Anda di halaman 1dari 9

Tatalaksana Medis Meningioma dalam Era Kedokteran Presisi

Meningioma adalah tumor saraf pusat primer yang paling umum pada orang dewasa,
lebih dari 1/3 keseluruhan tumor otak. Sebagian besar adalah tipe WHO kelas I, sedangkan 15%-
20% adalah WHO kelas II atau III. Meningioma kelas I memiliki perkembangan yang lambat,
sedangkan meningioma kelas II dan III selalu berkaitan dengan prognosis yang buruk, dimana
kelangsungan hidup 10 tahun berkisar antara 53% -79% untuk pasien dengan meningioma grade
II hingga 14% -34% untuk pasien dengan meningioma grade III. Pasien dengan meningioma
yang refrakter terhadap pembedahan konvensionalatau radiasi memiliki pilihan pengobatan yang
terbatas
Uji klinis untuk meningioma memiliki tantangan tidak hanya target yang sedikit,
namun juga oleh beberapa kualitas dari pola pertumbuhan epidemiologi dan tumor. Pertama,
perkembangan meningioma grade I yang relatif lambat dan variabilitas yang luas dalam
perkembangan meningioma grade II menjadi tantangan kita dalam menentukan onset perjalanan
penyakit. Waktu yang dibutuhkan untuk mendefinisikan pengendalian dan perkembangan
penyakit yang sebenarnya dapat melebihi anggaran suatu uji klinis. Kedua, efektivitas tindakan
pembedahan dan radiasi ajuvan untuk meningioma menghambat progresifitas meningioma
terutama subtipe meningioma grade I, yang mungkin dipelajari dalam uji klinis.
Selain itu, pendekatan untuk mengukur pertumbuhan meningioma bervariasi di seluruh
studi perkembangan tumor, dimana beberapa peneliti menggunakan diameter maksimum tumor;
sedangkan lainnya berdasarkan area maksimum serta analisis volumetrik tiga dimensi.
Kurangnya konsistensi penentuan klinis dalam berbagai studi menghambat perbadingan antara
percobaan dan standarisasi teknik uji coba
Tatalaksana medis meningioma terus berkembang selama 20 tahun terakhir,
menunjukkan ekspansi terapi kanker. Beberapa studi telah melakukan uji klinis berdasarkan
perubahna molekuler dan imunitas lingkungan. Penemuan ini mendukung uji coba inhibitor
molekul baru dan imunoterapi. Dalam ulasan ini, kami merangkum strategi tatalaksana
meningioma yang telah dipelajari hingga saat ini serta perkembangan terapi di masa depan.
Kemoterapi Sitotoksik
Kemoterapi sitotoksik telah menjadi standar terapi untuk meningioma refrakter baik
dalam pembedahan dan radioterapi (Tabel 1). Obat-obatan cyclophosphamide, doxorubicin, dan
vincristine untuk meningioma anaplastic memiliki hasil yang baik meskipun memiliki toksisitas
tinggi, dengan mayoritas pasien menunjukkan hasil radiologi yang baik. Irinotecan, inhibitor
topoisomerase I, dan temozolomide, alkylator DNA, menghasilkan 6% dan 0% progression-free
survival selama 6 bulan (PS6) maisng-masing untuk meningioma grade I refrakter. Pengobatan
dengan Hydroxyurea, inhibitor ribonukleotida reductase, menunjukkan hasil positif melalui hasil
radiologi pada 3 dari 4 pasien meningioma berulang.
Penelitian retrospektif dan prospektif mengenai Hydroxyurea slanjutnya menunjukkan
bahwa respon pasien stabil, diikuti oleh penyakit progresif, serta nilai median PFS berkisar dari
2-77 bulan tergantung dari populasi penelitian. Uji klinis yang menilai keamanan dan
kemanjuran terapi kombinasi termasuk hydroxyurea ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut
dalam Combinatorial Pharmacology Therapy dibawah ini

Terapi Hormon
Meningioma telah dikaitkan dengan disregulasi dari sejumlah aksi hormonal. Pengaruh
hormon telah dilibatkan dalam perkembangan meningioma pasien yang didominasi wanita,
pertumbuhan tumor selama kehamilan, dan penurunan risiko pada wanita menopause dan pasca
ooforektomi.
Tamoxifen, agen anti-estrogen, tidak menunjukkan efektivitas dalam dua uji coba fase
II, dengan mayoritas pasien menunjukkan perkembangan penyakit yang progresif. Sebaliknya,
agen anti-progesteron mifepristone dikaitkan dengan respon positif pada sebagian kecil pasien di
beberapa uji coba retrospektif dan prospektif. Hasil ini mendorong penelitian randomized
controlled trial fase III, menilai dampak mifepristone pada OS dan PFS dalam meningioma
progresif atau berulang. Meningioma dari berbagai tingkatan mengekspresikan reseptor hormon
seks yang berbeda dan kemungkinan telah mengaburkan hasil yang berpotensi menonjol dari uji
coba ini.
Meningioma menunjukkan aktivasi hormon pertumbuhan (GH) / insulin-like growth
factor 1 (IGF-1) axis. Sumbu GH / IGF-1 secara endogen dihambat oleh somatostatin,
mendukung studi analog somatostatin dalam uji coba. Meningioma secara istimewa
mengekspresikan reseptor somatostatin tipe 2 (SST2), yang dapat mengikat hormon octreotide
untuk mengurangi proliferasi sel. Respon terhadap octreotide berkorelasi ke kadar SST dan
Merlin yang tinggi in vitro. Analisis retrospektif awal pada efektivitas somatostatin analog
octreotide sebagai terapi untuk tiga kasus meningioma refrakter menunjukkan potensinya untuk
dipertahankan penyakit stabil. Selain itu, studi retrospektif oktreotida dalam 8 pasien
meningioma grade I progresif menunjukkan 100% PFS pada 48 bulan. Namun percobaan fase II
lain yang menggunakan jumlah pasien dengan meningioma grade II-III yang lebih banyak
menunjukkan median PFS mulai dari 4 hingga 5 bulan
Uji coba fase II dengan Pasireotide, analog somatostatin lain, menunjukkan kemungkinan
manfaat terapeutik pada meningioma dengan derajat yang lebih tinggi. Khususnya, pasien
dengan meningioma derajat tinggi, yang telah menjalani operasi sebelumnya dan radioterapi,
serta sebagian besar telah melakukan kemoterapi, memiliki median OS 2,0 tahun. Radiolabeled
Therapy [DOTA0, Tyr3] -octreotide (DOTATOC) yang menargetkan reseptor somatostatin, diuji
dalam sebuah uji coba fase II dan menunjukkan hasil yang stabil pada mayoritas kasus
meningioma progresif dengan OS rata-rata 8,6 tahun sejak dimulainya pengobatan; Namun
distribusi derajat tumor tidak disebutkan dalam studi ini

Terapi Target Non-hormonal


Spesifisitas molekuler dari terapi target membedakan mereka dari kemoterapi
tradisional dalam memberikan serangan tepat pada target protein. Terapi saat ini bergerak pada
reseptor seluler, transduksi sinyal molekul, pengatur siklus sel, dan molekul vital lainnya yang
diidentifikasi oleh ekspresi protein yang menyimpang. Terapi target untuk meningioma akan
memerlukan pengetahuan mendasar dari mekanisme yang saling terkait ini. Antagonis dari jalur
ini telah diuji coba dalam meningioma dan dibahas di bawah ini (Tabel 2).

Vascular Endothelial Growth Factor


Angiogenesis yang menyimpang adalah karakteristik dan target terapi pada banyak
jenis kanker. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) adalah aktivator angiogenesis yang
kuat dengan tingkat ekspresi yang berkorelasi dengan derajat meningioma. Ini juga terkait
dengan karakteristik fenotipik termasuk edema peritumoral dan nekrosis. VEGF berkaitan
dengan Platelet Derived Growth Factor (PDGF), proses lain yang telah diteliti dalam
pengobatan meningioma refrakter, seperti yang dibahas di bawah ini. Terapi anti-angiogenik
adalah terapi yang menjanjikan untuk meningioma karena perkembangan farmasi yang kuat dan
ekspresi VEGF pada meningioma. Dalam dua penelitian retrospektif terbaru, bevacizumab,
antibody monoklonal terhadap VEGF-A, telah menunjukkan efektivitas dalam menjaga
kestabilan meningioma refrakter. Dalam salah satu penelitian ini, bevacizumab mengarah ke
median PFS 17,9 bulan dan PFS6 dari 85,7% di antara 14 pasien meningioma derajat I-III.
Tinjauan retrospektif bevacizumab untuk schwannoma vestibular NF2-associated dan
meningioma menunjukkan respon radiografi, yang didefinisikan setidaknya 20% penyusutan
volumetrik, pada 29% meningioma dengan durasi median 3,7 bulan. Respon ini tidak bertahan
lama, seperti PFS median yang hanya 15 bulan.

Platelet Derived Growth Factor


Meningioma menyoroti peran penting PDGF dalam perkembangan dan transformasi tumor.
Antibodi terhadap varian PDGF menghambat pertumbuhan meningioma in vitro, dan induksi
ekspresi PDGFb pada lapisan arachnoid tikus cukup untuk menghasilkan meningioma. Kadar
subtipe PDGF dan reseptor PDGF berkorelasi dengan derajat tumor. Inhibitor PDGFR
regorafenib telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pada percobaan in vivo
menggunakan model tikus ortotopik. Imatinib mesylate menghambat PDGFR dan c-Kit serta c-
Abl, memberikan pengobatan yang potensial untuk meningioma refrakter. Uji coba fase II
menunjukkan imatinib hasil yang baik, namun, dengan lebih banyak jumlah kasus lebih
menunjukkan perkembangan radiologis daripada kestabilan penyakit. Penelitian retrospektif
tumor dengan pewarnaan imunohistologis positif untuk PDGFR menunjukkan median PFS dan
PFS6 masing-masing 16 bulan dan 66,7%. Sunitinib adalah reseptor tyrosine kinase multi-target
inhibitor dengan aktivitas melawan reseptor untuk kedua VEGF dan PDGF dan mengurangi
sintesis DNA sel meningioma, viabilitas, dan migrasi in vitro. Uji coba fase II sunitinib untuk
meningioma derajat tinggi yang sulit disembuhkan dengan pembedahan dan radioterapi
menghasilkan PFS rata-rata 5,2 bulan dan
OS rata-rata 25 bulan. Sebuah laporan kasus tentang sunitinib untuk meningioma refrakter grade
II menunjukkan mendokumentasikan penurunan yang nyata volume tumor yang menyebabkan
kebocoran cairan serebrospinal. Vatalanib adalah reseptor tyrosine kinase multi-target lain
inhibitor yang telah menunjukkan kemanjuran terapi dalam uji fase II untuk meningioma
refrakter

Epidermal Growth Factor


Epidermal Growth Factor (EGF) dan reseptor EGF mewakili target terapi lainnya. Kadar
hormone yang lebih tinggi berhubungan dengan meningioma jinak. Uji coba fase II erlotinib atau
gefitinib, dua inhibitor EGFR, untuk meningioma berulang ditunjukkan median PFS 10 minggu
dan PFS6 28%. Efektivitas EGFR inhibitor yang terbatas dapat sdijelaskan oleh perbedaan kadar
EGFR dari peserta uji coba.

Jalur lainnya
Jalur lain yang terlibat dalam pertumbuhan sel, siklus sel regulasi, regulasi transkripsi,
dan apoptosis telah terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan meningioma. Kadar Tumor
Growth Factor (TGF) berkaitan dengan kekambuhan penyakit. Kadar TGF-b meningkatkan
aktivitas sMAD signaling pathway. Selain itu, ekspresi reseptor III TGF-b dikaitkan dengan
meningioma derajat tinggi. Cyclin dan Cyclin-Dependent Kinases (CDKs) mengatur
perkembangan siklus sel dan berkontribusi terhadap pertumbuhan sel yang berlebihan. Ekspresi
Cyclin D1 dikaitkan dengan peningkatan derajat tumor dan kekambuhan pada meningioma.
Inhibitor Histone Deacetylase (HDAC) menggunakan efek sitostatik pada replikasi sel dengan
meningkatkan aktivitas asetilasi DNA. HDAC inhibitor AR-42 menginduksi apoptosis
meningioma in vitro. Ini juga menyebabkan regresi tumor pada model tikus dari meningioma.
Bentuk potongan dari Tumor Necrosis Factor–Related Apoptosis-Inducing Ligand (TRAIL)
yang tidak dapat memulai pensinyalan apoptosis berkorelasi dengan derajat meningioma

Terapi target molekuler dari Analisis Genom


Teknologi sequencing generasi berikutnya telah menghasilkan wawasan dalam
tatalaksana meningioma. Mutasi yang teridentifikasi termasuk AKT1, SMO, KLF4, TRAF7,
PIK3CA, SUFU, BAP1, SMARCB1 / E, POL2RA, dan yang lain, di samping NF2. Skrining
tumor sebelum terapi ajuvan dapat meningkatkan efektivitas pengobatan regimen tunggal dan
stratifikasi percobaan. Mutasi BAP1 menyoroti manfaat tambahan untuk skrining genomik.
Jalur PI3K/AKT/mTOR
Jalur Phosphoinositol-3 Kinase (PI3K) meningkatkan sinyal GF dan diregulasi banyak di kanker.
Aktivasi PI3K mengarah ke fosforilasi dan aktivasi alfa serin / treonin-protein kinase (AKT),
yang secara langsung mengaktifkan target mamalia rapamycin (mTOR. Mutasi AKT1 dan
PI3KCA adalah diidentifikasi pada 9% dan 7% meningioma, masing-masing, yang sebagian
besar adalah meningioma derajat I. AKT1-mutant meningioma menunjukkan kecenderungan
untuk berada di anterior dasar tengkorak fossa (19%). Mutasi AKT1, diamati pada tumor non-
NF2, telah menghasilkan peningkatan karena adanya inhibitor saat ini dalam uji klinis. Sebuah
kasus meningioma yang metastasis dan refrakter yang menunjukkan sensitivitas AKT inhibitor
ex vivo menunjukkan kestabilan penyakit hingga satu tahun setelah memulai terapi inhibitor
AKT dengan AZD. Peran AKT1 inhibitor dalam pengobatan meningioma berulang atau
progresif saat ini dalam uji klinis (lihat di bawah).

SMO
Mutasi pada SMO telah terdeteksi pada sekitar 6% dari Meningioma non-NF2, dengan mayoritas
tumor ditemukan di dasar tengkorak, khususnya di jaras penghidu. Hingga 28% dari meningioma
jaras olfaktorius terdapat mutasi SMO, dan tanda molekuler ini mungkin juga menandakan
prognosis yang lebih buruk pada tumor jaras olfaktorius derajat I. Uji coba fase II sedang
berlangsung untuk mengeksplorasi efektivitas penghambatan SMO dalam meningioma berulang
atau progresif.

BAP1
Breast Cancer type 1 Susceptibility Protein (BRCA1)– Associated Protein-1 (BAP1) adalah
tumor supresor yang bekerja melalui aktivitas deubiquitinase pada nukleosom, dan aktivitas
nonaftivasi dari BAP1 telah diidentifikasi pada meningioma dengan morfologi rhabdoid.
Meningioma BAP1-mutant telah ditemukan pada meningioma derajat II dan secara klinis agresif.
Kehadiran mutasi BAP1 meningkatkan risiko untuk beberapa jenis kanker, sehingga ekspresi
factor tersebut dapat memodifikasi skrining dan pengawasan tumor seseorang. Penghambat
Enhancer of Zeste Homolog 2 (EZH2) dan homolognya telah menunjukkan penghambatan
BAP1-mutan mesothelioma in vitro yang telah meningkatkan level mRNA EZH2. Inhibitor
EZH2 tazemetostat saat ini sedang menjalani uji klinis pada mesothelioma ganas dengan
defisiensi BAP1.

Imunoterapi
Imunoterapi apda meningioma refrakter telah menunjukkan penurunan pertumbuhan
meningioma sebesar 70% –100% in vitro. Studi fase II menguji IFN-a pada 6 pasien
meningioma berulang menunjukkan respons positif terhadap pengobatan dengan kestabilan
penyakit atau sedikit regresi. uji coba fase II lain pada 35 meningioma refrakter grade I terhadap
pembedahan, radiasi, dan kemoterapi menunjukkan PFS median yang menguntungkan 7 bulan
dan PFS6 sebesar 54%. Percobaan serupa pada meningioma derajat berat menunjukkan PFS
median hanya 3 bulan dan PFS6 17%. Meskipun hasilnya awalnya kurang baik, beberapa bukti
mendukung peran imunoterapi pada meningioma. Pertama, tumor ini mengaktivasi imunitas,
khususnya monosit dan sel T sitotoksik, dengan konsentrasi makrofag yang lebih tinggi pada
tumor yang lebih ganas. Kedua, setengah dari mutasi yang ditemukan pada meningioma
diperkirakan menjadi neo-antigenik dengan jumlah yang lebih tinggi diamati pada tumor yang
lebih ganas. Ketiga, meningioma ada di luar sawar darah-otak dan dapat dimodulasi oleh
sistemik respon imun. Keempat, meningioma derajat berat dengan ekspresi lebih tinggi dari
Programmed Cell Death Protein 1 (PD-1) dan PD-1 ligand (PD-L1) berhubungan dengan
kelangsungan hidup yang lebih buruk, terlepas dari tingkat tumor, luasnya reseksi, dan
kekambuhan sebelumnya. Programmed Cell Death Protein 1 adalah reseptor permukaan sel
pada sel T dan mengikat PD-L1 pada sel yang menyajikan antigen dan sel tumor untuk
menghambat aktivasi sel-T. Antibodi diarahkan melawan poros PD-1 / PD-L1 memperkuat
respon imun dan telah menghasilkan hasil positif dalam beberapa kanker. Sel meningioma
anaplastik sangat mengekspresikan PD-L1, menunjukkan bahwa inhibitor anti-PD-1 / PD-L1
memiliki efektivitas tinggi dalam terapi tumor ini. Sebuah laporan dari nivolumab inhibitor PD-1
untuk kanker paru-paru pada pasien dengan meningioma bersamaan ditunjukkan pengurangan
volume radiografi 24% pada meningioma. Uji coba nivolumab dan inhibitor PD-1 lainnya,
pembrolizumab untuk meningioma saat ini sedang berlangsung.
Combinatorial Pharmacological Therapies
Terapi target memiliki potensi besar dalam personalisasi obat dengan memungkinkan profil
mutagenik masing-masing pasien disesuaikan pengobatan mereka. Keterbatasan yang melekat
pada paradigma ini adalah asumsi "satu mutasi, satu obat". Genom ntratumoral yang heterogen
membuat subpopulasi sel tumor kebal terhadap terapi yang ditargetkan terhadap perubahan
ditemukan pada populasi sel. Terapi kombinasi mengatasi masalah ini dengan menargetkan
beberapa jalur bersamaan. Heterogenitas genom intratumoral diamati pada meningioma berulang
yang mendasari kebutuhan untuk pendekatan terapi yang secara efektif menargetkan subpopulasi
yang berbeda. Penulis penelitian terbaru telah memeriksa keamanan dan kemanjuran terapi
kombinatorial pada meningioma dengan hasil yang menjanjikan. Dalam uji coba fase II
hidroksiurea dan imatinib untuk pasien dengan meningioma progresif atau berulang, sebagian
besar kasus menunjukkan penyakit yang stabil, meskipun tidak ada kasus yang menunjukkan
respons radiologis positif. Kombinasi itu ditoleransi dengan baik dan PFS6 untuk semua kasus
adalah 61,9%. Uji coba fase II acak menguji terapi kombinatorial yang sama disimpulkan secara
dini karena pendaftaran lambat, meskipun semua pasien yang mendaftar menunjukkan penyakit
yang stabil. Uji coba fase I / II untuk hidroksiurea dan verapamil, antagonis saluran kalsium yang
meningkatkan efek sitostatik hidroksiurea in vitro dan model meningioma in vivo, menunjukkan
efek samping pada 86% pasien dan median PFS dan PFS6 dari 8 bulan dan 85%, masing-masing,
dalam meningioma refrakter

Strategi Selanjutnya
Memperluas pengetahuan tentang meningioma adalah kekuatan pengembangan terapi baru untuk
mengatasi penyakit ini. Genomik dan epigenetik meningkatkan prognostikasi dan stratifikasi uji
coba. Perkembangan karakterisasi radiomik kuantitatif meningioma dapat memberikan alat
stratifikasi tumor tambahan dan memprediksi prognosis tumor pada diagnosis awal. Adanya
heterogenitas sel meningioma memberikan jalan untuk penemuan penemuan terapeutik lainnya
yang dapat mengatasi multidrug resistant meningioma

Kesimpulan
Ada beberapa opsi untuk mengelola secara medis kasus meningioma progresif dan refrakter.
Kemajuan dalam molekul biologi dan genomik telah menyebabkan perkembangan inhibitor
molekuler yang dapat menargetkan molekul onkogenik dan imunomodulator. Muncul uji coba
untuk meningioma mulai mengintegrasikan genomik kriteria inklusi, dengan harapan untuk
memperbaiki hasil klinis di masa depan dalam paradigma kedokteran presisi.

Anda mungkin juga menyukai