Anda di halaman 1dari 48

BA B II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida

Pestisida adalah istilah umum bahan kimiawi yang digunakan untuk


membasmi hama. Pestisida banyak digunakan oleh industri untuk mencegah berbagai
organisme yang mengganggu produktivitas dari suatu produk. Bahan kimia tersebut
tidak hanya menyebabkan intoksikasi pada berbagai organisme, juga pada manusia.
Intoksikasi pada manusia dapat terjadi secara akut ataupun kronis dan sering
dibawakan segera ke unit gawat darurat.19
Beberapa cara pajanan pestisida dapat terjadi, yaitu (1) secara sengaja atau
usaha bunuh diri; (2) akibat pajanan di dalam pekerjaan; (3) pajanan secara tidak
sengaja; (4) masyarakat umum mengonsumsi makanan yang mengandung residu
pestisida. Telah disinggung di atas, bahwa gejala yang timbul akibat intoksikasi
pestisida bervariasi, maka seringkali kasus intoksikasi pestisida telat untuk ditangani
dan kurangnya fasilitas dalam rumah sakit untuk mengatasi hal tersebut.19
Menurut WHO, 3 juta kasus keracunan pestisida terjadi setiap tahun, yang
mengakibatkan lebih dari 250.000 kematian. Jumlah ini juga menyumbang sebagian
besar dari hampir 900.000 orang di seluruh dunia yang meninggal karena bunuh diri
setiap tahun. Pestisida organofosfat saat ini merupakan pestisida yang paling umum
digunakan di dunia, terdiri dari hampir 40 bahan kimia berbeda yang terdaftar oleh
US-EPA. Sekitar 73 juta pound pestisida organofosfat digunakan di Amerika Serikat
pada tahun 200120.
Keracunan pestisida banyak terjadi di negara-negara seperti Sri Lanka,
Venezuela, Indonesia, Afrika Selatan, dan Brasil. Di antara banyak pestisida yang
dapat menyebabkan kematian, insektisida organofosfat adalah penyumbang
terbanyak karena toksisitasnya yang tinggi. Di negara-negara berkembang, di mana
penggunaan senyawa organofosfat tersebar luas, maka jumlah angka kematian juga
tinggi. Ada kekhawatiran yang semakin meningkat terkait meluasnya penggunaan
pestisida dan
1
potensi dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Selama 1990-an sekitar 2,5 juta-
5,0 juta pekerja pertanian terkena organofosfat, yang digunakan sebagai insektisida
di seluruh dunia.20 Dilaporkan angka persentase yang tinggi tentang upaya bunuh diri
dengan menggunakan pestisida di Malaysia (68%), Indonesia (63%), dan Thailand
(61%) dan di India (75%).21
Pestisida dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan targetnya, yaitu:20

1) Herbisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh tanaman


yang tidak diinginkan.

2) Fungisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh


kelompok jamur.

3) Rodentisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh tikus.

4) Insektisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh kutu,


laba-laba dan serangga lainnya.

5) Nematisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh filum


Nematoda, yaitu cacing.

6) Molusisida berasal dari kata moluska, di mana memiliki bentuk badan yang
halus dan biasanya memiliki tempurung yang keras, serperti kerang, siput,
dll. Jadi molusisida adalah senyawa kimia yang membunuh organisme filum
moluska.
2.2. Organofosfat
2.2.1 Senyawa organofosfat
Organofosfat merupakan salah satu kelompok insektisida,
organofosfat yang pertama kali disintesis adalah trietil pirofosfat, pada tahun
1859. Insektisida bersifat toksik pada sistem saraf. Organofosfat merupakan
pestisida yang memiliki sifat menginhibisi cholinesterase, dan telah banyak
menggantikan organoklorin karena lebih efektif dan mengurangi toksisitas di
lingkungan dan jaringan manusia. Toksisitas dapat terjadi secara akut, kronis
dan sekuele terlambat akibat pajanan akut.20
Secara kimiawi, organofosfat merupakan turunan dari asam fosforat
dan dua kelompok kimiawi: (1) alkyl phosphates, seperti tetraethyl
pyrophosphate (TEPP), hexaethyl tetraphosphate (HETP), octamethyl
pyrophosphoramide (OMPA), dimefox, isopestox, sulfotepp, demeton,
malathion, dan (2) aryl phosphates, seperti parathion, paraoxon,
methylparathion, chlorthion, diazinon.22
2.2.2. Epidemiologi Organofosfat
Organofosfat yang sering digunakan adalah diazinon, acephate,
malathion, parathion, dan chlorpyrifos. Pada zaman Perang Dunia Kedua,
insektisida juga digunakan sebagai bahan dalam peperangan. Senyawa
organofosfat dan karbamat merupakan senyawa kimia yang paling banyak
digunakan dan menyebabkan penyakit yang bersifat sistemik. Diazinon dan
chlorpyrifos telah dilarang untuk digunakan dalam rumah tangga sejak tahun
2000 akibat neurotoksisitas, khususnya terjadi pada otak anak yang sedang
berkembang. 25
Intoksikasi organofosfat terjadi akibat pajanan ketidaksengajaan di
dalam rumah, terutama pada daerah yang sering disemprot akibat berdekatan
dengan industri. Selain itu, intoksikasi organofosfat juga dapat terjadi akibat
terkontaminasi pada makanan. Bahan kimia tersebut kadang juga digunakan
sebagai bahan dalam upaya bunuh diri ataupun pembunuhan. Absorpsi
sistemik dari organofosfat dapat terjadi melalui inhalasi, membrane mukosa,
transdermal, transkonjungtiva, dan saluran pencernaan.20
2.2.3 Patofisiologi Intoksikasi organofosfat
Senyawa organofosfat memiliki kemampuan untuk menginhibisi
enzim asetilcholinesterase. Metabolit dari organofosfat juga merupakan
inhibitor pada asetilcholinesterase. Organofosfat merupakan senyawa yang
larut dalam
lemak. Asetilcholinesterase umumnya ditemukan di membrane sel darah
merah, jaringan saraf, dan otot skeletal. Enzim cholinesterase
(pseudokolinesterase atau butirilkolinesterase) ditemukan dalam serum,
hepar, pankreas, jantung dan otak. Berhubungan dengan inhibisi dari
cholinesterase, maka menyebabkan akumulasi asetilcholinesterase di sinaps
persarafan dan neuromuscular junction, dan akhirnya meningkatkan stimulasi
pada reseptor kolinergik. Stimulasi berlebihan akan diikuti dengan paralisis
transmisi kolinergik di sistem saraf pusat, ganglia otonom, di ujung sistem
saraf parasimpatis dan simpatis dan saraf somatik. Kelebihan asetilcholine ini
akhirnya menimbulkan krisis kolinergik, sehingga menimbulkan gejala toksik
sentral dan perifer.20
Mekanisme utama dari organofosfat adalah inhibisi asetilcholinesterase,
enzim yang terdapat pada sistem saraf pusat dan perifer. Secara fisiologis
asetilcholinesterase berfungsi dalam hidrolisis neurotransmitter asetilkolin.
Organofosfat menonaktifkan asetilcholinesterase dengan cara fosforilasi
kelompok hidroksil serin yang berada pada sisi aktif asetilcholinesterase yang
akan membentuk senyawa cholinesterase terfosforilasi. Enzim cholinesterase
tidak berfungsi lagi yang mengakibatkan kadar dari enzim tersebut berkurang.
Berkurangnya enzim cholinesterase mengakibatkan menurunnya kemampuan
menghidrolisis asetilkolin, sehingga asetilkolin lebih lama di reseptor, yang
akan memperhebat dan memperpanjang efek rangsang saraf kolinergik pada
sebelum dan sesudah ganglion (pre- dan postganglionic). Penurunan aktivitas
cholinesterase dalam plasma akan kembali normal dalam waktu tiga minggu,
dalam sel darah merah akan membutuhkan waktu satu hingga dua minggu.8
2.2.4. Gejala Klinis Intoksikasi Organofosfat
Gejala klinis yang timbul bervariasi, tergantung jenis senyawa, jumlah
yang diabsorpsi dan rute pajanan. Kebanyakan pasien yang mengalami
intoksikasi organofosfat secara akut akan timbul gejala dalam 8 jam pertama
dan hampir semua kasus timbul gejala dalam 24 jam pertama. Senyawa yang
bersifat lipofilik akan menimbulkan gejala berulang atau terlambat karena
terdistribusi dalam jaringan lemak.19
Intoksikasi akut organofosfat dapat melibatkan gejala pada sistem
saraf pusat, muskarinik, nikotinik. Pada kasus intoksikasi ringan sampai
sedang, gejala yang timbul dapat kombinasi. Onset gejala juga bervariasi,
paling cepat jika disertai dengan inhalasi dan paling lambat melalui absorpsi
transdermal. Namun, apabila terdapat dermatitis ataupun ekskoriasi pada kulit
dapat mempercepat onset gejala.20,22
2.2.4.1 Manifestasi pada sistem saraf pusat
Organofosfat yang bersifat sangat lipofilik tidak akan menyebabkan
gejala toksisitas segera, tetapi akan menimbulkan sekuele terlambat. Pajanan
organofosfat kronis dengan derajat rendah yang terjadi pada petani, pekerja di
pabrik pestisida, dan pasien yang menggunakan obat kolinergik pada mata, akan
menimbulkan gejala yang kurang spesifik, seperti sakit kepala, mual, kelemahan,
diare, atau lelah. Efek pada neuropsikiater terjadi pada pajanan kronis dapat
berupa disfungsi kognitif, gangguan pada memori, dan depresi. Koma dengan
depresi napas dan sirkulasi juga dapat terjadi.20,22

2.2.4.2 Manifstasi pada reseptor nikotinik


Asetilkolin merupakan neurotransmitter presinaptik di reseptor
nikotinik pada ganglia simpatetis dan medulla adrenalis. Stimulasi yang
berlebihan akan menyebabkan pucat, midriasis, takikardia dan hipertensi,
tetapi stimulasi pada parasimpatetis lebih dominan, walaupun gejala otonom
campuran juga dapat terjadi. Stimulasi nikotinik pada neuromuscular junction
akan menimbulkan fasikulasi pada otot, kram, dan kelemahan otot. Paralisis
otot pernapasan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan akut dan
kematian. Miosis dan fasikulasi otot merupakan tanda yang dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis toksisitas akibat organofosfat.20,24
2.2.4.3 Manifestasi pada reseptor muskarinik
Inhibisi asetilkolinesterase dalam persarafan parasimpatis dapat
menimbulkan gejala yang telah disingkatkan dalam tiga kata, yaitu
DUMBELS, SLUDGE, dan “Killer Bees” (lihat pada Tabel 2.2)
Tabel 2.1 Mnemonik untuk Efek Muskarinik akibat Inhibisi cholinesterase25
Efek Muskarinik akibat Inhibisi Kolinesterase
S Salivation
L Lacrimation
U Urinary incontinence
D Defecation
G GI pain
E Emesis

D Defecation
U Urination
M Muscle weakness, miosis
B Bradycardia, bronchorrhea, bronchospasm
E Emesis
L Lacrimation
S Salivation

Killer Bees Bradycardia, bronchorrhea, bronchospasm

2.2.5. Diagnosis Intoksikasi Organofosfat


Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, adanyan gejala toksisitas,
pemeriksaan cholinesterase, dan test laboratorium untuk senyawa spesifik.
Diagnosis umumnya menjadi sulit apabila terdapat gejala yang tumpang
tindih antara gejala akut dan kronis. Gejala yang timbul sangat dipengaruhi
oleh lokasi dominan dari toksisitas kolinergik dan derajat keparahan
intoksikasi.2,19
Pengukuran kadar cholinesterase memiliki angka prognostik
sederhana untuk pasien yang mengalami intoksikasi organofosfat akut. Oleh
sebab itu, pasien yang tampak gejala kolinergik (manifestasi muskarinik,
nikotinik dan gangguan sistem saraf) harus ditatalaksana secara empiris
tanpa
menunggu hasil laboratorium. Pemeriksaan laboratorium rutin yang
abnormal tidak bersifat diagnostik tetapi dapat melihat adanya pankreatitis,
hipo atau hiperglikemia, leukositosis dan abnormalitas pada fungsi hepar.
Pada kasus yang berat, pada foto thoraks akan tampak edema paru.2,19
Ketika seseorang terpapar pestisida golongan organofosfat,
cholinesterase akan berkaitan dengan pestisida yang bersifat ireversible.
Akibatnya tidak terjadi reaksi dengan asetilcholin secara baik. Dalam
pemeriksaan akan nampak terjadi penurunan aktivitas cholinesterase. Kadar
sulfat yang tinggi dalam pestisida akan menimbulkan ikatan sulfhemoglobin,
hal ini menyebabkan hemoglobin menjadi tidak normal dan tidak dapat
menjalankan fungsinya dalam menghantarkan oksigen. Sulfhemoglobin
merupakan bentuk hemoglobin berikatan dengan atom sulfat didalamnya.
Kejadian anemia dapat terjadi pada penderita keracunan organofosfat karena
bentuknya sulfhemoglobin dan methemoglobin didalam sel darah merah
yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin sehingga terjadi hemolitik
anemia yang terjadi akibat kontak dengan pestisida di sebabkan karena
terjadinya ketidak seimbangan enzim pada sel darah merah dan jumlah sel
darah dan jumlah zat toksik yang masuk ke dalam tubuh.26
2.2.6 Tatalaksana Intoksikasi Organofosfat
Terdapat empat tujuan utama tatalaksana: (1) dekontaminasi, (2)
perawatan suportif, (3) mengurangi asetilcholin yang berlebihan di sisi
reseptor muscarinic dan (4) mengurangi ikatan toksin di sisi aktif dari
asetilcholinesterase.24
Tatalaksana pada intoksikasi organofosfat adalah mengontrol jalan
napas tetap paten, respiratori suportif, dekontaminasi, pencegahan absorpsi
dan pemberian antidotum. Terapi harus segera diberikan tanpa menunggu
untuk menilai cholinesterase dalam darah. Selain itu, petugas kesehatan
perlu
menggunakan pakaian protektif agar tidak terkontaminasi. Sarung tangan
neoprene atau nitrile harus digunakan daripada latex.22,24
Pasien harus segera didekontaminasi dengan air. Dekontaminasi
harus dilakukan pada kepala, rambut, kuku jari, kulit, konjungtiva dan
lipatan kulit. Setiap cairan tubuh harus ditatalaksana sebagai bagian
terkontaminasi. Pasien harus diberikan oksigen, monitor fungsi jantung, dan
oksimeter. Masker 100% non-rebreathing akan mengoptimalisasi oksigenasi
pada pasien yang mengalami kelebihan sekresi jalan napas dan
bronkospasme, serta dapat mengurangi kemungkinan disritmia ventricular
pada saat diberikan terapi antidotum. Menyedot juga diperlukan untuk
membersikan sekret dari hipersalivasi, bronkorea, ataupun emesis. Alat yang
terkontaminasi harus dicuci dengan cairan hipoklorin 5% untuk
menginaktivasi inhibitor cholinesterase.22,24
Apabila terjadi koma, bangkitan, kegagalan pernapasan, dan sekresi
respiratori yang berlebih, intubasi endotrakeal dapat dipertimbangkan.
Pemasangan infus harus diberikan setelah pengambilan darah untuk
dilakukan pemeriksaan dan menentukan nilai cholinesterase. Jika
mengalami hipotensi maka perlu berikan bolus cairan kristaloid isotonic.24
Gastric lavage dibutuhkan hanya jika pasien mengonsumsi
organofosfat, di mana sering terjadi di Asia. Tindakan ini memiliki efek
yang baik apabila dilakukan dalam 2 jam awal setelah pajanan organofosfat.
Setelah lebih dari 2 jam, maka gastric lavage tidak ditemukan adanya
keuntungan. Activated charcoal kadang direkomendasikan untuk digunakan
karena secara in vitro dapat mengikat organofosfat, tetapi tidak terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa dosis tunggal atau multi dari activated
charcoal dapat memperbaiki hasil pada pasien.24
Atropine dan pralidoksim merupakan antidotum pada intoksikasi
organofosfat. Atropin merupakan antagonis dari asetilcholin di reseptor
muskarinik sentral dan perifer, yang dapat digunakan untuk mengembalikan
efek muskarinik dan sentral akibat stimulasi parasimpatis berlebihan. Dosis
diberikan secara titrasi hingga sekresi trakeobronkial menjadi berkurang.
Targetnya dilihat pada berkurangnya sekret pada trakeobronkial. Atropin
juga tidak digunakan pada pasien dengan takikardia karena akan
menyebabkan hipoksia akibat sekresi, paralisis otot pernapasan atau
stimulasi ganglion. Dosis awal atropine adalah 1 mg atau lebih secara IV
pada orang dewasa dan 0,01 – 0,04 mg/kgBB IV pada anak. Pemberian
secara IM dapat diberikan hingga 6 mg ketika akses IV tidak dimungkinkan.
Normalnya, pemberian atropine dengan dosis awal akan menghasilkan
gejala antimuskarinik; oleh sebab itu, apabila gejala antikolinergik hilang,
ini menunjukkan adanya intoksikasi organofosfat. Obat dapat diberikan
berulang setiap 5 menit hingga gejala muskarinik menghilang. Pemberian
atropine yang inadekuat akan menyebabkan kegagalan terapi. Kadang untuk
mengatasi hipersekresi dapat menggunakan atropine hingga ratusan mg,
bahkan pemberian secara infus pernah diberikan. Penting untuk diketahui,
bahwa atropine tidak mengembalikan kelemahan pada otot.24
Senyawa yang berfungsi untuk menggantikan organofosfat di sisi aktif
dari aselticholinesterase disebut sebagai oximes, sehingga enzim tersebut
dapat reaktivasi kembali. Pralidoksim merupakan antidotum spesifik untuk
mengembalikan aktivasi asetilcholinesterase melalui regenerasi fosforilasi
asetilcholinesterase serta mencegah toksikasi lebih lanjut dengan
mendetoksikasi molekul organofosfat. Secara klinis, pralidoksim berperan
pada gejala neurologis parasimpatis, simpatis dan sentral. Pemberian
pralidoksim akan mengembalikan fungsi otot. Walaupun pralidoksim lebih
efektif pada intoksikasi akut dibandingkan kronis, tetap direkomendasikan
untuk menggunakan pralidoksim setelah >24 – 48 jam setelah pajanan.
Dosis yang digunakan adalah 1-2gram pada orang dewasa atau 20-40
mg/kgBB hingga 1gram pada anak, dicampur dengan normal saline dan
diinfuse sekitar 5-10 menit. Respon terapi pralidoksim berupa berkurangnya
kelemahan otot
dan fasikulasi dan efek muskarinik yang kembali membaik dengan atropine
terjadi dalam 10-40 menit setelah pemberian. Pralidoksim dapat diberkan
secara IM. Pralidoksim harus dilanjutkan 24 - 48 jam sambil monitor kadar
cholinesterase.19,22,23
Bangkitan pada pasien dapat diterapi dengan proteksi jalan napas,
pemberian oksigen, benzodiazepam, atropine dan pralidoksim. Atropin dapat
mencegah atau menghilangkan bangkitan dalam beberapa menit awal akibat
stimulasi berlebihan pada kolinergis. Edema paru dan bronkospasme dapat
diterapi dengan oksigen, intubasi, ventilasi tekanan positif, atropine dan
pralidoksim. Takikardia bukan kontraindikasi untuk diberikan atropine pada
intoksikasi organofosfat karena takikardia terjadi akibat sekunder dari
hipoksia akibat bronkospasme yang dapat membaik dengan atropine.19,22,23
Pajanan minimal cukup dilakukan dekontaminasi dan obserasi
selama 6 sampai 8 jam di unit gawat darurat untuk mendeteksi adanya efek
susulan. Pajanan ulang harus dihindari. Pakaian atau barang-barang pasien
yang terpapar tidak boleh dikembalikan kepada pasien. Jika pasien dapat
diobati segera, maka gejala akan membaik dalam 10 hari. Jika toksin bersifat
lipofilik, pasien akan tetap bergejala dan membutuhkan pralidoksim terus
menerus. Sambil menunggu pembentukan asetilkolinesterase baru,
perawatan suportif dan respiratori suportif tetap dibutuhkan. Target akhir
dari terapi adalah hilangnya tanda dan gejala tanpa pemberian pralidoksim.22
2.2.7. Komplikasi Intoksikasi Organofosfat
Bangkitan, hipersekresi pulmonal (bronkorea), dan bronkospasme
merupakan mekanisme awal dengan meningkatnya morbiditas dan mortalias
pada kasus intoksikasi organofosfat. Bronkorea sering salah sebut sebagai
edema paru nonkardiogenik karena asal cairan paru merupakan sekresi
berlebihan, bukan transudasi dari membrane alveola-kapiler. Selain terdapat
obstruksi di saluran pernapasan atas akibat hipersekresi, bronkospasme yang
terjadi akan memperburuk perfusi, sehingga terjadi hipoksia. Jika dalam 24
jam tidak ditatalaksana setelah pajanan akut dapat menyebabkan kematian.
Kematian terjadi akibat kegagalan pernapasan sekunder akibat paralisis otot
pernapasan, depresi neurologis, atau bronkorea.22,24
2.2.8 Cholinesterase
Cholinesterase merupakan enzim yang mengkatalisis neurotransmitter
asetilcholin (Ach) menjadi kolin dan asam asetat, merupakan suatu reaksi
yang diperlukan untuk neuron kolonergik untuk kembali ke keadaan istirahat
27
setelah aktivasi. Ini melibatkan 2 jenis yaitu : (1) Asetilcholinesterase
(AChE, asetilkolin asetilhidrolase) ditemukan dalam jaringan penghantar:
saraf dan otot, jaringan pusat dan perifer, serat motorik dan sensorik, serta
serat kolinergik dan nonkolinergik. Aktivitas AChE lebih tinggi pada neuron
motorik daripada neuron sensorik. AChE juga ditemukan dalam membran sel
darah merah. (2) Pseudocholinesterase (BuChE), juga dikenal sebagai plasma
cholinesterase, butyrylcholinesterase, atau acylcholine acylhydrolase,
ditemukan terutama di hati.27
Neurotransmitter pertama yang ditemukan ACh adalah
neurotransmitter di semua ganglia otonom, di banyak organ yang dipersarafi
secara otonom, di persimpangan neuromuskuler, dan di banyak sinapsis dalam
sistem saraf pusat. Dalam sistem saraf otonom, ACh adalah neurotransmitter di
neuron simpatis dan parasimpatis preganglionik, serta di medula adrenal dan
berfungsi sebagai neurotransmiter di semua organ yang dipersarafi
parasimpatis. ACh juga merupakan neurotransmitter pada kelenjar keringat,
dan pada otot piloerektor sistem saraf otonom simpatik. Dalam sistem saraf
tepi, ACh adalah neurotransmitter di persimpangan neuromuskuler antara saraf
motorik dan otot rangka. Dalam sistem saraf pusat, ACh ditemukan terutama di
interneuron, dan beberapa jalur kolinergik akson panjang yang penting juga
telah diidentifikasi. Yang perlu diperhatikan adalah proyeksi kolinergik dari
nukleus basalis Meynert di otak ke neokorteks otak depan dan struktur limbik
terkait.27
ACh disintesis oleh suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim
biosintetik cholin asetiltransferase dan keberadaan enzim ini adalah "penanda"
bahwa neuron bersifat kolinergik. Selama neurotransmisi, ACh dilepaskan dari
saraf ke celah sinaptik dan berikatan dengan reseptor ACh (nikotinik dan
muskarinik) pada membran pasca-sinaptik, menyampaikan sinyal dari saraf.
AChE, juga terletak pada membran pasca-sinaptik, mengakhiri transmisi sinyal
dengan menghidrolisis ACh. Cholin terbebaskan dari dekomposisi ACh
diambil kembali oleh saraf pra-sinaptik dan neurotransmitter disintesis dengan
menggabungkan dengan asetil-KoA melalui aksi kolin asetiltransferase. 27
Cholinesterase dalam sel darah digunakan sebagai indikator keracunan
pestisida. Semakin rendah kadar cholinesterase dalam darah semakin terdeteksi
bahwa telah terjadi keracunan pestisida yang dapat mengakibatka terganggunya
sistem saraf, hingga kematian.27
Terdapat beberapa macam metode yang digunakan untuk menentukan
aktivitas dan penghambatan cholinesterase. Salah satunya adalah dengan
kinetic fotometri dengan metode yang sesuai dengan rekomendasi dari German
Society of Clinical Chemistry/ Deutsche Gesellshaft fur mche Chemie (DGKG).
Prinsip kerja pemeriksaan cholinesterase dihidrolisis oleh butyryltiocholine
menghasilkan thiocholine dan asam butirat. Thiocholin mereduksi potassium
heksasianoferat (III) yang berwarna kuning menjadi potasium heksasianoferat
(II) yang tidak berwarna. Selanjutnya absorbansi diukur pada panjang
gelombang 450 nm.28
Pada penelitian yang dilakukan oleh Budiawan pada 2014 mengenai
Faktor Resiko yang Berhubungan dengan cholinesterase pada Petani Bawang
Merah di Ngurensiti Pati dengan sampel yang berjumlah 50 orang dengan alat
Spektrofotometri didapat hasil 50% petani dengan kadar cholinesterase di
bawah normal.28 Penelitian yang dilakukan Tampudu, dkk mengenai Gambaran
Kadar Cholinesterase Darah Petani Penyemprot Pestisida di Desa Minasa Baji
Kab. Maros pada 60 sampel petani menunjukkan hasil 51 orang cholinesterase
nya tidak normal dan 9 orang cholinesterase nya normal.29
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan di Bengkulu yang melakukan pengukuran kadar enzim
cholinesterase terhadap pestisida golongan organofosfat yang menggunakan
metode kinetik yang ditandai adanya reaksi potassium ferosianida menjadi
potasium ferisianida yang disebabkan oleh reaksi reduksi yang terjadi dan
dilakukan pembacaan hasil menggunakan prinsip pembacaan absorban pada
spektrofotometer pada λ405 nm menunjukkan hasil dari 32 wanita usia
subur,sebanyak 28 orang mengalami penurunan kadar cholinesterase, hal ini
sesuai teori dari William J Ntow yang mengatakan bahwa paparan yang
disebabkan oleh pestisida akan menurunkan aktivitas enzim Cholinesterase
dalam darah. Aktivitas cholinesterase darah adalah jumlah enzim
cholinesterase aktif di dalam plasma darah dan sel darah merah yang berperan
dalam menjaga keseimbangan sistem saraf. Aktivitas cholinesterase darah ini
dapat digunakan sebagai indikator keracunan pestisida golongan organofosfat.30
2.2.9 Hepar
Organ hepar merupakan organ paling terbesar pada abdomen, yang
menempati rongga abdomen bagian atas. Organ ini terletak di bagian
hipokondrium paling kanan dan epigastrium. Seiring dengan bertumbuhnya
tubuh manusia, organ hepar ikut tumbuh semakin besar. Pertumbuhan hepar
akan mencapai titik stabil ketika usia 18 tahun, yang kemudian mengalami
penurunan berat hepar pada usia pertengahan. Berat organ hepar sekitar 4-5%
dari berat badan bayi dan menurun menjadi sekitar 2% dari berat badan orang
dewasa (sekitar 1,5kg). ukuran hepar bervariasi, tergantung jenis kelamin,
pada wanita lebih kecil.31

Organ hepar berwarna merah kecoklatan, dan dapat bervariasi,


tergantung pada kandungan lemak. Obesitas merupakan penyebab tersering
terjadinya penumpukan lemak di organ hepar atau disebut steotosis. Dengan
bertambahnya lemak maka warna hepar akan menjdi kekuningan dan
kebiruan akibat obstruksi vena. Tekstur dari hepar biasanya lunak hingga
kenyal, dan hal itu tergantung pada jumlah darah, lemak dan jaringan fibrosa
yang dikandung.31,32

Permukaan hepar terdiri dari permukaan superior, anterior, dekstra,


posterior dan inferior, dimana permukaan inferior dan dekstra tidak memliki
batas yang jelas untuk memisahkan dimana merupakan satu kesatuan,
sehingga lebih sesuai jika mengelompokkan sebagai permukaan diafragma.31

Hampir seluruh permukaan hepar dilapisi oleh serosa, peritoneum


visceral yang menutupi seluruh organ dengan kapsul dari jaringan ikat yang
tipis (50-100 um) yang disebut kapsula Glisson. Cabang dari arteri hepatica
dan vena porta hepatica, bersama dengan duktus bilier, berjalan dalam
trabekula jaringan ikat, yang disebut sebagai traktus portal. Kombinasi dari
31,32
dua jenis pembuluh darah dan duktus bilier disebut trias portal. (lihat
gambar 2.1).

Gambaran 2.1. Histopatologi lobules hepar normal dengan trias portal dan
potongan trias portal.
Parenkim hepar terdiri dari sel epitel yang kompleks, didukung oleh
jaringan ikat dan di perfusi oleh banyak pembuluh darah dari vena portal
dan arteri hepatica. Sel epitel, hepatosit berperan dalam aktifitas metabolic,
tetapi sel tipe lainya berfungsi sebagai tempat penyimpan, fagositer, dan
fungsi pendukung mekanik. Empedu disekresikan oleh hepatosit dan
dikoleksi kedalam jaringan kecil yang di sebut kanalikuli. Oleh sebab itu
hepar disebut juga sebagai sel eksokrin, mensekresikan empedu ke saluran
pencernaan melalui duktus bilier ekstrahepatika. Organ hepar pada janin
berfungsi sebagai hemopoietik, eritrosit, leukosit dan trombosit terbentuk
dari mesenkin yang menutupi endpthelium sinusoid.31,32 Fungsi hepar selain
berkaitan dengan pencernaan juga memiliki beberapa peran sebagai berikut
34
antara lain: a) Proses metabolisme dari berbagai nutrisi seperti
karbohidrat, protein dan lemak setelah diabsorbsi dari saluran pencernaan
juga sangat penting dalam mempertahankan kadar gula serta meregulasi
sirkulasi dari very low-density lipoprotein.; b) Mendetoksifikasi atau
mendegradasikan setiap metabolit dan hormon serta obat ataupun senyawa
asing lainnya (xenobiotic). Kebanyakan obat dan toksik bersifat hidrofobik,
yang tidak dapat secara langsug mengeliminasi dari sirkulasi oleh ginjal,
oleh sebab itu diperlukan peran hepar dalam mengkonversikan substansi
tersebut menjadi lebih larut dalam air. Proses metabolisme tersebut
dilakukan oleh hepatosit melalui dua fase, fase I (oksidasi) dan fase II
(konjugasi); c) Mensintesis protein plasma, termasuk protein untuk
pembekuan darah,mentransportasi steroid dan hormone tiroid serta
kolesterol didalam darah, dan angiotensinogen yang berperan penting dalam
sistem renin-angiotensin- aldosterone; d) Menyimpan glikogen, lemak, zat
besi, tembaga, dan vitamin;
e) Mengaktivasi vitamin D; f) Menghancurkan bakteri dan sel darah merah
yang telah rusak dengan adanya makrofag khusus dalam hepar; g)
Mensekresi hormone trombopoietin (untuk menstimulasi produksi
trombosit), hepcidin (menghambat pengambilan zat besi dari pencernaan),
dan insulin-like growth
factor 1 (untuk menstimulasi pertumbuhan); h) Memproduksi protein akut
yang penting dalam proses inflamasi; i) Mengekresi kolesterol dan bilirubin
(merupakan hasil akhir dari proses detruksi sel darah merah).
Semua proses ini tejadi akibat adanya berbagai jenis sel didalam organ
hepar. Supaya semua proses metabolism tersebut dapat berlangsung dengan
baik maka diperlukan susunan anatomi langsung antara darah dari sistem
darah, aorta dan saluran pencernaan dengan hepar. Hepar pada manusia
memliki sekitar 50 ribu hingga 100 ribu lobules. Setiap sudut heksagon
memiliki tiga traktus yang disebut sebagai trias portal, yang terdiri dari
cabang arteri hepatica, cabang vena porta dan duktus bilier. Darah yang
berasal dari cabang arteri hepatica dan vena porta kedalam lobules melalui
kapiler yang melebar disebut sinusoid. Hepar dapat menyimpan sel darah
merah dalam pembuluh darah hepar, yaitu sekitar 10% dari total volume
darah tubuh (450mL).31,32,35
Hepar merupakan organ yang rentan karena pajanan dari berbagai hal,
seperti metabolit, toksin, mikroba, sirkulasi dan neoplasma. Contoh-contoh
penyakit primer pada hepar seperti hepatitis, perlemakan hati, alkoholik,
penyakit hepar nonheptik dan karsinoma hepatoselular. Efek cedera pada
hepar akan menyebabkan respon selular dan jaringan yang paling sering
adalah: a) Degenerasi hepatosit dan akumulasi intraseluler; b) Nekrosis dan
apoptosis hepatosit; c) Inflamasi; d) Regenerasi; Fibrosis 32,34,35
Manusia selalu terpapar dengan berbagai bahan kimia yang terdapat
pada obat-obatan ataupun lingkungan. Organ hepar merupakan salah satu
organ yang sangat rentan oleh bahan toksik, karena hepar harus
memetabolisme seluruh toksik yang diterima oleh tubuh.33,34 Suatu
keracunan bersifat efek akut sistemik merupakan efek yang muncul ketika
pestisida masuk ke dalam tubuh dan mempengaruhi seluruh sistem tubuh.
Darah akan membawa pestisida ke seluruh bagian dari tubuh dan
mempengaruhi hati dan syaraf. Beberapa diantaranya mengalami
biotransformasi, dirubah menjadi
intermediet yang lebih toksik (paraoxon) sebelum dimetabolisir. Semuanya
mengalami degradasi hydrolysis di dalam hati dan jaringan-jaringan lain,
biasanya dalam waktu hitungan jam setelah absorbsi. Produk degradasinya
mempunyai toksisitas yang rendah dan diekskresikan dalam bentuk urin dan
faeces.1

2.3. Diazinon
2.3.1 Karakteristik Diazinon
Diazinon tidak terjadi secara alami di lingkungan. Bahan kimia
murni adalah minyak yang tidak berwarna dan praktis tidak berbau.
Diazinon komersial adalah cairan pucat hingga cokelat tua. Diazinon adalah
nama umum dari insektisida organofosfat yang digunakan untuk
mengendalikan serangga hama pada tanaman hias, dan pada tanaman buah
dan sayuran di ladang. Diazinon dianggap memiliki toksisitas sedang
dibandingkan dengan organofosfat lainnya. Efek toksik utama dari diazinon
pada manusia dan hewan percobaan adalah penghambatan
asetilkolinesterase (AChE), yang menghasilkan akumulasi asetilkolin pada
reseptor asetilkolin yang mengarah pada respons kolinergik di perifer
(muskarinik dan nikotinik) dan sistem saraf pusat. 35
Diazinon digunakan dalam pertanian untuk mengendalikan serangga
dan hama tanah dan daun pada berbagai tanaman buah, sayuran, kacang-
kacangan dan ladang. Sebelum pembatalan semua penggunaan perumahan
pada tahun 2004, diazinon digunakan di luar ruangan untuk mengendalikan
hama tanaman hias, di dalam ruangan untuk pengendalian lalat dan penyakit
hewan peliharaan yang dirancang untuk mengendalikan kutu. Produk
Diazinon diformulasikan sebagai bubuk, butiran, cairan, konsentrat,
mikroenkapsulasi, serbuk yang dapat dibasahi.36 Diazinon adalah insektisida
yang bekerja dengan mengubah neurotransmisi normal dalam sistem saraf
organisme target. Diazinon menghambat enzim asetilcholinesterase (AChE),
yang menghidrolisis neurotransmitter asetilcholin (ACh) dalam sinapsis
kolinergik dan persimpangan neuromuskuler. Ini menghasilkan akumulasi
ACh yang abnormal dalam sistem saraf. Diazinon dimetabolisme di dalam
organisme untuk membentuk diazoxon (kadang-kadang disebut sebagai
"aktivasi," dan diazoxon adalah inhibitor cholinesterase (ChE) yang lebih
poten dibandingkan diazinon itu sendiri.36
2.3.2 Efek Diazinon
Diazinon dapat menyebabkan intoksikasi pada mamalia melalui tiga
rute, yaitu inhalasi, oral dan dermal. Pajanan dari diazinon dapat
menyebabkan efek pada kesehatan manusia, yaitu kematian, efek sistemik,
imunologis, neurologis, reproduktif, perkembangan, genotoksik, dan
karsinogenik. Berdasarkan waktu lamanya pajanan, dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu akut (berlangsung kurang dari 14 hari), intermediate (antara 15 –
364 hari) dan kronis (lebih atau sama dengan 365 hari).35,36
Berdasarkan efek akibat pajanan diazinon dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu efek serius dan kurang serius. Efek serius yang dimaksud adalah
terjadinya kegagalan pada sistem biologis dan dapat menimbulkan
morbiditas atau mortalitas, misalnya kematian atau distress respirasi akut.
Efek kurang serius artinya efek yang timbul tidak menyebabkan disfungsi
yang signifikan atau kematian.36
Paparan akut diazinon tingkat tinggi menyebabkan penghambatan
AChE parah yang sering mengarah pada tanda-tanda dan gejala kolinergik,
bermanifestasi sebagai disfungsi neuromuskuler yang reversibel. Manifestasi
ini termasuk efek muskarinik (bronkokonstriksi, peningkatan bronkosekresi,
mual dan muntah, diare, bradikardia, hipotensi, miosis, inkontinensia urin),
efek nikotinik (takikardia, hipertensi, berkedut otot dan kelemahan,
fasciculation, kram), dan efek sistem saraf pusat ( kecemasan, apatis,
depresi,
pusing, mengantuk, insomnia, mimpi buruk, sakit kepala, kebingungan,
ataksia, kejang, depresi pernapasan, koma).35
Pada pajanan yang cukup tinggi (tidak disengaja atau disengaja),
gagal napas dan jantung serta kematian dapat terjadi tanpa intervensi
perawatan yang tepat. Manifestasi kolinergik dari paparan akut tinggi
diazinon juga telah dilaporkan pada hewan dan termasuk anoreksia, ataksia,
epistaksis, tremor, kelesuan, sesak, kejang, takipnea, dispnea,
fasikulasi, berkedut, exophthalmos, diare, salivasi,
diuresis, lakrimasi, dan hipotermia. Tanda- tanda klinis dari neurotoksisitas
diazinon pada paparan oral berulang pada hewan telah dilaporkan pada
dosis mulai dari 30 hingga 300 mg / kgbb / hari.36
Paparan diazinon dapat menyebabkan efek toksik berupa
penghambatan asetilkolinesterase (AChE) sistem saraf, yang menyebabkan
akumulasi asetilkolin (ACh) pada sinapsis dan neuromuscular junction.
Keracunan organofosfat menunjukkan gambaran yang heterogen berkaitan
dengan krisis kolinergik serta kerusakan fungsi organ hepar. Hepar
merupakan organ yang dapat terpengaruh karena merupakan organ yang
bertugas untuk memetabolisme dan mengekskresi diazinon. Dalam beberapa
penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa diazinon dapat menimbulkan
kerusakan histopatologi dan mengganggu status biokimia. Pemberian
diazinon 10 mg/kgBB dapat meningkatkan kadar BUN dan kreatinin serum
sekitar 1,2 kali lipat dan 1,1 kali lipat dari kontrol normal.4
Diazinon dapat menyebabkan toksisitas pada hati melalui 2 cara:
radikal bebas dan mekanisme apoptosis. Radikal bebas dapat merusak DNA
dan protein, baik melalui oksidasi basa DNA atau melalui kovalen yang
mengikat DNA. Reactive Oxygen Species (ROS) juga menginduksi oksidasi
Sulfhydryl suatu kelompok protein dan DNA yang akan mengubah integritas
dan fungsi hepar. Adanya kerusakan pada organ hepar akibat paparan bahan
toksin dideteksi dengan melakukan pemeriksaan biokimia dan pemeriksaan
histopatologi hepar. Pemeriksaan histopatologi hepar merupakan suatu
pemeriksaan yang dapat membuktikan adanya kerusakan hepar yang
ditandai dengan adanya perubahan struktur hepar dari struktur normalnya
pemeriksaan histopatologi digunakan sebagai pemeriksaan gold standart
yang dilakukan untuk kerusakan pada struktur hepar.37
2.3.3 Pajanan Melalui Inhalasi.35
2.3.3.1 Kematian
Diazinon merupakan senyawa dengan volatilitas rendah, sehingga
pajanan inhalasi diazinon lebih mungkin terjadi akibat aerosol dibandingkan
penguapan. Tidak ada laporan mengenai kematian pada manusia ataupun
hewan yang terpapar diazinon melalui inhalasi. Hanya terdapat satu kasus
kematian yang terjadi seorang laki-laki dengan terpapar insektisida
campuran, yaitu diazinon dan malathion. Kematiannya terjadi akibat henti
jantung ireversibel walaupun telah diberikan atropine. Studi pada tikus
Sprague- Dawley yang dipaparkan diazinon 2.330 mg/m3 selama 4 jam di
dalam ruang dan diobservasi selama 14 hari, atau tikus hybrid yang terpapar
dengan konsentrasi udara, 0,05; 0,46; 1,57; atau 11,6 mg/m3 diazinon selama
6 jam/hari, 5 hari/minggu selama tiga minggu tidak menyebabkan kematian.
35
Pada penelitian tikus wistar dengan dosis konsentrasi tertinggi 559mg/m3,
pada 151 dan 245mg/m3 terjadi exophthalmos dan diare dengan onset yang
cepat yaitu segera setelah paparan, sedangkan perubahan kimia klinis terjadi
penurunan aktivitas cholinesterase pada plasma dan otak.35

2.3.3.2 Efek Sistemik


Tidak ada studi yang mempelajari efek pajanan diazinon secara
inhalasi pada masing-masing sistem tubuh. Hanya terdapat satu studi yang
menunjukkan adanya perubahan degeneratif ringan pada otot manusia
setelah pajanan akut dengan campuran diazinon dan malation. Pada tikus
Sprague- Dawley yang terpapar 2.330 mg/m3 diazinon selama 4 jam
menimbulkan discharge pada hidung, polyuria, dan ptosis. Tidak terdapat
bukti kelainan
secara makroskopik atau mikroskopik dari pengobatan yang terkait dengan
kerusakan pada paru, jaringan hidung, jantung, parameter hematologi
(jumlah eritrosit, hemoglobin, volume PRC), organ hepar, kelenjar adrenal,
organ ginjal, lesi ophthalmoskopik, dan berat badan pada tikus hybrid
dengan pajanan diazinon lebih dari 11,6 mg/m3 (hanya hidung) selama 6
jam/hari, 5 hari/minggu selama 3 minggu di akhir studi.35

2.3.3.3 Efek Imunologis dan Limforetikuler


Tidak terdapat studi yang mempelajari mengenai efek diazinon pada
manusia terhadap efek imunologis atau limforetikular setelah pajanan
melalui rute inhalasi. Pada tikus hybrid yang terpapar diazinon lebih dari
3
11,6 mg/m
(hanya hidung) selama 6 jam/hari, 5 hari/minggu selama 3 minggu, tidak
terdapat kelainan secara makroskopik ataupun mikroskopik pada lien.35

2.3.3.4. Efek Neurologis


Diazinon yang adalah antikolinesterase organofosfat yang
menghambat AChE di sistem saraf pusat dan perifer. Hambatan ini
menyebabkan akumulasi asetilkolin pada reseptor muskarinik dan nikotinik
pada sistem saraf sentral dan perifer. Efek ini umumnya muncul dalam
beberapa menit sampai 24 jam setelah pajanan. Berdasarkan studi lain,
terdapat anggota keluarga yang mengeluh mengenai tanda dan gejala setelah
mengalami intoksikasi insektisida, keluhan yang dialami berupa sakit kepala,
muntah, lemas, dan rasa berat pada dada setelah pindah ke rumah yang
diberikan diazinon. Setelah 5 bulan pengobatan diazinon, urinalisis
dilakukan pada anggota keluarga tersebut menunjukkan tingginya kadar
metabolit diazinon, diethilfosfas (0,5-1,5 mg/L), sedangkan kadar ChE
mengalami sedikit penurunan (79-84% dari normal).35
Kasus lain yang terjadi pada seorang pasien perempuan, umur 42
tahun, dengan usia kehamilan 26 minggu terpapar insektisida cairan
diazinon saat sedang membersihkan kamar mandi yang tidak memiliki
ventilasi. Gejala
yang timbul pada pasien tersebut adalah pusing, muntah, pandangan buram,
dan salivasi. Hasil pemeriksaan aktivitas ChE adalah 161 U/L (normal 5.400
– 13.200 U/L) dan didiagnosis sebagai intoksikasi organofosfat. Pasien
tersebut diberikan atropine dan pralidoksim dan gejalanya menjadi
berkurang.35
2.3.3.5 Efek Reproduktif dan Perkembangan
Tidak terdapat studi yang mempelajari efek pajanan diazinon secara
inhalasi terhadap reproduktif dan perkembangan pada manusia ataupun
hewan.35

2.3.3.6 Keganasan
Beberapa studi epidemiologis melaporkan adanya peningkatan
insidensi keganasan pada manusia yang terpapar dengan sejumlah
insektisida, termasuk diazinon. Beberapa studi mengatakan bahwa kejadian
ini timbul melalui rute inhalasi. Berdasarkan sebuah studi kasus-kontrol
mengenai kemungkinan hubungan antara penggunaan diazinon dalam
perkebunan dan meningkatnya insidensi keganasan otak pada anak. Namun,
dalam laporan tersebut tidak memberitahukan secara jelas jumlah dosis,
durasi dan frekuensi pajanan terhadap diazinon. Dari hasil studi kasus-
kontrol lainnya, ditemukan adanya hubungan positif antara peningkatan
insidensi limfoma Hodgkin pada petani dibandingkan nonpetani. Tidak
terdapat studi pada hewan terkait efek pajanan diazinon melalui inhalasi
dengan keganasan.35

2.2.4 Pajanan Melalui Oral


2.2.4.1 Kematian
Pajanan dosis tinggi diazinon melalui oral secara akut dapat
menginduksi tanda dan gejala kolinergis pada manusia dan hewan. Dosis
tinggi tersebut menyebabkan edema dan hemoragis pada jaringan, juga
distress pernapasan pernah dilaporkan. Beberapa kasus distress pernapasan
dapat menyebabkan kegagalan respirasi dan kematian. Pengobatan yang
diuji
pada hewan dengan antagonis antikolinesterase seperti atropine dan
prolidoksim secara signifikan menurunkan mortalitas pada tikus, hal ini
menunjukan diazinon akut berhubungan dengan inhibisi AChE. Estimasi
dosis fatal secara oral pada orang dewasa adalah 25 gram.35
Berdasarkan studi temuan pada otopsi dari 76 kasus dengan
intoksikasi diazinon akut menemukan tanda kolinergis seperti: kongesti,
bengkak, edema pada otak dengan vaskularisasi di dural dan permukaan;
sembab, kongesti pada wajah, sianosis, hyperemia, petekia dan ekimosis
serta beberapa ditemukan perdarahan otak atau spinal. Secara umum,
penyebab kematian tersebut akibat kegagalan pernapasan, dan beberapa
akibat henti jantung.35
Dosis diazinon yang menyebabkan kematian pada hewan percobaan
bergantung dari bentuk senyawa (murni, teknikal atau formulasi) juga
tergantung pada spesies hewan, jenis kelamin, usia dan faktor yang
dimodifikasi misalnya diet. Dosis oral tunggal pada tikus ditemukan dosis
letal antara 75 sampai 600 mg. Studi pada kelinci di New Zealand, 6 dari 8
kelinci yang sedang hamil, diberikan diazinon secara oral dengan dosis 30
mg/kg/hari pada hari gestasi 5 – 15 mengalami kematian. Pada studi yang
sama pada kelinci, dosis 100 mg/kg/hari pada hari gestasi 6 – 16
menyebabkan kematian 35
Tidak terdapat kematian pada tikus Sprague-Dawley jantan ataupun
betina yang telah menerima diazonin sebesar 183,2 mg/kg/hari selama 6
minggu atau hingga 212 mg/kg/hari selama 13 minggu atau pada anjing
Beagle yang menerima 15,99 mg/kg/hari selama 4 minggu hingga 11,6
mg/kg/hari selama 13 minggu.35
Tikus yang terpapar secara oral dengan diazinon 23 mg / kg memiliki
kadar diazinon yang terdeteksi dalam darah, jaringan adiposa, otot, hati, dan
otak. Semua level memuncak pada hari ke 4 kecuali konsentrasi otot dan
hati,
yang masing-masing memuncak pada 12 dan 8 hari. Diazinon tidak
terdeteksi lagi ditemukan dalam sampel apa pun setelah 30 hari.36
2.2.4.2 Efek Sistemik
Tidak terdapat studi yang mempelajari efek diazinon melalui oral
pada sistem musculoskeletal, dermal, atau berat badan. Berdasarkan hasil
penemuan otopsi pada manusia dengan intoksikasi diazinon akut dan studi
laboratorium terdapat efek kerusakan pada sistem pernapasan,
kardiovaskular, gastrointestinal hematologis dan endokrin (pankreas).35
Distres pernapasan merupakan tanda kolinergis akibat inhibisi
AChE, dimana terjadi pada manusia dengan intoksikasi diazinon akut dan
terjadi pada hewan percobaan melalui pajanan oral. Pada manusia, dosis
tinggi dari diazinon dengan oral menyebabkan distress pernapasan yang
ditandai dengan kongesti pada saluran pernapasan, sekresi berlebihan dan
edema paru. Takipnea dan sianosis terlihat pada laki-laki secara sengaja
mengonsumsi 240 mg/kg diazinon dan perempuan yang mengonsumsi 509
mg/kg. Berdasarkan studi pada hewan, efek pada sistem pernapasan juga
terjadi. Dosis tunggal diazinon sebesar 50 – 700 mg/kg kepada tikus
menyebabkan inflamasi pada paru, kongesti vaskular stasis vena, dan
pneumonitis luas. Dispnea umumnya terjadi pada tikus Sprague-Dawley
jantan yang diberikan dosis tunggal 264 mg/kg diazinon, sedangkan dosis
528 mg/kg pada tikus betina.35
Tidak terdapat kerusakan makroskopik ataupun mikroskopik pada
paru-paru, jantung, jaringan saluran pencernaan, hepar, ginjal, kelenjar
adrenal, pituitary, ataupun kelenjar tiroid, berat badan, dan elektrolit darah di
kelinci di New Zealand yang menerima 100 mg/kg/hari diazinon pada usia
kehamilan 6 – 18 minggu, pada tikus Sprague-Dawley jantan ataupun betina
yang menerima dosis 212 mg/kg/hari diazinon selama 13 inggu atau hingga
12 mg/kg/hari selama 98 minggu serta anjing Beagles jantan ataupun betina
yang menerima hingga 11,6 mg/kg/hari diazinon selama 13 minggu.35
Pajanan diazinon dosis letal melalui oral menyebabkan kongesti pada
jantung dan pembuluh darah, yang ditemukan pada otopsi dari 76 kasus di
Amerika. Dalam sebuah studi kasus dari 25 kasus bunuh diri di Amerika
dengan mengonsumsi diazinon, beberapa korban tampak kegagalan sirkulasi
perifer. Selain itu juga timbul takikardia, hipertensi dan bradikardia.
Pemberian diazinon secara oral dengan dosis 10 mg/kgbb/hari pada tikus
Sprague-Dawley selama 7 minggu menimbulkan vakuolisasi dan
pembengkakkan pada mitokondria di sel miokardial.35
Dari 76 kasus intoksikasi akut yang dilakukan otopsi ditemukan
adanya tanda-tanda kelainan pada saluran pencernaan, yaitu isi lambung
gelap dan berdarah, kongesti pada mukosa lambung serta perdarahan petekia
di submukosa lambung, dan beberapa mengalami erosi dan ulserasi. Tanda
lain toksisitas pencernaan pada manusia setelah pajanan dosis tinggi
diazinon adalah mual, diare dan muntah, serta nyeri abdomen. Pasien 16
tahun yang minum 1,5 mg/kg diazinon mengalami pankreatitis. Studi pada
tikus wistar albino jantan yang diberikan dosis letal diazinon, ditemukan
kongesti pada lamino propria usus halus, dan beberapa usus halus
mengalami hemoragis dan nekrosis. Selain itu, ditemukan adanya ulserasi
dan inflamasi pada usus halus dan caecum. Efek yang mirip juga terjadi pada
anjing beagle yang diberikan diazinon secara oral selama 8 bulan.35
Sebuah laporan dari 5 individu (3 laki-laki dan 2 perempuan) yang
secara sengaja mengonsumsi 60 – 180 mL diazinon 25% ditemukan jumlah
leukosit 3.700, 95% PMN, hemoglobin 16,3 g/%, dan hematocrit 47% di
mana semuanya dalam batas normal. Efek hematologis akibat diazinon
ditemukan juga pada beberapa studi hewan. Dosis tunggal 4,4 mg/kg
diazinon di tikus sprague-dawley setelah 2 jam pemberian tampak efek pada
hematologi. Walaupun pajanan diazinon tidak mempengaruhi hematokrit
atau faktor VII secara signifikan, namun jumlah trombosis menurun secara
signifikan. Selain itu, walaupun perubahannya kecil namun signifikan pada
aktivitas fibrinogen, sedangkan aktivitas prothrombin, partial
thromboplastin, faktor II, faktor V, dan faktor X mengalami peningkatan.35
Hasil otopsi dari 76 kasus di Amerika yang mengalami intoksikasi
diazinon ditemukan kongesti pada hepar. Pada studi hewan, dosis tunggal
300 mg/kg diazinon yang diberikan pada tikus Sprague-Dawley jantan dan
betina mengalami penurunan CP450, dan aktivitas pada aniline hidroksilase
dan aminopirin N-demetilase di hepar, terutama saat awal 24 jam.
Pemberian oral 30 mg/kg/hari diazinon selama 4 minggu pada tikus putih
jantan menurunkan beta-lipoprotein serum, alanine aminotransferase,
aspartate aminotransferase, dan gamma-glutamyl transferase. Di dalam studi
pada tikus wistar jantan, yang diberikan dosis oral 0,5 mg/kg sebanyak 2 kali
per minggu selama 28 minggu. Akumulasi lemak terjadi secara progresif dan
lebih berat pada minggu ke 14 hingga 28 minggu, tetapi tidak ditemukan
nekrosis selular. Akumulasi lemak tersebut menyebabkan gangguan pada
metabolisme di reticulum endoplasma kasar, meningkatkan mobilisasi lemak
dari jaringan perifer atau gangguan lipoprotein dari sel hepar. Terdapat
peningkatan berat hepar pada tikus Sprague-Dawley betina yang menerima
diazinon 212 mg/kg/hari selama 13 minggu. Secara histologis juga tampak
hipertrofi hepatoselular minimal. Serum biokimia dan perubahan struktural
hepatoselular pada tikus wistar jantan yang menerima diazinon sebesar 10
mg/kg/hari selama 7 minggu. Efek ini menunjukkan peningkatan aktivitas
enzim hepar secara signifikan (ALT, ALP, AST), total protein, dan albumin,
serta peningkatan total kolesterol dan penurunan kolesterol LDL dan
trigliserida, dan secara histopatologis tampak mitokrondia yang bengkak,
perubahan struktural di krista mitokondria, bengkak pada reticulum
endoplasma, dan perubahan densitas kromatin nukleus.35
2.2.4.3 Efek Imunologis dan Limforetikular
Berdasarkan hasil otopsi pada 76 kasus intoksikasi diazinon akut
ditemukan pembengkakkan pada organ lien. Dosis tunggal diazinon 50 –
700 mg/kg yang diberikan pada tikus wistar albino jantan didapatkan adanya
penurunan berat pada organ lien sebesar 35%, selain itu juga ditemukan
adanya kontraksi pada pulpa merah lien, penurunan berat timus, dan atrofi
timus dari ringan hingga hampir hilang jumlah sel timus. Penelitian lain juga
dilakukan pada anjing diberikan dosis oral diazinon 2,5 – 20 mg/kg/hari.
Lien anjing jantan yang kurus dan anoreksia mengecil, tampak pucat, dan
atrofi pada pulpa lien yang kemudian meninggal setelah pajanan 232 hari
dengan dosis diazinon 10 mg/kg/hari. Studi ini menyatakan bahwa atrofi
organ lien terjadi akibat kondisi umum anjing yang kurus disertai dengan
diare, emesis, dan anoreksia. Pemberian diazinon secara oral pada tikus
menghasilkan penurunan T limpa respon antibody pada DNP dan terjadi
atropi timus yang dramatis.35
Pemberian diazinon oral pada tikus dengan dosis 50 mg/kg/hari
selama 30 hari didapatkan adanya peningkatan pada interleukin-10 di
limfosit lien, dengan subpopulasinya adalah CD4+, CD8+, dan sel B disertai
dengan penurunan interferon-gamma pada sel B yang signifikan. Melalui
studi ini didapatkan efek diazinon pada sitokin dalam regulasi respon selular
dan humoral terbukti. Namun tidak terdapat bukti kerusakan makroskopik
dan mikroskopik pada lien atau timus pada tikus Sprague-Dawley yang
mengonsumsi diazinon 212 mg/kg/hari selama 13 minggu, atau dengan 12
mg/kg/hari selama 98 minggu, atau pada anjing Beagle yang mendapatkan
11,6 mg/kg/hari selama 13 minggu atau 9 mg/kg/hari selama 52 minggu.35
2.3.4.4 Efek Neurologis
Tanda dan gejala dari intoksikasi kolinesterase pada manusia, baik
terjadi akibat mengonsumsi diazinon secara sengaja atau tidak sengaja telah
banyak dilaporkan. Tanda dan gejala yang timbul akibat intoksikasi diazinon
adalah muntah, nyeri abdomen, pusing, keringat berlebihan, diare,
bradikardia, takikardia, fasikulasi pada otot, hiperrefleks, gelisah, kontriksi
pupil, miosis, klonus, kelemahan, bronkospasme, stupor dan koma.
Diperkirakan dosis yang digunakan hingga menimbulkan tanda dan gejala
tersebut adalah 200 sampai 1.000 mg/kg. Berdasarkan penemuan otopsi dari
pasien yang meninggal akibat intoksikasi akut diazinon adalah perdarahan
spinal dan kongesti, bengkak, dan perdarahan pada otak.35
Mekanisme terjadinya tanda dan gejala sistem saraf akibat
intoksikasi diazinon sama seperti pada intoksikasi organofosfat secara
umumnya yang telah dibahas di atas, yaitu dengan menghambat kerja enzim
asetilkolinesterase sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Selain itu,
asetilkolinesterase juga terdapat di eritrosit dan di dalam plasma darah juga
mengandung kolinesterase lainnya. Pada manusia, kolinesterase plasma yang
paling banyak ditemukan adalah butirilkolinesterase, yang jika dihidrolisis
akan menghasilkan asetilkolin dan butirilkoline secara in vitro. Secara
umum, kolinesterase plasma ini juga dapat dihambat oleh diazinon dengan
pajanan dosis rendah dibandingkan untuk menghambat asetikolinesterase
saraf ataupun eritrosit. Aktivitas kolinesterase plasma diduga menjadi
indicator yang sensitive untuk pajanan organofosfat seperti diazinon, tetapi
bukan indicator untuk mengetahui efek pada neurologis.35
Berdasarkan beberapa studi control pada manusia, hambatan
kolinesterase plasma akan diobservasi setelah mengonsumsi kapsul gelatin
yang mengandung diazinon/ Dosis tunggal 0,12 dan 0,2 mg/kg diazinon
menyebabkan hambatan kolinesterase plasma sebanyak 40% dan 60% secara
berurutan. Hambatan yang terjadi hampir 90% pada kolinesterase plasma
terjadi pada seorang sukarelawan yang mengonsumsi 0,3mg/kg dosis
diazinon. Hambatan kolinesterase plasma terjadi maksimal di antara 4
sampai 8 jam setelah mengonsumsi obat. Pemulihan terjadi mulai 24 jam
setelah pajanan oral, tetapi hampir 70% sukarelawan pulih sempurna setelah
15 hari.
Walaupun dari penelitian ini tampak adanya dampak pada kolinesterase
plasma, namun asetilkolinesterase eritrosit tidak terhambat.35
Studi dengan pemberian oral ulangan, pada 4 laki-laki sukarelawan
yang mengonsumsi kapsul gelatin 0,3 mg/kg/hari saat sarapan selama 28 –
31 hari, menunjukkan bawah hambata kolinesterase plasma mencapai 47 –
56% saat mendekati akhir waktu intervensi. Pemulihan 28 hari setelah
pengobatan dihentikan mencapai 86 – 92%. Tidak terdapat efek pada
aktivitas asetilkolinesterase eritrosit.35
Studi lain yang dilakukan pada manusia dengan diazinon diberikan
pada tiga laki-laki sukarelawan dengan dosis yang berbeda, yaitu 0,02
mg/kg/hari, 0,025 mg/kg/hari, atau 0,05 mg/kg/hari. Pemberian 0,02
mg/kg/hari diazinon hingga 37 hari tidak ditemukan adanya efek pada
aktivitas cholinesterase plasma. Dosis 0,025 mg/kg/hari, sebesar 23%
aktivitas cholinesterase plasma terhambat dan mulai tampak pada hari ke-12
hingga ke-43. Namun, dengan pemberian dosis 0,05 mg/kg/hari sebesar 40%
aktivitas kolinesterase plasma terhambat yang muncul pada hari ke-5 setelah
pengobatan. Studi ini juga menyatakan bahwa tidak terdapat efek pada
aktivitas asetilkolinesterase eritrosit.35
Berdasarkan studi yang dilakukan pada hewan terbukti mendukung
temuan pada manusia dengan neurotoksisitas yang diinduksi oleh diazinon.
Dosis tunggal 75 – 300 mg/kg, diberikan pada tikus ataupun kelinci
didapatkan tanda stimulasi kolinergis, seperti fasikulasi otot, tremor, miosis,
lakrimasi, diare, perubahan cara berjalan, dan hipoaktivitas. Pemberian
diazinon hingga 92 hari pada tikus, dengan dosis 168 mg/kg/hari (betina)
atau 212 mg/kg/hari (jantan) setiap hari ditemukan tanda stimulasi
kolinergis, tetapi dosis 15 dan 19 mg/kg/hari, secara berurutan tidak
menimbulkan gejala klinis dari neurotoksisitas. Tanda kolinergis seperti
fasikulasi otot, emesis, dan atau diare telah dilaporkan pada 3 dari anjing
jantan dan betina yang mengonsumsi diazinon di dalam makanannya,
dengan dosis 20 mg/kg/hari
selama 8 bulan, tetapi hanya 1/6 anjing yang menimbulkan gejala kolinergis
dengan dosis lebih rendah (10 mg/kg/hari).35
Studi mengenai efek neurologis yang disebabkan oleh diazinon
dengan pemberian dosis tunggal secara oral pada tikus Sprague-Dawley baik
pada jantan maupun betina dengan dosis 0; 2,5; 150; 300; atau 600 mg/kg
serta menilai FOB (Financial Observation Battery). Tanda-tanda
neurotoksisitas hanya tampak pada efek puncak yaitu 9 sampai 11 jam
setelah pajanan dan tidak tampak gejala pada minggu ke-1 ataupun ke-2
setelah pajanan. Pemberian dosis 600 mg/kg didapatkan gangguan pada
fungsi pernapasan, lakrimasi, kekuatan forelimb dan hindlimb strength,
posisi abnormal pada hindlimb, penurunan kesadaran (jantan), dan
penurunan respon sentuh (betina). Tidak ditemukan adanya kelainan
makroskopik ataupun mikroskopik di otak, sumsum tulang, saraf perifer,
otot skeletal, mata ataupun nervus optikus dengan dosis tinggi 600 mg/kg.35
Studi pada hewan mengenai potensi diazinon terhadap efek
neurofisiologi ataupun neurohistopatologi sangat terbatas. Dari penelitian
yang ada, tidak terdapat lesi histopatologi di jaringan saraf sentral maupun
perifer di tikus yang telah mengonsumsi dosis obat 600 mg/ kg, atau tikus
yang mengonsumsi diazinon selama 90 hari dengan dosis 212 mg/kg/hari.
Tidak terdapat gejala klinis dan histopatologi pada neuropati yang diinduksi
dengan diazinon pada ayam betina dengan dosis 11,3 mg/kg sebanyak 2 kali
dengan jarak 21 hari.35
2.3.4.5 Efek Reproduktif
Tidak terdapat studi yang secara langsung mempelajari efek
reproduktif pada manusia setelah pajanan diazinon secara oral. Studi
mengenai pajanan diazinon terhadap hewan juga terbatas. Dari studi pada
tikus betina Sprague-Dawley yang diberikan makanan dengan kandungan
diazinon sebesar 0,05 mg/kg/hari saat kehamilan dan laktasi selama 60 hari
tidak didapatkan efek samping pada 4 generasi tikus tersebut. Efek pada
fertilitas juga tidak ditemukan pada semua betina dimana semua betina dapat
hamil. Berbeda dengan tikus albino jantan yang diberikan diazinon dengan
dosis 1,5 atau 3 mg/kg/hari selama 65 hari didapatkan adanya penurunan
jaringan reproduksi, peningkatkan persentase fertilitas, meningkatnya
persentase kematian dan morfologi abnormal pada spermatozoa, dan kadar
testosteron plasma. Anjing Beagel jantan dan betina diberikan kapsul yang
mengandung diazinon didalam minyak jagung dengan dosis antara 2,5
hingga 20 mg/kg/hari selama 8 bulan. Terdapat satu anjing jantan yang
mengalami atrofi testikular dengan spermatogenesis berhenti total dengan
dosis diazinon sebesar 10 mg/kg/hari dan terdapat perubahan patologis
secara makroskopik. Semua anjing jantan yang mendapakan dosis 20
mg/kg/hari mengalami efek yang sama.35
Tidak terdapat bukti kelainan secara makroskopik atau mikroskopik
pada jaringan reproduktif seperti ovarium, uterus, vagina, epididimis, fesikel
seminalis dan testis pada tikus Sprague Dawley yang mengonsumsi diazinon
sebesar 168 mg/kg/hari (jantan) atau 212 mg/kg/hari (betina) selama 13
minggu atau sebesar 10 mg/kg/hari (jantan) atau 12 mg.kg/hari (betina)
selama 98 minggu, atau anjing Beagel yang mengonsumsi diazinon
sebanyak 10,9 mg/kg/hari (jantan) atau 11,6 mg/kg/hari (betina) selama 13
minggu.35
Penelitian lain di sebutkan bahwa toksisitas diazinon menyebabkan
efek yang buruk pada beberapa organ termasuk pancreas, paru-paru, usus
kecil, testis, hati, ginjal dan ovarium.35
Sebuah penelitian efek diazinon terhadap hormon dan histopatologi
ovarium tikus wistar betina menunjukkan hasil tidak ada perubahan
signifikan kenaikan atau penurunan berat badan; tetapi terjadi penurunan
berat ovarium dari berat normal. Tidak ada perubahan signifikan dalam
kadar hormon LH, FSH dan estradiol yang diamati. Sebaliknya, konsentrasi
progesteron menunjukkan penurunan yang signifikan pada semua kelompok
eksperimen
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil menunjukkan tidak ada
perbedaan signifikan dalam jumlah rata-rata folikel primer, sekunder dan
graffian tetapi ada penurunan yang signifikan dalam jumlah rata-rata corpus
luteum pada kelompok eksperimen yang menerima 150 mg / kg diazinon.38
2.3.4.6 Efek Perkembangan
Tidak terdapat studi yang mempelajari efek perkembangan pada
manusia setelah pajanan oral. Studi pada hewan seperti tikus, tikus mencit,
hamster. dan kelinci. Tidak ditemukan adanya bukti kelainan atau toksisitas
pada perkembangan dengan pajanan laktasi di fetus atau neonatus pada
hewan tersebut. Terdapat efek samping pada anak-anak hewan tersebut yang
dikarenakan pajanan diazinon secara plasenta ataupun antagonis kolinergik
pada perkembangan fetus.35
Studi teratologi yang dilakukan pada tikus yang diberikan diazinon
dengan dosis 0;0,18;/9 mg/kg/ hari selama kehamilan tidak menimbulkan
toksisitas pada maternal dengan dosis berapapun. Tetapi didapatkan
mortalitas yang meningkat secara signifikan pada dosis tinggi setelah hari
ke28 persalinan (12%, 18 dari 150 tikus), mortilitas lebih rendah terjadi pada
dosis rendah (2%, 3 dari 134 tikus) dibandingkan dengan control (6%, 19
dari 311 tikus). Kematian pada tikus diperiksa secara histologi ditemukan
adanya kongesti paru dan infiltrasi mukosa dengan bronkitis akut. Sebuah
penelitian dengan protocol yang sama, dimana tikus yang sedang hamil
diberikan pajanan melalui bendungan yang berisi selai kacang yang
mengandung diazinon dengan dosis 0;0,18; atau 9 mg/kg/hari. Setelah
pajanan dengan diazinon tikus tersebut mengalami penurunan berat bedan
saat kehamilan secara signifikan, tetapi tidak mempengaruhi masa waktu
kehamilan. Berat badan pada anak tikus pada 14 minggu pertama setelah
persalinan juga mengalami penurunan secara signifikan. Tidak terdapat efek
teratologi.35
Hamster Golden Syrian yang sedang hamil diberikan pajanan oral
terhadap diazinon pada masa organogenesis dengan dosis 0,125 mg/kg/hari
kepada 8 ekor hamster yang sedang hamil pada hari ke 6, 7, dan 8; 0,25
mg/kg/hari kepada 5 ekor hamster yang sedang hamil pada hari ke 7 atau 8).
Semua hamster tersebut hidup, tetapi muncul tanda kolinergis berupa diare,
salivasi, dan ataksia. Dari penelitian ini tidak ditemukan adanya efek
teratogenik pada anak hamster dengan dosis tersebut, mortalitas fetus atau
berat badan fetus. Jadi, dapat dikatakan bahwa dosis tersebut toksik terhadap
semua maternal, tetapi diazinon tidak menyebabkan toksik secara
perkembangan pada hamster.35
Penelitian hewan lainnya juga dilakukan pada kelinci. Kelinci betina
yang telah diberikan dosis letal tidak menyebabkan adanya fetotoksik
ataupun toksik perkembangan pada fetus kelinci. Ketika kelinci putih New
Zealand sedang hamil diberikan diazinon dalam bentuk kapsul gel dengan
dosis 7 sampai 30 mg/kg/hari pada hari ke-15 kehamilan, 6 dari 8 hewan
tersebut dengan dosis tinggi mengalami kematian, dan muncul tanda
kolinergis yang berat. Namun, dosis obat tersebut tidak menyebabkan
embriotoksik.35
Pada penelitian tahun 2014 di Negara Iran diazinon dengan membuat
perubahan pada DNA atau protein yang terikat dapat merusak jaringan testis
dan menciptakan mutasi pada spermatogonia yang pada akhirnya
menyebabkan perubahan pada sperma.35
2.3.4.7 Efek Keganasan
Berdasarkan beberapa studi epidemiologi dilaporkan terdapat
peningkatan insiden kanker pada manusia yang terpajan dengan sejumlah
insektisida, termasuk diazinon. Beberapa kasus tersebut terjadi akibat
pajanan dari oral. Namun, angka kasus kanker tersebut mungkin tidak hanya
disebabkan secara eksklusif oleh pajanan diazinon.35
Sebuah studi kasus-kontrol yang menyatakan bahwa kemungkinan
terdapat hubungan antara perkebunan dalam rumah dengan menggunakan
diazinon dan insektisida lainnya dan meningkatkan insidens kanker otak
pada anak tipe tidak spesifik. Namun, dari studi ini tidak memberikan dosis,
durasi ataupun frekuensi pajanan terhadap diazinon atau insektisida lain.
Studi kasus-kontrol lain juga menyatakan adanya korelasi positif antara
peningkatan insidens limfoma non-Hodgkin pada para petani dibandingkan
non-petani. Laporan tersebut mendukung bahwa peningkatan insidens
limfoma akibat pajanan insektisida organofosfat, termasuk diazinon. Studi
kasus-kontrol ketiga juga menyatakan terdapat hubungan antara peningkatan
insiden multiple myeloma dengan pajanan tinggi insektisida, termasuk
diazinon.35
Sebuah studi dengan melihat bioassay kanker pada 344 tikus, di
mana terdapat 50 tikus/jenis kelamin/kelompok diberikan dosis diazinon 20
atau 40 mg/kg/hari selama 103 minggu; kelompok control terdiri dari 25
tikus/jenis kelamin. Didapatkan massa jaringan pada jantan dengan dosis
tinggi dan betina dosis rendah, insidens takipnea meningkat pada kelompok
yang terpajan diazinon. Lesi neoplasia dan nonneoplasia juga terobservasi
dengan frekuensi yang hampir sama pada kedua jenis kelamin baik dalam
kelompok control dan pajanan. Lesi polips stroma endometrial mengalami
peningkatan pada tikus betina (control = 2/23, dosis rendah = 8/43, dosis
tinggi 11/49) dianggap tidak berhubungan dengan pajanan diazinon.
Sedangkan pada tikus jantan, kasus limfoma dan leukemia meningkat secara
signifikan pada kelompok dosis rendah 25 dari 50 tikus (p<0,011), tetapi
tidak pada kelompok dosis tinggi (12/50), dan kontrol (5/25). Hasil studi ini
menyatakan bahwa diazinon tidak bersifat karsinogen.35
2.4 Tikus Wistar
Tikus wistar merupakan hewan yang telah digunakan untuk penelitian
tingkah laku, sistem saraf, fisiologi, dan penelitian lainnya lebih dari satu
abad.39 Penggunaan tikus wistar sebagai hewan percobaan disebabkan oleh
harga yang murah, kemudahan dalam handling, pemeliharaannya yang
mudah, serta dapat digunakan banyak penelitian. Menurut Sundberg, tikus
wistar memiliki kelebihan untuk dijadikan hewan percobaan karena tikus
wistar memiliki struktur anatomi dan histologi yang mirip dengan spesies
mamalia lainnya40. Tikus wistar merupakan hewan percobaan yang sering
digunakan untuk penelitian patologi, fisiologi, farmakologi, toksikologi, dan
percobaan untuk transplantasi.41
Organ yang paling sering menjadi objek percobaan dalam peneltian
biomedis seperti hepar, apabila berada dalam dalam kondisi yang tidak
normal dapat menyebabkan kesalahan dalam menyimpulkan hasil penelitian.
Organ hepar merupakan organ penting dalam mengetahui efek sistemik suatu
zat atau bahan uji toksisitas karena hepar merupakan organ ekskresi yang
memiliki fungsi filtrasi dan ekskresi.42
Tikus wistar memiliki peranan penting dalam penelitian biomedis
hingga saat ini. Tikus wistar dapat berfungsi sebagai hewan percobaan
berbagai bidang, diantaranya studi kanker dan toksikologi 43. Tikus wistar
memiliki ciri-ciri morfologis yaitu warna albino, kepala yang kecil, ekor yang
lebih pajang dibandingkan badannya, pertumbuhan yang cepat,
temperamennya baik, dan kemampuan laktasinya tinggi. Beberapa strain tikus
digunakan dalam penelitian di laboratorium hewan coba di Indonesia adalah
strain Wistar.44
2.4.1 Anatomi Hepar Tikus Wistar
Hepar merupakan organ yang berfungsi mendetoksikasi metabolit,
mensintesa protein, dan memproduksi senyawa biokimia yang diperlukan
dalam pencernaan.45 Cara kerja hepar dalam detoksifikasi racun adalah
dengan memecah senyawa beracun menjadi beberapa senyawa seperti urea,
ammonia dan asam urat46. Fungi hati sebagai detoksifikasi racun ini memiliki
konsekuensi, yaitu hati sangat rentan mengalami kerusakan karena zat-zat
toksik. Hepar tikus memiliki lobus lebih dari satu seperti pada mamalia
lainnya. Massa hepar tikus adalah 5% dari total berat badan tikus tersebut. 47
Berbeda dengan manusia, anjing dan babi, tikus wistar tidak mempunyai
empedu, sama halnya dengan kuda dam rusa. Duktus empedu yang berada
didalam hepar diduga mempunyai fugsi yang sama seperti duktus empedu
pada manusia dan duktus empedu yang berukuran besar diduga mempunyai
fungsi yang sama seperti duktus empedu antar lobus pada manusia.48
Lobus hepar tikus wistar diberi nama sesuai dengan cabang portal
yang mensuplai hati, dan pada mamalia, sisitem portal merupakan referensi
anatomi yang umum digunakan.49 Pembagian lobus hepar tikus wistar
menjadi 4 lonus yaitu lobus dekstra, lonus sinistra, lobus medial dan lobus
kaudal. Lobus dekstra terbagi menjadi dua bagian yaitu lobus superior dekstra
dan lobus inferior dekstra, lobus kaudal terbagi menjadi lobus kaudal superior
dan lobus kaudal inferior, lobus medial terbagi menjadi dua bagian yaitu
lobus medial sinistra dan lobus medial dekstra, sedangkan lobul sinistra
hanya terbagi menjadi satu bagian.47
2.4.2 Histologi Hepar Tikus Wistar
Area pada portal hepar mengandung elemen dari segitiga hepatik
(hepatic triad) yang mengandung percabangan kecil dari vena portalis,
percabangan dari arteri hepatica, dan saluran atau duktus empedu yang kecil,
bersama dengan pembuluh limfatik dapat diidentifikasi dengan pewarnaan
Haematoksilin Eosin. Sel parenkim adalah sel hepatosit, sedangkan sel non
parenkim hati adalah sel Kuppfer, sel leukosit, dan sel endotel. 50 Sel kuppfer
merupakan makrofag hati yang terletak pada sinusoid. Struktur hepatosit pada
hati tikus memiliki kemiripan pada spesies mamalia lainnya. Sel hepatosit hati
memiliki ciri khas yaitu memiliki nukleus yang besar dan bulat dan seringkali
memiliki dua nukleus.49
Sebagian besar sitoplasma diisi oleh mitokondria, retikulum
sitoplasma kasar dan halus, dan partikel glikogen. Bagian basal dari hepatosit
menghadap
kapiler sinusoid.51 Seperti spesies mamalia lainnya, pada bagian apikal dari
hepatosit tersambung dengan kanalikuli. Kanalikuli terbentuk dari ruang
intraselular yang membesar50. Analisis histopatologi dari jaringan hati yaitu
melalui perubahan sitoplasma, terutama pada sekeliling sel pada vena
sentralis, sel hati yang mulai membentuk vakuola dan dilatasi sinusoid.52

2.4.3 Penyakit Pada Hepar Tikus Wistar


Proses penyimpanan energi, pembentukan protein, pengaturan
metabolisme kolesterol, dan penetralan racun atau obat yang masuk dalam
tubuh terjadi pada hati53 Kerusakan sel hati akan mempengaruhi kadar enzim
54
enzim hati, bilirubin, dan protein dalam serum Kerusakan hati karena obat
dan zat kimia dapat terjadi jika cadangan daya tahan hati dan kemampuan
regenerasi sel hati berkurang sehingga hati akan mengalami kerusakan
permanen. Salah satu kejadian patologis yang dapat terjadi pada hati adalah
steatosis. Steatosis atau degenerasilemak merupakan gambaran patologi yang
ditandai dengan akumulasi lemak di dalam sel hati yang disebabkan oleh
gangguan pada metabolisme lipid di hati.53
Faktor-faktor penyebab terjadinya steatosis, secara garis besar
dibedakan atas faktor primer, yakni obesitas, hiperlipidemia, dan resistensi
insulin, serta faktor sekunder yang meliputi diet yang tidak seimbang,
malabsorpsi, kehamilan, alkohol, serta obat-obatan antara lain aspirin dan
tetrasiklin53. Perubahan histopatologi pada keadaan steatosis adalah terdapat
vakuola lemak yang awalnya kecil pada sel hepatosit, namun semakin lama
akan semakin membesar dan akan mendorong inti sel menuju perifer dari
sel.55 Sel hati juga dapat mengalami gangguan seperti degenerasi hidropik.
Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel berupa kebengkakan sitoplasma
yang berisi cairan akibat kerusakan membran sel. Mekanisme respon terhadap
pembengkakan sel akut (degenerasi hidropis) biasanya melibatkan kerusakan
membran sel, kegagalan sel dalam memproduksi energi, gangguan enzim yang
meregulasi kanal ion membran. Degenerasi hidropis terjadi akibat sebagai
respon sekunder akibat hipoksia, toksin, radikal bebas, virus, bakteri, dan
perlukaan bermediasi imun.56
Kerusakan hati menyebabkan respon inflamasi serta aktivasi dan
proliferasi populasi sel mesenkim di dalam hati yang akan mengubah bentuk
matriks ekstraseluler sebagai bagian respon persembuhan luka, dan kerusakan
hati yang kronis menyebabkan akumulasi protein penyebab jaringan parut
(fibrosis) secara progresif.57 Fibrosis hati ditandai dengan adanya akumulasi
matriks ekstraseluler (extracellular matrix, ECM) atau jaringan parut yang
terjadi setelah penyakit hati kronis yang tidak bersifat self-limited.58
Patogenesis fibrosis hati sangat kompleks, dan dimulai dengan aktivasi
Hepatic Stellate Cells yang meliputi 3 fase yaitu inisiasi, pengekalan, dan
resolusi sampai terjadinya akumulasi jaringan ikat.57 Cedera hati yang
menetap bersifar kronis menyebabkan regenerasi hati gagal dan hepatosit
disubstitusi ECM, termasuk kolagen fibrilar58.
2.4.4. Kelainan-kelainan hepar tikus wistar yang terpapar diazinon
Penelitian yang dilakukan pada tikus wistar dengan dosis oral diazinon
sebesar 40 mg/kgbb diberikan sehari dua kali selama 5 hari pada pemeriksaan
histopatologi hepar menunjukkan mengalami perubahan struktur berupa
gambaran degenarasi parenkim, degenerasi hidropik, dominasi sel nekrosis
dan dilatasi sinusoid.59 (lihat gambar 2.2)
Degenerasi hidropik Degenerasi parenkim, dilatasi
sinusoid, nekrosisi
Gambar 2.2. Gambaran Histopatologi hepar tikus wistar jantan kelompok
dengan perbesaran 400x
Pada penelitian lain dengan hewan coba kelinci dengan berat 1,8kg-
2kg dengan paparan diazinon sebesar 20mg/kg setiap 48 jam selama 2 minggu
dan 4 minggu menunjukkan perubahan struktur histologis hati. Pemberian
hewan dengan diazinon menyebabkan beberapa perubahan histopatologis.
Setelah 2 minggu pemberian diazinon pembuluh darahnya padat dan ruang
sinusoidal dipenuhi darah. Pelat hepatosit terganggu dan sel-sel itu bengkak
dan vakuolat.60 (lihat gambar 2.3)

Kelompok hepar kelinci control, Pemberian diazinon 20mg/kg selama


menunjukan vena porta(pv), saluran 2 minggu menunjukkan kongesti
empedu(bd), hepatosit(h) parah di pusat vena (CV) dan
sinusoid
(S) dengan degenerasi pada hepatosit

Gambar 2.3. Gambar penampang normal hepar kelinci, penampang perubahan


histopatologi hepar kelinci dengan paparan diazinon 20mg/kgbb
Kongesti sentral (CV) dan vena Sel-sel inflamasi fokal infiltrasi (m)
porta (PV). Hepatosit mengalami pada parenkim hati
degenerasi (d) menunjukkan
vakuola sitoplasma
Gambar 2.4. Gambaran penampang hepar kelinci yang terpapar diazinon
20mg/kgbb selama 2 minggu.

Hepatosit terdegenerasi (d), kongesti Hepatosit terdegenerasi (d) dan


di portal vena (PV), infiltrasi sel kongesti parah pada sinusoid (S)
inflamasi (m) dan saluran empedu
yang mengalami degenerasi (bd)

Gambar 2.5. Gambar penampang hepar kelinci yang terpapar diazinon


20mg/kgbb selama 4 minggu dengan pembesaran 120x
Pada penelitian di Iraq tahun 2017 dengan hewan coba tikus, pemberian
diazinon 10mg/ml dan 20mg/ml selama 3 minggu menunjukkan perubahan
histopatologi hepar. Hepar tikus percobaan menunjukkan kongesti vena sentral
dengan degenerasi sel hati. Meningkatnya jumlah fibrosis di daerah septum dengan
proliferasi lapisan sel-sel saluran empedu.61 (lihat gambar 2.7)

Kongesti vena central dan Kongesti vena central dan septal


degenerasi sel hepatik fibrosis

Gambar 2.6. Gambar penampanghepar tikus terpapar diazinon 10mg/kgbb dan


20mg/kgbb selama 3 minggu.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ozlem Cakiki dan Esra Akat yang
mengamati toksisitas diazinon dengan Analisis Biometrik terhadap perubahan
histopatologis dan divaluasi dengan mengukur area hepatosit/nucleus di hepar tikus
menunjukan hasil terdapatnya vakuolisasi jaringan hepar pada hepatosit, infiltrasi sel
mononuclear, kongesti, pembesaran pembuluh darah dan peningkatan sel Kupffer
pada tikus yang terpapar diazinon.62
2.5 Temuan Temuan Post Mortem Pada Intoksikasi Diazinon
Pelaporan kasus upaya pembunuhan pada bayi 7 bulan dengan
pemberian organofosfat didapatkan tanda toksikologis klinis antara lain pupil
pin point (diameter pupil kurang dari 1 mm), penurunan kesadaran, auskultasi
tanda suara ronchi pada paru, pada pemeriksaan laborat terjadi penurunan kadar
enzim pseduocholine esterase sampai 412 IU/L dengan rentang referensi normal
1900- 3800 IU/L. Setelah perawatan di ruang intensif selama 4 hari dan korban
dipulangkan pada hari ke 6 dengan hasil evaluasi klinis dan pemeriksaan PCE
dalam batas normal.63
Temuan post mortem pada kasus percobaan pembunuhan dengan
membakar tubuh korban masih dapat di deteksi kadar organofosfat diazinon
pada pemeriksaan lambung dengan instrumentasi GC-MS.47 Sebagian besar
kematian akibat keracunan diazinon terjadi secara akut karena hipoksia oleh
efek kolinergik akut perifer dan apnea sentral, diperburuk oleh kejang.
Kematian lain terjadi kemudian dari syok distributif kardiovaskular, disfungsi
neuromuskuler (NMJ), toksisitas kolinergik berulang, atau komplikasi
penurunan kesadaran dan kegagalan pernapasan. Kecepatan timbulnya
keracunan, yang memengaruhi apakah seseorang selamat dari kontak dengan
perawatan kesehatan setelah keracunan parah, bervariasi menurut senyawa dan
rute paparannya, dengan inhalasi tercepat, kemudian tertelan, dan kemudian
dioleskan48. Pada penelitian selama 2 tahun (2015-2017) di India sebanyak 582
kasus keracunan temuan post mortem pada jenazah didapatkan pelebaran
pembuluh darah pada gastro intestinal, congesti pada liver, fatty liver, congesti
ginjal, limpa, nekrosis pada hepar dan limpa.49
Diazinon ditemukan kadar yang lebih kecil di lambung (0,89 μg / g)
dibandingkan kadar pada usus kecil (8,80 μg / g), hal ini bisa disebabkan oleh
penyerapan yang cepat atau mungkin dari bilas lambung yang dilakukan selama
rawat inap. Tingginya konsentrasi diazinon ditemukan dalam usus kecil dapat
disebabkan oleh properti lipofilik tinggi diazinon yang menyebabkan akumulasi
di usus kecil. Hasil negatif untuk diazinon dalam ekstrak organ lain bisa
dikaitkan dengan metabolisme yang cepat diazinon. Metabolisme cepat
dimediasi oleh CYP1A1, enzim utama terlibat dalam bioaktivasi diazinon, dan
CYP2C19, enzim utama yang terlibat dalam detoksifikasi diazinon, yang
terdapat pada hepar manusia. Karena itu, penentuan diazinon di lambung dan
usus kecil dapat memberikan bukti eksposur dalam kasus menelan diazinon
yang fatal.50 Laporan kematian terkait diazinon menunjukkan petechial
perdarahan di lambung dan mukosa lambung selama otopsi seorang wanita
berusia 54 tahun yang tertelan Diazinon 293 mg / kg. Kematian akibat diazinon
lain yang terkait menunjukkan henti jantung dan pernapasan pada seorang anak
perempuan berusia 8 tahun yang secara tidak sengaja menelan campuran
diazinon dan pestisida parathion. Efek toksik dapat dikaitkan dengan
penghambatan asetilkolinesterase (AChE) oleh diazinon dan metabolitnya. Dari
sudut pandang toksikokinetik, diazinon sangat dan cepat dimetabolisme
menjadi 2-isopropil-4-metil-6-hidroksipiririmidin (IMHP). Karena metabolisme
yang cepat, tingkat diazinon berguna untuk mengevaluasi kebaruan paparan,
sedangkan IMHP umumnya digunakan sebagai penanda indikatif untuk paparan
diazinon.50
Penggunaan diazinon di perumahan masih terjadi di wilayah Jazan,
Arab Saudi. Oleh karena itu, keracunan dengan diazinon termasuk dalam kasus
yang paling sering terjadi di antara keracunan organofosfat. Wanita dan anak-
anak adalah yang paling umum, mungkin karena wanita menyalahgunakan
diazinon sebagai pestisida rumahan di daerah yang tidak berventilasi serta
pengobatan untuk kutu kepala pada anak-anak. Oleh karena itu, membatasi
penggunaan diazinon dan meningkatkan kesadaran di masyarakat tentang
bahaya diazinon dan bagaimana menggunakannya dengan aman adalah
langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.50
Sebagian besar tanda dan gejala keracunan diazinon terkait untuk
manifestasi kolinergik, yang dimediasi melalui penghambatan aktivitas AChE
serum. Toksisitas meningkat ketika pengurangan mencapai 50% atau lebih
dalam aktivitas enzim. Dalam kasus ini, sampel darah mengalami hemolysis,
oleh karena itu, tidak memenuhi syarat untuk AChE serum analisis aktivitas
dengan metode kolorimetri yang bisa digunakan sebagai tes konfirmasi untuk
keracunan organofosfat. Oleh karena itu, deteksi diazinon dan IMHP di sampel
postmortem digunakan sebagai tes konfirmasi untuk paparan diazinon. Dari
sudut pandang toxicokinetic, diazinon adalah senyawa lipofilik dasar dengan
volume tinggi distribusi yang dapat mengalami redistribusi postmortem.50
Selain itu, IMHP, metabolit utama diazinon, ditemukan di semua sampel
postmortem. Menurut daerah puncak IMHP, level tertinggi diamati di ginjal,
kemudian di kandung kemih dan otak, diikuti oleh darah dan usus kecil. Level
terendah dicatat di perut dan hati. Sulit untuk membandingkan kasus ini dengan
kasus lain karena keadaan kematian yang berbeda dan tidak ada data yang
tersedia tentang jumlah diazinon yang dikonsumsi. Selain itu, berbagai teknik
dan instrumen analitik digunakan dalam ekstraksi dan identifikasi racun.
Laporan kasus ini menunjukkan bahwa penentuan IMHP dalam sampel
postmortem dapat digunakan sebagai penanda indikatif untuk paparan diazinon,
terutama dalam kasus kematian yang tertunda.50

Anda mungkin juga menyukai