PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
a. Memahami tentang obat Barbiturate, Benzodiazepine, Opioid dan derivatnya.
b. Mengetahui mekanisme toksisitas dari Barbiturate, Benzodiazepine, Opioid dan
derivatnya.
c. Mengetahui cara mengatasi keracunan terhadap Barbiturate, Benzodiazepine, Opioid
dan derivatnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-
gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang
meninggal. Racun adalah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang
dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
yaitu: Opium, kokain, kurare, aflatoksin. Racun yang berasal dari hewan: Bias/toksin
ular/laba-laba/hewan laut. Racun yang berasal dari mineral: Arsen, timah hitam. Sedangkan
racun yang berasal dari sintetik adalah heroin.
Berdasarkan tempat dimana racun berada, racun dapat dibagi menjadi racun yang
terdapat di alam bebas misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di rumah tangga
misalnya deterjen, insektisida, pembersih. Racun yang digunakan dalam pertanian misalnya
insektisida, herbesida, pestisida. Racun yang digunakan dalam industri laboratorium dan
industri misalnya asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat dalam makanan
misalnya CN di dalam singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun
dalam bentuk obat misalnya hipnotik sedatif. Pembagian lain berdasarkan atas kerja atau efek
yang ditimbulkan. Ada racun yang bekerja secara lokal, sistemik dan lokal-sistemik.
Cara Terpapar
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara
masuk lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular, intraperitoneal,
subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang sehat.
Umur
3
Orang tua dan anak-anak lebih sensitiv misalnya pada barbiturat. Bayi
prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal belum
sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup
Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat.
Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin di karenakan terjadi toleransi
pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka
akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bersifat
lokal, misalnya asam sulfat
4
menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa
keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
b. Segera. Pemeriksa harus segera berada di samping mayat dan harus menekan dada
mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang
hidung dan mulut.
c. Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh
tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna
coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
d. Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna,
karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna darah yang
tampak pada kulit.
e. Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada
telapak tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna kelabu
kebirubiruan akibat keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam jaringan
ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga (Cu)
dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen
karena terjadi gangguan fungsi hati.
f. Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang tidak
teratur. Pada keracunan talium kronik ditemukan kelainan trofik pada kuku.
g. Rambut. Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air
raksa dan boraks.
h. Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti fosfor,
karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa ular.
2.4. Barbiturat
Barbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat, dan,
berdasarkan ini, mereka menghasilkan spektrum yang luas dari efek, dari sedasi ringan
sampai anestesi total. Mereka juga efektif sebagai anxiolytics, sebagai hipnotik, dan sebagai
antikonvulsan. Mereka memiliki potensi kecanduan, baik fisik dan psikologis. Barbiturat
sekarang sebagian besar telah digantikan oleh benzodiazepin dalam praktek medis rutin
misalnya, dalam pengobatan kecemasan dan insomnia. Terutama karena benzodiazepin
5
secara signifikan kurang berbahaya di overdosis. Namun, barbiturat masih digunakan dalam
anestesi umum, serta untuk epilepsi. Barbiturat adalah turunan dari asam barbiturat.
Barbiturat seperti pentobarbital dan phenobarbital sudah lama digunakan sebagai anxiolytics
dan hipnotik. Hari ini, sebagian besar telah digantikan benzodiazepin mereka untuk tujuan
ini, karena benzodiazepin memiliki kurang potensial untuk overdosis mematikan.
Orang dewasa yang lebih tua dan wanita hamil harus mempertimbangkan risiko yang
terkait dengan penggunaan barbiturate. Ketika seseorang usia, tubuh menjadi kurang mampu
menyingkirkan barbiturates itu sendiri. Akibatnya, orang-orang di atas usia enam puluh lima
berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami efek berbahaya dari barbiturates, termasuk
ketergantungan obat dan overdosis disengaja. Ketika barbiturates diambil selama kehamilan,
obat melewati aliran darah ibu ke janin-nya. Setelah bayi lahir, mungkin mengalami gejala
penarikan dan memiliki kesulitan bernapas. Selain itu, perawatan ibu yang mengambil
barbiturates dapat mengirimkan obat untuk bayi mereka melalui ASI.
6
2.4.1 Mekanisme Toksisitas Barbiturat
Tidak sadar; napas lambat; datar sebagai akibat hambatan pernafasan sentral
Diuresis paksa dengan Furosemid i.v, dikombinasi dengan infus ekuivalen yang
dilengkapi dengan NaHCO3 untuk membebaskan urin sehingga eliminasi barbiturat
7
dipercepat. Dimana, Furosemid berguna untuk merangsang urin agar keluar dan fungsi dari
Natrium Bikarbonat (NaHCO3) adalah untuk memberikan suasana basa. Mungkin juga perlu
dilakukan hemodialisis atau hemoperfusi (cuci darah)
2.4.5 Overdosis
8
berbahaya dan tidak menyenangkan ketika obat berhenti setelah ketergantungan telah
dikembangkan.
Seperti etanol, barbiturat memabukkan dan menghasilkan efek yang sama selama
intoksikasi. Gejala-gejala keracunan barbiturat termasuk depresi pernapasan, menurunkan
tekanan darah, kelelahan, demam, kegembiraan yang tidak biasa, iritabilitas, pusing,
konsentrasi yang buruk, sedasi, kebingungan, gangguan koordinasi, gangguan penilaian,
kecanduan, dan pernapasan yang dapat menyebabkan kematian.
2.5. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah jenis obat yang memiliki efek sedative atau menenangkan.
Rumus benzodiazepine terdiri dari cincin benzene (cincin A) yang melekat pada cincin
aromatic diazepin (cincin B). Karena benzodiazepine yang penting secara farmakologik
selalu mengadung gugus 5-aril (cincin C) dan cincin 1,4-benzodiazepin, rumus bangun kimia
9
golongan ini selalu diidentikkan dengan 5-aril 1,4-benzodiazepin. Kebanyakan mengandung
gugusan karboksamid dalam struktur cincin heterosiklik beranggota 7. Substituent pada
posisi 7 ini sangat penting dalam aktivitas hipnotik sedative.
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepine memiliki empat daya kerja seperti
efek anxiolitas, hipnotik-sedatif, antikonvulsan, dan relaksan otot. Setiap efek berbeda-beda
tergantung pada derivatnya dan berdasarkan pengaruh GABA pada system saraf pusat (SSP).
Benzodiazepine menimbulkan efek hasrat tidur bila diberi dalam dosis tinggi pada malam
hari, dan memberikan efek sedasi jika diberikan dalam dosis rendah pada siang hari.
Alprazolam Estazolam
Bromazepam Ethyl loflazepate
Brotizolam Fludiazepam
Camazepam Flunitrazepam
Chlordiazepoxide Flurazepam (flurazepam
(chlordiazepoxide hydrochloride) monohydrochloride;
Clobazam dihydrochloride)
Clonazepam Halazepam
Clorazepate (clorazepate Haloxazolam
dipotassium) Ketazolam
Clotiazepam Loprazolam (loprazolam mesilate)
Cloxazolam Lorazepam
Delorazepam Lormetazepam and enantiomer
Diazepam Medazepam
10
Midazolam Pinazepam
Nimetazepam Prazepam
Nitrazepam Temazepam and enantiomer
Nordazepam Tetrazepam
Oxazepam and enantiomer Triazolam
Oxazolam
11
sebagai tablet atau kapsul. Terdapat juga penggunaan injeksi baik dengan tujuan medis atau
non medis, serta terdapat adanya laporan penggunaan intranasal (menghirup/mendengus).
Secara umum, toksik yaitu : rasio terapi untuk benzodiazepin sangat tinggi. Misalnya,
overdosis diazepam oral telah dilaporkan mencapai lebih dari 15-20 kali dosis terapi tanpa
depresi yang serius. Di sisi lain, penahanan pernapasan telah dilaporkan setelah menelan 5
mg triazolam dan setelah injeksi intravena yang cepat dari diazepam, midazolam, dan banyak
jenis lainnya dari benzodiazepin. Juga, konsumsi obat lain dengan agen SSP-depresan
(misalnya, etanol, barbiturat, opioid, dll) kemungkinan akan menghasilkan efek aditif.
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada
umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat
minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokter, apalagi untuk racun- racun yang
sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium
akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus
melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan.
12
Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Benzodiazepine
Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan
kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian atau penyidik, ahli forensik,
psikiater maupun ahli toksikologi.
Pemeriksaan Toksikologi
Pada orang yang telah meninggal, saat autopsy rutin, biasanya specimen yang
diambil adalah darah, vitreus, urin dan cairan empedu. Pada orang dengan suspect
over dosis obat secara oral, maka darah, vitreus, urin, cairan empedu, isi lambung
diambil untuk pemeriksaan serta hati, otot dan ginjal dapat diambil opsional.
Analisis dari jaringan biologis untuk kepentingan toksikologi terdiri dari 3 hal
yang diaplikasikan pada specimen-spesimen yang telah di ambil yaitu:
1. Separasi obat dari jaringan biologis
2. Pemurnian (purifikasi) obat
3. Deteksi dan kuantitasi analitik
13
jantung) dan bedah. Selain menghilangkan rasa sakit, morfin juga meredakan kecemasan
yang berhubungan dengan nyeri yang parah. Morfin masih merupakan salah satu obat yang
paling penting dalam penatalaksanaan nyeri. Heroin juga telah digunakan dalam hal
pengobatan. Penggunaan heroin untuk pengobatan diusahakan penggunaan dengan dosis
seminimal mungkin, karena heroin akan menimbulkan euphoria, menghilangkan kecemasan
dan perasaan terbang serta hal ini akan menyebabkan adanya ketergantungan penggunaan
heroin.
Tingkat kematian pada orang dengan ketergantungan oipioid saat ini dilaporkan masih
sangat tinggi. Kematian disebabkan oleh beberapa hal, yakni penyebab kematian utama
adalah overdosis narkoba, trauma (termasuk bunuh diri dan pembunuhan), serta somatic
(infeksi melalui darah).
Usia mempunyai pengaruh langsung terhadap kematian dan jenis kematian.
Ketergantungan obat juga terkait dengan proses penuaan, namun sampai saat ini bukti nyata
hubungan antara usia dengan risiko kematian akibat ketergantungan opioid belum ditemukan
secara nyata. Rata-rata usia pada saat kematian di kalangan pengguna opioid adalah usia 30
tahun. Studi dari Inggris telah melaporkan tingginya tingkat fatal-overdosis di antara
pengguna heroin muda, dan mereka memiliki ilmu pengetahuan yang kurang tentang faktor
risiko overdosis dibandingkan dengan pengguna yang lebih tua. Sebaliknya, usia yang lebih
tua juga telah dilaporkan sebagai factor kematian di antara pengguna heroin ( dengan
penelitian kohort). Di Australia umur rata-rata kematian di antara laki-laki pengguna opioid
yang overdosis meningkat dari 24,5 pada 1979 menjadi 30,6 pada tahun 1995.
14
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbukkan karena morfin
bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Selain itu, morfin juga mempunyai afinitas yang lebih
lemah terhadap reseptor δ dan κ.
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
a) Narcosis
Efek morfin terhadap SSP adalah berupa analgesia dan narcosis. Morfin dosis
kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien yang sedang menderita
nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, pada orang normal seringkali
menimbulkan disforia dengan gejala perasaan kuatir atau takut, disertai
dengan mual dan muntah. Dalam lingkungan yang tenang morfin dengan dosis
terapi (15-20 mg) akan menyebabkan tidur cepat dan nyenyak disertai mimi,
napas lambat dan miosis.
b) Analgesia
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat
kerja opioid pada reseptor μ. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara
berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan
medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Efek
analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai hilangnya
fungsi sensorik lain.
c) Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan
delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.
d) Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor μ dan κ
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen
otonom inti saraf okulomotor.
e) Depresi Napas
Morfin menimbulkan depredi napas secara primer dan bersinambungan
berdasrkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak.
f) Mual dan Muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic
chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area posterma medulla oblongata, bukan
oleh stimulasi pusat emetic sendiri.
2) Saluran Cerna
15
Morfin berefek langsung pada saluran cerna tanpa melalui efeknya terhadap
SSP. Di lambung morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan
lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang,
sedangkan sfingter pylorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke
duodenum diperlambat. Sedangkan di usus halus morfin mengurangi sekresi
empedu dan pancreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Di
usus besar morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi
kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras.
3) Sistem Kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi,
maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi
pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.
Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin.
Morfin dan opioid lain melepaskan histamine yang merupakan factor penting
dalam timbulnya hipotensi.
4) Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun,
vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Setelah
pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal dan penglepasan ADH.
a. Indikasi
1) Terhadap nyeri
Morfin dan opioid lain terutama diindikasinkan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesic non-opioid.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai: infark miokard, neoplasma,
kolik renal atau empedu, perikarditis akut, pleuritis, pneumothoraks spontan, nyeri
akibat trauma dan oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau koroner.
2) Terhadap batuk
Penggunaan analgesic opioid untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan
karena, telah banyak obat-obatan lain yang efektif dan tidak menimbulkan adiktif.
3) Edema paru akut
Morfin IV dapat dengan jelas mengurangi / menghilangkan sesak napas akibat
edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
16
4) Efek antidiare
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek langsung
terhadap otot polos usus.
b. Efek Samping
1) Idiosinkrasi dan Alergi
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita berdasarkan
idiosinkrasinya. Bentuk idiosinkrasi adalah timbulnya eksitasi dengan termor dan
jarang terjadi delirium, lebih jarang lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan
reaksi alergi dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak,
pruritus dan bersin.
2) Intoksikasi Akut
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat percobaan bunuh
diri. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat.
c. Sediaan Obat
1) Pulvus opii : mengandung 10% morfin dan kurang dari 0,5% kodein.
2) Pulvus doveri : mengandung 10% pulvus opii
1. Senyawa Sintetik dengan Sifat Farmakologik menyerupai Morfin
a. Meperidin
Meperidin juga dikenal sebagai petidin. Efek farmakodinamik dan derivate
fenilpiperidin lain serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai
agonis reseptor μ. Efek farmakodinamik meperidipin antara lain:
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
Sama halnya dengan morfin, meperidin akan menyebabkan analgesia, sedasi,
euphoria, depresi napas, dan efek sentral lainnya.
a) Analgesia
Efek analagesik meperidin serupa dengan efek analgesic morfin.
b) Sedasi, euphoria, dan eksitasi
Berbeda dengan morfin, dosis toksik meperidin kadang-kadang menimbulkan
perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot dan konvulsi.
c) Saluran napas
Obat ini menurunkan kepekaan pusat napas terhadap CO2 dan mempengaruhi
pusat yang mengatur irama napas dalam pons. Meperidin mempengaruhi
terhadap penurunan volume tidal, sedangkan frekuensi napas tidak terlalu
dipengaruhi, sehingga efek depresi napas tidak disadari.
17
d) Efek neural lain
2) Sistem Kardiovaskular
Pemberian meperidin secara IV dapat terjadi sinkop, karena terjadi
vasodilatasi perifer dan penglepasan histamine. Meperidin dapat menaikkan kadar
CO2 darah akibat depresi napas sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah
otak dan menimbulkan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.
b. Fentanil dan Derivatnya
Fentanil dan derivatnya: sulfentanil, alfentanil dan remifentanil merupakan opioid
sintetik dari kelompok fenilpipiredin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ. Seperti
agonis reseptor μ lainnya, fentanil dan derivatnya dapat menimbulkan mual, muntah
dan gatal.
Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing jenis obat opiate tergantung cara
(rute) pemberian, efek toleransi (pemakai kronik), lama kerja dan masa paruh obat yang
akhirnya akan menentukan tingkat toksisitas.
19
Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP (otak) maka mekanisme toksisitas dan
atidotumnya dapat diterangkan melalui reseptornya. Berikut ini adalah beberapa jenis
reseptornya:
1. Reseptor Mu1 (μ1) : berefek analgesik, euphoria, dan hipotermia
Mu2 (μ2) : bradikardi, depresi napas, miosis, euphoria, penurunan kontraksi usus dan
ketergantungan fisik.
2. Reseptor Kappa (κ) : spinal analgesik, depresi napas dan miosis, hipotermia.
3. Reseptor Delta (δ) : depresi napas, dispori, halusinasi, vasomotor stimulasi.
4. Reseptor Gamma (γ) : inhibisi otot polos, spinal analgesik.
20
Gb.2 Perbedaan mekanisme kerja Otak pada orang normal dan pengguna
IV.2 SIMPTOMATOLOGI
Pada kelompok ini dimasukan beberapa obat dengan simptomatologi yang hampir sama
yaitu golongan opiat (morfin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif:
1. Narkotika
2. Barbiturat
3. Benzodiasepin
4. Meprebamat
5. Etanol.
Tanda dan gejala yang sering ditemukan adalah koma, depresi napas, miosis, hipotensi,
bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus
berat)
IV.4 DIAGNOSIS
Bila ditemukan gejala klinis yang khas (pin point, depresi napas dan membaik setelak
pemberian naloxone) maka penegakan secara klinis dapat ditegakkan dengan mudah.
Kadang-kadang ditemukan bekas suntikan yang khas (needle track sign).
21
3. Kontriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat) dan
satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian opioid:
a. Mengantuk atau koma;
b. Bicara cadel;
c. Gangguan atensi atau daya ingat.
4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain
Tabel 2. Kriteria diagnostik intoksikasi opioid menurut DSM IV (Kaplan, 2010)
Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan gejala klinis, pemeriksaan secara
kualitatif dari bahan urin cukup efektif untuk memastikan diagnosis keracunan opiat dan zat
akditif lainnya.
Mengingat kecepaatan diagnosis sangat bervariasi dan disisi lain bahaya keracunan dapat
mengancam nyawa maka upaya penatalaksanaan kasus keracunan ditujukan kepada hal
berikut:
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Penilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi dan
prnurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat dan tepat sehingga tindakan
resusitasi tidak terlambat dimulai. Urutan resusutasi:
a. A (airways), bebaskan jalan napas dari sumbatan bahan muntahan, lender, gigi
palsu, bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal airway dan alat
penghisap lender.
22
b. B (breathing), jaga agar pernapasan sestabil mungkin dan bila memang
diperlukan dapat diberikan alat bantu respiratory.
c. C (circulation), tekanan darah dan volume cairan harus dipertahankan
secukupnya dengan pemberian cairan. Dalam keadaan tertentu dapat diberikan
cairan koloid.
Bila terdapat henti jantung lakukan RJP (resusitasi jantung paru).
2. Penilaian Klinis
Pada kasus keracunan bukan hanya hasil laboratorium toksikologis yang selalu
harus diperhatikan akan tetapi standar pemeriksaan keracunan yang telah disetujui di
masing-masing rumah sakit perlu dibuat untuk memudahkan penangangan. Beberapa
keadaan klinis yang perlu mendapat perhatian karena dapat mengancam jiwa yaitu
koma, kejang, henti jantung, henti napas dan syok. Hal ini bisa didapatkan dari:
a. Anamnesis
Upaya yang penting adalah anamnesis atau aloanamnesis yang rinci. Beberapa
pegangan yang penting dalam upaya mengatasi keracunan ialah:
1) Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang digunakan
termasuk obat yang sering dipakai
2) Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas tentang obat
yang digunakan
3) Tanyakan dan simpan (untuk pemeriksaan toksikologis) sisa obat, muntahan
yang masih ada
4) Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok anafilaksis.
b. Pemeriksaan Fisik
Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan akibat
keracunan yaitu pemeiksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jantung,
ukuran pupil, keringat, air liur dan lainnya. Pemeriksaan penunjang diperlukan
berdasar skala prioritas dan pada keadaan yang memerlukan observasi
pemeriksaan fisik harus dilakukan berulang.
3. Dekontaminasi
Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap melalui kulit
sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan, sedang dekontaminasi saluran
cerna ditujukan agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat
diberikan arang aktif, pencahar, pemberian obat perangsang muntah dan kumbah
lambung.
23
Beberapa upaya lain untuk mengeluarkan bahan/obat dpat dilakukan dengan
dialisis, akan tetapi kadang-kadang peralatan tersebut tidak tersedia di rumah sakit
(hanya RS tertentu) sehingga pemberian diuretikum dapat dicoba sebagai tindakan
pengganti.
4. Pemberian Antidotum
Tidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip utama adalah mengatasi
sesuai dengan besar masalah. Tetapi antidotum untuk keracunan opiat baik untuk
dewasa maupun anak-anak adalah naloxone.
5. Suportif, Konsultasi dan Rehabilitasi
Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara holistik dan
cost effectiveness disesuaikan dengan kondisi masing-masing pelayanan kesehatan.
IV.6 PENGOBATAN
1. Naloxone : naloxone adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus dewada
maupun anak-anak. Dosis dewasa: 0,4-2,0 mg , dosis dapat diulang pada kasus berat
dengan pemnaduan perbaikan gejala klinis. Dapat dipertimbangkan naloxone drip bila
ada kecurigaan intoksikasi dengan obat narkotik kerja panjang. Efek naloxone sekitar
2-3 jam.
Bila dalam observasi tidak ada respon setelah pemakaian total 10 mg (naloxone)
diagnosis intoksikasi opiat perlu diulang.
2. Edema paru diobati sesuai dengan antidotumnya yaitu pemberian naloxone di
samoing oksigen dan respirator bila diperlukan
3. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian
dopamine dengan dosis 2-5 mcg/KgBB/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan
4. Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi oral)
5. Kumbah lambung. Dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiat oral,
awasi jalan napas dengan baik
6. Activated Charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240
ml cairan dengan 30 g charcoal. Dapat diberikan sampai: 100 gram
Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam IV 5-10 mg dan dapat diulang bila
diperlukan. Monitor tekanan darah dan depresi napas dan bila ada indikasi dapat dilakukan
intubas
24
BAB III
KESIMPULAN
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun,
gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada
korban yang meninggal.
Barbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat,
dan, berdasarkan ini, mereka menghasilkan spektrum yang luas dari efek, dari sedasi
ringan sampai anestesi total. Mekanisme utama dari tindakan barbiturat diyakini
afinitas mereka untuk reseptor GABA adalah neurotransmitter inhibisi utama dalam
sistem saraf mamalia pusat (SSP). Barbiturat mengikat reseptor GABA A pada subunit
alpha, yang berbeda dari situs mengikat GABA itu sendiri dan juga berbeda dari situs
pengikatan benzodiazepine. Barbiturat menghasilkan efek farmakologis mereka
dengan meningkatkan durasi pembukaan saluran ion klorida pada reseptor
GABA A (farmakodinamik: ini meningkatkan efektivitas dari GABA), sedangkan
benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan saluran ion klorida pada reseptor
GABA A (farmakodinamik: ini meningkatkan potensi GABA).
25
neurotransmitter mayor pada system saraf pusat. Peningkatatan neurotransmisi GABA
menyebabkan sedasi relaksasi otot, anxiolysis dan efek antikonvulsan. Stimulasi
reseptor GABA pada system saraf tepi menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung
dan vasodilatasi.
Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium, yang
berasal dari getah Papaver somniferum. Pada umumnya kelompok opiat mempunyai
kemampuan untuk menstimulasi SSP melalui aktivasi reseptornya yang akan
menyebabkan efek sedasi dan depresi napas. Pengobatan naloxone adalah antidotum
dari intoksikasi opiat baik kasus dewada maupun anak-anak. Dosis dewasa: 0,4-2,0
mg , dosis dapat diulang pada kasus berat dengan pemnaduan perbaikan gejala klinis.
Dapat dipertimbangkan naloxone drip bila ada kecurigaan intoksikasi dengan obat
narkotik kerja panjang. Efek naloxone sekitar 2-3 jam. Bila dalam observasi tidak ada
respon setelah pemakaian total 10 mg (naloxone) diagnosis intoksikasi opiat perlu
diulang.
26