Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 PEMBAHASAN 2
2. 1 Keracunan 2
2. 2 Narkotika 3
2. 3 Opium 4
2. 3. 1 Definisi
4
2. 3. 2 Reseptor Opioid
5
2. 3. 3 Klasifikasi Opioid
5
2. 4 Pemeriksaan Toksikologi Narkotika 7
2. 4. 1 Pemeriksaan Fisik
7
2. 4. 2 Sindrom Toksik
9
2. 5 Morfin (Gambaran Forensik) 12
2. 5. 1 Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai
Morfin
12
2. 5. 2 Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai
Morfin
14
2. 5. 3 Pemeriksaan pada Kematian Akibat Pemakaian Opioid
(Morfin Atau Heroin)
16
2. 6 Heroin 19
BAB 3 SIMPULAN 21
3. 1 Simpulan 21
DAFTAR PUSTAKA 22
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2. 1 Gambaran Klinik dari Berbagai Golongan Obat
9
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Kematian yang disebabkan oleh keracunan menyumbang 20, 8 % dari
seluruh kematian akibat cedera yang terjadi di Amerika Serikat, melebihi
kematian yang disebabkan oleh senjata api dan kecelakaan lalu lintas. Hal ini juga
disebabkan oleh adanya peran toksikologi (keracunan) pada kecelakaan lalu lintas,
berdasarkan penyelidikan yang dilakukan.
Narkotika, menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (UU 35/2009), adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-
undang.
Kasus keracunan baik fatal maupun non fatal hampir selalu dijumpai
setiap tahun. Walaupun bukan penyebab utama dari kasus forensik, namun kasus
keracunan perlu mendapat cukup perhatian. Secara definisi, racun merupakan
suatu zat yang apabila kontak atau masuk ke dalam tubuh dalam jumlah tertentu
(dosis toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia ataupun fisiologis sehingga
menyebabkan sakit atau kematian.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Keracunan
2
4. Pengaruh terhadap alat perkencingan, seperti gangguan pengeluaran air kencing/
kencing sedikit-sedikit (urinary retention) gejala kerusakan ginjal.
5. Kerusakan pada hati (hepar), pingsan disebabkan gangguan pada hati (hepatic
coma).
6. Pengaruh terhadap keseimbangan air dalam elektrolit dalam tubuh (dehydrasi),
yaitu keseimbangan garam (NaCl), keseimbangan asam dan basa (acidosis dan
alkalosis), gangguan keseimbangan postasium dan kalsium dalam darah.
7. Luka bakar kimia pada kulit, selaput lendir pada mulut/tenggorok (moucus
membrance) dan selaput lendir mata.
2.2 Narkotika
2.3 Opium
Sumber opium, zat-zat dari opium yang belum diolah dan morfin bersumber dari
bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000
tahun dan penggunaanya terdapat dalam dokumen-dokumen kuno Mesir, Yunani dan
Romawi.
Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertüner, seorang ahli
farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium pada
tahun 1803. Hal ini peristiwa penting dimana telah dimungkinkan untuk
menstandarisasi potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada
dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertüner mengajukan ”morfin” untuk senyawa
ini, yang berasal dari bahasa Yunani ; Morpheus yang berarti mimpi dari Dewa (God of
dreams).
2.3.1 Definisi
Secara definisi, opiod adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat
berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang
sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan
nyeri paska pembedahan.
Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat
(morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi
relatifnya dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang
lebih luas dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan
dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein,
pavaperin dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain)
dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
Berikut ini merupakan turunan opioid yang sering disalahgunakan:
1. Candu
Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap
(menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan
dinamai “Lates”. Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga
berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang
menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar.
Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering
disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman.
Diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap.
Pemakaiannya dengan cara dihisap.
2. Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan
alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ). Morfin rasanya pahit, berbentuk
tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya
dengan cara dihisap dan disuntikkan.
3. Heroin (putaw)
Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan
merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia
pada akhir – akhir ini. Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin
menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak
menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal,
tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker
terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik.
4. Kodein
Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih
lemah daripada heroin dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan
rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya
ditelan dan disuntikkan.
5. Demerol
Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau
dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna.
Kulit sering tampak merah, panas dan kering pada keracunan dengan
atropin dan antim, muskarinik lain. Keringat yang herlebihan ditemukan pada
keracunan dengan organofosfat, nikotin dan obat-obat simpatomimetik. Sianosis
dapat disehabkan oleh hipoksemia atau methemoglohinemia. Ikterus dapat
memberi kesan adanya nekrosis hati akilat keracunan asetaminofen atau jamur A
manila phailoides.
5. Abdomen
Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial. Kejang fokal atau defisit
motorik lebih menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan intrakranial
akibat trauma) daripada ensefalopati toksik atau metabolik. Nistagmus, disartria
dan ataksia adalah khas pada keracunan fenitoin, alkohol, barbiturat dan
keracunan sedatif lainnya. Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan
pada metakualon, haloperidol, fensiklidin (PCP) dan obat-obat simpatomimetik.
Kejang sering disebabkan oleh antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid dan
fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan bahkan EEG isoelektrik mungkin
terlihat pada koma yang dalam karena obat narkotika dan sedatif-hipnotik dan
mungkin menyerupai kematian otak.
2.4.2 Sindrom Toksik
Berdasarkan pemeriksaan Fisik awal, diagnosis tentatif jenis keracunan dapat
dimungkinkan. Dicantumkan dalam tabel daftar karakteristik dari beberapa sindrom
keracunan yang penting.
Pada keracunan akibat morfin, terdapat 3 tahap yang menandai terjadinya gejala
klinis yang berbeda yaitu:
1. Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi,
tanpa ada tahap 1, terdiri dari:
Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat.
Halusinasi.
Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.
Dapat menjadi maniak.
2. Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam
(gejala ini selalu ada), terdiri dari:
Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.
Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.
Wajah sianosis, pupil amat mengecil.
Pulse dan respirasi normal.
3. Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari:
Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.
Proses sekresi.
Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa
dan ini merupakan tanda akhir.
Respirasi cheyne stokes.
Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.
1. Lokasi needle marks: fossa ante cubiti, lengan atas dan punggung tangan dan
kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal dan pada perempuan
disekitar papilla mamae. Needle marks yang masih baru sering disertai tanda-
tanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan
serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang
lama berupa jaringan parut titik-titik sepanjang lintasan vena dan disebut
“intravenous mainline tracks”. Kadang – kadang untuk menyamarkan needle
marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses,
granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang
melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek
toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama.
Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda-tanda abses dan lain
sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal
ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya
denngan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh
karena itu dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus
(‘nasalswab’).
2. Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering menyuntik
lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler.
Hal ini merupakan ‘Drain phenomenon’. Biasanya karena jarum suntikannya
tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia
limfositik.
3. Gelembung-gelembung pada kulit. Sering terdapat pada telapak tangan/kaki dan
hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus
dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate.
4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut
yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini
dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda
sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari dan bibir. Juga ada tanda perdarahan
(bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan
membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi.
Pemeriksaan Dalam
Paru-paru
1. Perubahan akut: Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian.
Adapun perubahan awal yang terjadi adalah:
a. Dari 0 sampai 3 jam: hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel
mononuclear atau makrofag pada dinding alveoli. PA: Paru-paru tampak
voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih padat sehingga tak ada
krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan terdapat
benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti,
edema dengan sel-sel mononuclear dalam alveoli.
b. Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narcotic lungs (siegel). Tanda ini
amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat
mngembang (over inflated). Trakea tertutup busa halus. Pada permukaan
paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat adanya
bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat
mengembang dan emfisma), kongesti dan terdapat perdarahan di beberapa
tempat terutama di bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior).
Secara PA, tampak sel-sel makrofag, perdarahan alveolar, intrabronkhiolar,
subpleural dan sel-sel polimorfonuklear. Dapat ditemukan juga aspirat di
daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap
antidotum opiate.
c. Dari 12 sampai 24 jam. Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-
sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval
> 24 jam. Akan tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan
granula.
2. Perubahan kronis. Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular.
Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk
ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat
dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan
dan terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular,
perivascular, atau di dalam alveolus.
Hati
Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu.
Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN dan beberapa sel-sel narkotika. Juga
nampak fibrosis jaringan dan adanya sel-sel ductus biliaris yang mengalami proliferasi.
Ada 4 kelainan:
1. Hepatitis agresif kronika: tandanya ada pembentukan septa.
2. Hepatitis persisten kronika: adanya infiltrasi sel radang didaerah portal
3. Hepatitis reaktif kronika.
4. Perlemakan hati.
Getah Bening
1. Lokasi: terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput pankreas dan duktus
kholedocus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya.
2. Makroskopis: tampak pembesaran
3. Mikroskopis: tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit.
Pemeriksaan Toksikologi
1. Urin, cairan empedu dan jaringan temapt suntikan.
2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral.
3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup
4. Barang bukti lainnya.
2.6 Heroin
Heroin adalah semi sintetik opioid yang disintesa dari morphin yang merupakan
derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw.
Karakteristik dari heroin dapat berupa bubuk putih, bubuk coklat dan blacktar. Cara
pemakaian heroin dapat di Injeksi, dihirup atau dihisap.
Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin:
Short term Long term
Gelisah Addiksi
Depresi pernafasan HIV, hepatitis
Fungsi mental berkabut Kolaps vena
Mual dan muntah Infeksi bakteri
Menekan nyeri Penyakit paru (pneumonia, TBC)
Abortus spontan Infeksi jantung dan katupmnya
Pemeriksaan forensik:
Bekas-bekas suntikan
Rajah yang bertujuan menutupi bekas-bekas suntikan, atau mungkin ditemukan
adanya abces, granuloma atau ulkus.
Perlu diambil hapus selaput lendir hidung (nasal-swab) untuk pemeriksaan
toksikologik
Pembesaran kelenjar getah bening setempat
Lepuh kulit (skin-blister)
Kelainan paru
Kelainan hati
BAB 3
SIMPULAN
3.1 Simpulan
toksikologi merupakan hal yang sangat penting untuk mendeteksi jenis keracunan yang
penyebab keracunan yang jelas dan tanda dan gejala pada saat pasien keracunan juga