PENDAHULUAN
Istilah forensik sering mampir di telinga kita melalui berbagai berita kriminal.
Biasanya menyangkut penyidikan tindak pidana seperti mencari sebab-sebab
kematian korban, dan usaha pencarian pelaku kejahatan. Secara garis besar yang
dimaksud dengan forensik sains adalah aplikasi atau pemanfatan ilmu
pengetahuan untuk penegakan hukum dan peradilan. Tosikologi forensik adalah
salah satu cabang forensik sains, yang menekunkan diri pada aplikasi atau
pemanfaatan ilmu toksikologi dan kimia analisis untuk kepentingan peradilan
1
.
Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif
maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan
analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat
dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal
(forensik) di pengadilan
1,2
.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang
dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan
kematian
1
. Keracunan adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin
meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang. Angka yang pasti
dari kejadian keracunan di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun
banyak dilaporkan kejadian keracunan di beberapa rumah sakit, tetapi angka
tersebut tidak menggambarkan kejadian yang sebenarnya di masyarakat
3
.
Dari data statistik diketahui bahwa penyebab keracunan yang banyak terjadi di
Indonesia adalah akibat paparan pestisida, obat obatan, hidrokarbon, bahan kimia
korosif, alkohol dan beberapa racun alamiah termasuk bisa ular, tetradotoksin,
asam jengkolat dan beberapa tanaman beracun lainnya
3
.
Setiap tahunnya di Amerika puluhan ribu orang meninggal akibat obat-obatan,
baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium
toksikologi sangatlah penting sebagai bagian dari investigasi
2
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun,
gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan
pada korban yang meninggal
4
.
Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai
disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu Kimia, Farmakologi, Biokimia,
Forensik Medicine dan lain-lain. Disamping itu ilmu ini terus berkembang sejalan
dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya, dan pada gilirannya akan menyulitkan
kita dalam membuat definisi yang singkat dan tepat mengenai Toksikologi.
Sebagai contoh, menurut Ahli Kimia Toksikologi adalah ilmu yang bersangkutan
paut dengan efek-efek dan mekanisme kerja yang merugikan dari agen-agen kimia
terhadap binatang dan manusia. Sedangkan dari para ahli Farmakologi,
Toksikologi merupakan cabang Farmakologi yang berhubungan dengan efek
samping zat kimia didalam sistem biologik. Dengan keluasan Toksikologi maka
sejumlah besar ahli-ahli dibidang yang masing-masing turut terlibat dalam
Toksikologi dalam bidang yang sesuai dengan keahliannya
4
.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang
dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan
kematian
4,5
. Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan; opium, kokain, kurare, aflatoksin. Dari hewan; bisa/toksin
ular/laba-laba/hewan laut. Mineral; arsen, timah hitam. Dan berasal dari sintetik;
heroin
4
.
Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang
terdapat di alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di rumah
tangga misalnya deterjen, insektisida, pembersih. Racun yang digunakan dalam
pertanian misalnya insektisida, herbesida, pestisida. Racun yang digunakan dalam
industri laboratorium dan industri misalnya asam dan basa kuat, logam berat.
Racun yang terdapat dalam makanan misalnya CN di dalam singkong, toksin
botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat misalnya
hipnotik sedatif. Pembagian lain berdasarkan atas kerja atau efek yang
ditimbulkan. Ada racun yang bekerja secara lokal, sistemik dan lokal-sistemik
4,5
.
a. Racun lokal, adalah racun yang merusak kulit, terutama berasal dari
asam atau basa kuat atau zat kimia lain, seperti: H
2
SO
4
, HNO
3
, HCL, dan
NaOH. Keracunan zat ini ditandai dengan:
Rasa terbakar
Panas di mulut, sukar menelan, haus yang hebat, muntah berwarna
hitam.
Sakit perut
Oliguria, konstipasi
Setelah 12 jam dapat terjadi asfiksia, perforasi lambung, dan
neurogenic syok.
b. Racun sistemik, misalnya pada keracunan morfin, bisa terjadi asfiksia,
edema paru, depresi SSP, bahkan kematian.
c. Racun lokal dan sistemik
Bersifat kongestif terhadap mukosa dan erosif terhadap tunika
muscularis GIT
Penderita muntah, kolik, diare, serta mengalami gangguan hati dan
ginjal
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keracunan
1. Cara masuk
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara
masuk lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular,
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit
yang sehat
4,5
.
2. Umur
Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi
prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal
belum sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup
4
.
3. Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan.
Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat
4
.
4. Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin dikarenakan terjadi
toleransi pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol
4
.
5. Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran
maka akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada
racun yang bersifat lokal, misalnya asam sulfat
4
.
---2.3 Pemeriksaan Kedokteran Forensik
Bila dibandingkan dengan kelainan atau penyakit yang ditimbulkan oleh
bakteri, kuman, virus atapun trauma; maka keracunan kasusnya relatif sedikit,
sehingga tidak jarang terjadi kekeliruan dalam penanganan pasien. Oleh karena
itu, perlu diketahui pada keadaan apa saja pemeriksaan toksikologi diperlukan
5
.
- pada kasus kematian mendadak,
- pada kematian mendadak yang terjadi pada sekelompok orang,
- pada kematian yang dikaitkan dengan tindakan abortus,
- pada kasus perkosaan atau kejahatan seksual lainnya,
- pada kecelakaan transportasi, khususnya pada pengemudi dan pilot,
- pada kasus penganiyaan atau pembunuhan (selektif),
- pada kasus yang memang diketahui atau patut diduga menelan racun,
- pada kematian setelah tindakan medis, penyuntikan, operasi dan lain
sebagainya
5
.
Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang
sampai saat sebelum diautopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap
kemungkinan keracunan
4
.
Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracunan bila pada
pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan,
bila pada autopsi ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan
dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan
sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung serta bila pada autopsi
tidak ditemukan penyebab kematian
4
.
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan penting, yaitu
4
:
1. Pemeriksaan di tempat kejadian
Perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab kematian dan
4
Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah terdapat bau
yang tidak biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak tercium "bau
racun" maka sebaiknya rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu agar bau visera
perut tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila dicurigai adalah sianida. Bau
sianida, alkohol, kloroform, dan eter akan tercium paling kuat dalam rongga
tengkorak.
Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan
hemolisis (bisa ular), pirogarol, hidrokuinon, dinitrophenol dan arsen. Darah dan
organ-organ dalam berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun yang
menimbulkan gangguan trombosit, akan terdapat banyak bercak perdarahan, pada
organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat menimbulkan kematian, misalnya
sianida, alkohol, kloroform maka darah dalam jantung dan pembuluh darah besar
tetap cair tidak terdapat bekuan darah.
Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau
menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian atas
dibuka sampai pada ikatan atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan
selaput lendir diperhatikan akan adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis dan
glotis perhatikan apakah terdapat hiperemi atau edema, disebabkan oleh inhalasi
atau aspirasi gas atau uap yang meransang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat
yang meransang. Edema glotis juga dapat ditemukan pada pemakaian akibat syok
anafilaktik, misalnya akibat penisilin.
Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik, berupa
pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang meransang seperti klorin dan
nitrogen oksida ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta emfisema akut
karena terjadi batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada lambung dan usus dua
belas jari lambung dibuka sepanjang kurvakura mayor dan diperhatikan apakah
mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung warnanya dan terdiri
dari bahan-bahan apa. Bila terdapat tablet atau kapsul diambil.
6
dengan sendok
dan disimpan secara terpisah untuk mencegah disintegrasi tablet/kapsul. Pada
kasus-kasus non-toksikologik hendaknya pembukaan lambung ditunda sampai
saat akhir otopsi atau sampai pemeriksa telah menemukan penyebab kematian.
Hal ini penting karena umumnya pemeriksa baru teringat pada keracunan setelah
pada akhir autopsi ia tidak dapat menemukan penyebab kematian.
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah
korban menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu tersebut.
Pada hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak
sering ditemukan pada peminum alkohol. Nekrosis dapat ditemukan pada
keracunan fosfor, karbon tetraklorida, klorform dan trinitro toulena.
Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat disebabkan
oleh racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks membengkak,
gambaran tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning. Perubahan ini dapat
dijumpai pada keracunan dengan persenyawaan bismuth, air raksa, sulfonamide,
fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya analisis toksikologik ginjal terbatas
pada kasus-kasus keracunan logam berat atau pada pencarian racun secara umum
atau pada pemeriksaan histologik ditemukan Kristal-kristal Caoksalat atau
sulfonamide.
Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih, seluruh
urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain untuk
dilakukan pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung kemih dan
dikirim dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali. Walaupun
kandung kemih dalam keadaan kosong, kandung kemih harus tetap diambil untuk
pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada kasus
kematian yang cepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada
keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat
ditemukan pada keracunan karbonmonoksida, barbiturat, nitrogen oksida, dan
logam berat seperti air raksa air raksa, arsen dan timah hitam. Obat-obat yang
bekerja pada otak tidak selalu terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam jaringan
otak.
Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida bila
korban hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak
dalam otot septum interventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris
pada muskulus papilaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari ujung
otot tersebut sehingga tampak gambaran seperti kipas.
Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak menunjukkan
kelainan patologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil karena karena kadar
sianida dalam limpa beberapa kali lebih besar daripada kadar dalam darah.
Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida, quabaina,
morfin dan heroin. Pada keracunan karena inhalasi gas atau uap beracun, paruparu diambil, dalam botol kedap udara.
Jaringan lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan
kemudian dengan lambat dilepaskan ke dalam darah. Jika terdapat persangkaan
bahwa korban meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan
diambil dalam radius 5-10 cm.
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil. Rambut
diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian
diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal
dan bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan
pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap bagian rambut yang telah digunting
beberapa bagian yang dimulai dari bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya
inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya.
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku
kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa diawetkan.
Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari proksimal. Kadar
tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.
2.5 Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologi
4,5
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu
autopsi daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk mengambil
bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik atas jaringan
yang sudah busuk atau sudah diawetkan.
Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah kanan
dan sebelah kiri masing-masing sebanyak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml,
diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada korban yang
masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting, diambil 2 contoh darah masingmasing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa
pengawet.
Urin diambil semua yang ada di dalam kandung kemih untuk pemeriksaannya.
Pada mayat diambil lambung beserta isinya. Usus beserta isinya berguna terutama
bila kematian terjadi dalam waktu beberapa jam setelah menelan racun sehingga
dapat diperkirakan saat kematian dan dapat pula ditemukan pil yang tidak hancur
oleh lambung. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatanikatan pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.
Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil, hanya
beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk
menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati merupakan tempat
detoksikasi tubuh terpenting. Hati yang diambil sebanyak 500 gram.
Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi
logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara histologik
ditemukan Caoksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan lipoid dalam otak
mampu menahan racun Misalnya CHCI3 tetap ada walaupun jaringan otak telah
membusuk. Otak bagian tengah penting pada intoksikasi CN karena tahan
terhadap pembusukan. Otak diambil sebanyak 500 gram. Untuk menghidari cairan
empedu mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya kandung
empedu jangan dibuka.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan cara
yang telah disebutkan, adalah:
1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu)
Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi. Idealnya terdiri dari 9 wadah
dikarenakan masing-masing bahan pemeriksaan diletakkan secara tersendiri,
yaitu:
1. 2 peles 2 liter untuk hati dan usus
2. 3 peles 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan ginjal
3. 4 botol a 25 ml untuk darah (2 buah), urin dan empedu
4. Wadah harus dibersihkan dahulu dengan mencucinya memakai asam kromat
hangat dan dibilas dengan aquades serta dikeringkan.
5. Bahan Pengawet
Yang terbaik adalah tanpa bahan pengawet, bila terpaksa dapat digunakan
bahan pengawet:
- Alkohol absolut
- Larutan garam dapur jenuh
- Larutan NaF 1 %
- Larutan NaF + Na sitrat
- Na benzoat + fenil merkuri nitrat
Volume pengawet sebaiknya dua kali volume bahan pemeriksaan.
2.6 Jenis-jenis Keracunan
2.6.1 Keracunan Arsen
Arsen (As) merupakan bahan kimia yang secara alami ada di alam. Arsen
Selain dapat ditemukan di udara, air maupun makanan, arsen juga dapat
ditemukan di industri seperti industri pestisida, proses pengecoran logam maupun
pusat tenaga geotermal. Elemen yang mengandung arsen dalam jumlah sedikit
atau komponen arsen organik (biasanya ditemukan pada produk laut seperti ikan
laut) biasanya tidak beracun (tidak toksik). Arsen dapat dalam bentuk inorganik
bervalensi tiga dan bervalensi lima. Bentuk inorganik arsen bervalensi tiga adalah
arsenik trioksid, sodium arsenik, dan arsenik triklorida, sedangkan bentuk
inorganik arsen bervalensi lima adalah arsenik pentosida, asam arsenik, dan
arsenat (Pb arsenat, Ca arsenat). Arsen bervalensi tiga (trioksid) merupakan bahan
kimia yang cukup potensial untuk menimbulkan terjadinya keracunan akut.
Bagian tubuh manusia yang rentan terhadap sifat toksik dari arsen adalah endotel
pembuluh darah. Normal, manusia setiap harinya mengkonsumsi 0,03 mg arsen
6
.
Paparan arsen di tempat kerja terutama dalam bentuk arsenik trioksid dapat
terjadi pada industri pengecoran timbal, tembaga, emas maupun logam non besi
yang lain. Beberapa industri yang juga mempunyai potensi untuk memberi
paparan bahan kimia arsen adalah industri pestisida/ herbisida, industri bahan
pengawet, industri mikro elketronik dan industri farmasi/ obat-obatan. Pada
industri tersebut, arsenik trioksid dapat bercampuran dengan debu, sehingga udara
dan air di industri pestisida dan kegiatan peleburan mempunyai risiko untuk
terpapar kontaminan arsen. Paparan yang berasal dari bukan tempat kerja (non
occupational exposure) adalah air sumur, susu bubuk, saus dan minuman keras
yang terkontaminasi arsen serta asap rokok. Kematian akibat keracunan arsen
sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya
Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau bila murni, namun
sering terkontaminasi sehingga tidak murni dan memiliki bau, tidak merangsang
selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar.
Sejak penggantian batu bara dengan gas alam, insidensi kematian akibat
karbon monoksida telah berkurang. Kandungan CO dihasilkan juga oleh bensin
sekitar 4-8%, mesin diesel menghasilkan kadar CO yang lebih rendah. Walaupun
gas pembuangan kendaraan bermotor akan terbawa ke udara sampai ke atmosfer,
tetapi kadar CO yang rendah tersebut tetap berbahaya. Terlebih lagi polisi dan
petugas lalu lintas yang bekerja di jalan raya. Kadar saturasi CO pada hemoglobin
orang-orang tersebut dapat mencapai 10 persen. Keracunan CO dipengaruhi
dengan keadaan lingkungan seperti ventilasi yang minimal, ruangan yang tertutup
sehingga gas CO dapat terhirup.
dilakukan adalah korban duduk di mobil dengan jendela terbuka pada garasi yang
tertutup, sehingga mereka dapat mengirup gas pembuangan tersebut.
Pada kasus kebakaran banyak korban meninggal bukan karena api , melainkan
karena menghisap asap yang sebagian besar kandungan asap tersebut adalah CO.
Banyak proses industrial yang menyebabkan keracunan CO
khususnya
morfin yang dapat menghilangkan rasa sakit dan kodein yang berfungsi
sebagai antitusif.
2. Morfin
Mofrin adalah alkoloida yang merupakan hasil ekstraksi serta isolasi opium
dengan zat kimia tertentu untuk penghilang rasa sakit atau hipnoanalgetik bagi
pasien penyakit tertentu. Dampak atau efek dari penggunaan morfin yang
sifatnya negatif membuat penggunaan morfin diganti dengan obat-obatan lain
yang memiliki kegunaan yang sama namun lebih kecil efek sampingnya.
3. Heroin
Heroin adalah turunan dari morfin atau opioda semisintatik dengan proses
kimiawi yang dapat menimbulkan ketergantungan/ kecanduan yang berlipat
ganda dibandingkan dengan morfin. Heroin dipakai dengan cara
menyuntikkan keotot, kulit/sub kutan atau pembuluh vena.
4. Kodein
Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter, namun dapat
menyebabkan ketergantungan/ efek adiksi sehingga peredarannya dibatasi dan
diawasi secara ketat.
5. Opiat Sintetik/ Sintetis
Jenis obat yang berasal dari opiat buatan tersebut seperti metadon, petidin dan
dektropropoksiven (distalgesic) yang memiliki fungsi sebagai obat penghilang
rasa sakit. Metadon berguna untuk menyembuhkan ketergantungan opium/
opiat. Opiat sintesis dapat memberi efek seperti heroin, namun kurang
menimbulkan ketagihan/ kecanduan.
6. Kokain / Cocaine Hydrochloride
Kokain adalah bubuk kristal putih yang didapat dari ekstraksi serta isolasi
daun coca (erythoroxylon coca) yang dapat menjadi perangsang pada
sambungan syaraf dengan cara / teknik diminum dengan mencampurnya
dengan minuman, dihisap seperti rokok, disuntik ke pembuluh darah, dihirup
dari hidung dengan pipa kecil, dan beragam metode lainnya. Kenikmatan
menggunakan kokain hanya dirasakan sebentar saja, yaitu selama 1 sampai 4
menit seperti euforia, peningkatan kepercayaan diri, terangsang, menambah
tanaga dan stamina, dan lain-lain. Setelah 20 menit berubah menjadi rasa
lelah/ capek, depresi mental dan ketagihan. Efek yang dapat ditimbukan dari
penggunaan kokain secara terus menerus adalah :
Hipertensi
Insomnia
Miosis
Hilang nafsu makan / kurus
Peningkatan detak jantung
7. Ganja/ Mariyuana/ Kanabis
Mariyuana adalah tanaman semak/perdu yang tumbuh secara liar di hutan
yang mana daun, bunga, dan biji kanabis berfungsi untuk relaksan dan
mengatasi keracunan ringan (intoksikasi ringan).
Zat getah ganja/ THC (delta-9 tetra hidrocannabinol) yang kering bernama
hasis, sedangkan jika dicairkan menjadi minyak kanabasis. Minyak tersebut
sering digunakan sebagai campuran rokok atau lintingan tembakau yang
disebut sebagai cimenk, cimeng, cimenx, joint, spleft, dan sebagainya.
Ganja dapat menimbulkan efek yang menenangkan/ relaksasi. Orang yang
baru memakai ganja atau mariyuana memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Mabuk, mata merah.
Tubuh lemas dan lelah.
Midriasis
Bagi pengguna ganja alias mariyuana semua itu tidak masalah walaupun
banyak menimbulkan efek buruk bagi fisik dan mental, antara lain sebagai
berikut ini:
- Kemampuan konsentrasi berkurang.
- Daya tangkap syaraf otak berkurang.
- Penglihatan kabur / berkunang-kunang.
- Pasokan sirkulasi darah ke jantung berkurang.
Yang penting bagi pecandu ganja adalah efek enak dan nikmat dunia yang
semu seperti :
- Rasa gembira.
- Percaya diri/ PD meningkat pesat.
- Peka pada suara.
2.6.5.1.2 Tanda dan Gejala Keracunan
Keracunan dapat terjadi secara akut dan kronis. keracunan akut biasanya
terjadi akibat percobaan bunuh diri, kecelakaan dan pembunuhan.
Gejala keracunan lebih cepat pada morfin daripada opium. Mula-mula terjadi
eksitasi susunan saraf yang kemudian disusul oleh narkosis. Korban biasanya
datang ke rumah sakit sudah dalam fase narkosis. Korban merasa ngantuk yang
semakin lama semakin dalam dan berakhir dengan keadaan koma, terdapat
relaksasi otot-otot sehingga lidah dapat menutupi saluran napas, nadi kecil dan
lemah, pernapasan sukar, irregular, pernapasan dangkal-lambat dan dapat terjadi
pernapasan Cheyne Stokes, suhu badan turun, muka pucat, pupil miosis yang akan
melebar kembali setelah terjadi anoksia, tekanan darah menurun hingga syok.
2.6.5.1.3 Sebab dan Mekanisme Kematian
Cara kematian hanya dapat ditentukan jika kita melakukan penyelidikan ke
tempat kejadian. Kecelakaan adalah sebab terbanyak, biasanya dikarenakan
ketidaktahuan dosis. Cara kematian yang lain adalah pembunuhan. Pembunuhan
dengan suntikan biasanya menggunakan morfin/heroin dosis letal atau dicampur
dengan racun lain misalnya sianida atau strichnin. cara kematian dapat pula
bersifat bunuh diri yang biasanya akibat abstinensia. kematian biasanya terjadi
pada penggunaan secara intravena.
Mekanisme kematian melalui :
Depresi pusat pernapasan : pusat pernapasan menjadi kurang sensitive
terhadap stimulus CO
2
atau H
+
.
Edema paru : terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan tekanan
cairan serebrospinal dan tekanan intrakranial serta berkurangnya sensitifitas
pusat pernafasan terhadap CO
2
. Kedua keadaan ini menyebabkan menurunnya
ventilasi paru dan gangguan permeabilitas.
Syok anafilaktik terjadi akibat hipersensitifitas terhadap morfin/heroin atau
terhadap bahan pencampuranya.
Kematian pada pemakai narkotika dapat pula diakibatkan oleh berbagai hal
lain, seperti : pemakaian alat suntik dan bahan yang tidak steril sehingga
menimbulkan infeksi, misalnya pneumonia, endokarditis, hepatitis, tetanus,
AIDS, malaria, sepsis dan sebagainya. Bila cara penyuntikan tidak benar,
dapat terjadi emboli udara.
Dosis letal tidak dapat ditentukan dengan pasti karena tergantung dari
individu. Dosis letal terkecil yang pernah dilaporkan adalah sebesar 60 mg
morfin, tetapi biasanya diambil patokan sekitar 200 mg. Selain itu kadar dalam
urine dan darah dapat digunakan sebagai pegangan. Jika kadar morfin dalam urine
sebesar 55mg% berarti orang tersebut menggunakan morfin dalam jumlah yang
berlebihan. Bila kadara dalam urine sebesar 5-20 mg% atau dalam darah 0,1-0,5
mg% berarti sudah dalam keadaan toksik.
2.6.5.1.4 Pemeriksaan Forensik
adanya narkotika minimal adalah kromatografi lapis tipis (tlc). Cara pemeriksaan
lain adalah menggunakan teknik glc (kromatografi gas) dan ria (radio
immunoassay). Untuk mendeteksi seorang pencandu atau bukan dapat diketahui
melalui uji nalorfin, analisa urine, uji marquis, uji mikrokristal dan hanging
microdrop technique.
2.6.5.2 Keracunan Barbiturat dan Hipnotik Lain
Barbiturat digunakan secara luas sebagai obat adiktif, namun efek lain yang
terdapat pada obat ini disalahgunakan. Obat ini memiliki batas komposisi yang
luas, dari yang bersifat anestesi kerja singkat seperti thiopentone sodium hingga
yang bersifat kerja sedang seperti amylobarbitone. Saat ini babiturat kerja lama
(long acting) seperti phenobarbitone digunakan dalam terapi epilepsi pada
manusia. Toleransi mudah diinduksi dengan cepat dan gejala withdrawal terhadap
obat dapat bersifat berat. Barbiturat (downers) dapat dikombinasikan dengan
stimulan amphetamines (uppers) dalam tablet yang sama, dan dikenal sebagai
purple heart. Alkohol dan barbiturat memiliki kekuatan aditif yang kuat dan dapat
menyebabkan kematian.
Pada awalnya amphetamine (benzedrine) dan dextroamphetamine (dexedrine)
diresepkan untuk mencegah kelelahan dan menekan nafsu makan. Obat ini
memiliki efek stimulan yang kuat sehingga penggunaan dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan hyperexcitement, hallucinations, dan psychoses. Pada
umumnya terdapat hyperpyrexia dan hypertension yang dapat mempresipitasi
pendarahan serebral atau pendarahan subarachnoid, dan berisiko aritmia jantung.
MDMA (methylene-dioxy-methamphetamine) dikenal juga sebagai ectasy, XTC,
ADAM, yang pada beberapa tahun
depresi SSP, edema otak, dan juga akibat oksidasi metanol yang menyebabkan
asidosis. Kebutaan dapat terjadi pada keracunan akut dan kronis, sebagai akibat
kerja racun pada sel ganglion retina yang menimbulkan atrofi nervus optikus. Bila
kebutaan tidak menyeluruh, maka dapat mengakibatkan lapang pandang yang
menyempit dan buta warna. Kebutaan dapat terjadi bila meminum sebanyak 15 ml
metanol.
2.6.7.2 Sebab dan Mekanisme Kematian
Keracunan metil alkohol umumnya terjadi akibat kecelakaan. Dosis letalnya
30-100 ml. kematian biasanya terjadi dalam 24-36 jam, namun pernah tercatat ada
yang dapat bertahan hidup 24 hari, dengan mekanisme yang telah diuraikan di
atas.
2.6.7.3 Pemeriksaan Forensik
Tanda-tanda yang ditemukan tidak khas. Pada pemeriksaan luar mungkin
hanya tercium bau khas dan tanda-tanda asfiksia. Pada pemeriksaan dalam
ditemukan edema organ visera, perdarahan pada permukaan paru, dan mukosa
organ visera, dan bintik-bintik perdarahan pada selaput otak. Pada pemeriksaan
histopatolgik dapat dijumpai degenerasi bengkak keruh pada hati dan ginjal serta
edema otak. Bahan pemeriksaan dari darah, otak, hati, ginjal, urin. Dalam urin
dapat ditemukan metil alkohol dan asam formiat sampai 12 hari setelah
keracunan.
BAB III
KESIMPULAN
Toksikologi forensik berperan dalam melakukan analisis kualitatif maupun
kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya.
Pemeriksaan laboratorium forensik mempunyai peranan yang penting dalam
membantu proses tindak kriminal pada kasus kematian yang diduga karena
keracunan.
Jenis-jenis racun dapat dibagi berdasarkan sumber, tempat dimana racun
tersebut didapat, dan efek kerja yang dihasilkan. Kelainan atau perubahan yang
terjadi pada korban yang meninggal karena keracunan dapat mengetahui jenis
racun yang terdapat dalam tubuhnya. Karena setiap jenis racun memiliki tanda
dan gejala keracunan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
1. I.M.A. Gelgel Wirasuta. 2009. Analisis Toksikologi Forensik. http://gelgel-
wirasuta.blogspot.com/2009/12/analisis-toksikologi-forensik.html. Diunduh
tanggal 21 Agustus 2011
2. DiMaio VJ, DiMaio Dominick. 2001. Forensic Pathology 2
nd
ed. New York:
CRC Press
3. Anonim. Pencegahan Keracunan Secara Umum.
http://www.pom.go.id/public/siker/desc/produk/CegahRacunUmum.pdf
4. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1997. Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta
Perkembangan
Dalam
perkembangan
Mutahir
beradaban
Toksikologi
modern,
masyarakat
kesehatan
dan
menuntut
kehidupan,
perbaikan
diantaranya
kondisi
makanan
bergizi,
sportasi.
mutu
Untuk
kesehatan
memenuhi
yang
tujuan
tinggi,
ini,
pakaian,
berbagai
dan
jenis
banyak
bahan
diantaranya
kimia
harus
dalam
diproduksi
jumlah
besar.
dan
digunakan,
Diperkirakan
diproduksi
secara
berribu-ribu
komersial
bahan
baik
kimia
di
negaratelah
negara
Melalui
industri
berbagai
maupun
cara
bahan
di
negara
kimia
berkembang.
ini
kontak
proses
produksi,
penduduk,
distribusi
dari
terlibatnya
ke
konsumen,
manusia
hingga
pada
terakhir
Meningkatnya
pada
tingkat
jumlah
pemakai.
penduduk
dunia
menuntut,
pangan.
satunya
Dalam
meningkatnya
hal
ini
diperlukan
jumlah
bahan
produksi
kimia,
seperti
jarang
pemakaian
pupuk,
pestisida,
pestisida
dan
yang
rebisida.
tidak
Tidak
sesuai
dengan
beban
pencemaran
atuaran,
atau
terhadap
berlebih
lingkungan,
justru
memberi
salah
perubahan
satu
insteksida
ekosistem,
akan
karena
berefek
pembasmian
pada
rantai
pada
makanan
dapat
juga
dari
mengakibatkan
organisme
tersebut,
berkurangnya
sehingga
atau
bahkan
Pemakaian
musnahnya
pestisida,
predator
telah
ditengarai
insek
tersebut.
tersebut,
sehingga
mutasi
pada
genetika
akhirnya
dari
melahirkan
insektisida
mutan
pestisida
insek
jenis
yang
tertentu.
justru
Pemakaian
resisten
terhadap
pestisida
yang
penginduksi
benar
juga
toksisitas
merupakan
kronik
salah
(menahun).
satu
Petani
berkeinginan
tinggi
dari
hasil
mendapatkan
pertaniannya,
keuntungan
tidak
jarang
yang
penyemprotan
pada
produk
pertanian
pestisida
satu-dua
berlebih
hari
justru
sebelum
dilakukan
panen,
tidak
termakan
dengan
tujuan
insek
sebelum
buah
atau
panen,
daun
dengan
sayuran
jalan
yang
ranun,
demikian
tidak
akan
termakan
diperoleh
oleh
buah
insek.
atau
Namun
sayuran
tindakan
karena
pestisida
ini
justru
kemungkinan
membahayakan
dapat
konsumen,
terakumulasi
secara
melalui
perlahan
konsumsi
di
buah
dalam
atau
tubuh
sayuran
konsumen,
yang
sebelumnya
Banyaknya
kasus
diberikan
keracunan
pestisida
masif
sebelum
akut
dan
panen.
pencemaran
kronis,
lingkungan
yang
diakibatkan
akibat
proses
oleh
produksi.
Seperti
pada
tahun
ginger
1930
jake
oleh
Detroit,
Tri-o-kresil,
Mich.
mengakibatkan
keracunan
syaraf
neurotoksis,
pada
16
ribu
telah
penduduk.
mengakibatkan
Di
jumlah
London,
kematian
pada
penduduk
tahun
1952,
akibat
terjadi
penyakit
peningkatan
jantung
kontaminasi
dan
paru-paru.
udara
oleh
Hal
belerang
ini
disebabkan
dioksida
dan
oleh
partikel
buangan
tersuspensi,
pabrik
Ingris
yang
merupakan
saat
itu.
limbah
Penyakit
an
diakibatkan
Minamata
karena
di
pembuangan
Jepang
pada
limbah
tahun
1950industri
Minamata,
yang
yang
mengandung
mengakibatkan
metil
merkuri
ikan
di
teluk
ke
teluk
tersebut
terkontaminasi
terkontaminasi
ini
dikonsumsi
oleh
metil
oleh
merkuri.
penduduk
Ikan
disekitar
(pengendapan)
teluk,
metil
mengakibatkan
merkuri
di
deposisi
dalam
tubuh.
Metil
mengakibatkan
merkuri
adalah
penyakit
senyawa
neurologik
toksik
berat,
yang
salah
satunya
Pada
akhir
mengakibatkan
1950-an
sampai
kebutaan.
awal
tahun
1960-an,
di
Eropa
dengan
Barat
terjadi
kasus
Talidomid
kasus
keracunan
yang
.dikenal
adalah
Talidomid
senyawa
kimia
yang
pertama
disintesa
untuk
Karena
obat
efeknya
menekan
tersebut
rasa
mual
pada
dan
waktu
muntah.
itu
banyak
diresepkan
pada
ibu-ibu
hamil,
dengan
tujuan
6m
enekan
mual-mutah
yang
sering
muncul
masa
trimester
yang
muncul
pertama
dari
pada
pemakaian
kehamilan.
ini
adalah
Efek
terlahir
samping
janin
tidak
dengan
lengkap,
pertumbuhan
belakangan
organ
diketahui
tubuh
bahwa
yang
salah
satu
memberikan
dari
bentuk
efek
rasemat
menghambat
Talidomid
tertumbuhan
ini
organ
Salah
satu
tubuh
contoh,
pada
janin
kasus
di
pencemaran
masa
kandungan.
lingkungan
di
teluk
Indonesia
Buyat.
Sampai
akibat
proses
saat
ini
produksi
masih
kontropersial
adalah
kasus
Kejadian-kejadian
didiskusikan.
di
atas
dan
peristiwa
tragis
keracunan
program
pengujian
masif
lainnya
yang
lebih
telah
intensif,
menghasilkan
yang
telah
mengungkapkan
efek
toksik.
Pada
beragamnya
gilirannya
ini
sifat
menuntut
dan
sasaran
lebih
banyak
penelitian
toksisitas,
pada
persyaratan
hewan,
lebih
yang
banyak
lebih
ketat
pemakaiannya
suatu
bahan
ke
masyarakat,
kimia
baru
serta
dapat
melakukan
dilepas
evaluasi
kimia
yang
dan
telah
pemantauan
beredar
dan
efek
dimanfaatkan
toksik
senyawa
oleh
masyarakat.
mempermudah
Oleh
karena
tugas
itu,
penilaian
ada
kebutuhan
toksikologik
atas
pengujian
begitu
toksisitasnya
banyak
bahan
menjadi
kimia,
semakin
dimana
prosedur
komplek.
Untuk
telah
diajukan
memenuhi
dan
kebutuhan
dipakai
untuk
ini,
beberapa
memilih
kreteria
menurut
prioritasnya
Disamping
itu,
bahan
sistem
kimia
penilaian
yang
akan
berlapis
diuji.
memungkinkan
tahap
pengujian
keputusan
toksikologik,
dibuat
sehingga
pada
berbagai
dapat
dihindarkan
ini
sangat
berguna
penelitian
dalam
yang
pengujian
tidak
perlu.
Prosedur
karsinogenisitas,
imunotoksisitas
karena
mutagenisitas,
besarnya
dan
biaya
yang
terlibat
Karena
dan
banyaknya
banyaknya
orang
sistem
uji
terpejan
yang
tersedia.
dengan
bahan-bahan
mencari
pengendalian
kimia
ini,
yang
maka
tepat
kita
harus
sebelum
berupaya
terjadi
kerusakan
ahli
toksikologi
yang
modern
hebat.
Karena
harus
mencoba
itu,
bila
mungkin,
mengidentifikasikan
tanda
efeknya
terhadap
berbagai
kesehatan
indikator
yang
pejanan
dini
dan
ketentuan
reversibel.
keputusan,
Hal
ini
pada
penting
saat
yang
untuk
tepat
menentukan
untuk
melindungi
individu
yang
kesehatan
bekerja
masyarakat
maupun
masyasakat
baik
sebagai
yang
terpejan.
dapat
membantu
Pencapaian
para
di
mengambil
bidang
ini
keputusan
telah
terbukti
(pemerintah)
menjalankan
surveilan
yang
bertanggungjawab
medik
yang
sesuai
dalam
pada
pekerja
yang
menonjol
atau
masyarakat
adalah
penggunaan
yang
terpejan.
penghambat
Contoh
kolinesterase
organofosfat
dan
sebagai
berbagai
indikator
parameter
pejanan
biokimia
pestisida
untuk
indikator
memantau
biologi
pejanan
seperti
jenis
timbal.
ikan
Menggunakan
tertentu
untuk
memantau
sebelum
dinyatakan
tingkat
cemaran
aman
untuk
limbah
dilepaskan
cair
insdustri
ke
lingkungan.
dimaksudkan
Petanda
untuk
mengukur
biologik
pejanan
semacam
terhadap
itu
kelompok
atau
masyarakat
efeknya
di
yang
samping
retan.
untuk
mendeteksi
Kemajuan
toksikokinetik,
dicapai
toksikologi
dalam
bidang
genetika,
biokimia
imunotoksikologi,
serta
perkembangan
morfologik
ilmu
biologimolekular
pada
tingkat
subsel,
berperan
lebih
baik
dalam
tentang
memberikan
sifat,
tempat,
pengertian
cara
yang
kerja
berbagai
ilmu
tersebut
tokson.
dapat
Misalnya
memberikan
perkembangan
berbagai
metode
bidang
langsung
toksikologi
pada
tingkat
secara
invitro,
sel,
seperti
dimana
uji
senyawa
target
uji
toksik
mengakibatkan
dapat
dilakukan
kerusakan
langsung
sel
pada
hati
hepato
kultur
hati
mempunyai
secara
invitro,
sifat
sebagai
atau
uji
karsinogen
tokson
yang
juga
dapat
dilakukan
tingkat
pertumbuhan
pada
kultur
sel
sel
dan
normal,
perubahan
disini
dilihat
DNA
sel
akibat
asam
pejanan
dioksiribonukleat
tokson
uji.
Banyak
yang
lagi
dialamai
metode
oleh
uji
menunjang
invitro
perkembangan
sangat
bermanfaat
ilmu
toksikologi
dalam
itu
Salah
sendiri.
satu
wujud
perlindungan
kesehatan
masyarakat,
dalam
menentukan
ahli
toksikologi
batas
pejanan
akan
yang
selalu
aman
terlibat
atau
penilaian
aman
mencangkup
resiko
dari
pejanan.
asupan
Batas
(intake)
pejanan
harian
tokson
diperbolehkan,
yang
masih
dapat
dan
ditolerir,
nilai
ambang
sedangkan
batas
dari
penilaian
dengan
efek
resiko
bahan
digunakan
yang
diketahui
dalam
hubungan
tidak
berrabang
ditentukan.
batas
Penentuan
atau
ambang
ini
merupakan
batasnya
penelitian
tak
dapat
menyeluruh
yang
aman,
penentuan
tentang
sifat
hubungan
toksik,
pembuktian
dosis-efek
dosis
dosis-respon,
biotransformasi.
serta
penelitian
toksokinetik,
dan
Meluasnya
subdisiplin
bidang
toksikologi
cakupan
seperti
dan
digambarkan
makin
banyaknya
disel
atas
7m
emberikan
gambaran
tersendiri
tentang
kemajuan
1.5.
Prospek
Masa
dalam
Depan
toksikologi.
Kemajuan
memberikan
di
bidang
bebagai
bioteknologi
kemajuan
pertanian,
jika
telah
dibandingkan
rekayasa
genetika
pertanian
pada
tanaman
konvensional.
pertanian
Melalui
telah
terbukti
pertanian
diperoleh
konvensional
bibit
unggul,
sangat
yang
dibandingkan
sedikit
membutuhkan
meningkatkan
pasokan
tanah,
merupakan
makanan
kita.
andalan
Keamanan
dalam
makanan
keamanan
semacam
yang
memadai.
ini
membutuhkan
evaluasi
Bersama
menyediakan
dengan
bahan
ilmu-ilmu
kimia
alternatif
lain,
toksikologi
yang
lebih
dapat
aman
konsumen
untuk
melalui
pertanian,
penentuan
industri,
hubungan
dan
kebutuhan
strukturtoksisitas.
dicapai
dengan
mengubah
sifat
toksik
toksisitas
mungkin
sasaran
toksokinetiknya.
atau
dengan
Toksikologi
mengubah
juga
sifat
berperan
dalam
pengembangan
dalam
pengembangan
obat
baru,
obat
sudah
baru
harus
menjadi
dibarengi
prasat
baik
uji
persyaratan
toksisitas
akut
uji
maupun
yang
ketat.
toksisitas
Penilaian
krinis,
tentang
tunggung
keamanannya
jawab
toksikologi.
merupakan
tantangan
dan
Karena
penggunaan
imbauan
hewan
masyarakat
coba
dengan
untuk
alasan
mengurangi
prikemanusiaan,
organ
terisolasi,
jaringan
maka
lebih
biakan,
sering
sel,
digunakan
dan
bentukbentuk
memiliki
kehidupan
banyak
keuntungan,
yang
lebih
rendah.
seperti
pengujian
Sistem
ini
yang
keragaman
lebih
cepat
penelitian
dan
lebih
terutamanya
murah,
miningkatkan
yang
berkaitan
dengan
meningkatnya
mekanisme
tuntutan
keracunan.
ini
akan
Dengan
mendorong
perbaikan
sederhana
prosedur
dan
handal,
pengujian
seperti
yang
misal
lebih
pengujian
karsinogen
menggunakan
uji
petanda
kanker,
biologik
uji
mutagenesis,
(biomarker)
yaitu
Mingkatnya
kultur
kebutuhan
sel
kanker.
akan
uji
toksikologik,
namun
akan
fasilitas
pada
kenyataannya
dan
sumber
daya
terdapat
manusia
keterbatasan
memenuhi
toksisitas
yang
syarat,
dihasilkan
oleh
sebab
dimana
itu
maka
saja
sebaiknya
data
dapat
diterima
dapat
secara
diterima
international.
secara
umum,
Agar
datamaka
data
Untuk
tersebut
itu
lembaga
harus
terkemuka
memenuhi
dunia
standar
tertentu.
oleh
mengeluarkan
Lembaga
standar
pengawas
seperti
obat
yang
dan
dikeluarkan
makanan
Amerika
Practice
(FDA)
,akhir
dimana
mengeluarkan
standar
ini
dapat
Good
diterima
Laboratory
secara
Pada
akhirnya,
international.
ahli
toksikologi
harus
terus
memperbaiki
positif
palsu
dan
prosedur
negatif
uji
palsu,
untuk
dan
mengurangi
terus
hasil
melakukan
meningkatkan
penelitian
pemahaman
yang
dirancang
yang
lebih
untuk
baik
akan
pentingnya
keamanan
/Pengurangan
resiko
efek
toksik
berbagai
sehingga
tokson
penilaian
dapat
dilakukan
dengan
hasil
lebih
memuaskan.
Pertanyaan:
Buatlah
uraian
singkat
perkembangan
ilmu
toksikologi
sampai
menjadi
suatu
ilmu
modern.
sampai
saat
yang
ini
pertama
masih
relapan
kali
meletakkan
dan
mendasari
konsep
teori
dasar
hubungan
pada
bidang
tokson
toksikologi,
dan
reseptor,
dimana
jelaskan
konsep
hubungan
Siapa
konsep
meletakkan
tersebut
dangan
nilai
penting
hubungan
analisis
dosis,
kimia
reseptor
dan
ilmu
efek?
toksikologi?
Sebutkan
tantangan
masa
depan
ahli
toksikologi!
Bahan
1.
Ariens,E.J.,
Bacaan:
Mutschler,E.,
Simonis,A.M.,
1985,
Toksikologi
Umum,
Pengantar,
Wattimena,Y.R.(terj.),
2.
Hardman
J.G.,
Goodman
Gadjah
Gilman,
Mada
University
A.,
Limbird,
Press,Yogyakarta.
L.E.,
1996,
Goodman
&
Gilmans,
The
pharmacological
th
Basis
of
Therapeutics,
9yang
3.
edn,
Ling,
Mc
L.J.,
Graw-Hill,
2000,
Toxikology
New
York
Secrets,
Hanley
&
Belfus,
Inc.
Philadelphia
4.
5.
Loomis,
Lu,
F.C.,
T.A.,
1995,
1978,
Toksikologi
Toksikologi
Dasar,
Dasar,
Asas,
Donatus,
Organ
Sasaran,
A.dalam
(terj.)
dan
IKIP
Penilaian
Semarang
Resiko,
Press,
Nugroho,
Semarang
E.tersebut
(terj.),
UI
Press,
Jakarta
8
BAB II Instruksional
KERJA
DAN EFEK
TOKSIK
Tujuan
Umum
(C2): dapat menjelaskan fase kerja suatu tokson hingga
Setelah
mengikuti
kuliah
ini (TIU)
mahasiswa
menimbulkan
efek toksik serta foktor-faktor yang berpengaruh.
Tujuan Instruksional
Khusus
(C2): didik diharapkan:
Setelah
mendiskusikan
materi(TIK)
ini peserta
menjelaskan
tahapan-tahapan
proses
yang
terjadi
pada
fase
toksik
dengan
benar,
memahami
proses
jalur
absorpsi,
eksposisi
transpor,
tokson
distribusi
pada
organiseme
dan
eliminasi
dankerja
proses
tokson
eksposisi
dengan
benar,
dengan
benar,
y dapat menggambarkan
proses
dengan
interaksi
benar
faktor-faktor
tokson
dan
farmsetika,
reseptor
dengan
biologis,
benar
serta
lingkungan
yang
berpengaruh
pada kerja
toksik.
2.1. PENDAHULUAN
Suatu
kerja toksik pada umumnya merupakan
hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, dan
biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses
ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase
yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase
toksodinamik. Dalam menelaah interaksi
xenobiotika/tokson dengan organisme hidup
terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh
organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud
dengan kerja tokson pada organisme adalah
sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara
9
Secara keseluruhan deretan proses sampai
terjadinya efek toksik / farmakologi dapat
digambarkan dalam suatu diagram seperti pada
gambar 2.1.
Dari gambaran singkat di atas dapat digambarkan
dengan jelas bahwa efek toksik / farmakologik
suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh
sifat toksokinetik xenobiotika, tetapi juga
tergantung kepada faktor yang lain seperti:
bentuk farmasetika dan bahan tambahan yang
digunakan,
jenis dan
eksposisi,
keterabsorpsian
distribusi
xenobiotika
dalam
organisme,
absorpsi,
ikatan
dantempat
lokalisasi
(proses
metabolisme),
jaringan,
dan ke
biotransformasi
dimana
keterekskresian
semua
faktor
dan
didalam
kecepatan
atas
dapat
ekskresi,
dirangkum
dalam parameter farmaseutika dan toksokinetika
(farmakokinetika).
Gambar 2.1.: Deretan rantai proses pada fase kerja toksik dalam organisme secara biologik
dikelompokkan
menjadi: fase eksposisi, toksokinetik farmakokinetik, dan fase toksodinamik farmakodinamik
(disadur dari Mutschler, (1999), Arzneimittelwirkungen: Lehrbuch der Pharmakologie und
Toxikologie;
mitarb.
von Schfer-Korting.
mit einfhrenden-7vllig
Kapiteln
neuinbearb.
die Anatomie,
und erw. Phyiologie
Aufl., Wiss.und
Verl.-Ges,
Pathophysiologie.
Stuttgart, hal.
Unter
6, dengan modifikasi)
Kontak / Penggunaan
Bentuk farmaseutik hancur
Zat aktif melarut
poFase
eks tersedia untuk di absorpsi
zat
sisiaktif
(ketersidaan farmeseutika)
Fase toksokinetik
Absorpsi
Distribusi
Biotransformasi
Eskresi
Deposisi
zat aktif tersedia untuk memberikan
efek (ketersidaan biologik)
Efek Farmakologis
Efek Klinis
Efek Toksik
Fase toksodinamik
terjadi
interaksi
tokson
dalam - reseptor
organ efektor
10
2.2.
FASE
Dalam
faseEKSPOSISI
ini terjadi kotak antara xenobiotika
dengan organisme atau dengan lain kata, terjadi
paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini
dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran
pernafasan (inhalasi) atau penyampaian
xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme
(injeksi).
Jika suatu objek biologik terpapar oleh sesuatu
xenobiotika, maka, kecuali senyawa radioaktif,
efek biologik atau toksik akan muncul, jika
xenobiotika tersebut telah terabsorpsi menuju
sistem sistemik. Umumnya hanya xenobiotika
yang terlarut, terdistribusi molekular, yang dapat
diabsorpsi. Dalam hal ini akan terjadi pelepasan
xenobiotika dari bentuk farmaseutikanya.
Misalnya paparan xenobiotika melalui oral (misal
sediaan dalam bentuk padat: tablet, kapsul, atau
serbuk), maka terlebih dahulu kapsul/tablet akan
terdistegrasi (hancur), sehingga xenobiotika akan
telarut di dalam cairan saluran pencernaan.
Xenobiotika yang terlarut akan siap terabsorpsi
secara normal dalam duodenal dari usus halus
dan ditranspor melalui pembuluh kapiler
mesenterika menuju vena porta hepatika menuju
hati sebelum ke sirkulasi sistemik.
Penyerapan xenobiotika sangat tergantung pada
konsentrasi dan lamanya kontak antara
xenobiotika dengan permukaan organisme yang
berkemampuan untuk mengaborpsi xenobiotika
tersebut. Dalam hal ini laju absorpsi dan jumlah
xenobitika yang terabsorpsi akan menentukan
potensi efek biologik/toksik. Pada pemakaian obat,
11
2.2.1. Eksposisi
melaluiyang
kulit.
Eksposisi
(pemejanan)
palung mudah dan
paling lazim terhadap manusia atau hewan
dengan segala xenobiotika, seperti misalnya
kosmetik, produk rumah tangga, obat topikal,
cemaran lingkungan, atau cemaran industri di
tempat kerja, ialah pemejanan sengaja atau tidak
sengaja pada kulit.
Kulit terdiri atas epidermis (bagian paling luar)
dan dermis, yang terletak di atas jaringan
subkutan. Tebal lapisan epidermis adalah relatif
tipis, yaitu rata-rata sekitar 0,1-0,2 mm,
sedangkan dermis sekitar 2 mm. Dua lapisan ini
dipisahkan oleh suatu membran basal (lihat
gambar 2.3).
Lapisan epidermis terdiri atas lapisan sel basal
(stratum germinativum), yang memberikan sel
baru bagi lapisan yang lebih luar. Sel baru ini
menjadi sel duri (stratum spinosum) dan, natinya
menjadi sel granuler (stratum granulosum). Selain
itu sel ini juga menghasilkan keratohidrin yang
nantinya menjadi keratin dalam stratum corneum
terluar, yakni lapisan tanduk. Epidermis juga
mengandung melanosit yang mengasilkan
pigmen dan juga sel langerhans yang bertindak
sebagai makrofag dan limfosit. Dua sel ini
12
14
dengan konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi
yang lebih rendah:
( AK
C
)
hD
dt
dQ
=
2.1
Jadi berdasarkan hukum Fick, transpor suatu
xenobiotika berbanding langsung dengan
perbedaan konsentrasi (C), luas permukaan
membran A, koefisien distribusi (partisi)
xenobiotika bersangkutan K, serta koefisien
15
Gambar 2.7. Pembentukan emulsi oleh senyawa
aktif permukaan surfaktan (a) emulsi
minyak dalam air dengan perantara
surfaktan, zat lipofil (misal Vit A /
lingkaran hitam) larut dalam bagian
lipofil dari surfaktan, dengan cara ini
zat yang mudah disolubilisasi di
dalam air; (b) Emulsi air-minyak
tetesan air terperangkap dalam
emulgator surfaktan dan terdispersikan di dalam minyak (dikutif dari
Ariens et al., 1985, hal 41, dengan
modifikasi)
Disamping lipofilitas dari xenobiotika, menurut
hukum Ficks, konstanta permiabilitas juga
ditentukan oleh koefisien difusi dan tebal
membran difusi. Pada umumnya koefesien difusi
dari xenobiotika melalui membran biologi sangat
kecil pengaruhnya pada laju absorpsi. Ketebalan
membran sel umumnya sangat bervariasi,
bergantung pada tempat absorpsi. Namun pada
umumnya tebal membran biologi berkisar hanya
beberapa mikron saja, sehingga ketebalan
membran sel dapat diabaikan.
Kebanyakan obat bersifat asam atau basa lemah,
dimana umumnya dalam larutan berair akan
berada dalam bentuk ion dan non-oinnya. Bentuk
ion sering tidak dapat menembus membran sel
karena daya larut dalam lipidnya yang rendah.
Sebaliknya, bentuk non-ion cukup larut dalam
lipid sehingga dapat menembus membran dengan
laju penetrasi yang bergantung pada
lipofililitasnya. Tingkat ionisasi asam dan basa
organik lemah bergantung pada pH medium, dan
konstanta disosiasi asam-basanya (pKa).
Perbandingan bentuk ion dan non-ion
digambarkan oleh persamaan HendersonHasselbalch:
untuk asam (HA) berlaku:
+
+ AHHA
ka
([ =A10 basa
pHpKa
)
H
A
rasio
=
(2.2)
untuk
(BH] ]
+
) berlaku
HBBH
]
pHpKa
B
BH
r([]++
asio
=
+
=
10(2.3)
Sebagai
contoh senyawa obat )warfarin
adalah
asam lemah dengan pKa = 4.8, pada pH cairan
biologis yang sama dengan pKa, maka 50%
warfarin akan berada dalam bentuk ionnya. Jika
pH lingkungan meningkat satu tingkat menjadi 5,8,
maka hanya sekitar 10% dari warfarin yang
berada dalam bentun non-ionnya. Apabila
warfarin diberikan melalui jalur oral, maka dapat
diperkirakan warfarin akan lebih mudah diserap di
lambung ketimbang di usus halus, karena pH
lambung umumnya bersifat asam berkisar 1,5 7,0. Pada pH 3,8 hampir sekitar 90 % warfarin
berada dalam bentuk tidak terionkan, dalam hal
ini warfarin berada dalam kadaan siap untuk
diabsorpsi. Akan belawanan, jika warfarin berada
di usus halus, dimana pH usus halus lebih bersifat
basa ketimbang lambung berkisar antara 7-8.
Dalam pH ini hampir lebih dari 99% warfarin
berada dalam bentuk ionnya, sehingga dapat
dipastikan warfarin akan susah terabsorpsi
melalui usus halus. Hal yang sebaliknya akan
terjadi pada senyawa obat yang bersifat basa
lemah.
Pada gambar 2.8 menggambarkan ilustrasi difusi
senyawa asam dan basa melintasi membran
dipengaruhi oleh ionisasi di kedua daerah
membran. Disamping faktor-faktor diatas, laju
aliran darah di pembuluh-pembuluh kapiler di
tempat absorpsi juga merupakan salah satu faktor
berpengaruh pada laju absorpsi suatu xenobiotika.
Laju aliran darah akan berpengaruh pada
perbedaan konsentrasi xenobiotika di kedua sisi
membran. Pada awal absorpsi umumnya
konsentrasi xenobiotika di tempat absorpsi jauh
lebih tinggi ketimbang di sisi dalam membran
(sebut saja dalam kapiler darah periper). Apabila
laju aliran pada pembuluh darah kapiler tersebut
relatif cepat, maka xenobiotika akan dengan
cepat terbawa menuju seluruh tubuh, sehingga
pada tempat absorpsi, sehingga kesetimbangan
konsentrasi antara tempat absorpsi dan kapiler
darah akan lebih lama tercapai dan terdapat
perbedaan konsentrasi antar dua sisi yang relatif
besar. Difusi akan tetap berlangsung selama
terdapat berbedaan konsentrasi antara kedua sisi
membran.
16
Gambar 2.8. Difusi bentuk non-ion senyawa asam
dan basa melalui membran biologik
(b) Filtrasisel
Membran
lewat
umumnya
pori-pori
memilika
membran
lubang
poren.
dengan
ukuran yang bervariasi tergantung pada sifat dari
membran selnya. Umumnya kebanyakan sel
mempunyai pori dengan diameter sekitar 4
(amstom). Saluran pori ini umumnya penuh terisi
air, sehingga hanya memungkinkan dilewati oleh
tokson yang relatif larut air dengan berat molekul
19
yang terserap, (2) partikel dengan ukuran tertentu
akan terperangkap oleh rambut silia atau lendir
dimana selanjutnya dibuang melalui saluran cerna,
sehingga absopsi justru terjadi melalui saluran
cerna, (3) senyawa volatil (mudah menguap)
pada umumnya melalui jalur ini terabsorpsi
sebagian, bagian yang tidak terabsorsi akan
dihembuskan menuju udara bebas, hal ini tidak
seperti jalur eksposisi saluran cerna.
Absorpsisebelumnya,
dibahas
xenobiotikabahwa
perkutan.
eksposisi
Seperti
melalui
telah
kulit merupakan pemejanan xenobiotika yang
paling mudah dan umum terjadi. Agar dapat
terabsorpsi ke dalam kulit, xenobiotika harus
melintasi membran epidermis dan dermis, diserap
melalui folikel, lewat melalui sel-sel keringan, atau
kelenjar sebasea. Jalur melintasi membran
epidermis dan dermis merupakan jalan utama
penetrasi xenobiotika dari permukaan kulit
menuju sistem sistemik, karena jaringan tersebut
merupakan bagian terbesar dari permukaan kulit.
Fase pertama absorpsi perkutan adalah difusi
tokson lewat epidermis melalui sawar (barier)
lapisan tanduk (stratum corneum). Lapisan tanduk
terdiri atas beberapa lapis sel mati yang tipis dan
rapat, yang berisi bahan (protein filamen) yang
resisten secara kimia. Sejumlah kecil zat-zat polar
tampaknya dapat berdifusi lewat filamen luar
filamen proteinstratum korneum yang terhidrasi,
sedangkan zat-zat nonpolar melarut dan berdifusi
lewat matrik lipid diantara filamen protein. Sifat
pemeabilitas terhadap zat kimia dari stratum
korneum manusia adalah berbeda di berberapa
bagian permukaan kulit, misal stratum korneum
kulit perut mudah dilewati tokson, namun
sebaliknya stratum korneum pada telapak kaki
dan tangan sangat sulit dilewati.
Fase kedua absorpsi perkutan adalah difusi
tokson lewat dermis yang mengandung medium
difusi yang berpori, nonselektif, dan cair. Oleh
karena itu, sebagai sawar, dermis jauh kurang
efektif dibandingkan stratum korneum. Oleh
sebab itu abrasi atau kerusakan lapisan stratum
korneum dapat mengakibatkan sangat
meningkatnya absorpsi perkutan. Beberapa zatzat yang dapat mengakibatkan abrasi stratum
korneum seperti asam-basa kuat, gas mustard.
Beberapa pelarut seperti dimetil silfoksida
(DMSO), juga dapat meningkatkan permeabilitas
kulit.
2.3.2. Distribusi
Setelah
xenobiotika mencapai sistem peredahan
darah, ia bersama darah akan diedarkan/
didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem
sirkulasi sistemik ia akan terdistribusi lebih jauh
20
dibahas lebih dalam dalam bahasan pemodelan
farmakokinetik.
Distribusi xenobiotika di dalam tubuh umumnya
melalui proses transpor, yang pada mana dapat di
kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu
konveksi (transpor xenobiotika bersama aliran
darah) dan transmembran (transpor xenobiotika
melewati membran biologis). Distribusi suatu
xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi oleh:
tercampurnya xenobiotika di dalam darah, laju
aliran darah, dan laju transpor transmembran.
Umumnya faktor tercampurnya xenobiotika di
Otak 2,0 12 54
Paru-paru 1,5 100 400
Jantung 0,5 4 84
Lambung dan
usus saluran
pencernaan
2,8 24 70
Aliran darahnya
Kulit
10 6 5 kurang bagus:
Otot-otot 40 23 5
Aliran darahnya jelek:
Jaringan
Lemak
18 5 2,1
Sifat membran
sebelumnya,
bahwa
biologis.
difusi
Telah
berperan
dibahas
penting
dalam transpor suatu xenobiotika diantara ekstradan intra selular. Xenobiotika agar dapat
ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah
menuju sel-sel pada jaringan tubuh, haruslah
melewati membran biologis, yaitu membran yang
menyeliputi sel-sel di dalam tubuh. Secara
keseluruhan luas permukaan kapiler tubuh (orang
dewasa) diperkirakan berkisar antara 6000-8000
m
2
, dengan panjang keseluruhan diduga sekitar
95000 km. Di bagian luar kapiler-endotel ini
diselimuti oleh membran basal yang sangat halus
dan elastis. Struktur membran basal dapat
dibedakan menjadi:
- kapiler
yang
sangat tertutup (contoh: barier
sawar
darah
otak)
- kapiler yang
berjendela,
padaintensiv,
jendela ini
terjadi
pertukaran
cairan
yang sangat
jarak
jendela dalam kapiler ini adalah tidak beraturan
(contoh:tubulus ginjal),
- kapiler
yang
terbuka,
tidak terdapat
hubungan
antar
sel-sel
endotel,
sehingga
pada kapiler
ini
terdapat lubang-lubang yang besar, yang
dapat dilewati oleh plasma darah (contoh: hati).
21
Laju penetrasi xenobiotika melewati membran
biologis akan ditentukan oleh struktur membran
basal dan juga sifat lipofilitasnya. Senyawasenyawa lipofil akan dapat menembus membran
biologis dengan baik, sedangkan senyawa yang
polar (larut air) haruslah melewati lubang-lunag di
membran biologis, yang dikenal dengan poren.
Jumlah poren dalam membran biologis adalah
terbatas, oleh sebab itu dapatlah dimengerti,
bahwa senyawa lipofil akan terdistribusi lebih
cepat dibandingkan senyawa hidrofil (lihat tabel
2.2).
22
plasma, akibat penurunan sintesa protein.
Pemakaian dosis yang sama, pada penderita hati
atau ginjal, akan meningkatkan konsentrasi obat
bebas di dalam darah, sehingga dengan
sendirinya akan meningkatkan potensi toksik.
Karena ketidak khasan ikatan xenobiotika pada
protein, sering dijumpai kompetisi tempat ikatan
baik antar xenobiotika maupun dengan senyawa
endogen. Seperti pada bayi prematur apabila
ditangani dengan kemoterapi tertentu, misal
sulfonamida, muncullah situasi kompetisi antara
obat dan bilirubin, yang akan mengakibatkan
icterus neonatorum.
bahwa
terjadi kematian
Penelitian
yang tinggi
menyatakan
pada bayi
prematur yang ditangani dengan senyawa
sulfonamida (umpamanya sulfisosazol).
Disamping itu presentase kernikterus di dalam
kelompok ini mencolok tinggi sebagai akibat
akumulasi bilirubin di dalam sel otak.
Disamping faktor di atas ikatan pada protein juga
dipengaruhi oleh faktor lain, seperti sifat
fisikokimia xenobiotika, pH cairan plasma, dan
umur. Sebagai contoh pada pH plasma bersifat
sangan asam asidosis bagian barbiturat yang
terikat pada protein menurun. Pada bayi yang
baru lahir mempunyai kemampuan ikatan protein
yang lebih rendah daripada ikatan protein pada
manusia dewasa.
Faktor besar
lainnya
juga berpengarui
molekul, kelarutan,
pada laju
dantranspor
sifat kimia
suatu
melintasi membran, hal ini sudah banyak dibahas
pada bahasan sebelumnya.
2.3.3 Eliminasidan ekskresi dapat dirangkum ke
Metabolisme
dalam eliminasi. Yang dimaksud proses eliminasi
adalah proses hilangnya xenobiotika dari dalam
tubuh organisme. Eliminasi suatu xenobiotika
dapat melalui reaksi biotransformasi
(metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melalui
ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur
eksresi lainnya (kelenjar keringan, kelenjar mamai,
kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi
yang paling penting adalah eliminasi melalui hati
(reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal.
Setelah diabsorpsi dan didistrubusikan di dalam
Ekskresi
tubuh, xenobiotika/tokson dapat dikeluarkan
dengan capat atau perlahan. Xenobiotika
dikeluarkan baik dalam bentuk asalnya maupun
sebagai metabolitnya. Jalus ekskresi utama
adalah melalui ginjal bersama urin, tetapi hati dan
paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting
bagi tokson tertentu. Disamping itu ada juga jalur
ekskresi lain yang kurang penting seperti, kelenjar
keringan, kelenjar ludah, dan kelenjar mamai.
Ekskresi
urin. memegang peranan
Ginjal sangat
penting dalam mengekskresi baik senyawa
eksogen (xenobiotika) maupun seyawa endogen,
24
Gambar 2.9.: Kurve konsentrasi-waktu dua tokson
di dalam darah.
Padamodel
terabsorpsi
dosis
yang
dibandingkan
sama
tokson
dengan
A menggambarkan,
lebih
B.
Jika
cepat
A
bahwa
polar
tokson
ketimbang
A
lebih
suka
B
hal
terdistribusi
ini
ditoksika
kompartimen
jaringan
lebih
sentral,
dalam.
dan
sedikit
jelasnya
terdistribusi
bagaimana
ke tubuh
gambaran
dan
konsentrasi
matematisnya
suatu
selanjutnya
xenobitika
akan
di
dalam
dibahas
lebih
Kadar
detail
tokson
dalam
di
darah
babLebih
umumnya
pemodelan
dipengaruhi
farmakokinetik.
oleh
beberapa faktor seperti, laju absorpsi dari tempat
paparan, sifaf fisiko-kimia tokson akan
menentukan laju transpornya di dalam tubuh,
distribusi tosikan di dalam tubuh (jaringan, organ),
jalu eliminasinya meliputi kecepatan
biotransformasi dan ekskresi dari dalam tubuh.
2.4. FASE TOKSODINAMIK
Dalam fase toksodinamik atau farmakodinamik
akan membahas interaksi antara molekul tokson
atau obat pada tempat kerja spesifik, yaitu
reseptorpada
dimana
dan akhirnya
juga proses-proses
timbul efek
yang
toksik
terkait
atau
terapeutik. Kerja sebagian besar tokson
umumnya melalui penggabungan dengan
makromolekul khusus di dalam tubuh dengan
cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika
dari makromolekul tersebut. Makromolekul ini
sejak seabad dikenal dengan istilah reseptor
,
yaitu merupakan komponen sel atau organisme
yang berinteraksi dengan tokson dan yang
mengawali mata rantai peristiwa biokimia menuju
terjadinya suatu efek toksik dari tokson yang
diamati.
Interaksi tokson - reseptor umumnya merupakan
interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini
mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim
hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat
kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel,
terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik
(irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat
biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia
antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana
terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat
irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia
dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran
kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan
peroksida. Terbentuknya peroksida ini
mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.
Efek irrevesibel diantaranya dapat mengakibatkan
kerusakan sistem biologi, seperti: kerusakan saraf,
dan kerusakan sel hati (serosis hati), atau juga
pertumbuhan sel yang tidak normal, seperti
karsinoma, mutasi gen. Umumnya efek
irreversibel nirpulih akan menetap atau justru
bertambah parah setelah pejanan tokson
dihentikan.
Pada umumnya semakin tinggi konsentrasi akan
meningkatkan potensi efek dari obat tersebut,
untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bahasan
hubungan dosis dan respon. Jika konsetrasi suatu
25
meskipun struktur kimia mereka hanya sedikit
berbeda.
Konsep reseptor sebagai tempat kerja zat kimia,
pertama kali dikemukakan oleh John N. Langley
(1905). Dia mengamati bahwa efek nikotin dan
kurare pada otot rangka tidak berubah setelah
saraf yang mensarafi otot tersebut mengalami
degenerasi, ini menunjukkan tidak terlibatnya
ujung saraf seperti yang diyakini sebelumnya.
Kurare tidak mencegah kontraksi otot akibat
rangsangan listrik, tetapi benar-benar memblok
kontraksi yang disebabkan oleh nikotin. Melalui
penelitian ini ia menyimpulkan bahwa racun
tidak berpengaruh pada protein kontraktil dalam
otot, melainkan pada zat-zat lain di otot yang
dapat disebut zat-reseptor. Dari awal yang
sederhana ini kini reseptor menjadi fokus utama
penyelidikan efek obat dan mekanisme kerjanya
(farmakodinamik).
Pada tahun 1970-an penilitian tentang reseptor
semakin banyak dilakukan pada tingkat molekul
untuk memperoleh pengertian yang lebih
mendalam mengenai interaksi biokimiawi antara
zat-zat endogen dan sel-sel tubuh. Ternyata
reaksi demikian hampir selalu berlangsung di
tempat spesifik, yaitu reseptor atau enzim.
Penelitian juga telah mengungkap, bahwa semua
proses fisiologi dalam tubuh diregulasi oleh zatzat pengatur kimiawi regulator endogen, yang
masing-masing mempunyai titik kerja spesifik di
satu atau lebih organ. Meskipun terdapat ratusan
regulator terutama hormon dan neurotransmiter
(norardrenalin, serotonin, dopamin, dan lain-lain),
namun setiap zat mengetahui dengan tepat di
mana letak sel dan organ tujuannya. Hal ini dapat
dijelaskan, oleh terdapatnya sejenis informasi
biologi di setiap zat dalam bentuk konfigurasi
khusus, struktur ruang, dan sifat-sifat kimiawinya,
yang dengan eksak mencocoki sel-sel reseptor di
organ-tujuan. Sistem ini dapat disamakan dengan
prinsip kunci-anak kunci
. Selain neuro(hormon)
tersebut, terdapat juga reseptor untuk zat-zat lain,
seperti endorfin (morfin endogen).
Reseptor obat dapat didefinisikan sebagai suatu
makromolekul (biopolimer) jaringan sel hidup,
mengandung gugus fungsional atau atom-atom
terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat
khas, dan dapat berinteraksi secara terpulihkan
(reversibel) dengan molekul obat yang
mengandung gugus fungsional khas,
menghasilkan respons biologis tertentu.
Selain kegunaannya sebagai materi untuk
menerangkan ilmu biologi, konsep reseptor ini
26
Na
+
/K
+
ATPase, reseptor membran untuk digitalis
glikosida
aktif
pada
jantung)
dan protein
struktural
colchicine,
(misalnya,
agen
antiradang/antiinflamasi)
tubulin,
reseptor
untuk
Tiga
aspekyang
fungsi
reseptor
obat
adalah,
uraian
fungsi ini disusun dalam urutan kerumitan yang
meningkat:
a) Aspek pertama adalah fungsinya sebagai
determinan hubungan kuantitatif antara
konsentrasi obat dan respons/tanggapan.
Disini reseptor dipandang sebagai suatu unit
sederhana, yang secara prinsip ditandai dari
afinitasnya mengikat ligan-ligan obat dan
berlimpahnya mereka dalam sel atau jaringan
target / sasaran.
b) Aspek kedua adalah fungsinya sebagai protein
regulator dan komponen penerus sinyal
kimiawi yang melengkapi target-target obat
penting. Disini reseptor dianggap sebagai
molekul kompleks yang struktur dan fungsi
biokimiawinya membantu menjelaskan ciri
utama hubungan efek-konsentrasi dan juga
selektivitas farmakologik.
c) Aspek ketiga adalah fungsinya sebagai
determinan utama terhadap efek terapeutik
dan toksik pada pasien. Disini dibahas peran
penting yang dijalankan reseptor dalam
menentukan selektivitas kerja obat, hubungan
antara dosis obat dan efeknya, dan manfaat
terapeutik obat (misal efektivitas terapeutik
versus toksisitas)
Konsep reseptor, yang diperluas pada
endokrinologi, imunologi, dan biologi molekuler,
terbukti penting untuk menerangkan banyak
aspek pengaturan biologis. Semakin pesatnya
perkembangan ilmu biologi molekuler, sekarang
ini reseptor dapat diisolasi dan dicatat cirinya
sebagai makromolekul, selanjutnya membuka
jalan menuju pemahaman akurat tentang kerja
obat berdasarkan peristiwa molekuler. Konsep ini
membantu sekali perkembangan farmakologi,
terutama membentuk dasar dalam pemahaman
kerja dan penggunaan obat di klinik.
2.4.2. Interaksi
obat-reseptor
Interaksi
obat-reseptor
umumnya dapat
disamakan dengan prisip kunci-anak kunci. Letak
reseptor neuro(hormon) umumnya di membransel dan terdiri dari suatu protein yang dapat
merupakan komplemen kunci daripada struktur
ruang dan muatan-ionnya dari hormon
bersangkutan anak-kunci. Setelah hormon
ditangkap dan terikat oleh reseptor, terjadilah
interaksi yang mengubah rumus dan pembagian
muatannya. Akibatnya adalah suatu reaksi
27
Umumnya semua jenis ikatan, (seperti ikatan ion,
ikatan jembatan hidrogen, ikatan hidrofob melalui
28
Gambar 2.12.: Isobola untuk kombinasi zat A
yang aktif dan zat B yang pada
pemberian sendiri tidak aktif, akan
tetapi mempengaruhi efek A (dari
Ariens,
pengantar,
Toksikologi
1986,
hal.
umum
182,
dengan
Dapat
modifikasi).
dibedakan
antara
sinergisme
(kurve
b:
kepekaan
antagonisme
terhadap
(kurve
A
c,akan
d,efek
dan
ditingkatkan
e;non-kompetitif.
kepekaan
oleh
B)
dan
akan
juga
diberikan.
diturunkan
Kurve
oleh
B).
cfungsional,
umumnya
Berbagai
diberikan
jenis
antagonisme
oleh
interaksi
menunjukkan
antagonisme
antagonisme
kompetitif,
kurve
dan
d terhadap
kurve
eA
menggambarkan
2.4.3.
Mekanisme
antagonisme
kerja
toksik
Fase
toksodinamik
adalah
interaksi
antara
tokson
dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan juga
proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya
muncul efek toksik / farmakologik.
Farmakolog menggolongkan efek yang mencul
berdasarkan manfaat dari efek tersebut, seperti:
i) efek terapeutis, efek hasil interaksi xenobiotika
dan reseptor yang diinginkan untuk tujuan
terapeutis (keperluan pengobatan),
29
sifat lipofilitasnya tidak cocok sebagai antidot
terhadap efek sentral. Oksim yang lipofil kuat
tanpa gugus kuarterner, yang dapat melintasi
sawar darah-otak dan karena itu juga cocok untuk
reaktivasi asetilkolinaesterase di sistem saraf
pusat, dewasa ini sedang dikembangkan.
Gambar 2.13.: Bagan reaksi asetilkolina-esterase
dengan asetilkolina (a, b, c) dan
pemblok tak bolak-balik
asetilkolina-esterase (d, e) serta
pengaktifan kembali enzim yang
diblok dengan penggunaan oksim
PAM (f, g), (dari Ariens,
Toksikologi umum pengantar, 1986,
hal. 29, dengan modifikasi).
Pada semua mahluk hidup yang memiliki saraf,
asetilkolina mempunyai fungsi sebagai zat
penghantar neurotransmiter, yang menghantar
impuls saraf dari sel yang satu ke sel yang lain
dan dari sel saraf ke organ efektor. Karena
asetilkolina terdapat pada semua jenis hewan
tinggi, maka inhibitor asetilkolinaesterase yang
tak bolak-balik merupakan racun, baik untuk
semua hewan menyusui, ikan, serangga, cacing
dan sebagainya.
Berbada dengan golongan asam fosfat, logamlogam berat seperti raksa Hg, arsen As, dan
timbal Pb merupakan inhibitor enzim yang
kurang selektif dan bekerja sebaliknya. Mereka
menginhibisi sejumlah enzim secara bolak-balik.
Dan kerjanya didasarkan pada reaksi dengan
gugus SH, yang diperlukan berbagai enzim agar
berfungsi secara normal.
Inhibisi enzim
Senyawa
yang secara
disebutreversibel
dengan antimetabolit
umumnya menyebabkan inhibisi enzim secara
bolak-balik. Senyawa ini secara kimia mirip
dengan subtrat normal enzim, sehingga dapat
berikatan dengan enzim meskipun bukan tempat
yang sebenarnya. Untuk berikatan dengan pusat
enzim terjadi persaingan (kompetisi) antara
antimetabolit dengan subtrat normal. Suatu
contoh yang baik dikenal sebagai zat penghambat
enzim adalah antagonis asam folat (contohnya
metotreksat), yang digunakan sebagai sitostatika
pada pengobatan penyakit kanker. Anti metabolit
asam folat menghambat sistem enzim yang
penting untuk sintesis asam amino dan turunan
purin serta pirimidin. Perbanyakan sel dihambat
melalui kerja ini. Penggunaan antagonis asam
folat untuk tujuan lain selain pengobatan, yaitu
contohnya pada pemberantasan serangga
berdasarkan kerja mensterilkan.
Pemutusan
biokimia
Pada
prosesreaksi
oksidasi
secara biokimia, energi
pusat
pusat esteratik
a
N
+
3C
2 HH anionik
O
pusat
pusat esteratik
b
2C H
K
o l ianionik
n
3O
CH
pusat
pusat esteratik
c
C aH
Cr aanionik
5O
H
N
O
2P
okson
pusat
pusat esteratik
d
2N
O
p -H
trofenol
P
CN i anionik
5O
H
C
H
pusat
pusat esteratik
e
pusat anionik
pusat esteratik
f
OM
C
5A
2+
3C
H
H
O
N
P
Enzim
yang
diblok
pusat anionik
pusat esteratik
g
CH
+
H
3C
N
P
C
2H
5O
E
nzim
yang
diaktifkan
kembali
30
dibebaskan untuk mengubah fosfat anroganik
menjadi fosfat organik berenergi tinggi.
Xenobiotika tokson yang sesuai untuk reaksi
pemutusan dan menggangu sintesis asam fosfat
berenergi tinggi, akan mengakibatkan terbuangnya energi sebagai panas dan tidak dapat
tersimpan. Dengan jalan demikian tokson ini
dapat menimbulkan demam. Dalam hal ini
intensitas proses oksidasi dalam organisme akan
naik sesuai dengan transformasi tokson untuk
proses ini, bersamaan dengan proses tersebut
kebutuhan oksigen akan meningkat.
Senyawa dinitrofenol memiliki kerja seperti ini,
sesuai dengan efeknya pada waktu lampau
dinitrofenol digunakan untuk pengobatan penyakit
penimbunan lemak, tetapi segera kemudian
terbukti bersifat toksis. Senyawa lain tipe ini
adalah dinitrokresol yang digunakan sebagai zat
31
melalui -oksidasi atau tidak), dan jumlah atom
karbon yang terdapat pada rantai aklil. Jika
jumlah atom karbon genap makan terbentuk
asam fluorasetat yang lebih toksik sebagai produk
akhir dan dapat diartikan akibat sintesis zat
mematikan.
Pengambilan
enzim
ion logam
yang
penting
untuk kerja
Ion
logam tertentu
bekerja
sebagai
kofaktor
dan
merupakan bagian penting dari enzim. Molekul
logam dari pofirin, seperti Fe-protoporfirin IX (lihat
gambar 2.15) adalah suatu mulekul multi fungsi
pada sistem biologi, jika berikatan dengan protein.
Molekul porfirin dapat membentuk kompleks
khelat dengan logam Fe, Mg, Cu, Zn, Sn, Cd, Co,
dan Ag. Khelat porfirin dengan Fe atau Mg,
terdapat paling banyak di alam. Kompleks Feprotoporfirin merupakan inti dari sitikrom dan
hemoglobin, kompleks logam protein ini memiliki
peran yang sangat penting bagi organisme hidup,
yaitu pembawa oksigen menuju sel (fungsi dari
hemoglobin) dan pengkatalis reaksi oksidasireduksi dan pada proses transfer elektron (fungsi
dari sitokrom) dalam berbagai reaksi metabolisme
xenobiotika.
Suatu efek toksik dapat timbul akibat
pengambilan ion logam penting untuk aktivitas
pada suatu substrat biologi melalui pembentukan
khelat tertentu, seperti ditiokarbamat.
Pengambilan ion Fe dari kompleks Feportoporfirin akan menghilangkan fungsi
utamanya.
Ditiokarbamat digunakan sebagai aktivator pada
vulkanisasi dan sebagai anti oksidan pada industri
karet. Pada pekerja yang terpejan dengan
ditiokarbamat, akan mengalami efek toksik
apabila mereka mengkonsumsi alkohol.
Ditiokarbamat mengikat ion Cu, dimana ion Cu
merupakan aktivator enzim aseldehida
dihidrogenase, yang mengkatalisis perubahan
asetal dehida menjadi asam asetat, serta
asetaldehida yang terbentuk dari alkohol. Akibat
pengikatan ion Cu oleh ditiokarmbamat, maka
reaksi metabolisme alkohol di dalam tubuh akan
diperlambat. Sehingga alkohol akan berada
dalam waktu yang lebih lama yang akan
menginduksi efek toksik alkohol. Efek toksik
alkohol yang terasa, seperti mual, muntah, dan
sakit kepala yang berat, pada keadaan berat
dapat sampai koma.
Suatu turunan ditiokarbamat, yaitu disulfiram,
digunakan pada pengobatan alkoholisme.
Seseorang akan menghentikan penggunaan
alkohol karena efek yang tidak enak yang
mengejutkan, pada penggunaan alkohol dan
disulfiram secara bersamaan.
32
pernafasan. Transpor elektron dalam siklus
pernapasan melalui berubahan muatan dari ion
besi. Inhibisi oleh asam sianida HCN pada
enzim akan menghilangkan fungsi redoknya.
Dengan demikian racun HCN menghambat
pernapasan aerob, yaitu proses pertukaran
elektron yang melibatkan oksigen. Pada
organisme lebih tinggi keracunan seperti ini dapat
membahayakan jiwa. Hidrogen sulfida (H
2
S),
mempunyai mekanisme kerja yang sangat mirip
33
(relaksan otot). Atropin memblok reseptor
kolinergik pada postganglion parasimpatika.
Sedangkan nikotina bekerja pada hantaran
kolinergik pada sinaps ganglion.
36
Gambar 2.17: Gambar skematik periode perkembangan, pada periode ini senyawa teratogen berbahaya
pada embrio manusia atau fetus. Kotak hitam menunjukkan periode berbahaya yang tinggi,
kotak putih adalah periode kepekaan yang lebih rendah
Jenis kerusakan tidak hanya tergantung dari zat
penyebab tapi juga tergantung pada fase
perkembangan embrio, yaitu fetus, tempat zat
teratogenik bekerja. (lihat gamabr 2.17)
kasus
:Contoh
Alkohol
yang di konsumsi oleh
wanita hamil, dapat menyebabkan kelainan
jantung; terjadi craniofacial abnormalities
(kelainan pada tengkorak dan wajah), yaitu a.l:
microcephaly,
retardasi
pada pertumbuhan;
small eyes, dandan
flatkelainan
midface;
pembentukan tulang. Selain itu juga dapat
menyebabkan retardasi mental, lemah otot,
kelainan bicara, dan kelainan pada pendengaran.
Meningkatnya kebutuhan akan uji toksikologik,
terutama zat yang dapat bersifat teratogenik,
namun pada kenyataannya terdapat keterbatasan
akan fasilitas dan sumber daya manusia yang
memenuhi syarat, Oleh sebab itu maka data
teratogenik yang dihasilkan dimana saja
sebaiknya dapat diterima secara international.
Agar data-data tersebut dapat diterima secara
umum, kama data tersebut harus memenuhi
standar tertentu. Untuk itu lembaga terkemuka
dunia mengeluarkan standar seperti yang
dikeluarkan oleh Lembaga pengawas obat dan
makanan Amerika ( US FDA = United States
Food and
FDA
Pregnancy
Drug Administration
Risk Factor ), dimana
mengeluarkan
standar ini
dapat diterima secara international.
FDA Pregnancy Risk Factor merupakan
kategori dari FDA mengenai resiko penggunaan
obat dalam kehamilan. Kategori adalah sebagai
berikut:
Kategori
A:
Studi terkontrol
pada wanita gagal
memperlihatkan resiko terhadap janin pada
trimester ke-1 (dan tidak ada bukti mengenai
adanya resiko pada trimester berikutnya), dan
kemungkinan bahaya terhadap janin sangat kecil.
Kategori
B:tidak reproduksi
percobaan
Studi terhadap
memperlihatkan
binatang
adanya resiko
terhadap janin. Tetapi tidak ada studi terkontrol
wanita hamil atau studi terhadapreproduksi
hewan percobaan yang memperlihatkan adanya
efek samping (selain dari penurunan tingkat
kesuburan) yang tidak dipastikan dalam studi
terkontrol pada wanita hamil trimester pertama
(dan tidak ada bukti mengenai adanya resiko
trismester berikutnya)
Kategori
Studi pada
C: hewan
percobaan
memperlihatkan
adanya
efek samping pada janin
(teratogenik atau embriosidal atau lainnya) dan
tidak ada studi terkontrol pada wanita atau studi
terhadap wanita dan hewan percobaan tidak
dapat dilakukan. Obat hanya dapat diberikan jika
37
pada janin dan atau terdapat bukti mengenai
resiko terhadap janin berdasarkan pengalaman
pada manusia. Dan resiko penggunaan obat
pada wanita hamil benar-benar melebihi
manfaatnya. Obat ini dikontra indikasikan pada
wanita yang sedan atau memiliki kemungkinan
untuk hamil.
f. Gangguan
sistemimun
imunadalah melindungi tubuh
Fungsi
dari sistem