Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Trauma Thorax” pada bagian “PNEUMOTHORAKS” ini dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata penulis menyadari tak ada gading yang tak retak. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna
kesempurnaan makalah ini dan perbaikan pada makalah ke depannya.

Bukittinggi, 7 November 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................ 2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi.................................................................... 3
2.2 Anatomi & Fisiologi ........................................................ 4
2.3 Pengertian ........................................................................ 5
2.4 Patofosiologi .................................................................... 6
2.5 Pathway............................................................................ 7
2.6 Jenis-Jenis ......................................................................... 8
2.7 Pemeriksaan ..................................................................... 9
2.8 Penatalaksanaan ............................................................. 10
2.9 Komplikasi ..................................................................... 11
2.10 Komplikasi ..................................................................... 12
2.11 Pemeriksaan Penunjang ................................................. 13
BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian ........................................................................ 14
3.2 Diagnosa Keperawatan .................................................... 15
3.3 Intervensi ......................................................................... 16
3.4 Implementasi.................................................................... 17
BAB IV PENUTUP
6.1 Kesimpulan ......................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rongga toraks merupakan suatu rongga yang diisi oleh berbagai organ
tubuh yang sangat vital, diantarannya: jantung, paru, pembuluh darah besar.
Rongga toraks dibentuk oleh suatu kerangka dada berbentuk cungkup yang
tersusun dari tulang otot yang kokoh dan kuat, namun dengan konstruksi yang
lentur dan dengan dasar suatu lembar jaringan ikat yang sangat kuat yang
disebut Diaphragma. Konstruksi kerangka dada tersebut diatas sangat
menunjang fleksibelitas fungsinya, diantaranya : fungsi perlindungan terhadap
trauma dan fungsi pernafasan. Hanya trauma tajam dan trauma tumpul dengan
kekuatan yang cukup besar saja yang mampu menimbulkan cedera pada alat /
organ dalam yang vital tersebut diatas. Secara keseluruhan angka mortalitas
trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari
empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak
penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini
seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan
terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari
trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas
kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan
diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus
trauma thorax. Dengan semakin meningkatnya teknologi dan industri di
negara kita terutama kendaraan bermotor, maka akan meningkat pula angka
kejadian dari trauma toraks. Di Amerika Serikat, penderita trauma secara
keseluruhan mendekati 70 juta jiwa setiap tahunnya dengan menghabiskan
dana kira-kira 100 milyar dolar setahun, dan 1 dari 100 kematian oleh trauma
disebabkan oleh truma toraks.(menurut jurnal Pneumotoraks dan
pneumomediastinum sebagai komplikasi trakeostomi darurat Arie Cahyono,
Hastuti Rahmi).
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa Anatomi dan Fisiologi sistem respiratorius?
3. Apa pengertian Pneumothorak?
4. Apa Patofisiologi Pneumothorak?
5. Apa saja jenis-jenis Pneumothorak
6. Bagaimana pemeriksaan primary survey?
7. Bagaimana pemeriksaan secondary survey?
8. Bagaimana penatalaksanaan Pneumothorak?
9. Bagaimana Komplikasi dari Pneumothoraks?
10. Apa pemeriksaan penunjang dari Pneumothoraks?
11. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pneumothorak?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1) Untuk mengetahui Anatomi dan Fisiologi sistem respiratorius
2) Pengertian Pneumothorak
3) Patofisiologi Pneumothorak
4) Jenis-jenis Pneumothorak
5) Pemeriksaan primary survey
6) Pemeriksaan secondary survey
7) Penatalaksanaan Pneumothorak
8) Komplikasi Pneumothoraks
9) Pemeriksaan Penunjang Pneumothoraks
10) Asuhan Keperawatan pada Pneumothorak
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Epidemiologi
Pneumothorax dapat diklasifikasikan menjadi pneumothorax
spontan dan traumatik. Pneumothorax spontan merupakan pneumothorax
yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang
mendasari. Pneumothorax jenis ini dibagi lagi menjadi pneumothorax
primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun
sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumothorax primer dan sekunder, namun pria
lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada
pria, resiko pneumothorax spontan akan meningkat pada perokok berat
dibanding non perokok. Pneumothorax spontan sering terjadi pada usia
muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40
tahun).
Sementara itu, pneumothorax traumatik dapat disebabkan oleh
trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan
diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik.
Pneumothorax iatrogenik merupakan tipe pneumothorax yang sangat
sering terjadi.(http://www.medinfo.ufl.edu/years/bcs/96/clist/resp)

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM RESPIRATORIUS


2.3 Anatomi
2.2.1.1 Dinding Thorax
Dinding thorax terdiri atas kulit, fascia, saraf, otot, dan tulang. Kerangka
dinding thorax membentuk sangkar dada osteokartilaginous yang
melindungi jantung, paru-paru, dan beberapa organ rongga abdomen.
Kerangka thorax terdiri dari vertebra thoracica dan discus intervertebralis,
costae dan cartilago costalis, serta sternum. Beberapa otot pernafasan
yang melekat pada dinding dada antara lain :
1) Otot-otot inspirasi : M. intercostalis externus, M. levator costae,
M. serratus posterior superior, dan M. Scalenus
2) Otot-otot ekspirasi : M. intercostalis internus, M. transversus
thoracis, M. serratus posterior inferior, M. subcostalis.

2.2.2.2 Traktus Respiratorius


Traktus respiratorius dibedakan menjadi dua, yaitu traktus
respiratorius bagian atas dan bagian bawah. Traktus respiratorius bagian
atas terdiri dari cavum nasi, nasofaring, hingga orofaring. Sementara itu,
traktus respiratorius bagian bawah terdiri atas laring, trachea, bronchus
(primarius, sekundus, dan tertius), bronchiolus, bronchiolus respiratorius,
ductus alveolaris, dan alveolus. Paru-paru kanan terdiri atas 3 lobus
(superior, anterior, inferior), sementara paru-paru kiri terdiri atas 2 lobus
(superior dan inferior). Masing-masing paru diliputi oleh sebuah kantung
pleura yang terdiri dari dua selaput serosa yang disebut pleura, yaitu pleura
parietalis dan visceralis. Pleura visceralis meliputi paru-paru termasuk
permukaannya dalam fisuran sementara pleura parietalis melekat pada
dinding thorax, mediastinum dan diafragma. Kavum pleura merupakan
ruang potensial antara kedua lapis pleura dan berisi sedikit cairan pleura
yang berfungsi melumasi permukaan pleura sehingga memungkinkan
gesekan kedua lapisan tersebut pada saat
pernafasan.(http://www.en.wikipedia.org/wiki/respiratory/examination)

2.2.2 fisiologi
Proses inspirasi jika tekanan paru lebih kecil dari tekanan atmosfer.
Tekanan paru dapat lebih kecil jika volumenya diperbesar. Membesarnya
volume paru diakibatkan oleh pembesaran rongga dada. Pembesaran
rongga dada terjadi akibat 2 faktor, yaitu faktor thoracal dan abdominal.
Faktor thoracal (gerakan otot-otot pernafasan pada dinding dada) akan
memperbesar rongga dada ke arah transversal dan anterosuperior,
sementara faktor abdominal (kontraksi diafragma) akan memperbesar
diameter vertikal rongga dada. Akibat membesarnya rongga dada dan
tekanan negatif pada kavum pleura, paru-paru menjadi terhisap sehingga
mengembang dan volumenya membesar, tekanan intrapulmoner pun
menurun. Oleh karena itu, udara yang kaya O2 akan bergerak dari
lingkungan luar ke alveolus. Di alveolus, O2 akan berdifusi masuk ke
kapiler sementara CO2 akan berdifusi dari kapiler ke alveolus. Sebaliknya,
proses ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih besar dari tekanan
atmosfer. Kerja otot-otot ekspirasi dan relaksasi diafragma akan
mengakibatkan rongga dada kembali ke ukuran semula sehingga tekanan
pada kavum pleura menjadi lebih positif dan mendesak paru-paru.
Akibatnya, tekanan intrapulmoner akan meningkat sehingga udara yang
kaya CO2 akan keluar dari peru-paru ke
atmosfer.(http://www.en.wikipedia.org/wiki/respiratory/examination)

2.3 Pengertian Trauma Thorak


Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum
thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thorax akut. ( Rahajoe, 2012).
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraxyang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum
thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dandapat
menyebabkan keadaan gawat thorax akut. (DR. Dr. Aru W. Sudoyo,Sp.PD,
KHOM, 2006).
Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax. Dapat juga disebabkanoleh
karena trauma tajam melalui dinding thorax.
Kerangka rongga thorax,meruncing pada bagian atas dan berbentuk
kerucut terdiri dari sternum, 12vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang
berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang.
Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh
sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada
tepi bawah sternum.Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh
trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan
darah), pulmonaryventilation/perfusion mismatch dan perubahan dalam
tekanan intratthorax. Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosismetabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari
jaringan (syok). (buku kumpulan kuliah ilmu bedah)

2.4 PATOFISIOLOGI PNEUMOTORAKS


Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan
mudah robek, apabial alveoli tersebut melebar dan tekanan didalam alveoli
meningkat maka udara masuk dengan mudah menuju kejaringan
peribronkovaskuler gerakan nafas yang kuat, infeksi dan obstruksi
endrobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan
terjadinya robekan selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat
mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskuler robekan pleura kearah yang
berlawanan dengan tilus akan menimbulkan pneumothoraks, sedangkan
robekan yang mengarah ke tilus dapat menimbulkan pneumomediastinum dari
mediastinum udara mencari jalan menuju ke atas, ke arah leher. Diantara
organ – organ medistinum terdapat jairngan ikat yang longgar sehingga mudah
ditembus oleh udara . Dari leher udar menyebar merata di bawah kulit leher
dan dada yang akhirnya menimbulkan emfisema sub kutis yang dapat meluas
ke arah perut hingga mencapai skretum.(Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit.)

2.5 PATHWAY

Trauma dada


Robekan pleura

Terbukanya dinding dada

Aliran udara ke rongga pleura meningkat

Tekanan di rongga pleura lebih tinggi dari pada di atmosfer

Terjadi kollaps paru

Kompensasi untuk memenuhi oksigen ke seluruh tubuh berkurang

Jantung bekerja lebih cepat

Takikardi

Napas menjadi pendek dan cepat
.(Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.)

2.6 Jenis-Jenis Trauma Thorak


Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus
atau tumpul.
1. Trauma Tembus (Tajam)
1) Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat
penyebab trauma
2) Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
3) Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
2. Trauma Tumpul
1) Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
2) Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau
blast injuries.
3) Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
4) Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi
Berdasarkan mekanismenya terdiri dari :
1. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab
trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan
percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II
(Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh
yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak
tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti
senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan
mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas
dibandingkan besar lubang masuk peluru.
2. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti
akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma,
organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta,
organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi
akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh
karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh
adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya
memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus
utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-
tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan
jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau porosnya.
4. Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak
langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom.
Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energi. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II)

2.7 Pemeriksaan Primary Survey


Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini
dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
1. Open Pneumothorax
Dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa, sehingga ada
hubungan udara luar dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi
kuncup. Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada yang
mengisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang
ini lebih besar daripada 1/3 diameter trachea, maka pada inspirasi,
udara lebih mudah melewati lubang pada dinding dada dibandingkan
melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat. Dengan demikian
maka pada oper pneumothorax, usaha pertama adalah menutup lubang
pada dinding dada ini, sehingga open pneumothorax menjadi close
pneumothorax (tertutup). Harus segera ditambahkan bahwa Apabila
selain lubang pada dinding dada, juga ada lubang pada paru, maka
usaha menutup lubang ini dapat mengakibatkan terjadinya tension
pneumothorax. Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:
1) Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3
sisinya, sedangkan pada sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus
dilapisi zalf/sofratulle pada sisi dalamnya supaya kedap udara)
2) Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka
harus sering dilakukan evaluasi paru. Apabila ternyata timbul tanda
tension pneumothorax, maka kasa harus dibuka pada luka yang sangat
besar, maka dapat dipakai palastik infuse yang digunting sesuai
ukuran.
2. Tension Pneumothorax
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada
masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-
valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak
dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-
paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan
menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return),
serta akan menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan
positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension
pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan
parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan
kateter subklavia atau vnea jugularis interna.
Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang
belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine
fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu
konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala
nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi
trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher.
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang
berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks
yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension
pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan :
kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk
jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu
dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga
ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
3. Hematothorax massif
Hematothorax massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih
dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh
luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh
darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang
disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang
mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan
penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan
dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid
secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah
dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat
dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi.
Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar
penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Keputusan
torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus
sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status
fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan
selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada
(chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke
dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau
vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai
dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior
medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari
skapula harus di sadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan
torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar,
struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
4. Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi
karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua
atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada.
Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan
kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada
parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun
ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari
dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak
akan menyebabkan hipoksia.
Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang
tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak
terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada.
Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu
diagnosisi.
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga
yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan
terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat
kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest.
Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat,
oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan
syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-
hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan
parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap
kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang
lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar
optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru
dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan
analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan
hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu
diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang
terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian
hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan
penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing /
waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
5. Temponade Jantung
Tamponade jantung adalah kompresi jantung disebabkan oleh
darah atau cairan yang terakumulasi di ruang antara miokardium (otot
jantung) dan pericardium (lapisan luar jantung). Ini merupakan
keadaan darurat medis,dengan meningkatnya produksi cairan sehingga
akan menekan jantung lebihkuat dan proses pengisian tidak normal.
Jika tidak diobati, ventrikel akan terganggu, mengakibatkan shock dan
kematian.
Etiologinya bermacam-macam yang paling sering adalah maligna,
perikarditis, uremia dan trauma, perdarahan ke dalam ruang pericardial
akibattrauma, operasi, atau infeksi, pemasangan pacu jantung,
tuberculosis, dan penggunaan antikoagulan. Patofisiologi Tamponade
jantung terjadi bila jumlah efusi pericardium menyebabkan hambatan
serius aliran darah ke jantung (gangguandiastolik ventrikel ). Penyebab
tersering adalah neoplasma, dan uremi. Neoplasma menyebabkan
terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal pada otot jantung.
Sehingga terjadi hiperplasia sel yang tidak terkontrol, yang
menyebabakan pembentukan massa (tumor). Hal ini yang
dapatmengakibatnya ruang pada kantong jantung (perikardium)
terdesak sehingga terjadi pergesekan antara kantong jantung
(perikardium) dengan lapisan paling luar jantung (epikardium).
Pergesekan ini dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada
perikarditis sehingga terjadi penumpukan cairan pada pericardium
yang dapat menyebakan tamponade jantung. Uremia juga dapat
menyebabkan tamponade jantung. Dimana orang yang mengalami
uremia, didalam darahnya terdapat toksik metabolik yang dapat
menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi terjadi pada
perikardium). Manifestasi klinis dari tamponade jantung adalah
takikardi, peningkatan volume intravascular, peningkatan tekanan vena
jugularis.(http://www.webteach.mc.uky.edu/nursing/nur869/webquets/
labs)

2.8 Pemeriksaan Secondary Survey


Pemeriksaan secondary survey merupakan suatau kegiatan mencari
perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan
mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari
kepala sampai kaki (head to toe) biasanya dilakukan setelah pemeriksaan
primer (primary survey) dan setelah memulai resusitasi.
Pemeriksaan sekunder dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah
yang mungkin tidak diidentifikasi sebagai masalah yang mengancam jiwa
(masalah-masalah yang tidak mengharuskan untuk dilakukan perawatan
atau penanganan segera agar korban selamat, tetapi mungkin mengancam
jiwa jika tidak ditangani) dan juga untuk mendeteksi penyakit atau trauma
yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.
1. Fraktur Iga
Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada
yang memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap organ
didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi
ventilasi paru.Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
/ tulangrawan yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada
tulangcosta. Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang
mengganggu prosesrespirasi, disamping itu adanya komplikasi dan
gangguan lain yang menyertai. Diperlukan perhatian khusus dalam
penanganan terhadap fraktur ini.Pada anak fraktur costa sangat jarang
dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur. Fraktur costa
dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut..Dari keduabelas
pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur
hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9
paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan
memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah
yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat
labil. Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2
kelompok:
a. Disebabkan trauma
1) Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa
antara lain : Kecelakaan lalulintas,kecelakaan pada pejalan kaki ,jatuh dari
ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
2) Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa luka
tusuk dan luka tembak
b. Disebabkan bukan trauma
Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang
menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena
adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur, seperti pada gerakan
olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. Fraktur costa dapat terjadi
akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping ataupun dari arah
belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan
trauma costa, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada
dinding dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa.
Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya
atau bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat
mencederai intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga
dapat mengakibatkan timbulnya hematotoraks, pneumotoraks ataupun
laserasi jantung.
2. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada
golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul
perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah
kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati,
juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan
hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan,
SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi
pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti
penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk
melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita
dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi
endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter,
pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat
bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi
penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi
dan ventilasi terlebih dahulu.
3. Ruptur Aorta
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi
ruptura tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat
ligamentum arteriosum. Hanya kira-kira 15% dari penderita trauma toraks
dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan
pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila
didapatkan :
a. mediastinum yang melebar
b. fraktur iga 1 dan 2
c. trakea terdorong ke kanan
d. gambaran aorta kabur
e. penekanan bronkus utama kiri
f. gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke kanan.
Ruptur aorta disebabkan kekuatan deselerasi yang besar ketika
terjadi benturan dan kemudian kekuatan tersebut didistribusikan secara
tidak merata di sepanjang aorta, mengingat pelekatan aorta pada struktur
interna. Trauma akselerasi-deselerasi vertikal seperti jatuh dapat
menyebabkan robeknya aorta asendens dengan tamponade perikardial
akut.
Mekanisme yang menyebabkan ruptur adalah:
a. shear forces dalam hubungannyadengan segmen mobile arkus aorta
dan aorta torakalis desendens (mis titik fiksasi padaligamentum
arteriosum);
b. kompresi aorta dan pembuluh darah besar lainnya padakolumna
vertebralis; dan
c. hiperekstensi intraluminal yang cukup besar selama momentubrukan.
4. Ruptur Diagfragma
Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya disertai
trauma lain, trauma thorak dan abdomen, dibawah ini merupakan organ-
organ yang paling sering terkena bersamaan dengan ruptur diafragma : (1)
fraktur pelvis 40%, (2) ruptur lien 25%, (3) ruptur hepar 25%, (4) ruptur
aorta pars thorakalis 5-10%.Beberapa ahli membagi ruptur
diafragmaberdasarkan waktu mendiagnosisnya menjadi :
a. Early diagnosis
1) Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hanpir 50% pasien
ruptur diafragma tidak terdiagnosis dalam 24 jam pertama.
2) Gejala yang mencul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan
3) Pemeriksaan fisik yang menudukung : adanya suara bising usus di
dinding thorak dan perkusi yang redup di dinding thorak yang
terkena
b. Delayed diagnosis
1) Bila tidak terdiagnosa dalam 4 jam pertama, biasanya diagnosa
akan muncul beberapa bulan bahkan tahun kemudian
Sekitar 80-90% ruptur diafragma terjadi akibat kecelakaan sepeda
motor. Mekanisme terjadinya ruptur berhubungan dengan
perbedaan tekanan yang timbul antara rongga pleura dan rongga
peritoneum. Trauma dari sisi lateral menyebabkan ruptur
diafragma 3 kali lebih sering dibandingkan trauma dari sisi lainnya
oleh karena langsung dapat menyebabkan robekan diafragma pada
sisi ipsilateral. Trauma dari arah depan menyebabSkan peningkatan
tekan intra abdomen yang mendadak sehingga menyebabkan
robekan radier yang panjang pada sisi posterolateral diafragma
yang secara embriologis merupakan bagian terlemah.
75 % ruptur diafragma terjadi disisi kiri, dan pada beberapa kasus
terjadi pada sisi kanan yang biasanya disebabkan oleh trauma yang
hebat dan biasanya menyebabkan gangguan hemodinamik, hal ini
disebabkan oleh karena letak hepar disebelah kanan yang sekaligus
menjadi suatu proteksi. Pada trauma kendaraan bermotor arah
trauma menentukan lokasi injuri di kanada dan Amerika Serikat
biasanya yang terkena adalah sisi kiri khususnya pada pasien yang
menyetir mobil, sedangkan pada penumpang biasanya yang terkena
sisi kanan.
Pada trauma tumpul biasanya menyebabkan robekan
radierpada mediastinum dengan ukuran 5 – 15 cm, paling sering
pada sisi posterolateral, sebaliknya trauma tembus menyebabkan
robekan linear yang kecil dengan ukuran kurang dari 2 cm dan
bertahun-tahun kemudian menimbulkan pelebaran robekan dan
terjadi herniasi. Berikut ini mekanisme terjadinya ruptur diafragma
: (1) robekan dari membran yang mengalami tarikan (stretching ),
(2) avulsi diafragma dari titik insersinya, (3) tekanan mendadak
pada organ viscera yang diteruskan ke diafragma.
5. Perforasi Eosofagus
Ruptur esofagus (Boerhaave syndrome) atau perforasi esofagus
adalah pecahnya dinding esofagus karena muntah-muntah. 90 % penyebab
ruptur esofagus adalah iatrogenik, yang biasanya diakibatkan oleh
instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau pembedahan.
Dan 10%nya disebabkan oleh muntah-muntah.
Ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh peningkatan mendadak
tekanan intraesophageal dan tekanan negatif intrathoracic. Penyebab lain
dari ruptur esofagus meliputi trauma tajam, pil esofagitis, Barrett’s ulkus,
infeksi ulkus pada pasien dengan AIDS, dan pelebaran striktur esofagus.
Sebagian besar kasus ruptur esofagus, terjadi pada bagian posterolateral
kiri dan meluas sampai beberapa sentimeter ke arah distal esofagus.
Keadaan ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan
berakibat fatal pada ketiadaan terapi. Kadang-kadang gejala non spesifik
dapat menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan dapat memberikan
hasil yang buruk. Penyakit esofagus yang sudah ada sebelumnya bukan
merupakan prasyarat untuk ruptur esofagus, tapi memberikan kontribusi
pada peningkatan angka kematian ruptur esofagus tersebut.
Ruptur esofagus yang disebabkan oleh trauma akibat benda tajam masih
tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Amerika
Serikat dan dunia, meskipun berbagai pendidikan dan peraturan telah
diberikan sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya kasus ini.
Penyebab ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma
tajam/tembus, antara lain:
a. kerusakan iatrogenic dari struktur esofagus atau trauma dari luar
b. peningkatan tekanan intraesofagus disertai muntah hebat
c. penyakit esofagus seperti esofagitis korosif, esophageal ulcer dan
neoplasma.
Letak ruptur tergantung dari kasus ruptur esofagus. Ruptur
esofagus biasanya terjadi di pharing atau esefagus bagian bawah tepat
di dinding posterolateral di atas diafragma.
Gejala ruptur esofagus juga berupa nyeri dada yang hebat pada saat
menelan atau bernapas. Udara yang masuk ke mediastinum dapat
menuju ke leher dan dapat menyebabkan emfisema subkutaneus atau
ke dalam rongga pleura dan dapat menyebabkan pneumothorak.
Ruptur esofagus juga bisa disebabkan oleh varises esofagus. Varises
esofagus bisa menyebabkan hematemesis. Pada kasus ini hematemesis
dapat berakibat fatal untuk penderita.
(http://www.webteach.mc.uky.edu/nursing/nur869/webquets/labs)

2.9 PENATALAKSANAAN
Primary survey (ABCDE) yang dilanjutkan dengan Resusitasi
fungsi vitalPenilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasrkan
jenis perlukaan, tanda tanda vital, dan mekanisme trauma. Merupakan
ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan
yangmengancam nyawa terlebih dahulu.
1) Airway and cervical spine controlPemeriksaan apakah ada obstruksi
jalan napas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, atau
maksila dan mandibula, faktur laring atau trakea. Jaga jalan nafas
dengan jaw thrust atau chin lift, proteksi c-spine, bila perlu lakukan
pemasangan collar neck. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat
dianggap bahwa jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian
ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.2. Breathing: gerakan
dada asimetris, trakea bergeser, vena jugularis distensi, tapi masih ada
nafas.
2) Needle decompression: Tension pneumothorax membutuhkan
dekompresi segera dan penaggulangan awal dengan cepat berupa
insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang terkena. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana.
Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5
(setinggi puting susu) di anterior garis midaksilaris.Dekompresi segera
pake jarum suntik tusuk pada sela iga ke 2 di midklavikula dan tutup
dengan handskon biar udara lain tidak masuk nanti lakukan WSD lebih
lanjut setelah sampai RS
3) Prinsip dasar dekompresi jarum adalah untuk memasukan kateter ke
dalam rongga pleura, sehingga menyediakan jalur bagia udara untuk
keluar dan mengurangi tekanan yang terus bertambah. Meskipun
prosedur ini bukan tatalaksana definitif untuk tension pneumothorax,
dekompresi jarum menghentikan progresivitas dan sedikit
mengembalikan fungsi kardiopulmoner.
4) Pemberian Oksigen 3 Circulation: (takikardia, hipotensi)
5) Kontrol perdarahan dengan balut tekan tapi jangan terlalu rapat untuk
menghindari parahnya tension pneumothoraks
6) Pemasangan IV line 2 kateter berukuran besar (1-2 liter RL hangat 39
derajat celcius).4 Disability : nilai GSC dan reaksi pupil
7) Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC5.Rujuk ke
rumah sakit terdekat dengan peralatan medis sesuai kebutuhan atau
yang mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien sudah
distabilkan.6 Pengelolaan selama transportasi :
8) Monitoring tanda vital dan pulse oksimetriBantuan kardiorespirasi bila
perlu Pemberian darah bila perlu Pemberian obat sesuai intruksi dokter
analgesic jangan diberikan karena bisa membiaskan simptom
Dokumentasi selama perjalanan Secondary survey dilanjutkan dengan
Tatalaksana definitif.Prinsiptatalaksana di UGD1. Eksposure : buka
pakaian penderita, cegah hipotermia, tempatkan di tempat tidur dengan
memperhatikan jalan nafas terjaga. Pemasangan IV line tetap.2. Re-
evaluasi :Laju nafas, Suhu tubuh, Pulse oksimetri, saturasi O2,
Pemasangan kateter folley (kateter urin), monitor dieresis, dekompresi
v. urinaria sebelum DPL, EKG, NGT bila tidak ada kontraindikasi
(fraktur basis kranii), Bersihkan dengan antiseptic luka memar dan
lecet bila ada lalu kompres dan obati
pneumothoraksLakukan tube thoracostomy / WDS (water sealed
drainage, merupakantatalaksanadefinitif tension pneumothorax),
(Continous suction), WSD sebagai alat diagnostic, terapik, dan follow
up mengevakuasi darah atau udara sehingga pengembangan paru
maksimal lalu lakukan monitoring. Penyulitperdarahan dan infeksi
atau super infeksi. Teknikpemasangan:
1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk/ setengah duduk/ tiduran
dengan sedikit miring ke sisi yang sehat. Tentukan tempat untuk
pemasangan WSD. Di kanan pada sela iga ke-7 atau ke-8.3.
Tentukan kira-kira tebal dinding thoraks. Secara streril diberi tanda
pada selang WSD dari lubang terakhir sela WSD setebal dinding
thoraks; mis dengan ikatan benang. Cuci tempat yang akan
dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptic. Tutup
dengan duk steril. Daerah tempat masuk selang WSD dan
sekitarnya dianestesi local di atas tepi iga secara infiltrasi dan blok
(berkas neurovaskular). Insisikulitsubkutis dan otot dada di
tengahselaiga. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus
pleura.Dengan klem arteri lurus lubang di perlebar secara tumpul.
1) Selang WSD diklem dengan arteri klem dan di dorong masuk ke
rongga pleura dengan sedikit tekanan12. Fiksasi selang WSD
sesuai dengan tanda tadi. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep
steril agar kedap udara14. Selang WSD disambung dengan botol
WSD steril15. Bila mungkin pasang penghisap kontinu dengan
tekanan -24 sampai -32 cm H2O. Prinsip dasar tatalaksana
pneumotoraks adalah untuk mengevakuasi ronga pleura, menutup
kebocoran, dan mencegah atau mengurangi risikoPilihan.
1) Observasi
2) Aspirasi sederhana
3) Tube thoracostomy/WSD (Simple; Continuous suction)
4) Pleurodesis
5) Thoracoscopy
6) Operasi
(Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan)

2.10 PENATALAKSANAAN MENURUT EPIDEMBES


1. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Umum)
Tindakan dekompressi yaitu membuat hubungan rongga pleura dengan
udara luar, ada beberapa cara :
1) Menusukkan jarum melalui diding dada sampai masuk ke rongga
pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum
tersebut.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, yaitu
dengan:
a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk ke
rongga pleura.
b. Abbocath : jarum Abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura
dan setelah mandrin dicabut, dihubungkan dengan infus set.
c. WSD : pipa khusus yang steril dimasukkan ke rongga pleura.

2. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Spesifik)


1) Pneumotoraks Simpel
Pneumotoraks Simpel adalah pneumotoraks yang tidak disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri :
a) Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
b) Tidak ada mediastinal shift
c) Pemeriksaan Fisis : bunyi napas menurun, hyperresonance
(perkusi), pengembangan dada menurun
d) Penatalaksanaan : Water Sealed Drainage (WSD)

2) Pneumotoraks Tension
Pneumotoraks tension adalah pneumotoraks yang disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin
bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan
mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar).
Ciri: :
a) Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga
terjadi kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan
mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous return
menurun → hipotensi & respiratory distress berat.
b) Tanda dan gejala klinis : sesak yang bertambah berat dengan
cepat, takipneu, hipotensi, JVP meningkat, asimetris statis &
dinamis.
c) Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu foto Rontgen.
d) Penatalaksanaan :
i. Dekompresi segera : large-bore needle insertion (sela iga II,
linea mid-klavikula)
ii. Water Sealed Drainage (WSD)

3. Open Pneumothorax
Open pneumothorax terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada
dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks
dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara
luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound. Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan :
1) Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme
ventil)
2) Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3) Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ
intra toraks lain.Umumnya disertai dengan perdarahan
(hematotoraks)(http://www.erjournals.com/cgu/content/abstact)

2.11 KOMPLIKASI
1) Iga : Fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
2) pleura, paru-paru, bronkhi : Hemopneumothoraks – emfisema
pembedahan.
3) Jantung : Tamponade jantung, rupture jantung, rupturototpapilar,
ruptur klepjantung.
4) Pembuluhdarahbesar: Hematothoraks.
5) Esofagus:Mediastinitis.
6) Diafragma : Herniasivisera dan permukaan hati, limpa dan ginjal
(Mowschenson, 1990).

2.12 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Foto Thoraks
2) Laboratorium : AGD → hipoksia
3) EKG
4) Radiologi
(http://www.webteach.mc.uky.edu/nursing/nur869/webquets/labs)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTORAK

3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN


3.1.1 Anamnesis
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan, dan pekerjaan klien/asuransi kesehatan.
Keluhan utama meliputi sesak napas , bernapas terasa berat padadada, dan
keluhan susah untuk melakukan pernapasan.
a) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan sesak napas sering kali datang mendadak dan semakin lama
semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat,
tertekan, dan terasa lebih nyeri pada gerakan pernapasan. Selanjutnya
dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada seperti
peluru yang menembus dada dan paru. Ledakan yang menyebabkan
peningkatan tekanan udara dan terjadi tekanan di dada yang mendadak
menyebabkan tekanan dalam paru meningkat. Kecelakaan lalu lintas
biasanya menyebabkan trauma tumpul di dada atau tusukan benda
tajam langsung menembus pleura.
b) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB
paru di mana sering terjadi pada pneumotoraks spontan.
c) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit-penyakit yang mungkin menyebabkan pneumotorak seperti
kanker paru,asma, TB paru dan lainnya.
d) Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikososial meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya,
bagaimana cara mengatasinya, serta bagaimana perilaku klien pada
tindakan yan dilakukan terhadap dirinya.
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
a) B1(Breathing)
1) Inspeksi : Peningkatan usaha frekuensi pernapasan, serta
penggunaan otot bantu pernpasan. Gerakan pernapasan ekspansi
dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang
sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang
sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum purulen.
Trakhea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
2) Palpasi : Taktil Fremitus menurun pada sisi yang sakit. Di samping
itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit. Pada sisi yang sakit, ruang antar-
iga bisa saja normal atau melebar.
3) Perkusi: Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai
timpani, dan tidak bergetar. Batas jantung terdorong ke arah
thoraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
4) Auskultasi: Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi
yang sakit. Pada posisi duduk, semakin ke atas letak cairan maka
akan semakin tipis, sehingga suara napas terdengar amforis, bila
ada fistel brongkhopleura yang cukup besar pada pneumotoraks
terbuka.
b) B2 (Blood)
Perawat perlu memonitor pneumotoraks pada status kardiovaskular
yang meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan
pengisian kapiler darah.
c) B2 (Brain)
Pada inspeksi, tingkat kesadaraan perlu dikaji. Selain itu, diperlukan
juga pemeriksaan GCS. Apakah compos mentis, somnolen atau koma.
d) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan.
Oleh kaarena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria. Oliguria
merupakan tanda awal dari syok.
e) B5 (Bowel)
Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mual dan muntah,
penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
f) B6 (Bone)
Pada trauma di rusuk dada, sering kali didapatkan adanya kerusakan
otot dan jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi.
Klien sering dijumpai mengalami gangguan dalam memenuhi
kebutuhan aktivitas sehari-hari disebabkan adanya sesak napas,
kelemahan dan keletihan fisik secara umum.
3.1.3 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Radiologi : Gambaran radiologis pneumotoraks akan
tampak hitam, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang
merupakan tepi paru.

3.2 DIAGNOSIS KEPERAWATAM


1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan
dalam rongga pleura
2. Bersihan jalan napas tak efektif b.d peningkatan produksi sekresi
kental
3. Resiko tinggi trauma pernapasan yang berhubungan dengan
pemasangan WSD
L. Rencana intervensi

No Hari Diagnosa Tujuan Intervensi


/ tgl Keperawatan
1 Pola napas tidak efektif Dalam waktu ... x 1. Identifikasi faktor
b/d penurunan ekspansi 24 jam setelah penyebab kolaps:
paru sekunder terhadap diberikan trauma, infeksi
peningkatan tekanan di intervensi pola komplikasi
dalam rongga pleura; napas kembali mekanik
pneumotoraks, ditandai efektif dengan pernapasan.
dengan : kreteria evaluasi: 2. Kaji kualitas,
DS:  1.Keluhan sesak frekuensi dan
 Klien mengeluh sesak napas berkurang, kedalaman napas,
napas, bernapas terasa ringan, tidak nyeri laporkan setiap
berat, susah untuk saat melakukan perubahan yang
melakukan pernapasan pernapasan terjadi
dan nyeri dada kanan  2.Tak tampak sesak3. Baringkan klien
saat bernapas napas dan nyeri saat dalam posisi yang
DO: melakukan nyaman, atau
 Klien tampak sesak pernapasan dalam posisi
napas, keringat dingin, Bentuk dada duduk
nyeri dada kanan saat simetris 4. Observasi TTV
bernapas dan gelisah  3. Gerakan dada 5. Lakukan IPPA
 Bentuk dada kanan saat bernapas tiap 1-2 jam
lebih cembung simetris 6. Memberikan
 Gerakan pernapasan 4. Tidak oksigen tambahan
dada kanan tertinggal menggunakan otot nasal kanule 2 lpm
 Penggunaan otot bantu bantu pernapasan 7. Kolaborasi untuk
napas tambahan  Pola napas normal tindakan
 Pola napas cepat dan dekompresi
TTV dbn
dengan
dangkal  5. Palpasi getaran
pemasangan selang
 TTV : TD 110/70 simetris
WSD
mmHg, RR 32 x/mnt, N Perkusi sonor
92 x/mnt, T 36 C simetris
 Palpasi:getaran  6. Auskultasi
menurun disisi paru vesikuler simetris
yang sakit  Radiologi: Paru
 Perkusi: hipersonor yang kolaps sudah
disisi paru yang sakit ekspansi
 Auskultasi: suara napas
menghilang disisi paru
yang sakit
 Radiologi:foto thorax
gambaran pneumotoraks
kanan, paru kolaps
2. Bersihan jalan napas tak Dalam waktu ... x
efektif b.d peningkatan 24 jam setelah
produksi sekresi kental diberikan
Ditandai : Pernyataan intervensi bersihan
kesulitan jalan napas kembali
bernapas,Perubahan efektif dengan
kedalaman/kecepatan kreteria evaluasi:
pernapasan, penggunaan 1. Auskultasi bunyi
otot aksesori,Bunyi napas. Catat adanya
napas tak normal, mis., bunyi napas, mis.,
mengi, ronki, mengi, krekles,
krekels,Batuk ronki.
(menetap),
dengan/tanpa produksi 2. Kaji / pantau
sputum. frekuensi
pernapasan. Catat
Tujuan : Setelah rasio inspirasi /
dilakukan asuhan ekspirasi
keperawatan 1X24 jam
klien menunjukan 3. Catat adanya
bersihan jalan napas. dispnea, gelisah,
ansietas, distres
KH : Mempertahankan pernapasan,
jalan napas pasien penggunaan otot
dengan bunyi napas bantu
bersih/
jelas,Menunjukkan 4. Kaji pasien untuk
perilaku untuk posisi yang
memperbaiki bersihan nyaman, mis.,
jalan napas, mis., batuk peninggian kepala
efektif dan tempat tidur, duduk
mengeluarkan sekret. pada sandaran
tempat tidur.

5. Pertahankan
polusi lingkungan
minimum, mis.,
debu, asap, dan
bulu bantal yang
berhubungan
dengan kondisi
individu.

6. Dorong / bantu
latihan napas
abdomen atau bibir.

7. Berikan obat
sesuai indikasi

Bronkodilator, mis.,
β-agonis : epinefrin
(Adrenalin,
Vaponefrin);
albuterol (Proventil,
Ventolin);
terbutalin (Brethine,
Brethaire);
isotetarin
(Brokosol,
Bronkometer);
Xantin, mis.,
aminofilin,
oxitrifilin
(Choledyl); teofilin
(Bronkodyl, Theo-
Dur)

8. Berikan
fisioterapi dada

3. Risti infeksi dan trauma Dalam waktu ... x 1. Kaji kualitas,


pernapasan b/d tindakan 24 jam setelah frekuensi dan
invasif sekunder diberikan intervensi kedalaman napas,
pemasangan selang risti infeksi dan laporkan setiap
WSD ditandai dengan: trauma pernapasan perubahan yang
DS: tidak terjadi dengan terjadi
Px mengatakan kreteria evaluasi : 2. Observasi tanda-
terpasang selang didada  Tidak ada tanda- tanda infeksi pada
kanan tanda infeksi pada luka, TTV,
DO: luka keluhan sesak
 Adanya luka 1 cm  TTV dalam batas napas dan nyeri
dengan jahitan normal saat bernapas
mengelilingi selang  Tidak ada pus 3. Anjurkan klien
WSD didalam selang untuk memegang
 Terpasang selang WSD  Kepatenan sistem selang bila ingin
di IC 3-4 dihubungkan drainage WSD merubah posisi
dengan selang dalam kondisi baik4. Jaga personal
penyambung ke botol  Luka sembuh tanpa hygiene, alat tenun
WSD komplikasi dan lingkungan
5. Berikan asupan
nutrisi yang
adekuat
6. Lakukan perawatan
WSD setiap hari
7. Pantau kepatenan
sistem drainage
setiap hari
8. Kolaborasi medis
untuk pemberian
obat antibiotika
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma thorax dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa
sehingga ada hubungan udara luar dan dengan rongga pleura, sehingga paru
menjadi kuncup, Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada
yang menghisap pada setiap inspirasi/sucking chost woundl.
Menghadapi pasien dengan trauma toraks, triase pertama adalah evaluasi
terhadap fungsi kardio-pulmoner secara sangat cermat dan teliti. Bila telah
dapat ditegakkan “Assesment” kardio pulmoner dan telah dilaksanakan
tindakan penanggulangan kegawat daruratan medis utama, perlu dilakukan
“Assesment” kerangka dan rongga toraks secara seksama.
Penguasaan ilmu dan teknik pemeriksaan fisik dada akan sangat menunjang
kualitas hasil pertolongan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Arie Cahyono, Hastuti Rahmi,jurnal Pneumotoraks dan


pneumomediastinum sebagai
komplikasi trakeostomi darurat

http://www.medicine.ucsd.edu/clinicalmed/lung
http://www.medinfo.ufl.edu/years/bcs/96/clist/resp
http://www.en.wikipedia.org/wiki/respiratory/examination
http://www.webteach.mc.uky.edu/nursing/nur869/webquets/labs
http://www.erjournals.com/cgu/content/abstact

Rahajoe, 2012
DR. Dr. Aru W. Sudoyo,Sp.PD, KHOM, 2006
Mowschenson, 1990
Buku Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah

Price, Sylvia A dan Lorraine McCarty Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep


Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC

Muttaqin Arif. 2008. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika

Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV.
Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Nurarif,Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction

Anda mungkin juga menyukai