Anda di halaman 1dari 19

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN FRAKTUR TERBUKA GRADE IIIA YANG DITERAPI ANTIBIOTIKA DIRAWAT DI RUANG

TRAUMA CENTRE RSUP DR M DJAMIL PADANG

ARTIKEL

Oleh : JUNI FITRAH 09 212 13 034

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011

Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Fraktur Terbuka Grade IIIA Yang Diterapi Antibiotika Dirawat Di Ruang Trauma Centre RSUP DR M Djamil Padang Oleh : Juni Fitrah (Di bawah bimbingan Helmi Arifin, Ardian Riza)

Abstract The aim of this study was to find out Drug Related Problems (DRPs) the use of antibiotics on open fractures type IIIa patients take care on trauma centre RSUP DR M Djamil Padang. Methode : This is a descriptif and prosfectif research on limited population at March-June 2011. Data was taken from patient medical record, nurses transcript, directly control patient condition and interview patient and patients family. Conclusion : Percentage open fracture type IIIa patients with indication without drugs is 47,37%; theres no drug without medical indication, inappropriate choose the drugs 47,37%; dosage too low 21,05%; dosage too high 5,26%, drug interaction 52,63%, drug adverse effect nihil and patients fail to take drugs 42,11%. Key words : antibiotics, Open fracture Type IIIa, Drug Related Problems

Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Fraktur Terbuka Grade IIIA Yang Diterapi Antibiotika Dirawat Di Ruang Trauma Centre RSUP DR M Djamil Padang

A. PENDAHULUAN Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi Multi Drug Resistance (MDR) di beberapa negara. Berkembangnya Multi Drug Resistance (MDR) merupakan ancaman serius bagi penanganan penyakit infeksi dimasa yang akan datang. Semenjak 50 tahun terakhir penemuan antibiotika baru sangat terbatas sedangkan perkembangan resistensi terjadi dengan sangat cepat. Bila perkembangan resistensi ini tidak segera diantisipasi dikhawatirkan akan sampai disatu titik dimana antibiotika tidak ada lagi karena semua sudah resisten dan penyakit infeksi tidak ada lagi obatnya (WHO, 2011). Salah satu kasus yang penanganannya selalu menggunakan antibiotika adalah fraktur terbuka grade IIIa dimana tingkat kejadian infeksi pada kasus ini lebih tinggi daripada jenis fraktur terbuka grade I dan II. Berdasarkan Pedoman Diagnosa dan Terapi (PDT) pada sub unit ortopedi SMF Bedah RSUP DR M Djamil Padang diketahui bahwa penatalaksanaan fraktur terbuka selalu menggunakan antibiotika karena antibiotika merupakan salah satu kunci kesembuhan pasien. Angka kejadian Fraktur terbuka grade III semakin hari semakin tinggi. Hasil pengamatan pendahuluan terhadap pasien fraktur terbuka grade III yang dirawat di ruang trauma centre Rumah Sakit Umum DR M Djamil Padang selama bulan Maret 2011 didapatkan persentase pasien dengan grade IIIa sebanyak 66,67% (6 kasus), grade IIIb 11,11% (1 kasus) dan IIIc 22,22% (2 kasus). Pada penelitian lain yang menghubungkan fraktur terbuka dengan tingkat kerusakan jaringan didapatkan angka infeksi pada grade I sebesar 0-2%, grade II sebesar 27% dan grade III sebesar 10-25% dengan angka infeksi grade IIIa sebesar 7%. Tingginya tingkat kejadian infeksi pada fraktur terbuka grade III berhubungan erat dengan tingkat pemakaian antibiotika (Seekamp et al.,2000). Makin bertambahnya jenis obat antibiotika yang beredar dan terbatasnya pengetahuan tenaga kesehatan tentang profil suatu obat, menyebabkan meningkatnya Drug Related Problems (DRPs). Untuk mengatasi DRPs di rumah

sakit sangat diperlukan peranan farmasis yang berkomitmen kuat dan berkemampuan dalam menangani DRPs (Trisna, 2004). Bertolak dari hal hal tersebut diatas dirasa perlu melakukan suatu penelitian tentang DRPs yang terjadi sehubungan dengan penggunaan antibiotika pada pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di ruang trauma centre RSUP DR M Djamil Padang.

B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan selama 13 minggu dari bulan Maret Juni 2011 di ruang trauma centre bedah RSUP DR. M. Djamil Padang. Penelitian ini

dilakukan dengan pengumpulan data data dan wawancara dengan pasien dan keluarga pasien, analisis deskriptif yang dikerjakan secara prospektif terhadap suatu populasi terbatas. Sumber data meliputi rekam medik pasien yang menjalani terapi obat antibiotika serta wawancara pasien atau keluarga pasien di ruang trauma centre bedah RSUP DR. M. Djamil Padang. Obat yang akan dievaluasi adalah obat-obat antibiotika yang digunakan selama menjalani terapi fraktur terbuka grade IIIa. Sampel yang dipilih adalah pasien fraktur terbuka grade IIIa yang menjalani terapi antibiotika dirawat di ruang trauma centre bedah RSUP DR. M. Djamil Padang selama 13 minggu yaitu dari minggu ke dua Maret 2011 sampai minggu ke dua Juni 2011.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian telah didapatkan jumlah pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di ruang trauma centre RSUP DR M Djamil Padang selama bulan Maret sampai dengan Juni 2011 sebanyak 19 orang pasien, kemudian dilakukan pengamatan mengenai penggunaan obat antibiotika pada pasien tersebut dengan hasil sebagai berikut :

1. Hasil Analisa Kuantitatif 1.1 Persentase jenis obat antibiotika yang digunakan. Nama Obat cefotaxim ceftriaxon Ceftazidine cefotaxim + gentamicin ceftriaxon + gentamicin Jumlah Ruangan IGD Jumlah Persentase 12 63,16% 6 31,58% 1 5,26% 0 0% 0 0% 19 100% Bangsal Jumlah Persentase 6 31,58% 2 10,53% 1 5,26% 6 31,58% 4 21,05% 19 100%

Dari tabel dapat dilihat bahwa obat antibiotika yang digunakan di intstalasi gawat darurat adalah antibiotika dari golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu seftriakson, sefotaksim dan seftazidim. Diantara tiga jenis antibiotika ini pemakaian yang lebih dominan adalah sefotaksim sebanyak 63,16%. Jenis antibiotika yang digunakan secara umum adalah dari golongan sefalosporin generasi ke tiga dan sebagian dikombinasi dengan atibiotika golongan aminoglikosida yaitu gentamisin. Antibiotika tersebut adalah sefotaksim, kombinasi sefotaksim dengan gentamisin, seftriakson, kombinasi seftriakson dengan gentamisin dan seftazidim. Dosis, frekuensi dan rute pemberian sefotaksim, seftriakson dan seftazidim adalah 1 gram tiap 12 jam secara intravena, sedangkan gentamisin diberikan dengan dosis 80 mg tiap 12 jam secara intavena. Pemberian gentamisin dengan dosis 80 mg tiap 12 jam ini tidak berdasarkan perhitungan dosis secara individual dan tercatat bahwa semua pasien yang diberikan gentamisin mendapat dosis yang sama, frekuensi pemberian yang sama namun durasi yang berbeda. Sebahagian pasien (empat orang) yang masuk rumah sakit melalui rujukan dari rumah sakit daerah telah menerima antibiotika sebelum dibawa ke RSUP DR M Djamil. Antibiotika yang diberikan di rumah sakit daerah tersebut adalah sefotaksim pada 2 pasien dan seftriakson pada 2 pasien lainnya. Hal ini memberikan informasi bahwa rumah sakit daerah (RSUD sei dareh, RSUD solok dan RSAM Bukit tinggi) juga menggunakan antibiotika sefalosporin generasi ke tiga untuk tindakan profilaksis pada kasus fraktur terbuka grade IIIa.

1.2 Jumlah pasien fraktur terbuka grade IIIa berdasarkan jenis kelamin Persentase pasien fraktur terbuka grade IIIa berdasarkan jenis kelamin diperoleh data bahwa pasien yang banyak dirawat di ruang trauma centre RSUP DR M Djamil padang dengan diagnosa fraktur terbuka grade IIIa adalah dari kaum pria yaitu sebesar 78,95%(15 orang) sedangkan pasien wanita hanya sebesar 21,05% (4 orang).

1.3 Jumlah pasien fraktur terbuka grade IIIa berdasarkan rentang umur
5.26
11-20 Tahun 21.05 15.79 21-30 Tahun 31-40 Tahun 41-50 Tahun

26.32

21.05

51-60 Tahun >61 Tahun

10.53

Dari diagram diatas Persentase pasien fraktur terbuka grade IIIa berdasarkan rentang umur didapatkan data bahwa pasien berumur antara 10-20 tahun yaitu sebesar 26,32% (5 orang) dan yang paling sedikit adalah pasien yang berumur lebih dari 61 tahun yaitu sebanyak 5,26% (1 orang). Dari data yang diperoleh didapat gambaran bahwa pasien fraktur terbuka grade IIIa banyak dialami oleh yang berusia muda. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran akan tertib lalu lintas dikalangan anak muda dan kewaspadaan berkendaraan di jalan raya karena mayoritas penyebab penyakit fraktur terbuka grade IIIa yang didapatkan dalam pengamatan ini disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di jalan raya namun kemungkinan ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.

1.4 Jumlah pasien fraktur terbuka grade IIIa berdasarkan lokasi/ penyebab penyakit Persentase jumlah pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di ruang trauma centre RSUP DR M Djamil Padang berdasarkan lokasi atau penyebab penyakit dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
5.26 Kecelakaan di jalan Raya Kecelakaan di ladang 78.95 kecelakaan di bengkel

15.79

Dari data yang telah dikumpulkan dalam periode penelitian ini terlihat bahwa mayoritas penyebab penyakit ini adalah kecelakaan lalu lintas di jalan raya sebesar 78,95% sedangkan kecelakaan di lahan pertanian / ladang sebesar 15,79% dan kecelakaan di bengkel ketika memperbaiki sepeda motor sebesar 5,26%. Fraktur terbuka grade IIIa karena kecelakaan di jalan raya terjadi antara lain akibat tabrakan dua sepeda motor dengan kecepatan tinggi dari arah yang berlawanan yang menyebabkan benturan yang sangat keras pada bagian tubuh pasien yang mengalami fraktur tersebut, sebahagian karena terhimpit sepeda motor dan ada juga yang terbentur ke batas trotoar jalan raya. Fraktur terbuka grade IIIa yang terjadi di lahan pertanian/ladang disebabkan oleh terkena sabetan pisau pemotong rumput saat pasien sedang memotong rumput yang terjadi pada dua orang pasien dan pada satu orang pasien disebabkan oleh tertimpa pohon kayu saat menebang pohon.

1.5 Jumlah pasien fraktur terbuka grade IIIa berdasarkan berdasarkan lama dilakukan debridemen setelah kecelakaan Persentase jumlah pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di ruang trauma centre RSUP DR M Djamil Padang berdasarkan lamanya pasien

mendapatkan tindakan debridemen dihitung setelah pasien mengalami kecelakaan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
5.26

< 3 jam 36.84 57.9 3-6 Jam >6 Jam

Lamanya waktu debridemen dibagi dalam beberapa rentang waktu berdasarkan waktu emas (golden periode) yang disarankan oleh kebanyakan hasil penelitian. Rentang waktu itu adalah < 3jam merupakan waktu yang sangat disarankan dilakukan debridemen. Rentang waktu 3-6 jam diambil karena ada beberapa penelitian menyebutkan bahwa (golden periode) adalah sampai enam jam sejak mulai kecelakaan (Smith,2000). Waktu lebih dari enam jam dikhawatirkan pasien beresiko terjadinya infeksi dan oleh sebab itu sedapat mungkin hal ini harus dihindari. Salah satu prinsip penatalaksanaan fraktur terbuka grade IIIa adalah kasus ini harus dianggap sebagai suatu yang emergensi sehingga harus dilakukan debridemen sesegera mungkin. Penundaan pelaksanaan debridemen akan meletakkan pasien pada posisi yang beresiko tinggi mengalami infeksi (Buteera, et al.,2007; Skaggs et al.,2005).

2. Analisa kualitatif 2.1 Indikasi tanpa obat Indikasi tanpa obat artinya kondisi medisnya memerlukan terapi tetapi tidak mendapatkan obat, seperti memerlukan terapi kombinasi untuk mendapatkan efek sinergis atau aditif, terapi preventif untuk mengurangi perkembangan penyakit. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif (Strand,1990).

Pemberian

antibiotik

secara

sistemik

merupakan

satu

konsep

penatalaksanaan fraktur terbuka dan telah terbukti bahwa hal itu mampu mengurangi tingkat kejadian infeksi secara signifikan. Patzakis et al dalam sebuah penelitian prospektif dan random terhadap 333 fraktur terbuka menunjukkan bahwa tingkat kejadian infeksi turun menjadi 2,3% dengan pemberian sefalotin dibandingkan dengan 13,9% pada kelompok tanpa antibiotika (Patzakis, et al.,1974). Dari data yang dikumpulkan terlihat bahwa terdapat pemberian antibiotika kombinasi antara sefotaksim dan seftriakson dengan gentamisin pada sebahagian pasien fraktur terbuka grade IIIa di ruang trauma centre bedah yaitu sebanyak 52,63% sedangkan yang lainnya tidak dalam bentuk kombinasi yaitu sebanyak 47,37%. Bila dibandingkan antara kenyataan dan panduan yang pakai terlihat ketidakcocokan yaitu jumlah jenis obat yang diberikan kurang yang secara teoritis dapat menyebabkan pasien beresiko terinfeksi terutama oleh bakteri gram negatif. Ada beberapa alasan petugas medis kenapa sebahagian pasien tidak mendapatkan gentamisin untuk mengatasi bakteri gram negatif diantaranya adalah bahwa pasien berada pada kondisi gizi dan daya tahan tubuh yang baik sehingga dianggap mampu bertahan dari resiko infeksi, belum tegaknya diagnosa fraktur terbuka grade IIIa saat pasien baru masuk IGD, sebahagian petugas berprinsip bahwa antibiotika dari golongan sefalosporin generasi ke tiga merupakan antibiotika berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri umum yang mengkontaminasi luka sehingga tidak diperlukan lagi menambahkan dengan gentamisin. Alasan lain adalah kurangnya data untuk dijadikan pertimbangan pemberian gentamisin yang merupakan antibiotika berspektrum sempit dan oleh sebab itu menimbulkan keraguan petugas memberikan gentamisin karena diketahui gentamisin bersifat nefrotoksik dan oleh sebab itu pemberian tidak boleh sembarangan, namun untuk lebih pastinya alasan tidak diberikan gentamisin pada sebahagian pasien sejak awal diagnosa ditegakkan memerlukan penelitian yang lebih lanjut. Bila dilihat dari lokasi lingkungan tempat terjadinya kecelakaan, bahwa dari 19 orang yang didiagnosa fraktur terbuka, terdapat tiga kasus terjadi di area pertanian. Menurut panduan yang dikeluarkan oleh East Practice Management

10

Guidelines Work Group bahwa untuk kasus karena kecelakaan di area pertanian harus diberikan antibiotika tambahan yaitu golongan penisilin. Pada pasien pasien ini tidak diberikan tambahan antibiotika dari golongan penisilin karena berdasarkan pengalaman yang ada pada petugas medis dan melihat kepada kondisi klinis pasien saat itu dirasa tidak perlu menambahkan antibiotika tersebut.

2.2 Penggunaan obat tanpa indikasi medis Obat tanpa indikasi medis artinya adanya obat yang tidak diperlukan atau yang tidak sesuai dengan kondisi medis, seperti diberikan obat kombinasi, padahal hanya satu obat yang diperlukan, obat digunakan untuk mengurangi efek merugikan dari penggunaan obat lain (Rovers, 2001). Seluruh pasien fraktur terbuka grade IIIa yang masuk instalasi gawat darurat (IGD) dari bulan Maret sampai minggu ke dua Juni 2011 sebanyak 19 orang mempunyai indikasi untuk diberikan antibiotika profilaksis. Semua pasien tersebut telah diberikan antibiotika sehingga tidak ada antibiotika yang diberikan di IGD tanpa indikasi medis, sedangkan untuk penggunaan antibiotika sebagai terapi harus dilihat

perkembangan tiap tiap pasien apakah terjadi infeksi atau tidak. Hasil pengamatan mengenai tanda infeksi bila disesuaikan dengan lama pemberian antibiotika akan didapatkan bahwa telah terjadi pemberian antibiotika yang lama pada pasien disaat pasien itu tidak memberikan tanda tanda bahwa telah terjadi infeksi atau dengan kata lain telah terjadi pemberian obat antibiotika dengan durasi yang terlalu lama. Hal ini terjadi pada pasien no 2, 3, 5, 6, 11, 12, 13 dan 18. Lama pemberian gentamisin pada pasien fraktur terbuka grade IIIa juga merupakan hal yang patut mendapat perhatian. Menurut pedoman diagnosa dan terapi bagian ortopedi RSUP DR M Djamil, bahwa gentamisin diberikan selama lima hari. Pedoman lain seperti yang dikeluarkan oleh East Practice Management Guidelines Work Group dan BAPRAS pemberian antibiotika profilaksis termasuk gentamisin diberikan paling lama 72 jam (3 hari) atau 24 jam setelah luka ditutup atau yang mana saja tercapai terlebih dahulu.

2.3 Ketidaktepatan pemilihan obat Ketidaktepatan pemilihan obat artinya adanya pemberian obat yang tidak efektif, seperti produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya, obat bukan yang paling efektif untuk mengatasi penyakitnya (Hepler CD, Strand LM, 1999). Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien fraktur terbuka grade IIIa sebesar 47,37 %, seperti yang terlihat pada lampiran 5 tabel V dan tabel VII. Berdasarkan standar terapi pada bagian ortopedi RSUP DR M Djamil, obat yang dianjurkan diberikan pada pasien fraktur terbuka grade IIIa adalah sefotaksim dikombinasi dengan gentamisin. Rekomendasi pemilihan antibiotika yang diberikan oleh East Practice Management Guidelines Work Group adalah antibiotik yang aktif terhadap baktri gram positif dikombinasikan dengan antibiotika golongan aminoglikosida untuk mengatasi kuman basil gram negatif. Menurut panduan yang tercantum dalam buku farmakoterapi kadarangan dipiro antibiotika pilihan untuk fraktur terbuka grade III adalah sefazolin dengan tingkat rekomendasi IA berdasar evidence based medicine. Antibiotika yang diberikan pada pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di trauma centre bedah RSUP DR M Djamil dari bulan Maret-minggu kedua Juni 2011 adalah sefotaksim, seftriakson dan seftazidim dan sebagian dikombinasi dengan gentamisin. Bila kita bandingkan fakta dilapangan dengan panduan yang dikeluarkan oleh RSUP DR M.Djamil, bahwa dari 19 orang pasien fraktur terbuka terdapat 9 orang (47,37%) yang obatnya tidak sesuai dengan standar pemilihan antibiotika. Namun bila kita bandingkan antara hasil pengamatan ini dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Benson dan kawan kawan maka pemilihan obat sudah tepat karena menurut hasil penelitian ini syarat antibiotika yang dipilih adalah antibiotik yang efektif mengatasi kuman Staphylococcus aureus dan sefotaksim, seftriakson dan seftazidim memenuhi persyaratan tersebut

(Benson,1993; Davis, 2009).

2.4 Dosis Obat kurang dan Dosis Obat berlebih Persentase terjadinya permasalahan dosis obat kurang pada pasien fraktur terbuka grade IIIa di trauma centre bedah RSUP DR M Djamil adalah sebesar

12

21,05%, sedangkan persentase pasien dengan dosis antibiotika berlebih sebesar 5,26%. Dosis kurang terjadi pada tiga orang pasien yang menggunakan gentamisin dan satu orang yang menggunakan ampisillin+sulbactam. Pada 19 orang pasien fraktur terbuka grade IIIa menerima obat gentamisin injeksi sebanyak 11 orang. Dari 11 orang pasien yang menggunakan gentamisin selama dirawat, terdapat 7 orang yang tidak diperiksa nilai kreatinin serumnya sehingga perhitungan dosis gentamisin tidak dapat dilakukan unttuk pasien ini. Aktifitas bakterisida dari gentamisin berhubungan langsung dengan konsentrasi puncak yang dicapai karena gentamisin bersifat membunuh tergantung konsentrasi (concentration-dependent killing) dan efek post antibiotika tergantung konsentrasi (concentration-dependent postantibiotic effect).

Peningkatan aktifitas pada konsentrasi yang lebih tinggi ini dapat menjadi alasan bahwa efektifitas dengan dosis dekali sehari sama dengan regimen dosis berganda meskipun cukup lamanya waktu konsentrasi plasma berada dibawah subterapetik/MIC (Goodman&Gilmans, 2006). Gentamisin adalah termasuk kepada salah satu obat dengan indek terapi sempit dengan batas terapi 510 mcg/mL (peak) dan <2 mcg/mL (trough) sehingga penggunaanya haruslah sangat hati hati dan dosis harus dihitung dengan cermat secara individual. Metode perhitungan dosis yang digunakan disini adalah metode yang dikembangkan oleh The Hull and Sarrubi aminoglycoside dosage Perhitungan dosis untuk gentamisin dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pemberian pertama (loading dose) dan pemberian dosis pemeliharanan (maintenance dose). Pemberian dosis pertama (loading dose) ditujukan agar gentamisin dapat mencapai konsentrasi puncak efektif yang diinginkan dan efektifitas bertahan sampai pemberian dosis selanjutnya. Hasil perhitungan terhadap 4 orang pasien yang menggunakan gentamisin diperoleh data bahwa terdapat 3 orang dengan dosis kurang dan 1 orang dengan dosis tepat. Hasil perhitungan pemberian dosis pemeliharaannya (maintenance doses) dengan metoda the Hull and Sarubi terhadap 4 orang pasien didapatkan dua pasien dengan dosis kurang, satu orang dosis tepat dan satu orang dosis berlebih. Pada pasien dengan dosis kurang terdapat ketidaktepatan interval dosis yaitu seharusnya tiap 8 jam sesuai nilai kreatinin klirens pasien, sedangkan hasil

perhitungan menggunakan metode Sawchuk dan Zaske diperoleh kesimpulan bahwa dosis pemeliharaan pada keempat orang pasien tersebut kurang karena interval pemberian gentamisin menurut metoda ini adalah tiap 8 jam. Hasil perhitungan dosis gentamisin menurut kedua metoda ini sama dalam hal pemberian loading dose namun berbeda dalam hal dosis pemeliharaan (maintenance dose). Perbedaan yang mendasar dari kedua metoda ini adalah bahwa menurut metoda Sawchuk dan Zaske interval dosis ditetapkan berdasarkan waktu paruh eliminasi obat yang didapatkan dari klirens kreatinin pasien sedangkan pada metoda The Hull dan Sarubi interval dosis pemeliharaan dihitung menurut nomogram berdasarkan klirens kreatinin pasien. Hasil perhitungan dosis dengan metode Hull & Sarubi, ditemukan dosis berlebih pada pasien no 2 yaitu tentang pemakaian gentamisin dosis pemeliharaan. Hasil perhitungan klirens kreatinin pasien ini yaitu 41,56% yang menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan fungsi ginjal ringan. Hasil perhitungan dosis pemeliharaan pasien ini seharusnya adalah 54-72 mg tiap 12 jam. Bila dibandingkan dengan dosis gentamisin yang diberikan yaitu 80 mg tiap 12 jam terlihat dosis ini sedikit lebih besar dari hasil perhitungan dosis. Bila durasi pemakaian gentamisin tidak terlalu lama (<7 hari) maka sedikit perbedaan dosis ini dapat diabaikan, namun untuk pemakaian lama harus dilakukan pemantauan yang ketat mengenai kadar obat dalam darah dan efek toksik yang mungkin terjadi. Permasalahan dosis kurang juga terjadi pada pemberian obat ampisilin sulbaktam. Menurut beberapa literatur resmi seperti Drug Fact and comparison 2007 menyatakan bahwa dosis Ampisillin Sulbaktam untuk orang dewasa dengan klirens kreatinin lebih besar dari 50 adalah 1,5 3 gram tiap 6 jam, untuk pasien dengan klirens kreatinin 10-50 interval diperpanjang menjadi tiap 6-12 jam sedangkan untuk pasien dengan klirens kreatinin dibawah 10 pemberian dilakukan tiap 12-24 jam dengan dosis yang sama. Pada penelitian ini terdapat satu orang pasien yang diberikan ampisilin sulbactam yaitu pada pasien no 16. Pemberian obat ini dilakukan setelah uji kultur dan sensitifitas dengan hasil sensitif terhadap meropenem dan ampisillin sulbaktam. Pada pasien ini ampisilin sulbaktam diberikan dengan dosis satu gram

14

dua kali sehari. Dosis dan interval dosis ini sangat jauh berbeda dari dosis normal yang dianjurkan yaitu 1,5-3 gram tiap enam jam. Pasien ini pulang dalam keadaan masih ada pus pada lukanya.

2.5 Tejadinya reaksi efek samping obat Pengamatan tentang terjadinya reaksi efek samping obat antibiotika pada 19 orang pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di ruang trauma centre RSUP DR M Djamil Padang memberikan hasil bahwa tidak ada efek samping yang terlihat. Efek samping yang diamati adalah efek samping yang biasa terjadi pada penggunaan sefotaksim, seftriakson, seftazidin, gentamisin, ampisilin sulbaktam, sefiksim, co amoksiklave dan siprofloxacin. Efek samping obat yang umum terjadi menyangkut penggunaan sefalosporin generasi III (seftriakson, sefotaksim, seftazidin, sefiksim) adalah seizure, Pseudomembranous colitis, diare, rash, urtikaria, pruritis, plebitis dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping yang umum terjadi menyangkut penggunaan getamisin adalah vertigo, ototoksisitas, vestibular dan cochlear, nefrotoksisitas. Efek samping yang sering muncul menyangkut penggunaan siprofloxasin adalah seizure, Pseudomembranous colitis, nyeri perut, diare, mual, fotosensitifitas, rash, Steven johnson syndrome dan insomnia. Efek samping yang sering muncul menyangkut penggunaan meropenem adalah seizure, Pseudomembranous colitis, ruam kulit, pruritis, plebitis dan anafilaksis(Davis et al., 2009; Depkes, 2008)

2.6 Terjadinya Interaksi Obat Persentase terjadinya interaksi obat pada pasien fraktur terbuka grade IIIa sebesar 52,63 %. Interaksi obat artinya aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain jika diberikan secara bersamaan (Prayitno, A., 2000). Interaksi pemakaian obat yang umum terjadi pada pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di trauma centre RSUP DR M Djamil adalah interaksi antara gentamisin dari golongan aminoglikosida dengan antibiotika golongan sefalosporin yaitu seftriakson, sefotaksim, seftazidim dan sefiksim. Interaksi yang terjadi berpotensi menimbulkan dan meningkatkan efek nefrotoksisitas (Stockley I., 1994).

Makin tingginya resiko nefrotoksisitas pada pemakaian obat kombinasi gentamisin dan sefalosporin berhubungan dengan tingginya kadar gentamisin dan sefalosporin di ginjal. Salah satu cara untuk meminimalisir terjadinya nefrotoksisitas akibat interaksi ini adalah dengan menjarakkan pemberian selama 2 jam atau lebih sehingga saat konsentrasi obat pertama sudah mulai menurun dalam darah, obat kedua baru masuk dalam sirkulasi dan hal ini telah dilakukan di RSUP DR M Djamil Padang. Obat yang pertama diberikan adalah dari golongan sefalosporin dan dua jam setelah obat pertama ini diberikan gentamisin. Cara lain untuk meminimalisir efek interaksi adalah dengan menghindari pemakaian kombinasi jangka lama (>7 hari) dan melakukan pemantauan terjadinya penurunan fungsi ginjal pasien. Gejala ataupun tanda terjadinya nefrotoksisitas tidak terlihat dengan

pengamatan mata telanjang, oleh sebab itu diperlukan usaha lain agar pasien tidak dirugikan karena adanya efek nefrotoksisitas ini. Usaha itu antara lain dengan melakukan monitoring fungsi ginjal pasien dengan beberapa uji rutin fungsi ginjal seperti nilai kreatinin serum dan lain lain secara periodik dimana terjadinya penurunan nilai klirens kreatinin pasien dapat dijadikan alat ukur bahwa mungkin telah terjadi proses kerusakan nefron diginjal. Dari hasil pengamatan terhadap 19 orang pasien fraktur terbuka grade IIIa diperoleh informasi bahwa pemeriksaan nilai kreatinin serum untuk mengetahui fungsi ginjal pasien telah dilakukan saat pasien baru masuk rumah sakit. Namun terdapat pasien yang menggunakan kombinasi obat sefalosporin dengan gentamisin dalam jangka waktu lama (lebih dari 7 hari) sehingga sebaiknya dilakukan uji fungsi ginjal pada pasien tersebut. Disamping efek samping yang tidak diingini yang timbul akibat interaksi tersebut, kombinasi gentamisin dan antibiotika golongan sefalosporin merupakan kombinasi antibiotika yang menguntungkan karena selain meningkatkan kemampuan dalam mencakup bakteri gram positif dan negatif kombinasi ini bersifat sinergis. Antibiotika golongan sefalosporin bekerja pada dinding sel sedangkan gentamisin bekerja pada pembentukan protein mikroba, sehingga efek membunuh keduanya menjadi meningkat.

16

2.7 Kepatuhan pasien dan kegagalan menerima terapi obat Persentase tejadinya kegagalan terapi obat pada pasien farktur terbuka grade IIIa sebesar 42,11 %. Hasil pengamatan terhadap 19 orang pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di ruang trauma centre bedah RSUP DR M Djamil didapatkan tingkat kejadian pasien gagal menerima obat relatif tinggi yaitu sebesar 42,11%. Adapun alasan kejadian kegagalan menerima terapi obat adalah tidak tersedianya obat pada saat obat mau diberikan. Ketidaktersediaan ini setelah diteliti lebih lanjut disebabkan oleh kekurangan dana untuk beli obat sebanyak 50% dan keterlambatan mengambil obat karena keluarga yang menemani tidak ditempat sebanyak 50%. Tingginya kejadian gagal menerima obat antibiotika berpotensi

menyebabkan kegagalan terapi, masa rawatan yang lebih panjang dan yang paling ditakutkan adalah timbulnya resistensi. Sekali pasien gagal menerima terapi akan menyebabkan kadar obat dalam darah turun dibawah MEC sampai dosis berikutnya. Lamanya waktu obat tidak ada dalam konsentrasi efektif dalam darah ini memberikan kesempatan kepada mikroba untuk beradaptasi dengan antibiotika sehingga menimbulkan resistensi baru (Barbosa, 2000). Resiko timbulnya resistensi ini amatlah berbahaya karena bakteri resisten ini dapat pula bermigrasi dari seorang pasien kepada manusia lain. Bila bakteri resisten ini tumbuh dan berkembang pada hosbes baru ini dan menimbulkan infeksi maka pasien ini tidak dapat diobati dengan antibiotika yang sama. Penyebaran yang luas mikroba resisten ini menimbulkan meluasnya kasus resistensi dan menimbulkan multiresistensi. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu tindakan nyata dalam rangka membatasi dan menghambat penyebaran resistensi mikroba dengan cara menggunakan antibiotika dengan bijak (WHO, 2011).

D. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kejadian Drug related Problems (DRPs) pemakaian antibiotika pada 19 orang pasien fraktur terbuka grade IIIa yang dirawat di ruang trauma centre RSUP DR. M. Djamil Padang adalah sebagai berikut : Persentase pasien fraktur terbuka

grade IIIa dengan obat kurang sebesar 47,37%, kondisi klinis pasien memungkinkan untuk tidak diberi obat kombinasi. Persentase pasien fraktur terbuka grade IIIa diberikan obat tanpa indikasi medis nihil (tidak ditemukan selama penelitian). Persentase ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien fraktur terbuka grade IIIa sebesar 47,37% bila dibandingkan dengan Pedoman Diagnosa dan Terapi RSUP DR M Djamil dan Nihil (pemilihan obat tepat) bila dipakai panduan dari East Practice Management Guidelines. Persentase pasien fraktur terbuka grade IIIa menerima obat dengan dosis kurang sebesar 21,05 %(4 orang).Persentase pasien fraktur terbuka grade IIIa menerima obat dengan dosis lebih sebesar 5,26 %(1 orang). Persentase potensi terjadinya interaksi obat pada pasien fraktur terbuka grade IIIa sebesar 52,63 %(10 orang); RSUP DR M Djamil telah melakukan usaha meminimalisir efek interaksi dengan menjarakkan pemberian obat dan efek dari interaksi secara klinis tidak terlihat selama penelitian ini.Persentase terjadinya reaksi efek samping obat pada pasien fraktur terbuka grade IIIa nihil (tidak ditemukan selama penelitian). Persentase pasien gagal menerima terapi sebesar 42,11 % (8 orang).

18

DAFTAR PUSTAKA

Barbosa, T.M., Stuart, B.L.(2000) The impact of antibiotic use on resistance development and persistence, Center for Adaptation Genetics and Drug Resistance and the Departments of Molecular Biology and Microbiology and of 2Medicine,Tufts University School of Medicine, Boston, Massachusetts, USA. Benson, D.R., Riggins, R.S., Lawrence, R.M., Hoeprich, P.D., Huston, A.C.,& Harrison, J.A.(1983). Treatment of open fractures: A prospective study. J Trauma 23:25-30. Buteera, A.M.(2007). Principles of Management of Open Fractures, East Cent. ISSN 2073-9990, Afr.J.Surg.Available online at http://www. bioline.org.br/ Davis, S.A.(2009). Pocketclinical drug Reference, FA Davis Company Philadelphia, Depkes, R.I. (2008). Pelayanan Informasi Obat, Direktorat Jenderal Bina kefarmasian dan alat Kesehatan., Jakarta. Dipiro, J. (2008). Pharmacotherapy Handbook sixth edition, Mc Graw Hill Company. Goodman & Gilman's (2006). The Pharmacological Basis Of Therapeutics - 11th Ed. Hepler, C.D., Strand, L.M.(1990). Opportunities and responsibilities in pharmaceutical care. Am J Hosp Pharm. ; 47:533-43 Koda-Kimble, Mary.A., Aplied Therapeutic, The clinical use of drugs, ninth edition, 2009 Luchette, F.A.(2008). East Practice Management Guidelines Work Group: Update to Practice Management Guidelines for Prophylactic Antibiotic Use in Open Fractures, Eastern Association For The Surgery Of Trauma. Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). (2008). Standar Terapi Rumah Sakit Perjan RSUP. DR. M. Djamil, Padang. Patzakis, M.J., Harvey, J.P. Jr, Ivler D. (1974). The role of antibiotics in the management of open fractures. J Bone Joint Surg 56A:532-541 Prayitno, A., Aslam, M., Tan, C.K., (2000). Farmasi Klinis : Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien., Penerbit PT Elex Media Kompusindo Kelompok Gramedia., Jakarta. Rovers, J.P. (2001). Identifying drug therapy problems. Dalam: Rovers JP, Currie JD. A Practical Guid

Seekamp, A., Kontopp, H., Schandelmaier, P. (2000). Bacterial Culture and bacterial Infection in Open Fractures, European J of Trauma.vol 26 Issue 2 Skaggs, D.L. (2005). The effect of surgical delay on acute infection following 554 open fractures in children. J Bone Joint Surg. Am.; 87: 8-12. Smith,M.(2000). Early Wound Care In Open Fractures. Massachusetts General Hospital Stockley I. (1994). Drug Interactions A Source Book of Adserve Interactions, Their Mechanism, Clinical Importance and Management (3rd ed.).,University of Nottingham Medical School.,England Strand, L.M., Helper, D.D., (1989). Oppertunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care.Am.J. Pharm.Educ.;53 7S-15S Trisna, Y. (2004). Idealisme Farmasis Klinik di Rumah Sakit. Pengantar Farmasi Klinik. World Health Organization, (2011). Antibiotic Resistance, Combat drug Resistance, no Action Today, no Cure Tomorrow.

Anda mungkin juga menyukai