Anda di halaman 1dari 63

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hernia adalah suatu keadaan keluarnya jaringan organ tubuh dari suatu
ruangan melalui suatu celah atau lubang keluar di bawah kulit atau menuju rongga
lain. Pada hernia abdomen isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah
dari lapisan muskulo apeneurotik dinding perut (Kasron, 2017).
Pengobatan hernia dilakukan dengan tindakan herniorafi yang terdiri dari
operasi herniotomi dan hernioplasti. Herniotomi adalah tindakan membuka
kantong hernia, memasukkan kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen,
serta mengikat dan memotong kantong hernia. Sedangkan, hernioplasti adalah
tindakan memperkuat daerah defek, misalnya pada hernia inguinalis, tindakannya
memperkuat cincin inguinalis internal dan memperkuat dinding posterior kanalis
inguinalis (Abrahamson, 1997).
Bedah hernia merupakan operasi digestif yang termasuk dalam kategori
operasi bersih. Walaupun demikian kejadian infeksi luka operasi dapat terjadi,
karena pada kenyataannya infeksi luka operasi dapat terjadi karena beberapa
faktor seperti usia, teknik operasi, lama operasi, lingkungan ruang operasi dan
rumah sakit, sterilisasi instrumen, kain duk operasi, cairan kantong hernia, dan
persiapan preoperatif (Bratzler et al, 2013).
Menurut National Center for Healt statistic, sekitar 46 juta tindakan bedah
dilaporkan tiap tahunnya di Amerika Serikat, dan infeksi luka operasi terjadi pada
3-6% dari seluruh pasien tersebut. ILO merupakan bagian dari infeksi
nosokomial, yaitu infeksi yang didapat di rumah sakit yang timbul dalam waktu
72 jam setelah dirawat di rumah sakit atau setelah tindakan bedah. ILO dapat
meningkatkan lama hari rawat di rumah sakit serta meningkatkan biaya perawatan
(Devlin et al, 2002)
Antibiotik diperlukan untuk mengatasi masalah infeksi luka operasi.
Dalam pengunaannya pada pasien bedah, antibiotik dapat dibedakan menjadi dua
macam berdasarkan tujuan profilaksis dan tujuan terapi. Antibiotik yang diberikan
harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah pemilihan antibiotik yang

1
2

sesuai, cara pemberian, dosis, serta waktu pemberian yang tepat agar dapat
meminimalkan resiko efek yang merugikan seperti resistensi dan toksisitas yang
disebabkan oleh antibiotik. Pemilihan antibiotik didasarkan pada aktivitasnya
terhadap kuman pathogen yang sering menyebabkan infeksi, serta keamanannya
bagi pasien (Tahalele, 2003).
Fungsi antibiotik profilaksis dilaporkan oleh Rios et al, melalui
penelitiannya pada prosedur abdominal incisional herniorrhaphy dengan
menggunakan antibiotik profilaksis sefalosporin generasi pertama atau kedua dan
Amoksisillin – Asam klavulanat secara sistemik, menunjukkan penurunan ILO
yang bermakna, pada kelompok perlakuan ILO terjadi pada 13,6% pasien dan
26,3% pada kelompok kontrol (Rios et al, 2001). Ary (2006) menyebutkan dalam
penelitiannya, antibiotik profilaksis yang paling banyak digunakan untuk bedah
hernia inguinalis adalah Sefazolin (51,43%), Sefuroksim (25,71%), Sefotaksim
(11,43%) dan Seftriakson (5,71%), Kombinasi Seftriakson dan Metronidazole
(2,86%), penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam penelitian sebanyak
(42,86%) karena diberikan tanpa adanya indikasi.
Penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak tepat atau tidak rasional akan
menjadi faktor pemicu munculnya infeksi luka operasi (WHO), dalam mencegah
terjadinya hal tersebut, perlu adanya peningkatan penggunaan antibiotik secara
rasional. Menurut Kemenkes (2011), rasionalitas penggunaan obat terdapat
beberapa kriteria yang harus dipenuhi diantaranya tepat indikasi, tepat pasien,
tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat lama pemberian.
Menurut World Health Organization (WHO), penderita hernia tiap
tahunnya meningkat. Didapat dari dekade 2005 sampai 2010 penderita hernia
segala jenis mencapai 19.173.279 penderita (12,7%) dengan penyebaran yang
paling banyak di negara berkembang seperti Afrika, Asia tenggara termasuk
Indonesia.
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia di
Indonesia periode Januari sampai dengan Februari 2011 berjumlah 1.243 yang
mengalami gangguan hernia inguinalis, termasuk 230 orang (5,59%) terjadi pada
anak-anak (Depkes RI, 2011).
3

Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, jumlah kasus
hernia inguinalis yang dirawat pada tahun 2012 sebanyak 3.618 kasus. Ini
merupakan jumlah kasus hernia yang terjadi dirumah sakit Provinsi Jawa Barat.
Dari data tersebut sebanyak 493 kasus terjadi pada anak usia 1- 4 tahun dan 3.125
kasus terjadi pada 45- >75 tahun (Dinkes Jabar, 2012).
Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan merupakan rumah sakit umum yang
digunakan sebagai salah satu rumah sakit rujukan di wilayah Cipanas-Cianjur.
Kasus bedah hernia inguinalis pada tahun 2019 di RSUD Cimacan sebanyak 41
kasus, dan pada tahun 2018 berjumlah 92 kasus, 64 kasus diantaranya dilakukan
tindakan bedah dan masuk kedalam urutan nomor satu bedah terbanyak di RSUD
Cimacan selama tahun 2018. Hal itu membuktikan bahwa kasus bedah hernia
inguinalis mengalami peningkatan dari tahun 2017 yaitu sebanyak 46 kasus.
Berdasarkan uraian diatas tindakan bedah hernia banyak dilakukan setiap
tahunnya di RSUD Cimacan. Namum demikian, belum adanya penelitian yang
dilakukan mengenai kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis bedah hernia
di RSUD Cimacan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan evaluasi
kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis dengan melihat parameter tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian dan tepat
lama pemberian.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat diidentifikasi
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakteristik pasien bedah hernia yang berobat di RSUD Cimacan?
2. Bagaimana kerasionalan antibiotik profilaksis yang diberikan pada pasien
bedah hernia di RSUD Cimacan dengan melihat parameter tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian dan tepat lama
pemberian?
4

1.3. Batasan Masalah


Penelitian ini dibatasi dengan mengevaluasi kerasionalan penggunaan
antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia inguinalis di RSUD Cimacan
dengan melihat parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat
interval pemberian dan tepat lama pemberian.

1.4. Kerangka Pemikiran


Hernia inguinal merupakan operasi digestif yang termasuk dalam kategori
operasi bersih. Walaupun demikian kejadian infeksi luka operasi dapat terjadi,
karena pada kenyataannya infeksi luka operasi dapat terjadi karena beberapa
faktor seperti usia, teknik operasi, lama operasi, lingkungan ruang operasi dan
rumah sakit, sterilisasi instrumen, kain duk operasi, cairan kantong hernia, dan
persiapan preoperatif (Bratzler et al, 2013).

Antibiotik diperlukan untuk mengatasi masalah infeksi luka operasi, baik


antibiotik dengan tujuan profilaksis maupun antibiotik dengan tujuan terapi.
Penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak tepat atau tidak rasional akan
menjadi faktor pemicu munculnya infeksi luka operasi, dalam mencegah
terjadinya hal tersebut, perlu adanya peningkatan penggunaan antibiotik secara
rasional.
Penelitian ini mengkaji tentang kerasionalan penggunaan antibiotik
profilaksis di RSUD Cimacan. Data dikumpulkan melalui rekam medis pasien
selama tahun 2018-2019. Kerasionalan antibiotik dievaluasi dengan melihat
parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval
pemberian dan tepat lama pemberian sesuai dengan pedoman yang diacu yaitu
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406 tahun 2011, ASHP Therapeutic
Guidlines: Clinical Practice Guidlines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery
tahun 2013 dan Drug Information Handbook (DIH) edisi 20 tahun
2011/2012.Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan uji
frekuensi menggunakan SPSS 17 kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik.
5

1.5. Hipotesis
Kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis yang digunakan pada
pasien bedah hernia inguinalis di RSUD Cimacan sudah tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, tepat lama pemberian
sesuai dengan pedoman Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406 tahun 2011,
ASHP Therapeutic Guidlines: Clinical Practice Guidlines for Antimicrobial
Prophylaxis in Surgery tahun 2013 dan Drug Information Handbook (DIH) edisi
20 tahun 2011/2012.
1.6. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui karakteristik pasien bedah hernia inguinalis yang berobat di RSUD
Cimacan
2. Mengetahui kerasionalan antibiotik profilaksis yang diberikan pada pasien
bedah hernia inguinalis di RSUD Cimacan dengan melihat parameter tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval pemberian dan tepat
lama pemberian

1.7. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Umum
Dapat memberikan informasi secara umum dalam penggunaan antibiotik
sehingga menunjang keberhasilan terapi bedah hernia, serta dapat digunakan
dalam pengembangan data bagi penelitian selanjutnya.
2. Institusi Pendidikan
a. Memberikan informasi dan referensi dalam pengembangan penelitian
khususnya penggunaan antibiotik profilaksis pada bedah hernia.
b. Memberikan kontribusi penambahan ilmu pengetahuan, khususnya
penggunaan antibiotik profilaksis pada bedah hernia.
6

3. Peneliti
Memberikan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga,
khususnya dalam menganalisis penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien
bedah hernia.
4. RSUD Cimacan
a. Memberikan informasi kepada RSUD Cimacan tentang bagaimana
kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia
inguinalis di RSUD Cimacan.
b. Dapat dijadikan masukan bagi panitia farmasi dan terapi dalam
mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika di RSUD Cimacan guna
meningkatan mutu pelayanan medik terutama pengobatan dalam hal
penatalaksanaan kasus bedah hernia di rumah sakit terkait.
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hernia
2.1.1. Definisi Hernia
Hernia merupakan penonjolan bagian organ atau jaringan melalui lobang
abnormal. Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan yang dalam keadaan
normal seharusnya tertutup. Hernia adalah suatu keadaan keluarnya jaringan
organ tubuh suatu ruangan melalui suatu celah atau lubang keluar di bawah kulit
atau menuju rongga lain, dapat kongenital ataupun didapat. Pada hernia abdomen
isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo
apeneurotik dinding perut (Kasron, 2017).
Hernia terbentuk dari tiga komponen yaitu (Moody, 1999):
1. Herniated viscus
Yaitu jaringan yang terdapat di dalam rongga abdominal yang mengalami
hernia penonjolan keluar.
2. Hernial sac ( Kantung Hernia)
Kantung hernia merupakan dinding bagian dalam dari hernia, yang terbuat dari
peritoneum.
3. Hernial ring (Cincin hernia)
Cincin hernia adalah celah dimana jaringan menemukan jalannya untuk keluar
atau terletak pada posisi abnomal.

2.1.2. Klasifikasi Hernia


Adapun klasifikasi hernia adalah sebagai berikut (Kasron, 2017):
1. Berdasarkan terjadinya
a. Hernia bawaan atau kongenital
b. Hernia didapat atau akuisita
8

2. Berdasarkan tempatnya
a. Hernia inguinalis adalah hernia yang tampak di daerah sela paha, pada titik
dimana tali spermatik muncul pada pria dan sekitar ligamen pada wanita.
b. Hernia femoralis adalah hernia isi perut yang tampak di daerah fosa
femoralis.
c. Hernia skrotalis adalah apabila hernia inguinalis lateralis berlanjut, tonjolan
akan berlanjut sampai ke skrotum, ini disebut hernia skrotalis. Kantong
hernia berada dalam muskulus kremaster terletak anteromedial terhadap vas
deferen dan struktur lain dalam funikulus spermatikus.
d. Hernia umbilikali adalah hernia isi perut yang tampak di daerah pusat.
e. Hernia diafragmatik, adalah hernia yang masuk melalui lubang diafragma ke
dalam rongga dada.

Gambar 1. Klasifikasi hernia berdasarkan tempat

3. Berdasarkan sifatnya
a. Hernia reponibel yaitu isi hernia masih dapat dikembalikan ke kavum
abdominalis lagi tanpa operasi. Hernia reponibel adalah suatu hernia dengan
isi hernia yang bisa keluar masuk dari rongga abdomen ke kantong hernia.
b. Hernia ireponibel yaitu isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke
dalam rongga abdomen.
c. Hernia akreta/strangulata yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium
kantong hernia. Hernia akreta adalah hernia ireponibel ditambah dengan
9

tanda-tanda gangguan sirkulasi lokal daerah hernia karena ada iskemia atau
nekrosis dari isi hernia, disini benjolan akan terasa sakit, tegang, edema atau
bahkan tanda infeksi.
d. Hernia inkarserata yaitu bila hernia terjepit oleh cincin hernia. Hernia
inkarserata adalah hernia ireponibel ditambah jepita usus sehingga
memberikan tanda-tanda ileus obstruktivus.
4. Berdasarkan isinya
a. Hernia adiposa adalah hernia yang isinya terdiri dari jaringan lemak.
b. Hernia litter adalah hernia inkarserata atau strangulata yang sebagian
dinding ususnya saja yang terjepit di dalam cincin hernia.
c. Slinding hernia adalah hernia yang isi hernianya menjadi sebagian dari
dinding kantong hernia.

2.1.3. Hernia Inguinalis


Hernia inguinal adalah hernia yang tampak di daerah sela paha, pada titik
dimana tali spermatik muncul pada pria dan disekitar ligamen pada wanita. Hernia
inguinalis lebih sering terjadi disebelah kanan 60%, sebelah kiri 20-25%, dan
bilateral 15%. Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Kanalis
inguinalis merupakan saluran oblik yang menembus bagian bawah dinding
anterior abdomen dan terdapat pada kedua jenis kelamin. Kanalis inguinalis
terletak sejajar dan tepat di atas ligamentum inguinale. Dinding kanalis inguinalis
di bentuk oleh muskulus obliqus externus abdominis dan di bentuk oleh facsia
abdominalis (Kasron, 2017).

Gambar 2. Anatomi hernia inguinalis


10

2.1.4. Klasifikasi Hernia Inguinalis


2.1.4.1. Hernia Inguinalis Indirek (HIL)
Hernia inguinalis indirek disebut juga hernia inguinalis lateralis, diduga
mempunyai penyebab kongenital. Kantong hernia merupakan sisa prosesus
vaginalis peritonei sebuah kantong peritoneum yang menonjol keluar, yang pada
janin berperan dalam pembentukan kanalis inguinalis. Oleh karena itu, kantong
hernia masuk kedalam kanalis inguinalis melalui anulus inguinalis internus yang
terletak di sebelah lateral vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis
dan keluar ke rongga perut melalui anulus inguinalis eksternus lateral dari arteria
dan vena epigastrika inferior (Mansjoer, 2000). Hernia ini lebih sering dijumpai
pada sisi kanan. Hernia inguinalis indirek dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Merupakan sisa prosesus vaginalis, oleh karena itu bersifat kongenital.
2. Angka kejadian hernia indirek lebih banyak dibandingkan hernia inguinalis
direk.
3. Hernia indirek lebih sering pada pria daripada wanita.
4. Hernia indirek lebih sering pada sisi kanan.
5. Sering di temukan pada anak-anak dan dewasa muda.
6. Kantong hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui anulus inguinalis
profundus dan lateral terhadap arteria dan vena epigastrika inferior.
6. Kantong hernia dapat meluas melalui anulus inguinalis superficialis, terletak di
atas dan medial terhadap tuberkulum pubikum.
7. Kantong hernia dapat meluas ke arah bawah ke dalam kantong skrotum atau
labium majus.

2.1.4.2. Hernia Inguinalis Direk (HIM)


Hernia inguinalis direk disebut juga hernia inguinalis medialis. Hernia ini
melalui dinding inguinal posteromedial dari vasa epigastrika inferior di daerah
yang dibatasi segitiga Hasselbach (Mansjoer, 2000). Hernia inguinalis direk
jarang pada perempuan, dan sebagian bersifat bilateral. Hernia ini merupakan
penyakit pada laki-laki lanjut usia dengan kelemahan otot dinding abdomen
(Snell, 2006).
11

Gambar 3. Perbedaan hernia direk dan indirek

2.1.5. Faktor Penyebab Terjadinya Hernia


Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hernia inguinalis adalah
sebagai berikut :
1. Usia
Usia adalah salah satu penentu seseorang mengalami hernia inguinalis,
sebagaimana pada hernia inguinalis direk lebih sering pada laki-laki usia tua
yang telah mengalami kelemahan pada otot dinding abdomen (Sabiston, 2010).
Sebaliknya pada dewasa muda yang berkisar antara 20-40 tahun yang
merupakan usia produktif. Pada usia ini bisa terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal apabila pada usia ini melakukan kerja fisik yang berlangsung
terus menerus yang dapat meningkatkan resiko terjadinya hernia inguinalis
indirek.
2. Pekerjaan
Pekerjaan yang dapat menimbulkan resiko terjadinya hernia inguinalis ialah
pekerjaan fisik yang dilakukan secara terus menerus sehingga dapat
meningkatan tekanan intraabdominal dan salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya hernia inguinalis (Sjamsuhidajat, 2011). Aktivitas (khususnya
pekerjaan) yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen memberikan
predisposisi besar terjadinya hernia inguinalis pada pria (Ruhl CE dan Everhart
JE, 2007). Apabila terjadi pengejanan pada aktivitas fisik maka proses
pernapasan terhenti sementara menyebabkan diafragma berkontraksi sehingga
meningkatkan kedalaman rongga torak, pada saat bersamaan juga diafragma
12

dan otot-otot dinding perut dapat meningkatkan tekanan intraabdomen


sehingga terjadi dorongan isi perut dinding abdomen ke kanalis inguinalis
(Omar dan Moffat, 2004).
3. Batuk Kronis
Proses batuk terjadi didahului inspirasi maksimal, penutupan glotis,
peningkatan tekanan intratoraks lalu glotis terbuka dan dibatukkan secara
eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang ada pada saluran respiratorik.
Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak- banyaknya
sehingga terjadi peningkatan intratorakal. Selanjutnya terjadi penutupan glotis
yang bertujuan mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal
besar. Pada fase ini terjadi kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot
ekspirasi sehingga selain tekanan intratorakal yang meninggi, intraabdomen
pun ikut tinggi (Widdicombe, 2003). Apabila batuk berlangsung kronis maka
terjadilah peningkatan tekanan intraabdominal yang dapat menyebabkan
terbuka kembali kanalis inguinalis dan menimbulkan defek pada kanalis
inguinalis sehingga timbulnya hernia inguinalis.
4. Obesitas
Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak
pada jaringan adiposa. Pada orang yang obesitas terjadi kelemahan pada
dinding abdomen yang disebabkan dorongan dari lemak pada jaringan adiposa
di dinding rongga perut sehingga menimbulkan kelemahan jaringan rongga
dinding perut dan terjadi defek pada kanalis inguinalis (WHO, 2000). Pada
obesitas faktor risiko lebih besar apabila sering terjadi peningkatan
intraabdomen, misalnya: mengejan, batuk kronis dan kerja fisik.

2.1.6. Manifestasi Klinis Hernia Inguinalis


2.1.6.1. Gejala Klinis
Gejala klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia. Gejala
yang muncul biasanya berupa adanya benjolan di lipat paha yang muncul pada
waktu berdiri, batuk, bersin atau mengedan dan menghilang setelah berbaring.
Sewaktu auskultasi dapat terdengar bising usus dengan menggunakan stetoskop
pada isi hernia yang berupa usus.
13

Keluhan nyeri jarang dijumpai jika ada biasanya dirasakan di daerah


epigastrium atau periumbilikal berupa nyeri visceral karena regangan pada
mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia.

2.1.6.2. Tanda Klinis


Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada saat
inspeksi, pasien diminta mengedan maka akan terlihat benjolan pada lipat paha,
bahkan benjolan bisa saja sudah nampak meskipun pasien tidak mengedan. Pada
saat melakukan palpasi, teraba benjolan yang kenyal, mungkin isinya berupa usus,
omentum atau ovarium, juga dapat ditentukan apakah hernia tersebut dapat
didorong masuk.

2.1.7. Penatalaksaan Hernia Inguinalis


2.1.7.1. Pengobatan Operatif
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis
yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip
pengobatan hernia adalah herniotomi. Pada herniotomi dilakukan pembebasan
kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan jika
ada perlengketan, kemudian direposisi, kantong hernia dijahit ikat setinggi
mungkin lalu dipotong.

2.1.7.2 . Prognosis Hernia Inguinalis


Prognosis tergantung pada jenis dan ukuran hernia, serta pada kemampuan
untuk mengurangi faktor resiko yang terkait dengan perkembangan hernia.
Sebagai aturan, prognosisnya baik dengan diagnosis tepat waktu dan perbaikan.
Morbiditas biasanya sekunder baik untuk hilang diagnosis hernia atau komplikasi
yang berhubungan dengan manajemen penyakit.
Insiden infeksi paska bedah mendekati 1%, dan rekuren kurang dari 1%.
Meningkatnya insiden rekuren ditemukan bila ada riwayat inkarserata atau
strangulasi.
14

2.1.7.3. Penatalaksanaan Farmakologi Hernia


Perbaikan dengan bedah biasanya dilakukan pada pasien-pasien dengan
hernia yang berisiko komplikasi, hernia dengan adanya gejala-gejala obstruksi
sebelumnya, dan hernia dengan risiko komplikasi yang rendah namun dengan
gejala yang mengganggu gaya hidup (Grace dan Borley, 2006).
Untuk hernia reponibel dan ireponibel dilakukan operasi elektif sedangkan
untuk hernia inkarserata dan strangulata dilakukan operasi darurat. Pengobatan
untuk herniotomi elektif, yaitu simtomatis untuk rasa nyeri dapat digunakan Asam
mefenamat 3x500 mg per hari untuk 3 hari atau antalgin 3x500 mg. Untuk
herniotomi darurat apabila belum terjadi perforasi dapat digunakan Ampicillin
3x1 gram per hari untuk 5 hari, apabila sudah terjadi perforasi dapat digunakan
ampicillin 3x1 gram, gentamisin 2x80 mg, flagyl suppositoria 3x500 mg,
pengobatan selama 5 hari (Anonim, 1999).
Antibiotik profilaksis yang direkomendasikan pada operasi hernia adalah
sefazolin dan hanya direkomendasikan pada resiko yang tinggi, yaitu pasien
dengan faktor resiko infeksi luka seperti pasien lanjut usia, diabetes, atau multiple
medical comorbidities. Dosis dewasa untuk pemberian secara i.v adalah 1-2 g
(Lawrence dkk, 2002). Pemberian antibiotika sebagai penatalaksanaan terapi
pasca bedah, ditujukan kepada pasien umur tua, DM, pengguna kortikosteroid
atau sitostatika, immunocompromised, dan hernia strangulata.

2.2. Antibiotik
2.2.1. Definisi Antibiotik
Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Antibiotik yang relatif non toksik
bagi pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapeutik dalam pengobatan
penyakit infeksi pada manusia, hewan dan tanaman. Istilah ini sebelumnya
digunakan terbatas pada zat yang dihasikan oleh mikroorganisme, tetapi
penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan
aktivitas kimia yang mirip (Dorland, 2010).
15

Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada


manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin.
Artinya, obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relative
tidak toksik untuk hospes. Namun, sifat toksisitas selektif yang absolut belum atau
mungkin tidak akan diperoleh (Katzung, dkk, 2008).
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik memiliki dua aktivitas
yaitu bakteriostatik dan bakterisida. Bakteriostatik bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba sedangkan bakterisida bersifat membunuh mikroba
(Katzung dkk, 2008).
Spektrum antibiotik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berspektrum
sempit (misalnya streptomisin) dan berspektrum luas (misalnya tetrasiklin dan
kloramfenikol), batas kedua spektrum ini terkadang tidak jelas.

2.2.2. Mekanisme Antibiotik


Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok,
yaitu (Brunton, 2008) :
1. Agen yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Antibiotik yang
termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sepalosporin, vankomisin,
basitrasin.
2. Agen yang bekerja di membran sel dan merusak permeabilitas membran
sehingga menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting sel. Contohnya
polimiksin.
3. Agen yang menghambat sintesa protein sel mikroba. Contohnya tetrasiklin,
eritromisin, klindamisin, kloramfenikol dan aminoglikosida.
4. Agen yang menghambat sinsesis asam nukleat, seperti rifampisin dan golongan
kuinolon.
5. Agen yang menghambat metabolisme sel mikroba, yaitu trimetoprim dan
sulfonamid.
16

2.2.3. Penggolongan Antibiotik


Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya :
1. Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri (Kemenkes,
2011)
a. Antibiotik beta-laktam
Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai
struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam,
karbapenem dan inhibitor beta laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam
umumnya bersifat bakterisida dan sebagian besar efektif terhadap organisme
gram positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis
dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis
peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik
pada dinding sel bakteri.
b. Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang
utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil gram positif, Neisseria,
H.influenzae dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Basitrasin
tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal.
Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan,
sering dikombinasi dengan neomisin dan atau polimiksin. Basitrasin bersifat
nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.
c. Vankomisin
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif terhadap
bakteri gram positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang
disebabkan oleh S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua
basil gram negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin.
Vankomisin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam.
Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan
hipotensi (pada infus cepat) serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas
pada dosis tinggi.
17

2. Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein


a. Aminoglikosid
Yang termasuk golongan ini adalah streptomisin, neomisin, kanamisin,
gentamisin, tobramisin (Chambers, 2001). Semua golongan aminoglikosida
memiliki efek samping ototoksik dan neurotoksik. Aktivitasnya terutama
tertuju pada basil gram negatif yang aerobik (Syarif dkk, 1995).
b. Tetrasiklin
Golongan ini terdiri dari tertrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin,
metasiklin, doksisiklin, minoksiklin (Chamber, 2001). Tetrasiklin
memperlihatkan spektrum antibakteri yang luas meliputi bakteri gram
positif dan negatif, aerobik dan anaerobik. Selain itu, golongan ini aktif
terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela (Syarif dkk,
1995).
c. Kloramfenikol
Golongan ini terdiri dari kloramfenikol, thiampenikol dan azidamfenikol
(Chambers, 2001). Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada
konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisida
terhadap bakteri tertentu (Syarif dkk, 1995).
d. Makrolida
Yang termasuk golongan makrolida adalah eritromisin, klaritromisin,
azitromisin (Chamber, 2001). Yang paling banyak digunakan adalah
eritromisin untuk pengobatan infeksi dengan bakteri gram positif,
mikroplasma dan pada penderita yang hipersensitif terhadap penisilin
(Anomin, 1992).
e. Klindamisin, mupirosin dan spektinomisin .
3. Obat antimetabolit yang menghambat enzim-enzim esensial dalam
metabolisme folat
Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol mampu
menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali P. aeruginosa dan
Neisseria sp. Kombinasi ini menghambat S. aureus, Staphylococcus koagulase
negatif, Streptococcus hemoliticus, H . influenzae, bakteri gram- negatif aerob
18

(E. coli dan Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella, Shigella, Yersinia, P.


carinii.
4. Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat
a. Kuinolon
Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae. Golongan
fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin,
moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin dan lain-lain. Fluorokuinolon
bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, E.
coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta
Enterobacteriaceae dan P. aeruginosa.
b. Nitrofuran
Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin dan nitrofurazon. Nitrofuran
bisa menghambat gram positif dan negatif, termasuk E.coli, Staphylococcus
sp, Klebsiella sp, Enterococcussp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp
dan Proteus sp.

2.2.4. Penggunaan Antibiotik


Antibiotik dapat diberikan sebagai profilaksis ataupun terapetik.
Penggunaan antibiotik profilaksis bertujuan mencegah terjadinya infeksi, yang
diberikan dalam keadaan tidak atau belum terdapat gejala infeksi pada pasien
yang berisiko tinggi mengalami infeksi bakterial. Antibiotik profilaksis dibagi
menjadi:
1. Antibiotik profilaksis bedah
Merupakan antibiotik yang digunakan untuk mencegah infeksi oleh
mikroorganisme yang diperkirakan dapat timbul pada tempat operasi
(Mashford, 1994).
2. Antibiotik profilaksis non bedah
Penggunaan antibiotik profilaksis non bedah bertujuan untuk mencegah infeksi
komunitas, mencegah infeksi di rumah sakit pada pasien dengan penurunan
imunitas tubuh, dan mencegah agar penyakit tidak kambuh (Mashford, 1994).
3. Antibiotik terapi adalah antibiotik yang bertujuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi. Pemberian
19

antibiotik terapi dilakukan atas dasar penggunaannya secara empiris yaitu


infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya maupun secara
definitif yaitu infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebabnya dan pola
resistensinya (Kemenkes, 2011).

2.2.5. Pemilihan Jenis Antibiotik


Pemilihan jenis antibiotik adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2011):
1. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan
kuman terhadap antibiotik.
2. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
3. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
4. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat. Cost effective: obat dipilih
atas dasar yang paling cost effective dan aman.

2.3. Antibiotik Profilaksis


2.3.1. Definisi Antibiotik Profilaksis Bedah
Antibiotik profilaksis bedah adalah antibiotik yang diberikan sebelum,
saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak
didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
luka operasi (Kemenkes, 2011). Rekomendasi antibiotik bedah diuraikan pada
tabel dibawah ini:

Tabel 1. Rekomendasi Antibiotik Profilaksis Bedah


Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik
Profilaksis
Gastrointestinal
Appendicectomy A Highly recommended
Colorectal surgery B Highly recommended
Insertion of B Recommended
percutaneous endoscopic
Gastrostomy (PEG)
20

Splenectomy - Not recommended


Abdomen
Hernia repair –groin (inguinal/femoral with A Not recommended
or wihout mesh)
Hernia repair – groin (laparoscopic with or B Not recommended
without mesh)
Hernia repair (incisional with or without C Not recommended
mesh)
Open/laparoscopic surgery with mesh (eg B Not recommended
gatric band or rectoplexy)
Diagnostic endoscopic procedures D Not recommended
Therapeutic endoscopic procedures D Should be considered in
(endoscopic retrograde cholangio high risk patient
pancreatography and percutaneus
endoscopic gastrostomy)

2.3.2. Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis


Tujuan penggunaan antibiotik profilaksis bedah yaitu (Permenkes, 2011):
1. Penurunan dan pencegahan kejadian infeksi luka operasi (ILO).
2. Penurun morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
3. Penghambatan muncul flora normal resisten.
4. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.

2.3.3. Indikasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah


Penentuan penggunaan antibiotik untuk tujuan profilaksis pada umumnya
pertama kali didasarkan pada kelas operasi, kemudian melihat faktor lain yang
berpengaruh terhadap resiko terjadinya morbiditas paska operasi. Operasi pada
umumnya dikategorikan sebagai berikut:
21

Tabel 2. Indikasi antibiotik pada kelas operasi (Permenkes, 2011)


Kelas Operasi Definisi Penggunaan Antibiotik

Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah dengan Kelas operasi bersih
kondisi pra bedah tanpa infeksi, tanpa terencana umumnya tidak
membuka traktus (respiratorius, gastro memerlukan antibiotik
intestinal, urinarius, bilier), operasi
profilaksis kecuali pada
terencana, atau penutupan kulit primer
beberapa jenis operasi,
dengan atau tanpa digunakan drain tertutup.
misalnya mata, jantung, dan
sendi.

Operasi Bersih –Operasi yang dilakukan pada traktus Pemberian antibiotika


Kontaminasi (digestivus,bilier,urinarius, respiratorius, profilaksis pada kelas operasi
reproduksi kecuali ovarium) atau operasi bersih kontaminasi perlu
tanpa disertai kontaminasi yang nyata.
dipertimbangkan manfaat
dan risikonya karena bukti
ilmiah mengenai efektivitas
antibiotik profilaksis belum
ditemukan.

Operasi Operasi yang membuka saluran cerna, Kelas operasi kontaminasi


Kontaminasi saluran empedu, saluran kemih, saluran memerlukan antibiotik terapi
napas sampai orofaring, saluran reproduksi (bukan profilaksis).
kecuali ovarium atau operasi yang tanpa
pencemaran nyata (Gross Spillage).

Operasi Kotor Adalah operasi pada perforasi saluran cerna, Kelas operasi kotor
saluran urogenital atau saluran napas yang memerlukan antibiotik terapi.
terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan
daerah yang purulen (inflamasi bakterial).
Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih
dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat
jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor.
22

2.3.4. Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah


Diharapkan pada saat operasi antibiotik dijaringan target operasi sudah
mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga
mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama
operasi berlangsung.
Agar pemberian antibiotik profilaksis dilakukan dengan tepat pada
berbagai keadaan klinik dalam pelayanan bedah, maka dapat memperhatikan hal-
hal yang mencakup (Kemenkes, 2011):
1. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan.
b. Spektrum sempit untuk mengurangi resiko resistensi bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.
Antibiotik profilaksis pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan
bakteri anaerob dapat menggunakan antibiotik sefalosporin generasi I–II, dapat
juga ditambahkan metronidazol. Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin
generasi III–IV golongan karbapenem dan golongan kuinolon (Kemenkes, 2011).
2. Rute pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari resiko yang tidak diharapkan dianjurkan
pemberian antibiotik intravena drip.
3. Waktu pemberian
Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit idealnya
diberikan pada saat induksi anestesi.
4. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam
jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang
23

cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus


mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.
5. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal. Dosis ulangan dapat diberikan atas
indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3
jam.

2.4. Antibiotik Terapi


Pemberian antibiotik terapi dilakukan atas dasar penggunaanya secara
empirik atau definitif pada kuman penyebab infeksi. Antibiotik yang dipilih
adalah yang paling efektif, paling aman dan mempunyai spektrum sempit. Rute
pemberian dapat secara parenteral, oral, maupun topikal. Pemilihan rute ini
mempertimbangkan tempat terjadinya infeksi dan berat infeksi. Adapun prinsip
penggunaan antibiotik terapi adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2011):
1. Antibiotik terapi empiris
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas
atau di rumah sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotik.
4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang
terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat
digunakan antibiotik kombinasi.
24

e. Rute pemberian
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.
Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral.
f. Lama pemberian
Antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya.
2. Antibiotik untuk terapi definitif
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya.
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi (PDT) setempat yang
terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.
Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian
antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral.
25

f. Lama pemberian
Antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri
sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang lainnya.

2.5. Penggunaan Antibiotik yang Rasional


Untuk dapat mengontrol penyebaran bakteri yang resisten adalah dengan
menggunakan antibiotik yang tepat dan rasional. Pengobatan yang rasional
dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan
kebutuhan klinisnya, untuk periode waktu yang adekuat, dengan harga yang
paling murah (Kemenkes, 2011). Penggunaan obat dikatakan rasional jika
memenuhi kriteria diantaranya (Kemenkes, 2011) :
1. Tepat indikasi penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian antibiotik
obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi
bakteri.
2. Tepat pemilihan obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
3. Tepat dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar
terapi yang diharapkan.
4. Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar
mudah dimengerti dan ditaati oleh pasien. Makin tinggi frekuensi pemberian
obat perhari, semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.
26

5. Tepat lama pemberian


Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing,
oemberian obat yang terlalu lama atau terlalu singkat dari yang seharusnya
akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
6. Penilaian terhadap kondisi pasien
Ketepatan penilaian diperlukan terhadap kontraindikasi, pengaruh faktor
konstitusi, penyakit penyerta dan riwayat alergi.
27

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif yang
bertujuan untuk mengevaluasi kerasionalan antibiotik profilaksis dengan melihat
parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval
pemberian dan tepat lama pemberian sesuai dengan pedoman yang diacu yaitu
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406 tahun 2011, ASHP Therapeutic
Guidlines: Clinical Practice Guidlines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery
tahun 2013 dan Drug Information Handbook (DIH) edisi 20 tahun 2011/2012.
Penelitian ini dilakukan secara refrospektif, yaitu berdasarkan data yang sudah ada
dan tertulis dalam catatan medik pasien bedah hernia di RSUD Cimacan tahun
2018-2019.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di RSUD Cimacan, yang berada di Jl. Raya
Cimacan No.17A, Palasari, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur.

3.2.2. Waktu Penelitian


Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli - November 2019 dengan
menganalisis rekam medik pasien bedah hernia inguinalis selama tahun 2018-
2019.

3.3. Populasi dan sampel


3.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah pasien bedah hernia di RSUD Cimacan tahun
2018-2019 sejumlah 105 pasien.
28

3.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini dilakukan secara metode Purposive sampling
yaitu dengan mengambil sampel dengan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi.

3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi


3.4.1. Kriteria Inklusi
1. Pasien hernia inguinalis yang melakukan tindakan bedah hernia inguinalis.
2. Pasien bedah hernia inguinalis yang diberikan antibiotik profilaksis.
3. Pasien bedah hernia inguinalis dengan usia 17-80 tahun.

3.4.2. Kriteria ekslusi


1. Pasien hernia inguinalis yang diberikan antibiotik tetapi tidak melakukan
tindakan bedah hernia inguinalis.
2. Pasien bedah hernia inguinalis dengan status rekam medik yang hilang
atau tidak lengkap.
3. Pasien pulang paksa dan meninggal dunia.

3.5. Landasan teori


Hernia adalah suatu keadaan keluarnya jaringan organ tubuh dari suatu
ruangan melalui suatu celah atau lubang keluar dibawah kulit atau menuju rongga
lain, dapat konginital ataupun didapat (aquista). Pada hernia abdomen isi perut
menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo apeneurotik
dinding perut.
Pengobatan hernia dilakukan dengan tindakan herniorafi yang terdiri dari
operasi herniotomi dan hernioplasti. Antibiotik diperlukan untuk mengatasi
masalah ILO pada pasien bedah, pemberian antibiotik yang tepat adalah salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan pasien sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak
tepat atau tidak rasional akan menjadi faktor pemicu munculnya infeksi luka
operasi (WHO), dalam mencegah terjadinya hal tersebut, perlu adanya
peningkatan penggunaan antibiotik secara rasional. Menurut Kemenkes (2011),
29

rasionalitas penggunaan obat terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi


diantaranya tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat interval
pemberian, dan tepat lama pemberian.

3.6. Kerangka konsep

Variabel Terikat
Kerasionalan antibiotik sesuai dengan
Permenkes 2011, ASHP 2013 dan DIH
Variabel Bebas
2011/2012
Penggunaan antibiotik 1. Tepat Indikasi
profilaksis pada pasien 2. Tepat Pasien
bedah hernia 3. Tepat Obat
4. Tepat Dosis
5. Tepat Interval Pemberian
6. Tepat Lama Pemberian

Variabel perancu

• Jenis Kelamin Pasien


• Usia Pasien
• Indeks Massa Tubuh
• Pekerjaan Pasien
• Lama Rawat Inap

Gambar 4. Kerangka konsep

3.7. Definisi Operasional


Definisi operasional pada penelitian ini adalah unsur penelitian yang
menunjukkan bagaimana caranya mengukur suatu variabel yang merupakan
informasi ilmiah yang sangat membantu penelitian lainnya yang ingin
menggunakan variabel yang sama (Notoatmodjo,2012).
30

Tabel 3. Definisi Operasional


No Variabel Definisi Operasional Pengamatan Skala

1 Hernia Hernia yang tampak di daerah sela paha, - -


Inguinalis pada titik dimana tali spermatik muncul pada
pria, dan disekitar ligamen pada wanita

2 Penggunaan Jenis antibiotik yang digunakan pada pasien - Nominal


Antibiotik bedah hernia di RSUD Cimacan.

3 Lama Rawat Jangka waktu pasien dirawat dihitung sejak - Ordinal


Inap pasien masuk rumah sakit sampai pasien
dinyatakan pulang oleh dokter.

4 Jenis Kelamin Kondisi fisik yang menentukkan status 1. Laki-laki Nominal


seseorang laki-laki atau perempuan. 2. Perempuan

5 Usia Usia seseorang yang melakukan bedah 1.Remaja akhir: 17 Ordinal


hernia inguinalis 17-65 tahun ke atas. – 25
2.Dewasa awal: 26
– 35
3.Dewasa akhir:
36 – 45
4.Lansia awal: 46 –
55
5.Lansia akhir: 56 –
65
6.Manula/Usia
lanjut : > 65

6 Indeks Massa Indeks massa tubuh dari berat badan pasien Kurus Ordinal
Tubuh dan tinggi badan pasien yang dilihat dari (< 18 kg/m2)
rekam medik. Normal
(18-25 kg/m2)
31

Gemuk
( 25-27 kg/m2)
Obesitas
(>27 kg/m2)
7 Pekerjaan Pekerjaan seseorang yang dilihat dari rekam - Interval
medik pasien.
8 Kerasionalan Kerasionalan pemberian antibiotik 1. Tepat indikasi Nominal
Antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia sesuai 2. Tepat pasien
Profilaksis dengan pedoman yang diacu 3. Tepat obat
4. Tepat dosis
5. Tepat interval
pemberian
6. Tepat lama
pemberian

3.8. Prosedur Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan langkah –
langkah sebagai berikut:
1. Melakukan pemilihan subjek penelitian melalui data sekunder pada pasien
bedah hernia di RSUD Cimacan tahun 2018-2019 yang sesuai dengan kriteria
inklusi.
2. Mengumpulkan dan mencatat hasil data sekunder yang didapatkan dari rekam
medik RSUD Cimacan.
3. Melakukan evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis dari data
yang diperoleh dengan melihat parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat lama pemberian.
4. Membuat tabel dari data yang diperoleh.
5. Melakukan uji frekuensi terhadap variabel yang diteliti dengan menggunakan
SPSS 17.
6. Menyimpulkan data dengan mengelompokkan hasil penelitian yang disajikan
dalam bentuk gambar dan grafik.
32

3.9. Teknik Pengolahan Dan Analisis Data


3.9.1. Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah
kedalam bentuk tabel – tabel , kemudian data diolah menggunakan program SPSS
yang terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut :
1. Editing Data
Data yang telah di dapat terlebih dahulu dilakukan pemeriksan kembali
kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi
kriteria inklusi.
2. Coding Data
Penelitian melukan coding terhadap data yang terpilih dari proses seleksi untuk
mempermudah analisis di program. Coding berupa kegiatan pemberian kode
numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.
3. Entry Data
Memasukan data yang telah dilakukan proses coding ke komputer
menggunakan program SPSS 17.
4. Cleaning data
Kegiatan pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali data agar tidak
terjadi kesalahan untuk dilakukan analisis lebih lanjut.

3.9.2. Analisis Data


Analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif untuk mengetahui gambaran presentase penggunaan antibiotik pada
pasien bedah hernia inguinalis yang meliputi karakteristik pasien (Jenis kelamin,
usia, berat badan, pekerjaan), indikasi medis, lama rawat inap serta kerasionalan
penggunaan antibiotik profilaksis yang meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, tepat lama permberian berdasarkan
pedoman Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406 tahun 2011, ASHP
Therapeutic Guidlines: Clinical Practice Guidlines for Antimicrobial Prophylaxis
in Surgery tahun 2013 dan Drug Information Handbook (DIH) edisi 20 tahun
2011/2012.
33

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Pasien


4.1.1. Jenis Kelamin
Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan jenis kelamin di RSUD
Cimacan dapat dilihat dari gambar dibawah ini:

Gambar 5. Jumlah Pasien Bedah Hernia di RSUD Cimacan Berdasarkan Jenis


Kelamin (%)

Berdasarkan uji frekuensi terlihat bahwa pasien bedah hernia di RSUD


Cimacan mayoritas terdiri dari laki-laki sebesar 94,12% dan 5,88% lainnya adalah
perempuan. Hal ini dikarenakan pada laki-laki dalam waktu perkembangan janin
terjadi penurunan testis dari rongga perut. Jika saluran testis ini tidak menutup
dengan sempurna, maka akan menjadi jalan lewatnya hernia inguinalis (David
C.Sabiston, 1994).
34

4.1.2. Usia
Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan usia di RSUD Cimacan
dapat dilihat dari gambar dibawah ini :

Gambar 6. Jumlah Pasien Bedah Hernia di RSUD Cimacan Berdasarkan


Usia (%)

Setelah dikelompokkan menjadi 6 kelompok berdasarkan Depkes RI


(2009) didapatkan hasil bahwa pasien bedah hernia yang paling banyak terdapat
pada kelompok usia lansia akhir dan lansia awal dengan usia 46-65 tahun yaitu
sebanyak 25,49% dan disusul oleh kelompok manula atau usia lanjut 65 tahun
keatas sebanyak 23,53%. Penelitian Marijata (2006) menyebutkan bahwa insiden
hernia inguinalis diperkirakan diderita oleh 15% populasi dewasa, 5-8 % populasi
rentang usia 20-40 tahun dan mencapai 45% pada usia 45 tahun keatas.
Hasil penelitian ini juga dibuktikan oleh Merry (2018) bahwa penderita
hernia inguinal terbanyak pada usia antara 41-65 tahun sebanyak 43,8% dan 23,7
% dialami oleh usia 65 tahun keatas. Hasil penelitian ini diperkuat oleh teori
McIntosh (2000) dan Scott Kahan (2011), bahwa pertambahan usia berbanding
lurus dengan tingkat kejadian hernia. Hernia inguinalis dapat terjadi pada semua
umur, namun paling banyak terjadi pada usia antara 45 sampai 75 tahun.
35

4.1.3. Pekerjaan
Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan pekerjaan di RSUD
Cimacan dapat dilihat dari gambar dibawah ini:

Gambar 7. Jumlah Pasien Bedah Hernia di RSUD Cimacan Berdasarkan


Pekerjaan (%)

Berdasarkan gambar 7 presentasi pekerjaan yang paling banyak dialami


oleh pasien bedah hernia adalah kelompok wiraswata dengan presentasi sebesar
41,18% diikuti petani sebanyak 23,53% dan buruh harian lepas sebanyak 9,80%.
Pekerjaan dibagi 3 kelompok yaitu ringan, sedang dan berat. Pekerjaan
berat dapat meningkatkan tekanan intra abdomen pada perut yang mengakibatkan
organ perut (biasanya usus) menonjol melalui suatu titik yang lemah atau robekan
pada dinding otot yang dapat menyebabkan hernia inguinalis. Hal ini biasanya
dihubungkan dengan pekerjaan mengangkat berat.
Pada penelitian ini, kelompok wiraswasta memiliki presentasi terbesar dan
diikuti kelompok petani, hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Indri
dkk (2012) bahwa wiraswasta memiliki presentasi terbanyak dan diikuti oleh
petani. Sjamsuhidajat dan Jong menyatakan bahwa wiraswasta dan petani
merupakan pekerjaan yang memiliki tingkat aktivitas yang tinggi dan
kemungkinan besar untuk mengangkat beban yang berat dan dilakukan dalam
waktu yang lama yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen.
36

Sejalan dengan penelitian case control Fahmi O Aram (2009) pekerjaan berat
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya hernia inguinalis.

4.1.4. Indeks Massa Tubuh


Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan indeks massa tubuh di
RSUD Cimacan dapat dilihat dari gambar dibawah ini:

Gambar 8. Jumlah Pasien Bedah Hernia di RSUD Cimacan Berdasarkan


Indeks Massa Tubuh (%)

Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian ini kelompok yang


terbanyak mengalami hernia inguinalis adalah kelompok kategori normal sebesar
82,35% diikuti kelompok Kurus 9,80%, diikuti oleh kelompok obesitas sebesar
5,88% dan kelompok gemuk 1,96%. Hal ini dibuktikan pada penelitian Hatif
(2014) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan
angka kejadian hernia inguinal. Menurut Zendejas et al (2013), juga menyatakan
bahwa hubungan antara indeks massa tubuh dan hernia tidak jelas, secara umum
faktor yang mempengaruhi adalah usia dan jenis kelamin (Zendejas et al, 2013).
Dari hasil penelitian, indeks massa tubuh tidak terlalu mempengaruhi
angka kejadian hernia inguinalis, hal ini dimungkinkan karena indeks massa tubuh
hanya berkaitan dengan otot dinding perut yang mengalami kelemahan maupun
tidak, sedangkan untuk kejadian hernia inguinalis menurut Sjamsuhidajat dkk
37

(2010) hernia inguinal dapat terjadi bila terjadi peningkatan intraabdomen dan
kelemahan otot dinding intraabdomen.

4.1.5. Indikasi Medis


Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan indikasi medis di RSUD
Cimacan dapat dilihat dari gambar dibawah ini :

Gambar 9. Jumlah Pasien Bedah Hernia di RSUD Cimacan Berdasarkan


Indikasi Medis (%)

Gambar 10. Jumlah Pasien Bedah Hernia di RSUD Cimacan Berdasarkan


Tata Letak Hernia (%)
38

Dari hasil penelitian indikasi medis hernia inguinalis yang didapatkan


bahwa hernia inguinalis lateralis (HIL) yang bersifat reponible yang terbanyak
dialami pasien bedah hernia, yaitu sebesar 27,45 % untuk HIL (dx) reponible dan
diikuti oleh HIL (s) reponible sebesar 23,53%. Hal ini dibuktikan pada penelitian
Claudia dkk (2015) bahwa hernia ingunalis yang bersifat reponible merupakan
kasus terbanyak. Hernia reponible adalah hernia dengan isi hernia yang bisa
keluar masuk dari rongga abdomen ke kantong hernia.
Berdasarkan distribusi letak hernia inguinalis, hasil yang didapatkan
adalah disebelah kanan sebesar 52,94% dan sebelah kiri sebesar 47,06%. Data ini
menunjukkan bahwa letak hernia inguinalis terbanyak yaitu disebelah kanan. Hal
yang sama juga dilaporkan pada penelitian Claudia dkk (2015), yaitu hernia
inguinalis yang terletak disebelah kanan merupakan kasus terbanyak. Menurut
teori kepustakaan dijelaskan bahwa karena testis yang kiri turun lebih dahulu dari
yang kanan, maka kanalis inguinalis yang kanan lebih sering terbuka. Hal yang
sama juga dijelaskan oleh Malangoni et al bahwa hernia inguinalis lebih sering
terjadi disebelah kanan karena penurunan testis sebelah kanan terjadi lebih lambat.

4.1.6. Lama Rawat Inap


Karakteristik pasien bedah hernia berdasarkan lama rawat inap di RSUD
Cimacan dapat dilihat dari gambar dibawah ini:

Gambar 11. Karakteristik Pasien Bedah Hernia Berdasarkan


Lama Rawat Inap (%)
39

Berdasarkan uji frekuensi pada gambar 11 dapat dilihat bahwa hari rawat
yang paling banyak adalah 3 hari sebesar 86,27% diikuti 5 hari sebanyak 5,88%.
Lama rawat inap adalah salah satu unsur atau aspek asuhan dan pelayanan di
rumah sakit yang dapat dinilai dan diukur. Penyembuhan atau pemulihan pasca
bedah membutuhkan waktu lama rawat inap di rumah sakit selama 3-5 hari dari
masa pemulihan sedikitnya membutuhkan waktu empat minggu (Potter dan Perry,
2006).

4.1.7. Karakteristik Penggunaan Antibiotik Profilaksis


4.1.7.1. Karakteristik Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pra Operasi
Prinsip penggunaan antibiotik adalah sebelum, sesaat, hingga 24 jam pasca
operasi (Kemenkes, 2011). Pada penelitian ini penggunaan antibiotik pra operasi
atau sebelum operasi diberikan pada 28 pasien dengan persentase 54,90% dan 23
pasien tidak diberikan antibiotik pra operasi dengan persentase 45,10%, dapat
dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 12. Karakteristik Penggunaan Antibiotik Profilaksis (%)


40

Antibiotik profilaksis pra operasi diberikan 30-60 menit sebelum insisi,


untuk golongan fluoroquinolon dan vankomisin diberikan 120 menit sebelum
insisi (Ashp, 2013). Pola penggunaan antibiotik profilaksis pra operasi dapat
dilihat pada gambar berikut:

Gambar 13. Pola Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pra Operasi (%)

Dari hasil evaluasi dapat dilihat pada gambar 13 bahwa penggunaan


antibiotik pra operasi paling banyak digunakan adalah sefazolin sebesar 39,29 %,
sefotaksim 35,71%, seftriakson 21,43%, dan seftriakson kombinasi metronidazole
sebesar 3,57%.

4.1.7.2. Karakteristik Penggunaan Antibiotik Profilaksis Paska Operasi


Antibiotik profilaksis paska operasi adalah antibiotik yang diberikan tidak
lebih dari 24 jam setelah tindakan bedah untuk tujuan profilaksis. Penggunaan
antibiotik profilaksis bedah hernia dapat diberikan pada saat sebelum dilakukan
tindakan bedah dan boleh dilanjutkan sampai 2-3 dosis akan tetapi tidak
dianjurkan pemakaina lebih dari 24 jam (Nicholas, 1995).
41

Pada penelitian ini seluruh sampel mendapatkan antibiotik profilaksis


paska operasi. Sebanyak 46 kasus mendapatkan jenis antibiotik yang sama dengan
antibiotik yang diberikan sebelumnya (pra operasi), dan 5 kasus (pasien no 22, 25,
26, 27 dan 28) mendapatkan antibiotik profilaksis paska operasi yang berbeda
dengan antibiotik profilaksis pra operasi. Tetapi antibiotik profilaksis pasca
operasi yang diberikan pada pasien tersebut termasuk satu golongan dengan
antibiotik profilaksis pra operasi yang diterima sebelumnya yaitu golongan
sefalosporin. Pasien no 22, 25, 27 dan 28 mendapatkan antibiotik profilaksis pra
operasi sefazolin dan antibiotik profilaksis paska operasi seftriakson, sedangkan
pasien no 26 mendapatkan antibiotik profilaksis pra operasi sefazolin dan
antibiotik profilaksis paska operasi sefotaksim.
Pola penggunaan antibiotik profilaksis pasca operasi dapat dilihat pada
gambar 14:

Gambar 14. Pola Penggunaan Antibiotik Profilaksis Paska Operasi (%)

Dari hasil evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis paska bedah yang


paling banyak digunakan adalah seftriakson dengan persentase 58,82%,
sefotaksim 23,53%, sefazolin 11,76%, seftazidim, siprofloksasin kombinasi
42

metronidazole, dan seftriakson kombinasi metronidazole mendapatkan persentase


masing-masing sebesar 1,96%.

4.2. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien


Bedah Hernia Inguinalis di RSUD Cimacan
Penggunaan antibiotik profilaksis pada kasus bedah dapat mengurangi dan
menurunkan adanya kejadian infeksi luka operasi, penurunan morbiditas dan
mortalitas pasca operasi, penghambat munculnya flora normal resistensi bakteri
dan dapat menurunkan biaya pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2011). Evaluasi
rasionalitas diperlukan agar tujuan dari penggunaan antibiotik profilaksis dapat
tercapai. Rasionalitas penggunaan obat meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis, tepat interval pemberian dan tepat lama pemberian (Kemenkes,
2011).

4.2.1. Tepat Indikasi


Penggunaan antibiotik profilaksis sesuai dengan diagnosa dari pasien.
Antibiotik profilaksis dibutuhkan pada pasien bedah untuk mengurangi adanya
infeksi dari bakteri gram positif ataupun gram negatif. Bedah hernia merupakan
kategori operasi bersih tetapi di RSUD Cimacan bedah hernia masuk kategori
operasi bersih terkontaminasi dimana adanya kontaminasi yang jelas hal itu
kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti teknik operasi, lama
operasi, lingkungan ruang operasi dan rumah sakit, sterilitasi instrumen, kain duk
operasi, dan persiapan preoperatif, sehingga perlu pertimbangan khusus
penggunaan antibiotik profilaksis. Selain itu pada beberapa kasus terdapat
penggunaan kateter dan infus saat pasien mulai rawat inap, hal ini memungkinkan
terjadinya infeksi. Penelitian yang dilakukan pada 51 pasien menunjukan hasil
100%. Hal tersebut dikarenakan semua data pasien bedah hernia mendapatkan
antibiotik profilaksis dengan indikasi yang jelas bahwa kemungkinan resiko
terjadinya infeksi luka operasi paska bedah hernia sangat tinggi. Adanya
peningkatan leukosit sebelum pembedahan bisa dikarenakan trauma atau stress
(Kemenkes, 2011).
43

4.2.2 Tepat Pasien


Antibiotik yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi
individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti
kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi,
balita, lansia, dan pasien obesitas yang beresiko tinggi terhadap infeksi luka
operasi (Bratzler et al, 2013).
Ketidaktepatan pemberian antibiotik profilaksis dalam penelitian terkait
dengan pemberian antibiotik yang tidak sesuai dengan kondisi pasien, hal tersebut
dapat didukung oleh data laboratorium. Hasil laboratorium pasien bedah hernia
yang dievaluasi oleh peneliti terkait dengan nilai SGPT, SGOT dan serum
kreatinin. Pada penelitian terdapat 1 kasus pasien (pasien no 1) yang memiliki
serum kreatinin diatas batas normal dengan nilai 1,51 mg/dl (Nilai normal 0,9-
1,3% mg/dl) yang mendapatkan antibiotik profilaksis sefotaksim, antibiotik
sefotaksim dilaporkan perlu adanya penyesuaian dosis pada fungsi ginjal
(Kemenkes RI, 2011), sehingga perlu adanya pertimbangan dalam pemberian
sefotaksim dan mengganti dengan antibiotik lain yang lebih aman. Terkait dengan
nilai SGOT dan SGPT terdapat 4 kasus pasien yang memiliki kadar SGOT dan
SGPT tinggi (pasien 34, pasien 44, pasien 46, dan pasien 50), 4 pasien tersebut
mendapatkan antibiotik profilaksis seftriakson, antibiotik seftriakson dilaporkan
tidak perlu adanya penyesuaian dosis pada fungsi hati (Kemenkes, 2011).
Sehingga, hasil evaluasi penyesuaian berdasarkan fungsi hati dikategorikan tepat.

Gambar 15. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Tepat Pasien (%)


44

Berdasarkan hasil evaluasi dapat dilihat pada gambar 15 bahwa pemberian


antibiotik pada 1 kasus (1,96%) dikategorikan tidak tepat pasien, sedangkan 50
kasus (98,04%) dikategorikan tepat pasien. Penggunaan antibiotik profilaksis
tidak dikontraindikasikan terhadap kondisi pasien yang mengalami hipertensi,
diabetes. Pemberian terapi antibiotik yang sesuai dengan kondisi pasien dapat
memberikan efek terapi dan mengurangi resiko efek samping pada pasien (With et
al, 2016).

4.2.3. Tepat Obat


Dasar pemilihan antibiotik diantaranya sensitivitas dan pola patogen pada
kasus yang bersangkutan, pemilihan antibiotik spektrum sempit, antibiotik
profilaksis dengan toksisitas rendah, antibiotik yang tidak menimbulkan reaksi
merugikan terhadap pemberian obat anastesi, bersifat bakterisida serta harga
terjangkau (Kemenkes RI, 2011). Bakteri yang menyebabkan infeksi luka operasi
pada bedah hernia adalah bakteri gram positif bersifa t aerob seperti spesies
Staphylococcus dan spesies Enterococcus, pada umumnya MRSA ditemukan pada
bedah hernia dengan mesh (ASHP, 2013).
Menurut ASHP Therapeutic Guidelines (2013), pilihan terapi antibiotik
profilaksis pada bedah hernia adalah sefalosforin generasi pertama yaitu sefazolin.
Alternatif penggunaan antibiotik untuk pasien alergi beta-laktam adalah
klindamisin dan vankomisin.
Selain sefazolin penggunaan antibiotik profilaksis pada penelitian ini
adalah sefotaksim, seftazidim, siprofloksasin kombinasi metronidazole dan yang
paling banyak digunakan adalah seftriakson. Pada beberapa penggunaan antibiotik
profilaksis pada penelitian ini tidak sesuai dengan pedoman yang digunakan,
karena antibiotik yang paling banyak digunakan adalah antibiotik dengan
spektrum kerja luas seperti kuinolon dan sefalosporin generasi ke 3 sehingga tidak
tepat obat. Namun demikian, pada penggunaan seftriakson sudah digunakan
secara luas sebagai antibiotik profilaksis diberbagai rumah sakit didunia,
seftriakson telah dibuktikan lebih efektif dalam mencegah infeksi luka operasi
(Esposito et al, 2004).
45

Selain itu, seftriakson memiliki beberapa keunggulan dari antibiotik lain


seperti waktu paruh yang lebih panjang sehingga dapat diberikan dengan durasi
yang lebih lama, tidak adanya penyesuaian dosis pada ginjal dan hati sehingga
lebih aman digunakan khususnya pada pasien usia lanjut, serta harga yang lebih
murah. Hal itu juga dibuktikan pada penelitian Yosephin (2009) bahwa antibiotik
profilaksis yang paling banyak digunakan pada bedah hernia adalah seftriakson,
sehingga penggunaan antibiotik profilaksis seftriakson dikatakan tepat obat.
Antibiotik kombinasi yang digunakan sebagai profilaksis di RSUD
Cimacan terdiri dari dua antibiotik, dalam setiap kombinasi terdiri dari
metronidazole sebagai kombinasi seftriakson dan siprofloksasin. Metronidazole
digunakan sebagai profilaksis untuk kasus yang dicurigai melibatkan bakteri
anaerob, terdapat 1 kasus (pasien no 9) yang mendapatkan antibiotik
siprofloksasin dan metronidazole, serta yang mendapatkan antibiotik kombinasi
seftriakson dan metronidazole terdapat 2 kasus (pasien no 2 dan 51) dan ke 2
pasien tersebut mengalami diagnosa penyerta yaitu appendisitis. Menurut ASHP
(2013) penggunaan antibiotik pada kasus appendiktomi dapat dikombinasikan
dengan metronidazole karena metronidazole memiliki aktivitas yang baik
terhadap bakteri gram negatif bersifat anaerobik salah satunya bakteri penyebab
infeksi pasca appendiktomi yaitu Bacteroides fragilis, sehingga ke 2 kasus
tersebut dikatakan tepat obat.

Gambar 16. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Tepat Obat (%)


46

Dari hasil evaluasi dapat dilihat pada gambar 16 bahwa penggunaan


antibiotik profilaksis pada bedah hernia didapatkan hasil 74,51 % (38 pasien)
tepat obat dan 25,49 % (13 pasien) tidak tepat obat. Hal tersebut dikarenakan
penggunaan antibiotik profilaksis pada bedah hernia tidak sesuai dengan pedoman
yang di acu tetapi pada beberapa penggunaan antibiotik profilaksis seperti
seftriakson dipertimbangkan.

4.2.4. Tepat Dosis


Dosis antibiotik profilaksis yang seharusnya diberikan cukup tinggi, hal ini
dilakukan untuk menjamin antibiotik profilaksis mencapai kadar puncak yang
tinggi dan dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik. Pada jaringan target
operasi, kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal 2 kali lipat kadar
terapi (Kemenkes, 2011).
Pemberian dosis yang berlebihan khususnya untuk obat yang rentang
terapi sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis
yang teralu kecil tidak akan tercapainya kadar terapi yang diharapkan
(Anonim,2006).
Ketepatan dosis yang dijadikan pedoman pada penelitian ini adalah ASHP
Therapeutic Guidlines: Clinical Practice Guidlines for Antimicrobial Prophylaxis
in Surgery tahun 2013 dan Drug Information Handbook (DIH) 2002.

Gambar 17. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Tepat Dosis (%)


47

Berdasarkan hasil evaluasi dapat dilihat pada gambar 17 bahwa pemberian


dosis antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia sebanyak 48 kasus dengan
persentase sebesar 94,12 % dikatakan tepat dosis dan 3 kasus 5,88 % tidak tepat
dosis karena pemberian antibiotik pada 3 kasus tersebut berlebihan yaitu
sefotaksim 3 gram/hari sedangkan pada pedoman antibiotik profilaksis sefotaksim
diberikan dalam dosis 1-2 gram. Pada penelitian ini antibiotik profilaksis tidak
mendapatkan dosis ulangan saat operasi berlangsung karena pada semua sampel
lama operasi tidak lebih dari 3 jam.

4.2.5. Tepat Interval Pemberian


Interval pemberian adalah ketepatan penentuan frekuensi atau interval
pemberian obat sesuai dengan sifat obat dan profil farmakokinetiknnya, misalnya
tiap 4 jam, 6 jam, 8 jam, 12 jam atau 24 jam.
Pada antibiotik profilaksis pra operasi diberikan 30-60 menit sebelum
insisi, untuk golongan fluorokuionolon dan vankomisin diberikan 120 menit
sebelum insisi. Pada penelitian ini ketepatan interval pemberian antibiotik pra
operasi dapat dilihat pada gambar 18:

Gambar 18. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pra Operasi Berdasarkan


Tepat Interval Pemberian (%)
48

Hasil evaluasi yang didapat dari 51 sampel hanya 28 sampel yang


mendapatkan antibiotik profilaksis pra operasi yaitu sebesar 96,08 % (26 pasien)
tidak tepat interval pemberian dan 3,92 % (2 pasien) tepat interval pemberian. Hal
itu dikarenakan pemberian antibiotik profilaksis pra operasi yang tepat diberikan
hanya pada 2 kasus (pasien no 16 dan 19) yaitu dalam frekuensi 30-60 menit
sebelum insisi.
Pada pemberian antibiotik profilaksis paska bedah hernia dapat dilanjutkan
sampai 2-3 dosis (Nicholas, 1995). Pemberian antibiotik profilaksis paska bedah
diberikan setelah tindakan bedah tidak lebih dari 24 jam.

Gambar 19. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Paska Operasi Berdasarkan


Tepat Interval Pemberian (%)

Dari hasil evaluasi dapat dilihat pada gambar 19 bahwa interval pemberian
antibiotik profilaksis pasca bedah yang didapat adalah sebesar 98,04% (50 pasien)
tepat interval pemberian dan 1,96% (1 pasien) tidak tepat interval pemberian, pada
1 kasus tersebut (pasien no 51) pemberian antibiotik dihari ke 4 tidak tepat
interval pemberian karena waktu ulangan atau frekuensi terlalu singkat. Hari
ketiga diberikan seftriakson 2 gram jam 09.00 dan hari ke 4 diberikan seftriakson
2 gram jam 06.00, frekuensi pemberian antibiotik seharusnya setiap 24 jam,
sehingga hal itu dikategorikan tidak tepat interval pemberian.
49

4.2.6. Tepat Lama Pemberian


Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis adalah sebelum, sesudah, dan
hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-
tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi
(Kemenkes,2011).

Gambar 20. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Berdasarkan


Tepat Lama Pemberian (%)

Dari hasil evaluasi dapat dilihat pada gambar 20 bahwa pemberian


antibiotik profilaksis sebesar 96,08% (49 pasien) tepat lama pemberian profilaksis
dan 3,92% (2 pasien) tidak tepat lama pemberian, hal itu dikarenakan pada 2
kasus tersebut (pasien no 18 dan 32) pemberian antibiotik profilaksis paska bedah
diberikan lebih dari 24 jam setelah tindakan operasi sehingga dikategorikan tidak
tepat lama pemberian antibiotik profilaksis.
Selain antibiotik profilaksis terdapat 5 pasien bedah hernia yang
mendapatkan antibiotik untuk tujuan terapi yang diberikan paska bedah, antibiotik
terapi empirik diberikan selama 48-72 jam (Kemenkes, 2011). Pada penelitian ini
4 kasus (pasien no 2,15,39 dan 40) dikategorikan tepat lama pemberian terapi
empirik dan 1 kasus (pasien no 51) tidak tepat lama pemberian, hal itu
dikarenakan pada pasien no 51 pemberian antibiotik lebih dari 72 jam, menurut
Kemenkes 2011 pemberian antibiotik lebih dari 72 jam harus dilakukan evaluasi
50

berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang
lainnya.

4.3. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis


Menurut Kemenkes 2011 penggunaan antibiotik profilaksis dapat
dikatakan rasional apabila memenuhi kriteria rasionalitas yang telah ditentukan.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa penggunaan antibiotik profilaksis
rasional sebanyak 22 kasus (43,14%) dan penggunaan antibiotik profilaksis
irasional sebanyak 29 kasus (56,86%).

Gambar 21. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Hernia
Inguinalis di RSUD Cimacan (%)

Dari hasil evaluasi ditunjukan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak


rasional disebabkan tidak tepat pasien, tidak tepat obat, tidak tepat dosis, tidak
tepat interval pemberian, dan tidak tepat lama pemberian. Ketidakrasionalan dapat
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah rendahnya implementasi
penggunaan obat berdasarkan standar acuan (Wilda, 2017). Namun secara praktek
klinis, kemanfaatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia
inguinalis telah mencapai hasil yang diharapkan, hal itu dapat dilihat dari kondisi
pasien yang membaik serta pasien keluar dikategorikan perbaikan/sembuh.
51

BAB 5
PENUTUP

5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Karakteristik pasien bedah hernia inguinalis di RSUD Cimacan periode 2018-
2019 berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki sebesar 94,12% dan
perempuan sebesar 5,88%, berdasarkan usia diperoleh data terbanyak yaitu
dewasa akhir (36-45) dan lansia awal (46-55) masing-masing sebesar 25,49%,
berdasarkan pekerjaan diperoleh data terbanyak pada wiraswasta sebesar
41,18% dan diikuti oleh petani sebesar 23,53%. Indikasi medis terbanyak yang
diperoleh adalah HIL (s) Reponible sebesar 27,45% dan HIL (dx) Reponible
sebesar 23,53%, tata letak hernia terbanyak adalah disebelah kanan sebesar
52,94% dan kiri 47,06%. Lama rawat inap terbanyak selama 3 hari sebesar
86,27%.
2. Kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah hernia
inguinalis di RSUD Cimacan tahun 2018-2019 diperoleh hasil rasional sebesar
86,27% dan tidak rasional sebesar 13,73%, dengan masing-masing kriteria
tepat indikasi 100%, tepat pasien 98,04%, tepat obat 100%, tepat dosis 92,16%,
tepat interval pemberian 96,08%, tepat lama pemberian terapi profilaksis
sebesar 82,35% dan terapi empiris sebesar 9,80%.

5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka disarankan perlu adanya
penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik
profilaksis serta perlu adanya ketelitian dalam penggunaan antibiotik profilaksis
khususnya pada pasien bedah untuk menghindari terjadinya ketidakrasionalan
penggunaan antibiotik.
52

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamson J. Hernias. In: Zinner MJ, Seymour I, editors. Maingot’s abdominal


operation. 10th Ed. London: Prentice Hall International, 1997:479-525.

ASHP, 2013. Clinical Practice Guidlines For Antimicrobial Prophylaxis In


Surgery, ASHP Therapeutic Guidlines, pp. 656-657, 677.

Anaya, D.A., & Dellinger, P.E. (2008). Surgical complications. In Townsend, C.


M., Beauchamp, R. D., Evers, B. M., Mattox, K.L. (Ed). Sabiston Textbook
of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice, 18th edition
(pp.328-334). Philadelphia: Saunders.

Anonim, 1992. Pedoman Penggunaan Antibiotik Nasional. Ed 1. Direktorat


Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim, 1999, Standar Pelayanan Medis RSUP DR. Sardjito, edisi 2, cetakan I
jilid 1, 119, Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Komite
Medik RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta.

Apriliana Datuan, Wilda, 2017. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik


Profilaksis Operasi Apendisitis Akut Pasien Dewasa dan Geriatri di RS
Bethesda Yogyakarta Tahun 2015 [Skripsi]. Yogyakarta. Universitas Sanata
Dharma.

Baja, P. A., Kusharwanti, W. 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis


Terhadap Kejadian Infeksi Luka Operasi di Bangsal Bedah Anak RSUP .
Dr. Sardjito . Magister Farmasi Klinik UGM. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.

Bratzler DW, Dellinger Ep, Olsen KM, Perl TM, Auwaerter PG, Bolon MK, et al.
Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery. Am
J Heal Pharm. 2013;70(3):195-283.

Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxon I, Goodman Gilman’s Manual of


pharmacologi and therapeutics. section VIII chemotherapy of Antimicrobial
Disease. The McGraw-Hill Companies; 2008. page 707.

Chamber H.F., 2001. Antimicrobial Agent General Considerations. In : Hardman


J.G., Ph.D. and Limbird L.E., Ph. D. (Eds), Goodman & Gilman’s the
Pharmacological Basis of Therapeutics. Ed. 10th, New York : Mc Graw Hill
Companies Inc. P. 1143-1170.

Chodijayanti Ary, 2006 . Studi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Hernia
Inguinal [Skripsi]. Surabaya. Universitas Airlangga.
53

David C. Sabiston, 1994. Buku Ajar Bedah, terjemah oleh Petrus Andrianto,
Jakarta : EGC.

Departement of Health and Ageing .2017. Surgical Antimicrobial Prophylaxis


Clinical Guideline. Departement of Health and Ageing Australia
Goverment.Canberra.http://www.sahealth.sa.gov.au/wps/wcm/cpnnect/publi
c/surgical+antimicrobial+prophylaxis+clinical+guideline.[06 Februari 2019]

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pola Penyakit


Terbanyak Pada Rawat Jalan. Jakarta.

Devlin J.W., Kanji S., Janning S.W., Rybak M.J., 2001. Antimicrobial
Prophylaxis In Surgery. In: Dipiro J.T. et al (eds). Pharmacotheraphy: a
Phatophysiologic Approach, 5th Ed, New York: McGraw-Hill Companies,
Inc.p. 2111-2120.

[Dinkes] Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012 . Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Barat. Bandung.

Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. ed.31.Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dyah Susilo Pratiwi, Yosephin. 2009. Evaluasi Drug Therapy Problems


Penggunaan Antibiotik Selama Rawat Inap di RSUP DR. Sardjito
Yogyakarta [Skripsi]. Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma.

Esposito, S., Noviello, S., Vanasia,A., dan Venturino, P. (2004). Ceftriaxone


Versus Other Antibiotics For Surgical Prophylaxis: A Meta-Analysis. Clin
Drug Investig. 24(1): 29-39.

Fahmi O Aram, 2009. Risk Factor of Hernia In Hadramout Yemen A Case


Control Study, Departement of Surgery Collage of Medicine, Vol 3.

Fry DE.2002. Wound infection in hernia repair. In: Nyhus & Condon’s Hernia.
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. P. 279-85.

Fuji Astuti Marry, dkk. 2018. Hubungan Antara Usia dan Hernia Inguinalis di
RSUD dr. Soedarso Pontianak. Jurnal Cerebellum. Vol 4:2.

Gray, & Hawn. 2007. Pengantar Infeksi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Grace, P.A. dan Borley, N.R., 2006, Surgery at a Glance, 3rd edition,
diterjemahkan At a Glance Ilmu Bedah, edisi ketiga, 64-65; 76-81; 118-119.
Penerbit Erlangga, Jakarta.

Ikatan Apoteker Indonesia. 2018. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia,


Volume 52 Tahun 2019. Jakarta: ISFI Penerbitan.
54

Kasron, Susilawati. 2017 . Buku Ajar Anatomi Fisiologi Gangguan Sistem


Pencernaan . Jakarta : Trans Info Media. Hlm.209-311.

Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi dasar dan klinik : Prinsip Kerja


Antimikroba. Jakarta : EGC

[Kemenkes] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011 . Pedoman Umum


Penggunaan Antibiotik . Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Lawrence M.T., Stephen J. McPhee, Maxine A.P., 2002, Current Medical


Diagnosis & Treatment 2002, 41st edition, 43-44, Lange Medical Book The
McGraw-Hill Companies, United States of Amerca.

Lim Alexander, dkk 2017. Perbandingan Pemberian Antibiotik Profilaksis


Ceftriaxon dan Non Cefrriaxon Terhadap Kejadian Surgical Site Infection
Pasca kolesistektomi. Jurnal Kedokteran Diponegoro. http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/medico .[21 Maret 2019]

Medidata. (2018). MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 18 Tahun 2018/2019. Jakarta:


Bhuana Ilmu Populer.

Mahendra Parmono Hatif. 2014. Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh Dengan
Kejadian Hernia Inguinalis Di Poli Bedah RSUD DR. Soerhardi
Prijonegoro Sragen. [Skripsi]. Surakarta. Universitas Muhammadiyah.

Malangoni MA, Rosjen MJ. Hernias. In: Townsend. Sabiston Textbook of Surgery
(18th ed). Saunders Elsevier, 2007.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

Marijata, 2006. Pengantar Dasar Bedah Klinis, Hal 357-368, Unit Pelayanan
Kampus Fakultas KedokteranUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mashford M.L. et al. 1994. Antibiotic Guidlines. 8th Ed. North Melbourne:
Victorian Medical Post Graduate Foundation Inc.

Mayasari Sesa Indri, Ahram Efendi Asri. 2015. Karakteristik Penderita Hernia
Inguinalis Yang Di rawat Inap Di RSUD Anutapura Palu Tahun 2012.
Jurnal Kesehatan Tadulako. Vol 1. Hal 1-10.

McIntosh A, Hutchinson A, Roberts A, Wither. Evidence Based Management Of


Groin Hernia In Primary Care A Systematic Review. London:Oxford
University Press. 200: 17-442-7.
55

Misriana. 2012 . Pengkajian Kualitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah


Apendik di RSUP Fatmawati Jakarta Tahun 2012 [Skripsi]. Jakarta. UIN
Syarif Hidayatullah.

Moody F.G and Calabuig R. 1999. Abdominal Cavity: Anatomy, Structural


Anomalies, and Hernias. In: Yamada, Tadataka . Textbook of
Gastroentrology. Vol 2. Philadelphia :Lippincort Williams & Wilkins
Publishers. P. 2355-3166.

Nicholas R.L.,M.D., 1995. Infeksi bedah dan pemilihan antibiotika. In: sabiston
D.C.,Jr.,M.D. Buku Ajar Bedah (Essential of Surgery). Bagian 1, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal.176-195.

Notoatmodjo, S. 2010 .Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta .

Omar F dan Moffat D. 2004. At Glance Anatomi. Jakarta : Erlangga.

Potter, P. A, Perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Alih bahasa Oleh Renata
Komalasari, dkk. Jakarta: EGC.

Rawis Claudia, dkk, 2015. Pola Hernia Inguinalis Lateralis Di RSUP Prof. DR.
R. D. Kandou Manado Periode Agustus 2012-Juli 2014. Jurnal e- Clinic,
Volume 3:2.

Rekam Medik RSUD Cimacan, 2018, Data 5 besar bedah terbanyak tahun 2018,
Cipanas: RSUD Cimacan.

Rekam Medik RSUD Cimacan, 2018. Data Pasien Hernia Inguinalis 2018-2019,
Cipanas : RSUD Cimacan.

Rios A., Rodiguez J.M., Munitiz V., Alcaraz P., Perez F.D., Parilla P. 2001.
Antibiotic Prophylaxis In Incisional Hernia Repair Using A Prothesis
Hernia, Vol. 5(3), hal. 148-152.

Ruhl CE dan Everhart JE. 2007. Risk Factor for Inguinal Hernia among Adults in
The US Population. America Journal Of Epidemiology. U.S.A.

Sastramihardja, S., 1997, Penggunaan Obat Yang Rasional Di Tempat pelayanan


Kesehatan, Majalah Kedokteran Indonesia, Edisi 8 no 3, Jakarta.

Sabiston D, C.2010. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC .

Saifudin, A. B. 2008 . Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo .

Sjamsuhidajat,R., dan Wim de Jong, “Buku Ajar Ilmu Bedah”, Edisi Revisi, EGC,
Jakarta, 1997, Hal 287-299 dan 335-391.
56

Sjamsuhidajat, R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : Penerbit EGC.

Sjamsuhidajat, R,; Karnadihardja, W,; Pasetyono,T.O.H.; Rudiman, R., 2010.


Sjamsudidajat-De Jong: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Snell R, S. 2006. Anatomi Klinik. Jakarta : EGC .

Soedjatmiko. 1994. Bedahdigestif dan anak In: Sjukur A dkk, Pedoman Diagnosis
dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo, Surabaya:
Lab/UPT Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Dokter Soetomo,
hlm 83-85.

Syarif A, dr, SKM dkk.1995. Farmakologi dan Terapi. Ed 4. Jakarta : Gaya Baru.
Hlm. 571-583 .

Tahalele P, Prof. Dr,FCTS, FinaCS. 2003 . Pedoman Penggunaan Antibiotik


Profilaksis di Bidang Bedah, Bagian/SMF. Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Univesitas Airlangga Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.

Widdicombe, J. 2003. Cough: Causes, Mechanism, and Theraphy. Blackwell


Publishing. Massachusetts. U.S.A.

WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.

Yerdel M.A., Akin E.B., Dolalan S, et al. 2001. Effect Of Single Dose Ampicillin
And Sulbactam On Wound Infection After Tension Free Inguinal
HerniaRepair With A Polyprophylene Mesh. Ann Surg 2001, Vol 233, 26-
33.

Zendejas et al, 2013. Relationship Between Body Mass index and The Incidence of
Inguinal Hernia Repairs : A Population-based Study In Olmsted Country,
MN.
57

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian


58

Lampiran 2. Uji Frekuensi Data Menggunakan SPSS 17

Jenis Kelamin Pasien Bedah Hernia Inguinalis

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Laki-laki 48 94.1 94.1 94.1

Perempuan 3 5.9 5.9 100.0

Total 51 100.0 100.0

Usia Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Remaja akhir (17-25 Tahun) 4 7.8 7.8 7.8

Dewasa Awal (26-35 Tahun) 4 7.8 7.8 15.7

Dewasa akhir (36-45 Tahun) 5 9.8 9.8 25.5

Lansia Awal (46-55 Tahun) 13 25.5 25.5 51.0

Lansia Akhir (56-65 Tahun) 13 25.5 25.5 76.5

Manula (65-keatas) 12 23.5 23.5 100.0

Total 51 100.0 100.0

Indeks Massa Tubuh Pasien Bedah Hernia Inguinalis

Indeks Masa Tubuh

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurus (< 18kg/m2) 5 9.8 9.8 9.8

Normal (18-25 kg/m2) 42 82.4 82.4 92.2

Gemuk (25-27 kg/m2) 1 2.0 2.0 94.1

Obesitas (> 27 kg/m2) 3 5.9 5.9 100.0

Total 51 100.0 100.0


59

Pekerjaan Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Petani 12 23.5 23.5 23.5

Wiraswasta 21 41.2 41.2 64.7

PNS 3 5.9 5.9 70.6

Pedagang 2 3.9 3.9 74.5

Supir 2 3.9 3.9 78.4

Buruh Harian Lepas 5 9.8 9.8 88.2

Ibu rumah tangga 3 5.9 5.9 94.1

Belum bekerja 3 5.9 5.9 100.0

Total 51 100.0 100.0

Indikasi Medis Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Indikasi Medis

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid HIL (s) Reponible 14 27.5 27.5 27.5

HIL (dx) Reponible 12 23.5 23.5 51.0

HIL (s) Ireponible 8 15.7 15.7 66.7

HIL (dx) Ireponible 9 17.6 17.6 84.3

HIL (s) Inkanserata 2 3.9 3.9 88.2

HIL (dx) Inkanserata 2 3.9 3.9 92.2

HIL (dx) Strangulata 2 3.9 3.9 96.1

HIM (dx) Reponible 1 2.0 2.0 98.0

HIL (dx) Rekuren 1 2.0 2.0 100.0

Total 51 100.0 100.0


60

Letak Hernia Pada Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Letak Hernia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kanan 27 52.9 52.9 52.9

Kiri 24 47.1 47.1 100.0

Total 51 100.0 100.0

Lama Rawat Inap Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Lama rawat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 2 Hari 2 3.9 3.9 3.9

3 Hari 44 86.3 86.3 90.2

4 Hari 1 2.0 2.0 92.2

5 Hari 3 5.9 5.9 98.0

6 Hari 1 2.0 2.0 100.0

Total 51 100.0 100.0

Lama Pemberian Antibiotik Pada Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Lama Pemberian Obat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1 hari 7 13.7 13.7 13.7

2 hari 39 76.5 76.5 90.2

3 Hari 2 3.9 3.9 94.1

4 Hari 2 3.9 3.9 98.0

6 Hari 1 2.0 2.0 100.0

Total 51 100.0 100.0


61

Jenis Antibiotik Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Jenis Antibiotik

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Cefriaxone 25 49.0 49.0 49.0

Cefotaxime 11 21.6 21.6 70.6

Cefazoline 6 11.8 11.8 82.4

Ceftazidime 1 2.0 2.0 84.3

Cefazoline dan Cefotaxime 1 2.0 2.0 86.3

Cefazoline dan Cefriaxone 4 7.8 7.8 94.1

Ceftriaxone + Metronidazole 2 3.9 3.9 98.0

Ciprofloxacin + Metronidazole 1 2.0 2.0 100.0

Total 51 100.0 100.0

Rasionalitas Antibiotik Berdasarkan Tepat Pasien


Tepat Pasien

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tepat Pasien 50 98.0 98.0 98.0

Tidak Tepat Pasien 1 2.0 2.0 100.0

Total 51 100.0 100.0

Rasionalitas Antibiotik Berdasarkan Tepat Dosis

Tepat Dosis

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tepat Dosis 47 92.2 92.2 92.2

Tidak Tepat Dosis 4 7.8 7.8 100.0

Total 51 100.0 100.0


62

Rasionalitas Antibiotik Berdasarkan Tepat Interval Pemberian


Tepat Interval Pemberian

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tepat Interval Pemberian 49 96.1 96.1 96.1

Tidak Tepat Pemberian 2 3.9 3.9 100.0

Total 51 100.0 100.0

Rasionalitas Antibiotik Berdasarkan Tepat Lama Pemberian


Tepat Lama Pemberian

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Profilaksis 42 82.4 82.4 82.4

Terapi Empiris 4 7.8 7.8 90.2

Tidak Tepat Lama Pemberian 5 9.8 9.8 100.0

Total 51 100.0 100.0

Rasionalitas Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Hernia Inguinalis


Rasionalitas

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Rasional 44 86.3 86.3 86.3

Irasional 7 13.7 13.7 100.0

Total 51 100.0 100.0


63

Anda mungkin juga menyukai