PENDAHULUAN
1
2
sesuai, cara pemberian, dosis, serta waktu pemberian yang tepat agar dapat
meminimalkan resiko efek yang merugikan seperti resistensi dan toksisitas yang
disebabkan oleh antibiotik. Pemilihan antibiotik didasarkan pada aktivitasnya
terhadap kuman pathogen yang sering menyebabkan infeksi, serta keamanannya
bagi pasien (Tahalele, 2003).
Fungsi antibiotik profilaksis dilaporkan oleh Rios et al, melalui
penelitiannya pada prosedur abdominal incisional herniorrhaphy dengan
menggunakan antibiotik profilaksis sefalosporin generasi pertama atau kedua dan
Amoksisillin – Asam klavulanat secara sistemik, menunjukkan penurunan ILO
yang bermakna, pada kelompok perlakuan ILO terjadi pada 13,6% pasien dan
26,3% pada kelompok kontrol (Rios et al, 2001). Ary (2006) menyebutkan dalam
penelitiannya, antibiotik profilaksis yang paling banyak digunakan untuk bedah
hernia inguinalis adalah Sefazolin (51,43%), Sefuroksim (25,71%), Sefotaksim
(11,43%) dan Seftriakson (5,71%), Kombinasi Seftriakson dan Metronidazole
(2,86%), penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam penelitian sebanyak
(42,86%) karena diberikan tanpa adanya indikasi.
Penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak tepat atau tidak rasional akan
menjadi faktor pemicu munculnya infeksi luka operasi (WHO), dalam mencegah
terjadinya hal tersebut, perlu adanya peningkatan penggunaan antibiotik secara
rasional. Menurut Kemenkes (2011), rasionalitas penggunaan obat terdapat
beberapa kriteria yang harus dipenuhi diantaranya tepat indikasi, tepat pasien,
tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat lama pemberian.
Menurut World Health Organization (WHO), penderita hernia tiap
tahunnya meningkat. Didapat dari dekade 2005 sampai 2010 penderita hernia
segala jenis mencapai 19.173.279 penderita (12,7%) dengan penyebaran yang
paling banyak di negara berkembang seperti Afrika, Asia tenggara termasuk
Indonesia.
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia di
Indonesia periode Januari sampai dengan Februari 2011 berjumlah 1.243 yang
mengalami gangguan hernia inguinalis, termasuk 230 orang (5,59%) terjadi pada
anak-anak (Depkes RI, 2011).
3
Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, jumlah kasus
hernia inguinalis yang dirawat pada tahun 2012 sebanyak 3.618 kasus. Ini
merupakan jumlah kasus hernia yang terjadi dirumah sakit Provinsi Jawa Barat.
Dari data tersebut sebanyak 493 kasus terjadi pada anak usia 1- 4 tahun dan 3.125
kasus terjadi pada 45- >75 tahun (Dinkes Jabar, 2012).
Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan merupakan rumah sakit umum yang
digunakan sebagai salah satu rumah sakit rujukan di wilayah Cipanas-Cianjur.
Kasus bedah hernia inguinalis pada tahun 2019 di RSUD Cimacan sebanyak 41
kasus, dan pada tahun 2018 berjumlah 92 kasus, 64 kasus diantaranya dilakukan
tindakan bedah dan masuk kedalam urutan nomor satu bedah terbanyak di RSUD
Cimacan selama tahun 2018. Hal itu membuktikan bahwa kasus bedah hernia
inguinalis mengalami peningkatan dari tahun 2017 yaitu sebanyak 46 kasus.
Berdasarkan uraian diatas tindakan bedah hernia banyak dilakukan setiap
tahunnya di RSUD Cimacan. Namum demikian, belum adanya penelitian yang
dilakukan mengenai kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis bedah hernia
di RSUD Cimacan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan evaluasi
kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis dengan melihat parameter tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian dan tepat
lama pemberian.
1.5. Hipotesis
Kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis yang digunakan pada
pasien bedah hernia inguinalis di RSUD Cimacan sudah tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, tepat lama pemberian
sesuai dengan pedoman Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406 tahun 2011,
ASHP Therapeutic Guidlines: Clinical Practice Guidlines for Antimicrobial
Prophylaxis in Surgery tahun 2013 dan Drug Information Handbook (DIH) edisi
20 tahun 2011/2012.
1.6. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui karakteristik pasien bedah hernia inguinalis yang berobat di RSUD
Cimacan
2. Mengetahui kerasionalan antibiotik profilaksis yang diberikan pada pasien
bedah hernia inguinalis di RSUD Cimacan dengan melihat parameter tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian dan tepat
lama pemberian
3. Peneliti
Memberikan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga,
khususnya dalam menganalisis penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien
bedah hernia.
4. RSUD Cimacan
a. Memberikan informasi kepada RSUD Cimacan tentang bagaimana
kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia
inguinalis di RSUD Cimacan.
b. Dapat dijadikan masukan bagi panitia farmasi dan terapi dalam
mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika di RSUD Cimacan guna
meningkatan mutu pelayanan medik terutama pengobatan dalam hal
penatalaksanaan kasus bedah hernia di rumah sakit terkait.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hernia
2.1.1. Definisi Hernia
Hernia merupakan penonjolan bagian organ atau jaringan melalui lobang
abnormal. Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan yang dalam keadaan
normal seharusnya tertutup. Hernia adalah suatu keadaan keluarnya jaringan
organ tubuh suatu ruangan melalui suatu celah atau lubang keluar di bawah kulit
atau menuju rongga lain, dapat kongenital ataupun didapat. Pada hernia abdomen
isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo
apeneurotik dinding perut (Kasron, 2017).
Hernia terbentuk dari tiga komponen yaitu (Moody, 1999):
1. Herniated viscus
Yaitu jaringan yang terdapat di dalam rongga abdominal yang mengalami
hernia penonjolan keluar.
2. Hernial sac ( Kantung Hernia)
Kantung hernia merupakan dinding bagian dalam dari hernia, yang terbuat dari
peritoneum.
3. Hernial ring (Cincin hernia)
Cincin hernia adalah celah dimana jaringan menemukan jalannya untuk keluar
atau terletak pada posisi abnomal.
2. Berdasarkan tempatnya
a. Hernia inguinalis adalah hernia yang tampak di daerah sela paha, pada titik
dimana tali spermatik muncul pada pria dan sekitar ligamen pada wanita.
b. Hernia femoralis adalah hernia isi perut yang tampak di daerah fosa
femoralis.
c. Hernia skrotalis adalah apabila hernia inguinalis lateralis berlanjut, tonjolan
akan berlanjut sampai ke skrotum, ini disebut hernia skrotalis. Kantong
hernia berada dalam muskulus kremaster terletak anteromedial terhadap vas
deferen dan struktur lain dalam funikulus spermatikus.
d. Hernia umbilikali adalah hernia isi perut yang tampak di daerah pusat.
e. Hernia diafragmatik, adalah hernia yang masuk melalui lubang diafragma ke
dalam rongga dada.
3. Berdasarkan sifatnya
a. Hernia reponibel yaitu isi hernia masih dapat dikembalikan ke kavum
abdominalis lagi tanpa operasi. Hernia reponibel adalah suatu hernia dengan
isi hernia yang bisa keluar masuk dari rongga abdomen ke kantong hernia.
b. Hernia ireponibel yaitu isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke
dalam rongga abdomen.
c. Hernia akreta/strangulata yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium
kantong hernia. Hernia akreta adalah hernia ireponibel ditambah dengan
9
tanda-tanda gangguan sirkulasi lokal daerah hernia karena ada iskemia atau
nekrosis dari isi hernia, disini benjolan akan terasa sakit, tegang, edema atau
bahkan tanda infeksi.
d. Hernia inkarserata yaitu bila hernia terjepit oleh cincin hernia. Hernia
inkarserata adalah hernia ireponibel ditambah jepita usus sehingga
memberikan tanda-tanda ileus obstruktivus.
4. Berdasarkan isinya
a. Hernia adiposa adalah hernia yang isinya terdiri dari jaringan lemak.
b. Hernia litter adalah hernia inkarserata atau strangulata yang sebagian
dinding ususnya saja yang terjepit di dalam cincin hernia.
c. Slinding hernia adalah hernia yang isi hernianya menjadi sebagian dari
dinding kantong hernia.
2.2. Antibiotik
2.2.1. Definisi Antibiotik
Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Antibiotik yang relatif non toksik
bagi pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapeutik dalam pengobatan
penyakit infeksi pada manusia, hewan dan tanaman. Istilah ini sebelumnya
digunakan terbatas pada zat yang dihasikan oleh mikroorganisme, tetapi
penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan
aktivitas kimia yang mirip (Dorland, 2010).
15
Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah dengan Kelas operasi bersih
kondisi pra bedah tanpa infeksi, tanpa terencana umumnya tidak
membuka traktus (respiratorius, gastro memerlukan antibiotik
intestinal, urinarius, bilier), operasi
profilaksis kecuali pada
terencana, atau penutupan kulit primer
beberapa jenis operasi,
dengan atau tanpa digunakan drain tertutup.
misalnya mata, jantung, dan
sendi.
Operasi Kotor Adalah operasi pada perforasi saluran cerna, Kelas operasi kotor
saluran urogenital atau saluran napas yang memerlukan antibiotik terapi.
terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan
daerah yang purulen (inflamasi bakterial).
Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih
dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat
jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor.
22
e. Rute pemberian
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.
Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral.
f. Lama pemberian
Antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya.
2. Antibiotik untuk terapi definitif
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya.
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi (PDT) setempat yang
terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.
Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian
antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral.
25
f. Lama pemberian
Antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri
sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang lainnya.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini dilakukan secara metode Purposive sampling
yaitu dengan mengambil sampel dengan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi.
Variabel Terikat
Kerasionalan antibiotik sesuai dengan
Permenkes 2011, ASHP 2013 dan DIH
Variabel Bebas
2011/2012
Penggunaan antibiotik 1. Tepat Indikasi
profilaksis pada pasien 2. Tepat Pasien
bedah hernia 3. Tepat Obat
4. Tepat Dosis
5. Tepat Interval Pemberian
6. Tepat Lama Pemberian
Variabel perancu
6 Indeks Massa Indeks massa tubuh dari berat badan pasien Kurus Ordinal
Tubuh dan tinggi badan pasien yang dilihat dari (< 18 kg/m2)
rekam medik. Normal
(18-25 kg/m2)
31
Gemuk
( 25-27 kg/m2)
Obesitas
(>27 kg/m2)
7 Pekerjaan Pekerjaan seseorang yang dilihat dari rekam - Interval
medik pasien.
8 Kerasionalan Kerasionalan pemberian antibiotik 1. Tepat indikasi Nominal
Antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia sesuai 2. Tepat pasien
Profilaksis dengan pedoman yang diacu 3. Tepat obat
4. Tepat dosis
5. Tepat interval
pemberian
6. Tepat lama
pemberian
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.2. Usia
Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan usia di RSUD Cimacan
dapat dilihat dari gambar dibawah ini :
4.1.3. Pekerjaan
Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan pekerjaan di RSUD
Cimacan dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
Sejalan dengan penelitian case control Fahmi O Aram (2009) pekerjaan berat
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya hernia inguinalis.
(2010) hernia inguinal dapat terjadi bila terjadi peningkatan intraabdomen dan
kelemahan otot dinding intraabdomen.
Berdasarkan uji frekuensi pada gambar 11 dapat dilihat bahwa hari rawat
yang paling banyak adalah 3 hari sebesar 86,27% diikuti 5 hari sebanyak 5,88%.
Lama rawat inap adalah salah satu unsur atau aspek asuhan dan pelayanan di
rumah sakit yang dapat dinilai dan diukur. Penyembuhan atau pemulihan pasca
bedah membutuhkan waktu lama rawat inap di rumah sakit selama 3-5 hari dari
masa pemulihan sedikitnya membutuhkan waktu empat minggu (Potter dan Perry,
2006).
Dari hasil evaluasi dapat dilihat pada gambar 19 bahwa interval pemberian
antibiotik profilaksis pasca bedah yang didapat adalah sebesar 98,04% (50 pasien)
tepat interval pemberian dan 1,96% (1 pasien) tidak tepat interval pemberian, pada
1 kasus tersebut (pasien no 51) pemberian antibiotik dihari ke 4 tidak tepat
interval pemberian karena waktu ulangan atau frekuensi terlalu singkat. Hari
ketiga diberikan seftriakson 2 gram jam 09.00 dan hari ke 4 diberikan seftriakson
2 gram jam 06.00, frekuensi pemberian antibiotik seharusnya setiap 24 jam,
sehingga hal itu dikategorikan tidak tepat interval pemberian.
49
berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang
lainnya.
Gambar 21. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Hernia
Inguinalis di RSUD Cimacan (%)
BAB 5
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Karakteristik pasien bedah hernia inguinalis di RSUD Cimacan periode 2018-
2019 berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki sebesar 94,12% dan
perempuan sebesar 5,88%, berdasarkan usia diperoleh data terbanyak yaitu
dewasa akhir (36-45) dan lansia awal (46-55) masing-masing sebesar 25,49%,
berdasarkan pekerjaan diperoleh data terbanyak pada wiraswasta sebesar
41,18% dan diikuti oleh petani sebesar 23,53%. Indikasi medis terbanyak yang
diperoleh adalah HIL (s) Reponible sebesar 27,45% dan HIL (dx) Reponible
sebesar 23,53%, tata letak hernia terbanyak adalah disebelah kanan sebesar
52,94% dan kiri 47,06%. Lama rawat inap terbanyak selama 3 hari sebesar
86,27%.
2. Kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia
inguinalis di RSUD Cimacan tahun 2018-2019 diperoleh hasil rasional sebesar
86,27% dan tidak rasional sebesar 13,73%, dengan masing-masing kriteria
tepat indikasi 100%, tepat pasien 98,04%, tepat obat 100%, tepat dosis 92,16%,
tepat interval pemberian 96,08%, tepat lama pemberian terapi profilaksis
sebesar 82,35% dan terapi empiris sebesar 9,80%.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka disarankan perlu adanya
penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik
profilaksis serta perlu adanya ketelitian dalam penggunaan antibiotik profilaksis
khususnya pada pasien bedah untuk menghindari terjadinya ketidakrasionalan
penggunaan antibiotik.
52
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999, Standar Pelayanan Medis RSUP DR. Sardjito, edisi 2, cetakan I
jilid 1, 119, Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Komite
Medik RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta.
Bratzler DW, Dellinger Ep, Olsen KM, Perl TM, Auwaerter PG, Bolon MK, et al.
Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery. Am
J Heal Pharm. 2013;70(3):195-283.
Chodijayanti Ary, 2006 . Studi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Hernia
Inguinal [Skripsi]. Surabaya. Universitas Airlangga.
53
David C. Sabiston, 1994. Buku Ajar Bedah, terjemah oleh Petrus Andrianto,
Jakarta : EGC.
Devlin J.W., Kanji S., Janning S.W., Rybak M.J., 2001. Antimicrobial
Prophylaxis In Surgery. In: Dipiro J.T. et al (eds). Pharmacotheraphy: a
Phatophysiologic Approach, 5th Ed, New York: McGraw-Hill Companies,
Inc.p. 2111-2120.
[Dinkes] Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012 . Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Barat. Bandung.
Fry DE.2002. Wound infection in hernia repair. In: Nyhus & Condon’s Hernia.
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. P. 279-85.
Fuji Astuti Marry, dkk. 2018. Hubungan Antara Usia dan Hernia Inguinalis di
RSUD dr. Soedarso Pontianak. Jurnal Cerebellum. Vol 4:2.
Gray, & Hawn. 2007. Pengantar Infeksi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Grace, P.A. dan Borley, N.R., 2006, Surgery at a Glance, 3rd edition,
diterjemahkan At a Glance Ilmu Bedah, edisi ketiga, 64-65; 76-81; 118-119.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Mahendra Parmono Hatif. 2014. Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh Dengan
Kejadian Hernia Inguinalis Di Poli Bedah RSUD DR. Soerhardi
Prijonegoro Sragen. [Skripsi]. Surakarta. Universitas Muhammadiyah.
Malangoni MA, Rosjen MJ. Hernias. In: Townsend. Sabiston Textbook of Surgery
(18th ed). Saunders Elsevier, 2007.
Marijata, 2006. Pengantar Dasar Bedah Klinis, Hal 357-368, Unit Pelayanan
Kampus Fakultas KedokteranUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mashford M.L. et al. 1994. Antibiotic Guidlines. 8th Ed. North Melbourne:
Victorian Medical Post Graduate Foundation Inc.
Mayasari Sesa Indri, Ahram Efendi Asri. 2015. Karakteristik Penderita Hernia
Inguinalis Yang Di rawat Inap Di RSUD Anutapura Palu Tahun 2012.
Jurnal Kesehatan Tadulako. Vol 1. Hal 1-10.
Nicholas R.L.,M.D., 1995. Infeksi bedah dan pemilihan antibiotika. In: sabiston
D.C.,Jr.,M.D. Buku Ajar Bedah (Essential of Surgery). Bagian 1, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal.176-195.
Rawis Claudia, dkk, 2015. Pola Hernia Inguinalis Lateralis Di RSUP Prof. DR.
R. D. Kandou Manado Periode Agustus 2012-Juli 2014. Jurnal e- Clinic,
Volume 3:2.
Rekam Medik RSUD Cimacan, 2018, Data 5 besar bedah terbanyak tahun 2018,
Cipanas: RSUD Cimacan.
Rekam Medik RSUD Cimacan, 2018. Data Pasien Hernia Inguinalis 2018-2019,
Cipanas : RSUD Cimacan.
Rios A., Rodiguez J.M., Munitiz V., Alcaraz P., Perez F.D., Parilla P. 2001.
Antibiotic Prophylaxis In Incisional Hernia Repair Using A Prothesis
Hernia, Vol. 5(3), hal. 148-152.
Ruhl CE dan Everhart JE. 2007. Risk Factor for Inguinal Hernia among Adults in
The US Population. America Journal Of Epidemiology. U.S.A.
Sjamsuhidajat,R., dan Wim de Jong, “Buku Ajar Ilmu Bedah”, Edisi Revisi, EGC,
Jakarta, 1997, Hal 287-299 dan 335-391.
56
Sjamsuhidajat, R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : Penerbit EGC.
Soedjatmiko. 1994. Bedahdigestif dan anak In: Sjukur A dkk, Pedoman Diagnosis
dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo, Surabaya:
Lab/UPT Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Dokter Soetomo,
hlm 83-85.
Syarif A, dr, SKM dkk.1995. Farmakologi dan Terapi. Ed 4. Jakarta : Gaya Baru.
Hlm. 571-583 .
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
Yerdel M.A., Akin E.B., Dolalan S, et al. 2001. Effect Of Single Dose Ampicillin
And Sulbactam On Wound Infection After Tension Free Inguinal
HerniaRepair With A Polyprophylene Mesh. Ann Surg 2001, Vol 233, 26-
33.
Zendejas et al, 2013. Relationship Between Body Mass index and The Incidence of
Inguinal Hernia Repairs : A Population-based Study In Olmsted Country,
MN.
57
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Tepat Dosis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent