Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Trauma Thorax” pada bagian “PNEUMOTHORAKS” ini dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata penulis menyadari tak ada gading yang tak retak. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna
kesempurnaan makalah ini dan perbaikan pada makalah ke depannya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1) Untuk mengetahui Anatomi dan Fisiologi sistem respiratorius
2) Pengertian Pneumothorak
3) Patofisiologi Pneumothorak
4) Jenis-jenis Pneumothorak
5) Pemeriksaan primary survey
6) Pemeriksaan secondary survey
7) Penatalaksanaan Pneumothorak
8) Komplikasi Pneumothoraks
9) Pemeriksaan Penunjang Pneumothoraks
10) Asuhan Keperawatan pada Pneumothorak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Epidemiologi
Pneumothorax dapat diklasifikasikan menjadi pneumothorax
spontan dan traumatik. Pneumothorax spontan merupakan pneumothorax
yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang
mendasari. Pneumothorax jenis ini dibagi lagi menjadi pneumothorax
primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun
sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumothorax primer dan sekunder, namun pria
lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada
pria, resiko pneumothorax spontan akan meningkat pada perokok berat
dibanding non perokok. Pneumothorax spontan sering terjadi pada usia
muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40
tahun).
Sementara itu, pneumothorax traumatik dapat disebabkan oleh
trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan
diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik.
Pneumothorax iatrogenik merupakan tipe pneumothorax yang sangat
sering terjadi.(http://www.medinfo.ufl.edu/years/bcs/96/clist/resp)
2.2.2 fisiologi
Proses inspirasi jika tekanan paru lebih kecil dari tekanan atmosfer.
Tekanan paru dapat lebih kecil jika volumenya diperbesar. Membesarnya
volume paru diakibatkan oleh pembesaran rongga dada. Pembesaran
rongga dada terjadi akibat 2 faktor, yaitu faktor thoracal dan abdominal.
Faktor thoracal (gerakan otot-otot pernafasan pada dinding dada) akan
memperbesar rongga dada ke arah transversal dan anterosuperior,
sementara faktor abdominal (kontraksi diafragma) akan memperbesar
diameter vertikal rongga dada. Akibat membesarnya rongga dada dan
tekanan negatif pada kavum pleura, paru-paru menjadi terhisap sehingga
mengembang dan volumenya membesar, tekanan intrapulmoner pun
menurun. Oleh karena itu, udara yang kaya O2 akan bergerak dari
lingkungan luar ke alveolus. Di alveolus, O2 akan berdifusi masuk ke
kapiler sementara CO2 akan berdifusi dari kapiler ke alveolus. Sebaliknya,
proses ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih besar dari tekanan
atmosfer. Kerja otot-otot ekspirasi dan relaksasi diafragma akan
mengakibatkan rongga dada kembali ke ukuran semula sehingga tekanan
pada kavum pleura menjadi lebih positif dan mendesak paru-paru.
Akibatnya, tekanan intrapulmoner akan meningkat sehingga udara yang
kaya CO2 akan keluar dari peru-paru ke
atmosfer.(http://www.en.wikipedia.org/wiki/respiratory/examination)
2.5 PATHWAY
Trauma dada
↓
Robekan pleura
↓
Terbukanya dinding dada
↓
Aliran udara ke rongga pleura meningkat
↓
Tekanan di rongga pleura lebih tinggi dari pada di atmosfer
↓
Terjadi kollaps paru
↓
Kompensasi untuk memenuhi oksigen ke seluruh tubuh berkurang
↓
Jantung bekerja lebih cepat
↓
Takikardi
↓
Napas menjadi pendek dan cepat
.(Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.)
2.9 PENATALAKSANAAN
Primary survey (ABCDE) yang dilanjutkan dengan Resusitasi
fungsi vitalPenilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasrkan
jenis perlukaan, tanda tanda vital, dan mekanisme trauma. Merupakan
ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan
yangmengancam nyawa terlebih dahulu.
1) Airway and cervical spine controlPemeriksaan apakah ada obstruksi
jalan napas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, atau
maksila dan mandibula, faktur laring atau trakea. Jaga jalan nafas
dengan jaw thrust atau chin lift, proteksi c-spine, bila perlu lakukan
pemasangan collar neck. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat
dianggap bahwa jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian
ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.2. Breathing: gerakan
dada asimetris, trakea bergeser, vena jugularis distensi, tapi masih ada
nafas.
2) Needle decompression: Tension pneumothorax membutuhkan
dekompresi segera dan penaggulangan awal dengan cepat berupa
insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang terkena. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana.
Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5
(setinggi puting susu) di anterior garis midaksilaris.Dekompresi segera
pake jarum suntik tusuk pada sela iga ke 2 di midklavikula dan tutup
dengan handskon biar udara lain tidak masuk nanti lakukan WSD lebih
lanjut setelah sampai RS
3) Prinsip dasar dekompresi jarum adalah untuk memasukan kateter ke
dalam rongga pleura, sehingga menyediakan jalur bagia udara untuk
keluar dan mengurangi tekanan yang terus bertambah. Meskipun
prosedur ini bukan tatalaksana definitif untuk tension pneumothorax,
dekompresi jarum menghentikan progresivitas dan sedikit
mengembalikan fungsi kardiopulmoner.
4) Pemberian Oksigen 3 Circulation: (takikardia, hipotensi)
5) Kontrol perdarahan dengan balut tekan tapi jangan terlalu rapat untuk
menghindari parahnya tension pneumothoraks
6) Pemasangan IV line 2 kateter berukuran besar (1-2 liter RL hangat 39
derajat celcius).4 Disability : nilai GSC dan reaksi pupil
7) Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC5.Rujuk ke
rumah sakit terdekat dengan peralatan medis sesuai kebutuhan atau
yang mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien sudah
distabilkan.6 Pengelolaan selama transportasi :
8) Monitoring tanda vital dan pulse oksimetriBantuan kardiorespirasi bila
perlu Pemberian darah bila perlu Pemberian obat sesuai intruksi dokter
analgesic jangan diberikan karena bisa membiaskan simptom
Dokumentasi selama perjalanan Secondary survey dilanjutkan dengan
Tatalaksana definitif.Prinsiptatalaksana di UGD1. Eksposure : buka
pakaian penderita, cegah hipotermia, tempatkan di tempat tidur dengan
memperhatikan jalan nafas terjaga. Pemasangan IV line tetap.2. Re-
evaluasi :Laju nafas, Suhu tubuh, Pulse oksimetri, saturasi O2,
Pemasangan kateter folley (kateter urin), monitor dieresis, dekompresi
v. urinaria sebelum DPL, EKG, NGT bila tidak ada kontraindikasi
(fraktur basis kranii), Bersihkan dengan antiseptic luka memar dan
lecet bila ada lalu kompres dan obati
pneumothoraksLakukan tube thoracostomy / WDS (water sealed
drainage, merupakantatalaksanadefinitif tension pneumothorax),
(Continous suction), WSD sebagai alat diagnostic, terapik, dan follow
up mengevakuasi darah atau udara sehingga pengembangan paru
maksimal lalu lakukan monitoring. Penyulitperdarahan dan infeksi
atau super infeksi. Teknikpemasangan:
1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk/ setengah duduk/ tiduran
dengan sedikit miring ke sisi yang sehat. Tentukan tempat untuk
pemasangan WSD. Di kanan pada sela iga ke-7 atau ke-8.3.
Tentukan kira-kira tebal dinding thoraks. Secara streril diberi tanda
pada selang WSD dari lubang terakhir sela WSD setebal dinding
thoraks; mis dengan ikatan benang. Cuci tempat yang akan
dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptic. Tutup
dengan duk steril. Daerah tempat masuk selang WSD dan
sekitarnya dianestesi local di atas tepi iga secara infiltrasi dan blok
(berkas neurovaskular). Insisikulitsubkutis dan otot dada di
tengahselaiga. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus
pleura.Dengan klem arteri lurus lubang di perlebar secara tumpul.
1) Selang WSD diklem dengan arteri klem dan di dorong masuk ke
rongga pleura dengan sedikit tekanan12. Fiksasi selang WSD
sesuai dengan tanda tadi. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep
steril agar kedap udara14. Selang WSD disambung dengan botol
WSD steril15. Bila mungkin pasang penghisap kontinu dengan
tekanan -24 sampai -32 cm H2O. Prinsip dasar tatalaksana
pneumotoraks adalah untuk mengevakuasi ronga pleura, menutup
kebocoran, dan mencegah atau mengurangi risikoPilihan.
1) Observasi
2) Aspirasi sederhana
3) Tube thoracostomy/WSD (Simple; Continuous suction)
4) Pleurodesis
5) Thoracoscopy
6) Operasi
(Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan)
2) Pneumotoraks Tension
Pneumotoraks tension adalah pneumotoraks yang disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin
bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan
mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar).
Ciri: :
a) Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga
terjadi kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan
mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous return
menurun → hipotensi & respiratory distress berat.
b) Tanda dan gejala klinis : sesak yang bertambah berat dengan
cepat, takipneu, hipotensi, JVP meningkat, asimetris statis &
dinamis.
c) Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu foto Rontgen.
d) Penatalaksanaan :
i. Dekompresi segera : large-bore needle insertion (sela iga II,
linea mid-klavikula)
ii. Water Sealed Drainage (WSD)
3. Open Pneumothorax
Open pneumothorax terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada
dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks
dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara
luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound. Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan :
1) Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme
ventil)
2) Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3) Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ
intra toraks lain.Umumnya disertai dengan perdarahan
(hematotoraks)(http://www.erjournals.com/cgu/content/abstact)
2.11 KOMPLIKASI
1) Iga : Fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
2) pleura, paru-paru, bronkhi : Hemopneumothoraks – emfisema
pembedahan.
3) Jantung : Tamponade jantung, rupture jantung, rupturototpapilar,
ruptur klepjantung.
4) Pembuluhdarahbesar: Hematothoraks.
5) Esofagus:Mediastinitis.
6) Diafragma : Herniasivisera dan permukaan hati, limpa dan ginjal
(Mowschenson, 1990).
5. Pertahankan
polusi lingkungan
minimum, mis.,
debu, asap, dan
bulu bantal yang
berhubungan
dengan kondisi
individu.
6. Dorong / bantu
latihan napas
abdomen atau bibir.
7. Berikan obat
sesuai indikasi
Bronkodilator, mis.,
β-agonis : epinefrin
(Adrenalin,
Vaponefrin);
albuterol (Proventil,
Ventolin);
terbutalin (Brethine,
Brethaire);
isotetarin
(Brokosol,
Bronkometer);
Xantin, mis.,
aminofilin,
oxitrifilin
(Choledyl); teofilin
(Bronkodyl, Theo-
Dur)
8. Berikan
fisioterapi dada
A. Kesimpulan
Trauma thorax dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa
sehingga ada hubungan udara luar dan dengan rongga pleura, sehingga paru
menjadi kuncup, Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada
yang menghisap pada setiap inspirasi/sucking chost woundl.
Menghadapi pasien dengan trauma toraks, triase pertama adalah evaluasi
terhadap fungsi kardio-pulmoner secara sangat cermat dan teliti. Bila telah
dapat ditegakkan “Assesment” kardio pulmoner dan telah dilaksanakan
tindakan penanggulangan kegawat daruratan medis utama, perlu dilakukan
“Assesment” kerangka dan rongga toraks secara seksama.
Penguasaan ilmu dan teknik pemeriksaan fisik dada akan sangat menunjang
kualitas hasil pertolongan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.medicine.ucsd.edu/clinicalmed/lung
http://www.medinfo.ufl.edu/years/bcs/96/clist/resp
http://www.en.wikipedia.org/wiki/respiratory/examination
http://www.webteach.mc.uky.edu/nursing/nur869/webquets/labs
http://www.erjournals.com/cgu/content/abstact
Rahajoe, 2012
DR. Dr. Aru W. Sudoyo,Sp.PD, KHOM, 2006
Mowschenson, 1990
Buku Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV.
Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia