Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

TRAUMA THORAX

Pembimbing:

dr. Riza M. Nasution, Sp.B

Disusun Oleh:

Putu Ayu Natasha Dewanti (2065050120)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RSUD DR CHASBULLAH ABDULMADJID KOTA BEKASI

PERIODE 31 MEI 2022 – 09 JULI 2022

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun


2013, trauma merupakan kejadian atau peristiwa timbulnya cedera sehingga menyebabkan
aktivitas sehari-hari menjadi terganggu. Trauma sudah menjadi permasalahan kesehatan yang
utama di dunia. Di seluruh dunia, kematian yang disebabkan oleh trauma mencapai 5,8 juta
setiap tahunnya, orang tiap menit meninggal oleh karena trauma yang disengaja ataupun tidak.
Penyebab terbanyak trauma karena kecelakaan lalu lintas, dimana angkanya mencapai 1,3 juta
kasus per tahun, lalu bunuh diri sebanyak 844.000 kasus per tahun, dan pembunuhan sebanyak
600.000 kasus per tahun. Mayoritas keadaan ini (91%) terjadi di negara yang berkembang.
Menurut Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013 terjadi
84.774 kejadian trauma selama 12 bulan pengamatan, dengan berbagai penyebab. Rerata usia
pasien yang mengalami kejadian trauma adalah 34,1 tahun dan frekuensi tertinggi terjadi
antara usia 16-59 tahun, dimana trauma thorax dan abdominal yang paling sering terjadi pada
usia muda yang menunjukkan bahwa kelompok usia 15-24 tahun adalah kelompok usia yang
paling sering mengalami cedera.1,2

Di negara maju dan berkembang, trauma masih merupakan salah satu penyebab
kematian terbanyak, meskipun kemajuan dalam penanganan trauma telah berkembang pesat.
Hal ini mungkin dikarenakan masih tingginya angka urbanisasi dan industrialisasi yang akan
meningkatkan angka kecelakaan di jalan. Menurut prediksi WHO, pada tahun 2020,
kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab kematian tertinggi kedua di dunia. Trauma
thorax menduduki peringkat ketiga penyebab angka mortalitas dan morbiditas tertinggi setelah
kanker dan penyakit kardiovaskular. Dinyatakan bahwa 20-25% hasil akhir pada pasien
trauma disebabkan oleh trauma thorax.2-4

Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan nafas,
hemotoraks besar, tamponade jantung, pneumotoraks desak, flail chest, pneumotoraks terbuka,
dan kebocoran udara trakeobronkial. Semua keadaan ini menyebabkan gawat dada atau toraks
akut analog dengan gawat perut, dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan
penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan pernafasan, ventilasi paru dan
pendarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan
merupakan tindakan operasi seperti membebaskan jalan nafas, aspirasi rongga pleura, aspirasi
rongga perikard, dan menutup sementara luka dada.5,6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Rongga thorax adalah bagian tubuh yang terletak di antara leher dan abdomen yang
biasanya disebut dengan rongga thorax. Thorax merupakan bagian atas anggota gerak
tubuh yang terdiri atas muskuloskeletal di bagian eksternal, dinding thorax, rongga
internal yang terdiri atas jantung, paru-paru, esofagus, trakea, nervus vagus dan nervus
phrenicus, duktus thoracicus, pembuluh darah - pembuluh darah sistemik dan pulmoner.
Di bagian inferior rongga thorax dipisahkan dari rongga abdomen oleh diafragma.8
Rongga thorax berbentuk kerucut yang menyempit di bagian superior dan semakin
melebar di inferiornya. Dinding thorax terdiri atas tulang- tulang thorax dan otot yang
meluas ke bagian iga, seperti halnya kulit, jaringan subkutaneus dan fascia yang menutupi
bagian anterolateral dan posterior. Kelanjar mammae terletak di dalam jaringan
subkutaneus dinding thorax.9 Terdapat 12 pasang costa, yang semuanya melekat di
posterior pada vertebra thoracica. Costa dibagi dalam 3 kategori berikut ini: 8

 Costa verae: tujuh pasang costa paling atas, melekat pada sternum di bagian anterior
melalui cartilago costalis nya.
 Costa spuriae: pasangan costa VIII, IX, dan X di anterior melekat satu dengan yang
lain dan ke costa VII melalui cartilago costalis dan sendi sinovial yang kecil
 Costa fluctuantes: pasangan costa XI dan XII tidak mempunyai perlekatan di anterior.

Sternum merupakan tulang yang rata dan memanjang dibagian tengah anterior rongga
thorax, secara langsung melindungi mediastinum visera dan jantung. Sternum terdiri atas
3 bagian: manubrium, corpus dan processus xyphoideus. Ketika dewasa, ketiga bagian
tersebut bersatu.8

Vertebra torakalis terletak di bagian tengah posterior dinding thorax. Setiap vertebra
torakalis memiliki corpus dibagian anterior, dua pediculus dan dua lamina, processus
spinosus yang memanjang dari belakang corpus ke bawah, dan dua processus transversus.
Vertebra torakalis I sampai IX memiliki permukaan (facet) di corpusnya yang akan
bersambungan dengan tulang costa yang mempunyai 2 sisi bilateral. Pada vertebra
torakalis X, facet terletak disambungan corpus dan pediculus, sementara facet vertebra
torakalis XI dan XII terletak pada pediculus.10

Otot-otot thorax terdiri atas musculus pectoralis mayor, merupakan otot tebal berbentuk
segitiga yang menutupi dinding thorax bagian anterior. Musculus pectoralis minor
merupakan otot tipis berbentuk segitiga yang terletak di permukaan dalam Musculus
pectoralis mayor. Musculus serratus anterior merupakan otot yang lebar dan tipis
menutupi permukaan lateral dinding thorax.

Musculus intercostalis terdiri atas Musculus intercostalis eksternus, internus dan intimi.
Musculus intercostalis intimi membentuk lapisan paling dalam dan analog dengan
Musculus transversus abdominis pada dinding anterior abdomen.9 Musculus levator
costarum yang berfungsi mengangkat costa saat inspirasi normal. Musculus subcostalis
terletak di permukaan dalam bagian bawah costa. Diafragma merupakan dinding yang
membatasi thorax dan abdomen, memiliki fungsi penting sebagai otot-otot inspirasi. Otot-
otot intercostalis, pectoralis mayor, latisssimus dorsi dan trapezius adalah otot-otot yang
dilalui pembuluh darah secara kutaneus dan muskulokutaneus. Otot dinding thorax
menerimapasokan aliran darah dari Arteri torakalis interna, Arteri intercostalis superior,
Arteri torakalis superior, Aorta torakalis descending, dan Arteri subcostalis.8,10

Nervus vagus dan Nervus phrenicus melewati mediastinum superior. Nervus phrenicus
berasal dari ventral rami cervical 3, 4, dan 5 yang berjalan dibawah leher pada permukaan
anterior dari otot scalenus. Dinding thorax menerima persarafan dari nervus intercostalis.9

Pleura merupakan dua kantong serosa yang mengelilingi dan melindungi paru. Pleura
dan paru terletak pada kedua sisi mediastinum di dalam rongga thorax. Setiap pleura
terdiri dari dua lapisan: lapisan parietalis, yang meliputi dinding thorax, meliputi
permukaan torakal diafragma dan permukaan lateral mediastinum, dan meluas sampai ke
pangkal leher; dan lapisan visceralis, yang meliputi seluruh permukaan luar paru dan
meluas ke dalam fissura interlobari. Dalam kondisi normal, pleura hanya bersi cairan
serosa sebagai lubrikasi selama pergerakan pleura visceralis terhadap pleura parietalis saat
respirasi.10

Trakea dimulai dari pinggir bawah kartilago cricoidea di leher sampai setinggi angulus
sternum di dada. Trakea di mulai dari garis-garis tengah dan berakhir sedikit ke kanan dan
garis tengah dengan bercabang menjadi bronkusprincipalis dexter dan sinister.10,12

Paru-paru adalah organ penting pada respirasi. Fungsi utamanya adalah melakukan
pertukaran udara yang kaya akan oksigen dengan karbodioksida dan membawa udara
inspirasi tersebut ke kapiler paru-paru. Paru-paru terbagi menjadi beberapa lobus, paru-
paru kanan memiliki tiga lobus, paru-paru kiri mempunyai dua lobus.8
Vaskularisasi di paru-paru terdiri atas sebuah arteri dan dua vena.Bronkus, jaringan ikat
paru, dan pleura menerima darah dari Arteri bronchiales, yang merupakan cabang dari
Aorta descendes. Vena bronchiales mengalirkan darahnya ke Vena azygos dan Vena
hemiazygos. Setiap pembuluh darah arteri akan membentuk kesatuan di paru dan terbagi
menjadi lobar arteri. Lobar arteri kanan dan kiri akan muncul ke bagian superior terlebih
dahulu, sebelum memasuki hilum. Lobar arteri akan terbagi menjadi segmental arteri di
bagian ketiga.8

Jantung berukuran sedikit lebih besar dari kepalan tangan, merupakan organ pompa
muskular yang bekerja secara serempak untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Jantung
memiliki empat ruangan yang terdiri atas atrium dan ventrikel kanan dan kiri.Terdapat 4
jenis katup jantung, yaitu katup trikuspid yang berfungsi mengatur darah dari atrium
kanan ke ventrikel kanan; katup pulmonal mengatur aliran darah dari ventrikel kanan ke
paru-paru; katup mitral mengatur aliran darah dari paru-paru yang kaya akan oksigen
melewati atrium kiri ke ventrikel kiri; katup aorta mengatur aliran dari ventrikel kiri ke
aorta.10

Jantung diperdarahi oleh Arteri koroner dan Vena cardiaca. Arteri koroner merupakan
cabang utama dari aorta, yang menyuplai atrium dan ventrikel. Sinus aorta merupakan
bagian dari aorta asending kemudian bercabang menjadi arteri koroner kanan dan kiri.
Arteri koroner kanan berjalan kebawah menuju sulcus coronarius dan memberi
perdarahan dari batas jantung kanan hingga ke apeks. Arteri koroner kiri lewat diantara
auricula kiri dan truncus pulmonalis.8 Perikardium melingkupi jantung dan pembuluh-
pembuluh darah besar.

Perikardium terdiri atas dua lapis, yaitu lapisan fibrosa yang merupakan jaringan ikat
kolagen yang membungkus jantung di bagian luar dan komponen serosa dibagian dalam
yang terdiri atas lapisan parietal dan visceral.10 Perikardium memiliki banyak fungsi
termasuk: (1) mencegah dilatasi dari jantung; (2) melindungi jantung dari infeksi dan
adhesi dari jaringan disekitarnya; (3) memastikan jantung berada di tempatnya dalam
rongga thorax; (4) mengatur hubungan antara stroke volume dengan kedua ventrikel11

Aorta adalah pembuluh nadi utama yang memasok darah yang kaya oksigen dari
ventrikel kiri jantung ke jaringan- jaringan tubuh, terdiri atas Aorta ascendens, Arcus
aorta, Aorta descendens, dan Aorta abdominalis. Arcus aorta kemudian bercabang menjadi
Arteri carotis communis sinistra dan Arteri subclavia sinistra. Sedangkan pembuluh darah
balik (vena) yang menuju ke jantung antara lain Vena brachiocephalica yang bercabang
menjadi Vena vertebralis, Vena thyroidea inferior, Vena intercostalis posterior; dan Vena
cava superior yang bercabang menjadi Vena azygos, Vena hemiazygos inferior, Vena
hemiazygos superior; dan terdapat Vena cava inferior dan vena-vena pulmonalis.9

B. Definisi Trauma

Trauma thorax merupakan trauma yang mengenai dinding thorax atau organ intra
thorax, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam dapat menyebabkan
keadaan gawat thorax akut.Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka.
Pengertian sederhana dari trauma adalah luka pada tubuh yang berasal dari faktor
eksternal tubuh.12

Trauma thorax dapat meliputi kerusakan pada dinding dada, vertebra thoracalis,
jantung, paru-paru, aorta thoracalis dan pembuluh darah besar, namun jarang mengenai
esophagus.12

C. Etiologi

 Trauma Tumpul

Trauma tumpul adalah trauma yang disebabkan oleh benda tumpul yang tidak
menembus rongga tubuh. Jenis trauma ini paling sering dijumpai pada kasus
kecelakaan atau terjatuh. Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain
adalah batu, besi, sepatu, tinju, lantai, jalan, dan lain-lain. Adapun definisi dari benda
tumpul itu sendiri adalah tidak bermata tajam, konsistensi keras / kenyal, permukaan
halus / kasar. Trauma tumpul dapat terjadi karena 2 sebab, yaitu alat atau senjata yang
mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan orang lain yang
bergerak ke arah objek atau alat yang tidak bergerak.14

 Trauma Tajam

Trauma tajam adalah trauma yang menembus rongga tubuh, seperti luka
tembak atau luka tusuk. Mekanisme dari trauma tajam terbagi atas tiga kategori, yaitu
(1) trauma dengan kecepatan rendah contohnya luka akibat tusukan pisau yang mana
hanya mengenai daerah yang ditusuknya, (2) trauma dengan kecepatan medium
seperti luka akibat tembakan peluru dari pistol softgun, (3) trauma dengan kecepatan
tinggi seperti luka akibat tembakan peluru dari senjata-senjata militer. Luasnya
jaringan yang rusak bergantung pada kekuatan objek yang menembus thorax.
Kekuatan ini menimbulkan lubang yang permanen pada daerah yang ditembusnya.15

D. Epidemologi

Trauma toraks terjadi hampir pada 50% dari semua kecelakaan. Trauma toraks
berperan pada 25% dari semua kematian akibat trauma dan 25% lainnya berkontribusi
pada morbiditas dan mortalitas.
Insiden dari trauma toraks di Amerika adalah 12 orang bagi setiap 1000 orang
penduduk tiap harinya, dan 20-25% kematian yang disebabkan oleh trauma adalah
disebabkan oleh trauma toraks. Trauma toraks diperkirakan bertanggung jawab
atas
16.000 kematian tiap tahunnya di Amerika. Di Indonesia sendiri kejadian kecelakaan
lalu lintas meningkat dalam jumlah maupun jenisnya dengan perkiraan angkat
kematiaan 5,1 juta pada tahun 1990 menjadi 8,4 juta pada tahun 2020 atau meningkat
sebanyak 65%.16

E. Mekanisme

 Akselarasi

Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya
perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan
hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh
yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut).
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak;
penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity
(>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang
jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.16
 Deselerasi

Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya


terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi
oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus,
sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat
tumbukan pada dinding thorax/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan
pengikat organ tersebut.16
 Torsio dan Rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya
deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan
pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat
adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar
dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.16
 Blast injury

Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung
dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh
melalui penghantaran gelombang energi. Faktor lain yang mempengaruhi :
a) Sifat jaringan tubuh

Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi
sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya
fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan
fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat
berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki
payudara dibanding pria, dsb.
b) Lokasi
Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita
kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
c) Arah trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan
dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya
efek pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya: trauma
yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda
dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan.
d) Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis
Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen
ke jaringan oleh karena hipovolemia (perdarahan), pulmonary ventilation/perfusion
missmatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam
tekanan intrathorax (contoh: tension pneumothorax, pneumothorax terbuka).
Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan
tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan
oleh hipoperfusi dan jaringan (syok).
F. Penanganan Kegawatdaruratan

ATLS menggunakan pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan ini


berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah terjadinya
trauma.

1. Primary survey

Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyiapkan metode perawatan


individu yang mengalami multiple secara konsisten dan menjaga tim agar tetap berfokus
pada prioritas keperawatan. Masalah-masalah yang mengancam nyawa terkait jalan nafas,
sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, di evaluasi, serta dilakukan tindakan
dalam hitungan menit sejak dating di unit gawat darurat.

Komponen primary survey :

a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure and environment

a. Airway

Penilaian jalan nafas merupakan langkah pertama pada penanganan pasien trauma.
Penilaian jalan nafas dilakukan bersamaan dengan menstabilkan leher. Tahan kepala dan
leher pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher dengan menggunakan
servical collar dan meletakkan pasien pada spine board.

Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara melalui pita suara. Jika
tidak ada suara buka jalan nafas pasien dengan menggunakan chin lift atau maneuver
modified jaw thrust. Periksa orofaring, jalan nafas mungkin terhalang sebagian atau
sepenuhnya oleh cairan (darah,saliva,muntahan) atau serpihan kecil seperti gigi, makanan
atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suction, reposisi) dan kemudian
evaluasi kepatenan jalan nafas.

Alat-alat untuk mempertahankan jalan nafas seperti nasofaring, orofaring, LMA, pipa
trakea, combitube atau cricothyotomy mungkin dibutuhkan untuk membuat dan
mempertahankan kepatenan jalan nafas.
b. Breathing

Untuk menilai pernafasan perhatikan proses respirasi sontan dan catat kecepatan,
kedalaman serta usaha untuk melakukannya, periksa dada untuk mengetahui penggunaan
otot bantu nafas dan gerakan naik turunnya dinding dada secara simetris saat respirasi.

Cedera tertentu misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat dengan mudah.
Lakukan auslkultasi suara pernafasan bila didapatkan adanya kondisi serius dari pasien.
Selalu diasumsikan bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada
dalam kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya.

c. Circulation

Penilaiaan primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup evaluasi adanya
perdarahan, denyut nadi dan perfusi.

1) Perdarahan

Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang massif dan tekan langsung daerah
tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah yang mengalami perdarahan sampai diatas
etinggian jantung. Kehilangan darah dalam jumlah bear dapat terjadi didalam tubuh.

2) Denyut nadi

Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada atau tidaknya nadi, kualitas, laju dan ritme.
Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara langsung setelah terjadi trauma. Raba
denyut nadi karotis. Sirkulasi di evaluasi melalui auskultasi apical. Cari suara denguban
jantung yang menandakan adanya penyumbatan pericardial. Mulai dari tindakan
pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya.

3) Perfusi kulit

Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah, pucat, sianosis atau
bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok hipovolemik. Cek warna, suhu kulit,
adanya keringat dan crt. Waktu crt adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak,
tetapi kegunaannya berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya kondisi
kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok terjadi belum tentu akurat dan
tergantung pada pengkajian. Selain kulit tanda-tanda hipoperfusi juga Nampak pada organ
lain, misalnya oliguria, perubahan tingkat esadaran, takikardi dan distritmia. Selain itu
perlu diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan pembuluh darah di
leher yang tidak normal. Mengembalikan volume sirkulasi darah mrupakan tindakan yang
penting untuk dilakukan dengan segera.

Berikan 1-2 liter cairan isotonic kristaloid solution (0,9% normal salin atau ringer
laktat). Ada anak-anak pemberian berdasarkan berat badan yaitu 20 ml per kg bb. Dalam
pemberian caran perlu diperhatikan repon pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang
dibutuhkan 3 ml cairan kristaloid.

d. Disability

Tigkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan mnemonic AVPU. Sebagai tambahan,
cek kondisi pupil, ukuran, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat survey primer,
penilaian neurologis hanya dilakukan secara singkat. Pasien yang memiliki resiko
hipoglikemia, misalkan pasien dengan dm. harus di cek kadar gula dalam darahnya.
Apabila didpat kondisi hipoglikemi berat maka bias diberikan dextrose 3%. Adanya
penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian lebih lanjut pada survey
sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah pemeriksaan survey sekunder. Mnemonic
AVPU meliputi : aware (sadar), verbal (berespons terhadap suara),pain (berespon
terhadap rangsang nyeri), unresponsive (tidak berespon).

e. Exposure dan environment control (pemaparan dan control lingkungan)

Exposure

Lepas semua pakaian klien secara cepat untuk memeriksa cedea, perdarahan, atau
keanehan lainnya. Perhatikan kondisi klien secara umum, catat kondisi tubuh atau adanya
zat bau kimia seperti alcohol, bahan bakar atau urine.

Environmental control

Klien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting karena ada kaitannya
dengan vaso kontriksi pembuluh darah dan koagulopati. Pertahankan atau kembalikan
suhu normal tubuh dengan mengeringkan klien dan gunakan lampu pemanas, selimut,
pelindung kepala, system penghangat udara, dan berikan cairan.

2. Secondary survey

Pada survey ini dilakukan pemeriksaan lengkap head to toe. Apabila ditemukan
masalah maka tidak akan dilakukan tindakan dengan segera, akan dicatat dan
diprioritaskan untuk tindakan selanjutnya.
Pada secondary survey ini dilakukan tindakan sebagai berikut :

a. Full set of vital signs, five intervensions and facilication of family presence
b. Give comfort measures
c. History and head to toe examination
d. Inspect the posterior surfaces

a. Full set of vital signs, five intervensions and facilication of family presence

Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah hal dasar untuk menentukan tindakan


selanjutnya. 5 intervensi meliputi :

1) Pemasangan monitor jantung


2) Pasang nasogastrik tube
3) Pasang foley kateter
4) Pemeriksaan laboratorium
5) Pasang oksimetri

Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan kesempatan untuk bersama


klien walaupun klien dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan kesepakatan emergency
nurses association, keluarga diberikan kesempatan untuk bersama dengan pasien selama
proses invasive dan resusitasi. Pihak medis harus mempunyai standar prosedur tentang
bagaimana cara menenangkan, mendukung dan memberikan informasi pada anggota
keluarga.

b. Give comfort measures

Korban trauma sering mengalami masalah terkait dengan kondisi fisik dan
psikologisnya. Metode farmakologis dna non farmakologis banyak digunakan untuk
menurunkan rasa nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim
trauma harus bias mengenali keluhan dan melaukan intervensi bila dibutuhkan.

c. History and head to toe examination

History

Jika klien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien unuk mendapa
informasi tentang riwayat kesehatan klien, anggota keluarga juga bias menjadi sumber
informasi. Informasi penting tentang bagaimana proses terjadinya trauma harus diperoleh
dari klien atau keluarganya untuk mempermudah dalam menentukan tindakan selanjutnya.
Head

Pada kepa;a dilakukan inspeksi secara sitematis, palpasi tengkorak untuk mendapatkan
fragmen tulang yang tertekanm hematoma, laserasi dan nyeri. Ekimosis di belakang
telinga atau didaerah periorbital adalah indikasi adanya fraktur tengkorak bacilar.

Face

Inspeksi wajah degan seksama. Perhatikan apakah ada cairan keluar dari telinga,
hidung, mata dan mulut. Cairan jenih yang keluar dari hidung dan telinga diasumsikan
sebagai cairan serebrospinal.

Neck

Inspeksi leher klien dan pastikan bahwa pada saat pengkajian leher klien tidak
bergerak. lakukan inspeksi dan palpasi terhadap adanya luka, jejas ekimosis, distensi
pembuluh darah leher, udara dibawah kulit dan dviasi trakea.

Chest

Inspeksi dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan, perubahan bentuk, traua


penetrasi atau luka lain, lakukan auskultasi jantung dan paru. Palpasi dada untuk
mengetahui adanya perubahan bentuk, udara dibawah kulit dan area lebam/jejas.

Abdomen

Inspeksi perut untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi atau obyek yang
menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi perut, auskultasi suara perut di 4 kuadran
dan secara lembut palpasi dinding perut untuk memeriksa adanya kekakuan, nyeri,
rebound pain.

Pelvis

Periksa panggul untuk mengetahui adanya perdarahan, lebam, jejas, perubahan bentuk,
atau trauma penetrasi. Pada laki-laki periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita
periksa adanya pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah, feses atau
adanya darah dan untuk mengetahui posisi prostat.
Ekstremitas

Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan bentu, dislokasi,


ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka lain. Periksa sensorik, motorik dan kondisi
neurovascular pada masing-masing ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui
adanya jejas, lebam, krepitasi dan ketidaknormalan suhu.

d. Inspect the posterior surfaces

Dengan tetap mempertahankan kondisi tulang belakang dalam kondisi netral,


miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini membutuhkan beberapa orang anggota tim.
Pemimpin tim menilai keadaan posterior klien dengan mecari tanda-tanda jejas, lebam,
perubahan warna atau luka terbuka. Palpasi tulang belakang untuk mencari tonjolan,
perubahan bentuk, pergeseran atau nyeri. Pemeriksaan rectal dapat dilakukan pada tahap
ini apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan pada saat kesempatan ini
juga dapat digunakan untuk mengambil baju klien yang berada dibawah tubuh klien.
Apabila pada pemeriksaan tulang belakang tidak ditemukan adanya kelainan atau
ganggguan dank lien dapat terlentang makan backboard dapat diambil.

3. Monitoring dan evaluasi

Setelah secondary survey selesai dilakukan, prioritaskan klien dan rawat cedera sesuai
dengan waktunya. Beberapa cedera tertentu yang ditemukan pada saat survey sekunder
dapat dinilai dengan mendetail dan terfokus.

Klien yang mengalami rauma thorak harus melakukan pemeriksaan thorak secara
teratur. Pada saat klien trauma berada di unit gawat darurat, nilai ulang kien secara regular
dan teratur untuk mengetahui penurunan kondisi atau cedera yang tidak terdeteksi
sebelumnya.

G. Trauma Toraks

1. Open Pneumotoraks ( Sucking chest wound )


Open Pneumothorax defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka
menyebabkan pneumotorax terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera
menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3
dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena
mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Ketika
open pneumotoraks terjadi, maka pada sisi yang terkena adan terdengar sucking chest
wound, suara napas menurun, perkusi hipersonor, dan saat inspirasi bagian yang
terkena akan tertinggal.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril yang diplester hanya
pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter
type valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran
udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara
keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan
dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di
dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang
dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic
wrap atau Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat
dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.13

2. Tension Pneumotoraks

Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki


tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru disebelahnya. Udara memasuki
rongga pleura dari tempat rupture pleura yang bekerja seperti katup satup arah. Udara
dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak bisa keluar lagi karena
tempat rupture tersebut akan menutup pada saat ekspirasi. Pada saat inspirasi akan
terdapat lebih banyak udara yang masuk dan tekanan udara mulai melampaui tekanan
baromterik. Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru yang dalam keadaan
recolling sehingga terjadi atelektasis kompresi. Udara juga akan menekan
mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergesaran jantung dan pembuluh darah
besar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan yang semakin meningkat akibat
penumpukan udara ini menyebabkan kolaps paru. Ketika udara terus menumpuk dan
tekanan intrapleural terus meningkat, mediastinum akan tergesar dari sisi yang terkena
dan aliran balik vena menurun. Keadaan ini mendorong jantung, trakea, esophagus, dan
pembuluh darah besar berpindah ke sisi yang sehat sehingga terjadi penekanan pada
jantung serta paru sisi kontralateral. Tanpa penanganan yang segera, keadaan
kedaruratan ini akan segera berakibat fatal.12

Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks
yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension
pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh
karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala
nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya
suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi
lanjut.14
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik inspeksi akan tampak dispneu yang berat
seperti hampir mati tercekik, dan pada saat di palpasi trakea akan bergeser ke sisi
berlawanan demikian juga iktus cordis. Auskultasi biasanya suara napas hilang. apabila
terdengar, suara napas lemah ‘hollow’ dan amphoris. Coin test (+).
Tension pneumothorax memerlukan dekompresi segera dengan cara menusukan
jarum ukuran besar diruang intercostal kedua pada garis midklavikular di hemithorax
yang sakit. Namun, dengan adanya variasi ketebalan dinding dada pada masing-
masing pasien, kateter yang tertekuk serta komplikasi teknis maupun anatomis,
manuver ini terkadang tidak berhasil.15

3. Hematotoraks

Hematothorax adalah suatu keadaan dimana darah berada dalam pleural space (ruang
antara pleura parietalis dan visceralis). Perdarahan ke dalam pleural space merupakan
akibat dari trauma extrapleural dan intrapleural. Extrapleural dapat disebabkan oleh
trauma dinding dada yang mengenai arteri intercostalis dan mammaria interna
sedangkan intrapleural dapat disebabkan oleh parenkim paru, namun biasanya
sembuh dengan sendirinya karena tekanan pembuluh darah paru biasanya rendah.
Trauma parenkim paru biasanya dibarengi dengan pneumothorax.

Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada berukuran besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah
selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian
terhadap kemungkinan terjadinya rupture diafragma traumatic. Walaupun banyak
faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita
hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang dada
merupakan faktor utama.13

Hemothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari 15% pada
foto Rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan khusus. Hemothorax
sedang, artinya tampak bayangan yang menutup 15-35% pada foto Rontgen, dipungsi
dan penderita diberi transfusi. Pada pungsi sedapat mungkin dikeluarkan semua
cairan. Jika ternyata terjadi kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada
hemothorax besar (lebih dari 35%) dipasang penyalir sekat air dan diberikan
transfusi.14

Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah
harus dipertimbangkan.13

Hemotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang dari satu jam setelah trauma
adalah indikasi untuk operasi. Sebelum operasi sebaiknya ditentukan organ mana
yang dicurigai sehingga teknik pembedahan dapat disesuaikan. Perdarahan yang
terjadi akibat fraktur iga biasanya tidak banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun
harus tetap diwaspadai akan adanya perdarahan dari arteri interkostalis yang robek.
Monitoring untuk semua kasus perdarahan dalam rongga toraks setelah pemasangan
water sealed drainage (WSD) adalah sebagai berikut:13

 0-3 cc/Kg BB/ jam...........................observasi


 >3 - <5 cc/Kg BB/jam……………...observai ketat, bila berturut turut
dalam 3 jam operasi
 3-5 cc/Kg BB/jam.................................operasi

Pembagian diatasa didasarkan pada pembagian syok:

Kelas % darah hilang dari total Volume darah dalam cc (volume


volume darah dalam tubuh darah 80cc/kg BB)
I 15 < 750
II 30 75-1500
III 40 2000
IV >40 > 2000

Ligasi arteri interkostalis transtorakal posterior dapat mengakibatkan neuralgia


interkostalis tetapi tindakan ini cukup baik untuk menyelamatkan jiwa sementara.
Tindakan yang terbaik adalah torakotomi dan ligasi arteri interkostalis secara a vue.13

4. Flail Chest

Flail chest Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur
iga multipel berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap
iganya. Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal
(kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan
bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.16 Terjadi ketika
segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding
dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang
iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu
trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-
stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada
inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia.
Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.

Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan
lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia
akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest.13

Terapi awal meliputi ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen humidifikasi,


dan resusitasi cairan. Bila tidak dijumpai adanya hipotensi sistemik, pemberian cairan
kristaloid intravena harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi overhidrasi yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan.

Penatalaksanaan definitive meliputi pemberian oksigenasi yang adekuat


pemberian cairan secara seimbang dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi.
Pemberian analgesia dapat dilakukan dengan menggunakan narotika intravena atau
berbagai metode anestesi local yang tidak berpotensi memicu depresi pernapasan
seperti pada pemberian narotika sistemik. Pemilihan anastesi lokal meliputi blok saraf
pada interkosta, intrapleural, ekstrapleural dan epidural. Bila digunakan secara tepat,
anestesi local dapat memberikan manfaat analgesia yang kuat sehingga menurunkan
angka kebutuhan dilakukannya intubasi. Bagaimanapun juga, pencegahan hipoksia
merupakan bagian yang penting dalam penanganan pasien trauma, dimana intubasi dan
ventilasi pada periode waktu yang singkat mungkin diperlukan sampai diagnosis
trauma secara keseluruhan selesai. Penilaian yang teliti akan kecepatan pernafasan,
tekanan oksigen arterial dan kemampuan pernapasan penderita akan menentukan
timing yang tepat untuk dilakukannya intubasi dan ventilasi. 15

5. Temponade Jantung

Tamponade jantung merupakan keadaan meningkatnya tekanan dalam kantung


pericardium yag terjadi dengan cepat dan tidak terkontrol sehingga menekan jantung,
menggangu pengisian diastolik, serta menurunkan curah jantung. Peningkatan tekanan
ini biasanya terjadi karena penumpukan darah atau cairan di dalam kantung
pericardium. Cairan dalam jumlah kecil sekalipun (50 hingga 100 ml) sudah dapat
menimbulkan tamponade yang serius jika penumpukan berlangsung cepat.

Pada tamponade jantung, penumpukan cairan yang progresif dalam kantung


pericardium menyebabkan penekanan ruang jantung. Penekanan atau kompresi ini akan
menghalangi aliran darah ke dalam ventrikel dan mengurangi jumlah darah yang dapat
dipompa keluar dari dalam jantung pada setiap kontraks. Setiap kali ventrikel
berkontraksi, semakin banyak cairan yang terakumulasi dalan kantung pericardial.
Keadaan ini lebih lanjut akan membatasi jumlah darah yang dapat mengisi ruang
jantung, khususnya ventrikel kiri, selama siklus jantung berikut.

Jumlah cairan yang diperlukan untuk menimbulkan tamponade jantung sangat


bervariasi. Mungkin saja hanya 50 ml ketika cairan menumpuk dengan cepat atau lebih
dari 2 L jika cairan menumpuk dengan perlahan – lahan dan terjadi peregangan
pericardium untuk menyesuaikan diri dengan penumpukan cairan tersebut.12

Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara
jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik.
Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami hipovolemia. Pulsus
paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah
sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka
ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus
tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat.
Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan
sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena
pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya
dan menunjukkan adanya temponande jantung.

PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus
dicurigai adanya temponande jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis,
tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan
USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian
pericardium, tetapi banyak penelitan yang melaporkan angka negative yang lebih tinggi
yaitu sekitar 50 % (medlinux). Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik
abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat
mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi.
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok
hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada
tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat
untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan.13

Saat tamponande jantung dicurigai kuat telah terjadi, pemberian awal cairan
intravena bertujuan untuk meningkatkan tekanan vena dan memperbaiki curah jantung
sementara sambil mempersiapkan pembedahan. Perikardiosentesis subxyphoid dapat
dilakukan sebagai manuver sementara dengan menggunakan jarum yang terbungkus
plastik atau teknik Seldinger untuk pemasangan kateter yang fleksibel, prioritas utama
tetap pada upaya melakukan aspirasi darah dari kantung perikard. Jika tersedia
pemeriksaan ultrasound maka instrument ini dapat digunakan sebagai panduan
penusukan jarum menuju ruang pericardial secara akurat.

Aspirasi darah pericardial sendiri dapat membebaskan gejala sementara. Tetapi,


semua pasein dengan tamponande akut dan postif perikardiosentesis akan memerlukan
tindakan bedah untuk pemeriksaan jantung dan repair trauma. Perikardiosentesis tidak
dapat menjadi metode diagnostic maupun teraupetik bila darah dalam pericardium telah
mengalami pembekuan. Persiapan untuk merujuk pasien menuju fasilitas kesehatan
yang tepat untuk terapi definitive perlu segera dilakukan. Perikardiotomi via torkotomi
hanya dapat dilakukan oleh ahli bedah yang kompeten. 17
BAB III

KESIMPULAN

Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax
yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan
keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax dapat mengancam jiwa apabila tidak
didiagnosa sedini mungkin. Beberapa kegawatan dada pada trauma toraks adalah
tension pneumototraks, hematotoraks, flail chest, dan tamponade jantung. Semua
kegawatan dada akibat trauma toraks memiliki pengangan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsyuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu bedah ed 4 . Jakarta: EGC; 2017.

h.519-23

2. M. Rajidan. Karakteristik Pasien Dengan Trauma Thorax Di Rsup Dr. Wahidin

Makassaar Periode 2019-2020. Skripsi. 2021

3. Dongel Isa, Coskun Abuzer, Ozbay Sedat. Management of thoracic trauma in

Emergency service: Analysis of 1139 cases. doi: http://dx.doi.org/10.12669/pjms.291.2704 . 2012

4. Shahani Rohit,MD. Penetrating Chest Trauma.

http://emedicine.medscape.com/article/425698-overview#showall. Updated: Nov 27, 2020.

5. Novi L, Limpeleh H, Monoarfa A. Pola trauma tumpul toraks di instalasi rawat

darurat bedah RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2011-Juni 2012. Jurnal e-

clinic (eCI); Juli 2014 ;2(2).

6. The American College of Surgeon Committee on Trauma. Advanced trauma

life support for doctor.7th ed.USA: American college of surgeon; 2004. p. 111-27.

7. Drake RL, Vogl AW, Mitchel AWM. Gary dasar – dasar anatomi. Indonesia:

Penerbit Elsevier. 2014. h.62-79

8. Punarbawa IWA, Suarjaya PP. Identifikasi awal dan natuan hidup dasar pada

pneumotoraks. [Online]. 2012 [cited 2017 Mey 05]; [18 screens]. Available from URL:

http://www.jmedicalcasereports.com/content/pdf/1752-1947-7-278.pdf

9. Brunicardi F.C. Schwartz’s Principles Of Surgery. Edisi ke Delapan. McGraw-


Hill’s, 2004
10. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia.2009. Diakses
dari: www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-I-
Umum.html.p:1 tertanggal 27 November 2020
11. Handoyo CN, Supriyanto E. Profil trauma toraks di ruang rawat inap bedag RSUD
Gambiran periode maret 2017 – maret 2018. Jurnal ilmu kedokteran Kusuma September
2018; 7(2): h.2
12. Hemmila MR. Management of the injuried patient: Current surgical diagnosis &
treatment. USA: The McGraw-Hill companies; 2006
13. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Buku ajar patofisiologi. 2017: EGC; 2017
14. Rachmad K.B. Penanganan Trauma Toraks. Jakarta: Subbagian Bedah Toraks Bagian

Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM, 2002

15. American Collage of surgeons committee on trauma advanced trauma life support for

doctor 8ed.

16. Syamsyuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu bedah ed 3. Jakarta: EGC; 2010. p. 514-

28.

17. Melendez SL. Rib Fracture. 2012. WebMD [Updated: September 24 th, 2012. Citated
August 23rd, 2013] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/825981-
overview
18. Ferrera PC, Bartfield JM, D’Andrea CC. Outcomes of admitted geriatric trauma victims.
Am J Emer

Anda mungkin juga menyukai