus dinilai secara cepat dan efisien.Pengelolaan pasien berupa primary

survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi

definitif. Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha untuk

mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan

pada urutan berikut:5

a. Airway

Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat

melakukan primary survey. Patensi airway dan ventilasi harus dinilai

dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung penderita mulut dan

dada serta inspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh

benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan

supraklavikular.5

Cedera laring dapat bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun

gejala klinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera

laring merupakan cedera yang mengancam nyawa. Beberapa kondisi yang

jarang ditemukan mungkin timbul pada penderita dengan cedera skeletal

15
yang menyebabkan gangguan bermakna pada airway dan pernapasan

penderita. Sebagai contoh adalah cedera pada dada bagian atas,

yangmenyebabkan dislokasi ke arah posterior atau fraktur dislokasi dari

sendi sternoklavikular. Ini dapat menimbulkan sumbatan airway bagian

atas yang menyebabkan dislokasi kearah posterior bila displacement dari

fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan trakea.

Hal ini juga dapat menyebabkan cedera pembuluh darah pada ekstremitas

yang homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari

cabang utama arkus aorta.5

Cedera ini diketahui bila ada sumbatan airway atas (stridor),

adanya tanda berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih

dapat bicara), dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya

defek pada region sendi strenoklavikular. Penanganan pada cedera ini

adalah menstabilkan patensi dari airway, yang terbaik dengan intubasi

endotrakeal, walalupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada

tekanan yang cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi

tertutup dari cedera yang terjadi dengan cara mengekstensikan bahu,

mengangkat klavikula dengan pointed clamp seperti towel clip dan

melakukan reposisi fraktur secara manual. Cedera seperti ini bila dilakukan

tindakan di atas biasanya akan tetap stabil walaupun penderita dalam

posisi berbaring.5

b. Breathing

Dada leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan vena-

vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan

16
observasi, palpasi dan didengarkan. Gejala yang terpenting dari cedera

toraks adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan

pada pola pernafasan, terutama pernafasan yang denga lambat memburuk.

Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma. Tetapi

bila sianosis tidak ditemukan, bukan merupakan indikasi bahwa oksigenasi

jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis cedera toraks yang penting dan

mempengaruhi breathing adalah keadaan-keadaan di bawah ini:5

1. Tension pneumothorax

Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve

(fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru atau dari luar

melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat

keluar lagi. Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak

dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan semakin meninggi,

paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan

menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta

akan menekan paru kontra lateral. Penyebab tersering dari tension

pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik

(ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada pasien dengan kerusakan

pada pleura visceral. Tension pneumothorax juga dapat timbul dari

pneumotoraks sederhana akibat cedera toraks tembus atau tajam dengan

perlukaan parenkim paru yang tidak menutup atau setelah salah arah pada

pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala

defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension

pneumothorax jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan

17
pembalut udara occlusive dressing) yang kemudian akan menimbulkan

mekanisme katup (flap valve). Tension pneumothorax juga dapat terjadi

pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced

thoracic spine fractures).5

a. Manifestasi Klinis

Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan secara klinis dan

terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologis.

Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak yang

berat, distress pernafasan, takikardi, hpotensi, deviasi trakea, hilangnya

suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan

manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension

pneumothorax dan tamponade jantung maka pada awalnya sering

membingungkan, namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara

nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax akan

dapat membedakannya.5

Gambar 6. Manifestasi dan rontgen tension pneumothoraks.8

b. Penatalaksanaan

Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan

penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran

18
besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang terkena.

Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi

pneumotoraks sederhana (kemungkinan akan terjadi pneumotoraks yang

bertambah akibat penusukan jarum. Evaluasi ulang selalu diperlukan.

Terapi definitip selalu dibutuhkan dengan memasang selang dada (chest

tube) pada sela iga ke-5 (setinggi putting susu) dari anterior dari garis.

Gambar 7. Thorakocintecis.5

c. Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound)

Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan

pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan seger

menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada lebih

dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui

defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil

dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga

menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.5

19
Gambar 7. Pneumothorax terbuka. Mediastinum bergerak dari kiri kekanan dan
sebaliknya (gerak bandul).5

1. Penatalaksanaan

Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang

diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini

diharapkan akan terjadi efek katup (flutter type valve) di mana saat

inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari

dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara

keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang

harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan

menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan

menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah

terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat digunakan adalah plastic

wrap atau petrolatum gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi

dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka. Penjahitan luka

primer seringkali diperlukan

d. Flail chest

Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi

mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan

tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga

dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen

mengambang) menyebabkan gangguan pada pergeraka dinding dada. Bila

terjadi kerusakan parenkim paru di bawah kerusakan dinding dada maka

akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan

20
flail chest yaitu cedera pada parenkim paru yang mungkin terjadi

(kontusio paru).5

1. Manifestasi klinis

Walaupun ketidakstabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal

dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan

menyebabkan hipoksia. Hipoksia disebabkan nyeri yang mengakibatkan

gerakan dinding dada menjadi tertahan dan cedera jaringan parunya.

Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting dengan

dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan toraks bergerak

secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernapasan yang

abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis.

Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang

multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat.

Pemeriksaan analisis gas darah yang menunjukkan hipoksia akibat

kegagalan penafasan juga membantu dalam diagnosis flail chest.5

21
Gambar 8. Gambaran Flail chest.2

Gambar 9. Gambaran gerakan paradoksal.5

2. Penatalaksanaan

Terapi awal yang diberikan adalah pemberian ventilasi adekuat, oksigen

yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka

pemberian cairan krostaloid intra vena harus lebih berhati-hati untuk

mencegah kelebihan pemberian cairan. Kerusakan parenkim paru pada

flail chest akan sangat sensitive terhadap kekurangan atau kelebihan

resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar

pemberian cairan benar-benar optimal.

Terapi definitive ditujukan untuk mengembangkan paru dan berupa

oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk

memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan

ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita

trauma, dan intubasi serta ventilasi untuk waktu singkat mungkin

diperlukan. Sampai diagnosis dan pola cedera yang terjadi pada penderita

22
tersebut lengkap. Indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi

tergantung pada penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan

oksigen arterial, dan penilaian kinerja pernafasan.5

e. Hemotoraks massif

Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat

menyebabkan gangguan usaha bernafas akibat penekanan paru dan dapat

menghambat ventilasi yang adekuat. Persarahan yang banyak dan cepat

akan mempercepat timbulnya syok dan akan dibahas lebih lanjut pada

bahasan tentang sirkulasi.

1. Etiologi
Penyebab utama hematothorax adalah trauma, seperti luka
penetrasi pada paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
Trauma tumpul pada dada juga dapat menyebabkan hematothorax
karena laserasi pembuluh darah internal.9
Menurut Magerman (2010) penyebab hematothorax antara lain:
a. Penetrasi pada dada
b. Trauma tumpul pada dada
c. Laserasi jaringan paru
d. Laserasi otot dan pembuluh darah intercostal
e. Laserasi arteri mammaria interna.9
2. Patofisiologi
Hemothorax adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura
(antara pleura viseralisdan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh
trauma tumpul atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan
robeknya membran serosa pada dinding dada bagian dalam atau
selaput pembungkus paru. Robekan ini akan mengakibatkan darah
mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan penekanan
pada paru.9

23
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A.
mamaria interna. Rongga hemithorax dapat menampung 3 liter cairan,
sehingga pasien hematothorax dapat syok berat (kegagalan sirkulasi)
tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan
masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga thorax. 9
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir
semua gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur
intrathoracic. Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax
diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik dan pernafasan.
Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan
kehilangan darah. 9
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah
perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga
750 mL pada seorang pria 70-kg seharusnya tidak menyebabkan
perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL
pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal syok, yaitu
takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah. 9
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang
buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-
2000 mL). Karena rongga pleura seorang pria 70kg dapat menampung
4 atau lebih liter darah, perdarahan dapat terjadi tanpa bukti eksternal
dari kehilangan darah. 9
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma,
paru-paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan
beberapa derajat defibrination darah sehingga pembekuan tidak
lengkap terjadi. Dalam beberapa jam penghentian perdarahan, lisis
bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai. 9
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi
protein cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga
pleura. Tekanan osmotik tinggi intrapleural menghasilkan gradien
osmotik antara ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang
menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan cara

24
ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang
menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah. 10
3. Klasifikasi
Hematothorax dibagi berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:
a. Hematothorax kecil: yang tampak sebagian bayangan
kurang dari 15 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga
IX. Jumlah darah sampai 300 ml.
b. Hematothorax sedang: 15–35 % tertutup bayangan pada foto
rontgen, perkusi pekak sampai iga VI. jumlah darah sampai
800 ml.
c. Hematothorax masif: lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi
pekak sampai kranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari
1500 ml.7
4. Gejala Klinis
Hemothorax tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang
berdarah di dinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak
menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan syok hipovalemik
merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul. Secara klinis
pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi, sianosis,
takipnea berat, takikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti
dengan hipotensi sesuai dengan penurunan curah jantung. 7
Adapun tanda dan gejala adanya hemothorax dapat bersifat
simptomatik namun dapat juga asimptomatik. Asimptomatik
didapatkan pada pasien dengan hemothorax yang sangat minimal
sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan gejala, diantaranya 7:
1) Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada.
2) Tanda-tanda syok, seperti hipotensi, nadi cepat dan lemah,
pucat, dan akral dingin.
3) Dyspnea.
4) Hypoxemia.
5) Takipneu.
6) Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena.

25
7) Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama
(paradoxical).
8) Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang
terkena.
9) Adanya krepitasi saat palpasi. 11
5. Diagnosa
Penegakkan diagnosis hemothorax berdasarkan pada data yang
diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesa didapatkan penderita hemothoraks
mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Juga bisa didapatkan keterangan
bahwa penderita sebelumnya mengalami kecelakaan pada dada. Pada
pemeriksaan fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan,
mungkin didapatkan gerakan napas tertinggal atau adanya pucat karena
perdarahan. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas tidak jelas,
sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi napas menurun atau
bahkan menghilang. 12
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik,
diantaranya:
a. Chest x-ray : adanya gambaran hipodense (menunjukkan
akumulasi cairan) pada rongga pleura di sisi yang terkena dan
adanya mediastinum shift (menunjukkan penyimpangan struktur
mediastinal (jantung)). Chest x-ray sebagi penegak diagnostik
yang paling utama dan lebih sensitif dibandingkan lainnya. 13

26
Gambar 10. Chest xray Hematothorax.8

b. CT Scan : diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks


minimal, untuk evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk
menentukan kuantitas atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.

Gambar 11. CT-scan Hematothorax.8


c. Nilai AGD : Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang
menyebabkan asidosis respiratori. Saturasi O2 arterial mungkin
menurun pada awalnya tetapi biasanya kembali ke normal dalam
waktu 24 jam.
d. Cek darah lengkap : menurunnya Hb dan hematokrit menunjukan
jumlah darah yang hilang pada hemothoraks.

27
6. Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan
hemothoraks adalah mengeluarkan darah dari rongga pleura yang
dapat dilakukan dengan cara10:
a. Chest tube (Tube thoracostomy drainage) : tube
thoracostomy drainage merupakan terapi utama untuk
pasien dengan hemothoraks. Insersi chest tube melalui
dinding dada untuk drainase darah dan udara.
Pemasangannya selama beberapa hari untuk
mengembangkan paru ke ukuran normal. Indikasi untuk
pemasangan thoraks tube antara lain:
1) Adanya udara pada rongga dada (pneumothorax).
2) Perdarahan di rongga dada (hemothorax).
3) Post operasi atau trauma pada rongga dada
(pneumothorax atau hemothorax).
4) Abses paru atau pus di rongga dada (empyema).
Adapun langkah-langkah dalam pemasangan chest tube
thoracostomy adalah sebagai berikut:
1) Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg.
2) Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan
menggunakan alkohol atau povidone iodine pada ICS
VI atau ICS VII posterior Axillary Line.
3) Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakn
lidokain.
4) Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line.
5) Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan
selanjutnya dihubungkan dengan WSD (Water Sealed
Drainage).
6) Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube. 13

28
Gambar 11. Pemasangan chest tube. 13
3. Circulation

Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan

keteraturannya. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan

arteri dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yang kecil.

Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai

melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperature. Vena

leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Distensi vena leher mungkin

tidak tampak pada penderita hipovolemia walalupun ada tamponade

jantung, tension pneumothorax atau cedera diafragma.5

4. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan

neurologis secara cepat yang meliputi tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi

pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat (level) cedera spinal.5

5. Exposur e/environmental control

Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara

menggunting, guna memeriksa dan mengevaluasi pasien. Setelah pakaian

dibuka, pasien diselimuti agar tidak hipotermia. Selimut yang digunakan

adalah selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan

29
intravena yang sudah dihangatkan. Selama primary survey, keadaan yang

mengancam nyawa harus dikenali, dan resusitasinya dilakukan pada saat

itu juga.Tindakan primary survey adalah bentuk berurutan (sekuensial)

sesuai prioritas namun dalam praktek nya sering dilakukan secara

bersamaan (simultan).5

30
BAB III

KESIMPULAN

Trauma toraks adalah suatu cedera pada toraks, bisa disebabkan oleh luka

tumpul atau luka tusuk yang bisa mengakibatkan kerusakan pada organ dalam

thorax.Trauma thorax yang tidak diketahui (luput) masih tetap menjadi momok

sebagai penyebab kematian yang seharusnya bisa dicegah (preventable death).

Berdasarkan klasifikasinya trauma toraks dibagi menjadi trauma akibat

kompresi, ledakan/penghancuran, dan trauma akibat deselerasi. Penilaian terhadap

trauma toraks bisa didapatkan primary survey maupun secondary survey.

Penatalaksanaan pada pasien trauma toraks pada awalnya selalu melakukan

penilaian awal (initial assessment) terutama terhadap airway, breathing dan

circulation. Pada pasien dengan trauma toraks, penanganan harus dilakukan

dengan agresif dan alur penatalaksanaannya tergantung dari jenis traumanya.

Diagnosis yang tepat tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya

indikasi untuk tindakan invasive .Sehingga selanjutnya penatalaksanaan trauma

toraks dibagi menjadi konservatif atau invasif.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsyuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu bedah ed 4 . Jakarta:


EGC; 2017. h.519-23
2. Drake RL, Vogl AW, Mitchel AWM. Gary dasar – dasar anatomi.
Indonesia: Penerbit Elsevier. 2014. h.62-79
3. Shahani Rohit,MD. Penetrating Chest Trauma.
http://emedicine.medscape.com/article/425698-overview#showall.
Updated: Nov 27, 2020.
4. Novi L, Limpeleh H, Monoarfa A. Pola trauma tumpul toraks di instalasi
rawat darurat bedah RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli
2011-Juni 2012. Jurnal eclinic (eCI); Juli 2014 ;2(2).
5. The American College of Surgeon Committee on Trauma. Advanced
trauma life support for doctor.7th ed.USA: American college of surgeon;
2004. p. 111-27.
6. Forward, p. Scapula Fractures. Ministry of Defence; London; 2008
7. Thomas, B dkk. Flail Chest. StatPearls Publishing; 2021
8. Jena, RK, dkk. Understanding of flail chest injuries and concept in
management. Department of Neurosurgery Narayana Medical College
Hospital; India; 2016
9. Snell, Richard S. Anaromi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
2011
10. Greenberg, Michael I. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid 2.
Jakarta : Penerbit Erlangga. 2008

11. Trauma. Chest Drain. //www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTdrain.


html. Accessed April 3, 2016.
12. Voleti, Pramod B.; Namdari,Surena; Mehta,Samir . 2012. Fracture of the
Scapula : Review Article.

32

Anda mungkin juga menyukai