Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara klinis pada
seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.
Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian
merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ internal
tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis, mati seluler,
mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat
terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat,
sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler adalah
kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya penggunaan
oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan. Perubahan pada tubuh dapat
timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian. Tanda-tanda
kematian dibagi atas tanda kematian pasti dan tidak pasti. Tanda kematian tidak
pasti adalah penafasan berhenti, sirkulasi terhenti, kulit pucat, tonus otot
menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina mengalami segmentasi dan
pengeringan kornea. Sedangkan tanda pasti kematian adalah lebam mayat (livor
mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh (algor mortis),
pembusukan, mumifikasi, dan adiposera. Dalam proses pembusukan terjadi dua
proses yaitu autolisis dan dekomposisi putrefactive.1,2
Embalming (pengawetan jenazah) adalah suatu proses dimana dilakukan
pemberian bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior
jaringan orang mati (menghambat dekomposisi jaringan) dan membuat serta
menjaganya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup sesuai dengan waktu yang
diperlukan.3 Pengawetan jenazah dapat dilakukan langsung pada kematian wajar,
akan tetapi pada kematian tidak wajar pengawetan jenazah baru boleh dilakukan
setelah pemeriksaan jenazah atau autopsi selesai dilakukan.4
Embalming telah lazim dilakukan di banyak kebudayaan untuk berbagai
alasan seperti adanya kepercayaan bahwa pengawetan mayat dapat menjaga jiwa
setelah kematian, seperti yang terjadi di Mesir dan untuk budaya lain misalnya,
Peru di mana iklimnya juga sesuai untuk terjadinya mumifikasi. Sedangkan di
Belanda, tidak diperbolehkan proses embalming kecuali dalam hal transportasi
internasional mayat dan dalam kasus anggota keluarga kerajaan. 5 Seiring dengan
berkembangnya zaman dan adanya kebutuhan untuk mempertahankan keadaan
jenazah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Embalming
Embalming adalah proses pengawetan mayat untuk mempertahankan
penampilan mayat agar tetap dalam kondisi yang baik untuk jangka waktu lama.
Beberapa hari setelah kematian, tubuh seseorang akan mulai membusuk, agar
pembusukan tersebut tidak terjadi digunakan bahan pengawet kimia yang
termasuk dalam proses embalming. Embalming diperlukan baik untuk tubuh
normal maupun tubuh membusuk dan mayat yang akan diangkut untuk perjalanan
jarak jauh.4
Orang yang melakukan tindakan embalming disebut embalmer. Embalmer
adalah seorang individu yang memenuhi syarat untuk disinfeksi atau memelihara
jenazah dengan suntikan atau aplikasi eksternal antiseptik, disinfektan atau cairan
pengawet, mempersiapkan jenazah untuk transportasi dalam kasus dimana
kematian disebabkan oleh penyakit menular atau infeksi. 5,6
2.3 Bahan Kimia Embalming
2.3.1 Formaldehida
Senyawa Kimia formaldehida (metanal), merupakan aldehida berbentuk
gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida dihasilkan dari pembakaran bahan
yang mengandung karbon. Formaldehida dalam kadar kecil sekali juga dihasilkan
sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia.7,8
a. Sifat Formaldehida
Dalam udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi
dapat larut dalam air (biasanya dijual dalam kadar 37% menggunakan merek
dagang ('formalin' atau 'formol'). Formalin bersifat asam karena mengandung
asam formiat akibat oksidasi formaldehida. Oleh sebab itu larutan formalin
10% harus dibuat netral atau sedikit alkalis dengan menggunakan larutan
dapar fosfat dengan pH 7,2 sebagai pelarut, atau dengan menambahkan
kalsium asetat. Formaldehida bisa membentuk trimer siklik, 1,3,5trioksanaatau polimer linier polioksimetilena.
b. Produksi
Beberapa larutan dapar formalin yang sering digunakan adalah seperti
yang tertera dibawah ini:
Formal Calcium
Neutral Buffered Formalin
Buffered Formalin Sucrose
c. Kegunaan
Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar
bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai
bahan pengawet. Sebagai disinfektan, formaldehida dikenal juga dengan
2

nama formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, pembersih kapal,


gudang dan pakaian.8
Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk
mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dari formaldehida
sering dipakai dalam embalming untuk mematikan bakteri serta untuk
mengawetkan mayat.8
Formaldehida diabsorbsi di jaringan dengan baik, tetapi relatif lambat.
Formalin adalah pengawet yang banyak digunakan dan tidak ada jaringan
yang dirusaknya. Bau formalin yang menusuk hidung membuat formalin
sangat dikenal oleh banyak pihak, sehingga harus berhati-hati dalam
menggunakannya.9
d. Efek Terhadap Kesehatan
Pemaparan formaldehid dapat menyebabkan efek samping, dari gejala
ringan sampai yang mengancam nyawa. Pemaparan yang akut memiliki efek
samping jangka pendek dan biasanya mudah untuk diantisipasi. Pada manusia
beberapa efek samping akut paparan formaldehid adalah iritasi pada mata,
hidung, dan tenggorokan. Ketika dipaparkan pada senyawa ini dengan jangka
waktu yang cukup lama tenggorokan menjadi kering dan sakit. Pada beberapa
penelitian ditemukan bukti bahwa paparan formaldehid yang konstan dapat
meningkatkan resiko untuk menderita beberapa jenis kanker.10
2.3.2. Etil Alkohol dan Polietilen Glikol (Kryofix)
Alternatif formaldehida dalam embalming dikenalkanoleh Boon dkk.
Kryofix dikembangkan di Belanda, merupakan gabungan antara etil alkohol dan
polietilenglikol tanpa aldehid. Efek kryofix pada fiksasi jaringan telah
dibandingkan dengan formaldehid di laboratorium patologi. Waktu fiksasi kryofix
lebih pendek dan lebih baik dibandingkan formaldehid. Hal ini berhasil pada uji di
laboratorium. Dengan demikian, penggunaan kryofix pada jaringan yang besar
diperlukan untuk menentukan keberhasilan kryofix dalam proses embalming
Menurut definisi toksisitas OSHA, etil alkohol dan polietilen glikol tidak
termasuk bahan kimia berbahaya.
2.3.3. Glutaraldehid
Glutaraldehid dapat digunakan sebagai alternatif formaldehid sebagai
cairan untuk embalming. Produk komersial glutaraldehid adalah 25% larut dalam
air, memiliki bau ringan, dan berwarna terang. Glutaraldehida menyebabkan
deformasi struktur heliks-alfa protein dan mengawetkan jaringan dengan sangat
cepat. Glutaraldehid kosentrasi tinggi meningkatkan fiksasi protein dalam
tubuhmayat. Konsentrasi optimum untuk embalming adalah 1-1,5% (cairan).
Larutan glutaraldehid2% sering digunakan sebagai persiapan embalming.9
Ikatan protein dengan glutaraldehid lebih kuat dan menghasilkan protein
aldehid yang stabil. Gabungan protein jaringan dengan glutaraldehid tidak disukai
oleh bakteri. Glutaraldehid berdifusi menembus jaringan lebih merata
dibandingkan formaldehid. Ketika dicampur dengan zat pewarna pada proses
embalming akan menghasilkan warna yang lebih alami pada layanan pemakaman.

Glutaraldehid merupakan disinfektan yang lebih efisien dan efektif dibandingkan


formaldehid, namun harga glutaraldehid lebih mahal 4-5 kali lipat.\
Formaldehid dan glutaraldehid dapat mengiritasi kulit, mata dan
pernapasan, tetapi iritasi kulit dan pernapasan yang disebabkan glutaraldehid lebih
ringan. Glutaraldehid tidak memiliki bau seperti formaldehid. Sampai saat ini,
belum ada data yang menyebutkan efek paparan kronis dari glutaraldehid pada
manusia.
2.3.4. Phenoxyethanol
Phenoxyethanol merupakan pengawet nontoksik untuk mengurangi paparan
formaldehid. Embalming menggunakan phenoxyethanol membutuhkan jumlah
yang lebih rendah dan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan formaldehid.
Teknik ini mengurangi resiko terhadap paparan formaldehid saat proses
embalming.11
2.4. Tujuan Embalming
Embalming dilakukan untuk tujuan mencegah terjadinya pembusukan atau
dekomposisi. Dekomposisi adalah perubahan terakhir yang terjadi (late postmortem periode) pada tubuh mayat setelah kematian, dimana terjadinya
pemecahan protein kompleks menjadi protein yang lebih sederhana disertai
timbulnya gas-gas pembusukan yang bau dan terjadinya perubahan warna.
Penyebab pembusukan adalah kerja bakteri komensalis seperti
Clostridium welchii, Streptococcus, Staphylicocus, Dipteroid, Proteus dan lainlain serta binatang-binang seperti larva lalat, semut dan lainnya turut yang mampu
menghancurkan tubuh mayat.

Gambar 2.1. Jenazah Yang Telah Mengalami Proses Dekomposisi


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan dekomposisi adalah sebagai
berikut:
a. Temperatur: Temperatur optimum dimana bakteri mudah berkembang
adalah 26-380C.
b. Udara: Udara yang lembab lebih cepat terjadinya proses pembusukan.
c. Ruangan dan pakaian: Mayat yang terletak dialam terbuka membusuk
lebih cepat. Mayat yang memakai pakaian memperlambat pembusukan.
d. Umur: Orang tua dan anak lebih lambat membusuk sebab lebih sedikit
mengandung H2O.
e. Keadaan tubuh: Bagian tubuh yang terluka biasanya lebih cepat
membusuk.
f. Penyakit: Kematian oleh karena infeksi mempercepat pembusukan.
2.5. Indikasi Embalming
Beberapa keadaan yang membutuhkan pengawetan jenazah adalah seperti
yang tertera di bawah ini:

2.5.1. Penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam


Hal ini penting karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam
mayat sudah mulai membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang
dapat mencemari lingkungan sekitarnya.
2.5.2. Jenazah Perlu Dibawa Ke Tempat Lain
Untuk dapat mengangkut jenazah dari suatu tempat ke tempat lain, harus
dijamin bahwa jenazah tersebut aman, artinya tidak berbau, tidak menularkan
bibit penyakit ke sekitarnya selama proses pengangkutan. Dalam hal ini
perusahaan pengangkutan, demi reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan
di belakang hari, harus mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah
diawetkan secara baik, yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.

2.5.3. Jenazah Meninggal Akibat Penyakit Menular


Jenazah yang meninggal akibat penyakit menular akan lebih cepat
membusuk dan berpotensi menulari petugas kamar jenazah, keluarga serta orangorang di sekitarnya. Pada kasus seperti ini, walaupun penguburan atau kremasinya
akan segera dilakukan, tetap dianjurkan dilakukan embalming untuk mencegah
penularan kuman/ bibit penyakit kesekitarnya.
2.6. Kontraindikasi Embalming
Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar
sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan
penyelidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah
dan karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti
berdasarkan pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian tidak wajar
menjadi kontra indikasi embalming.
Pasal 233 Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak
dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, suratsurat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau
untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat,
ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan termasuk
kematian yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak wajar adalah
pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar,
kasusnya hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai dengan pasal 108
KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang harus dilaporkan ke
penyidik adalah:
a. Kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara
b. Kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
c. Adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai
kematiannya tidak ada. Keadaan kematiannya menunjukkan bahwa
kemungkinan kematian akibat perbuatan melanggar hukum.

d. Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya


mengindikasikan kematian akibat bunuh diri.
e. Kematian yang disaksikan dokter tetapi ia tidak dapat memastikan
penyebab kematiannya.
2.7.Teknik Embalming
Terdapat beberapa teknik Embalming secara umum yaitu seperti yang tertera di
bawah ini:17,18
2.7.1. Teknik Pembalseman (Ala Mumi)
Pengawetan mayat ini biasa dilakukan ada Mumi yaitu melalui beberapa tahapan
yaitu:
a. Pengeluaran otak
b. Pegeluaran oragan tubuh, kecuali jantung
c. Proses pengawetan dengan menggunakan natron dan anggur
d. Diamkan mayat selama 40 hari pada sebuah meja terbuat dari batu.
e. Pemumian atau pembalutan
f. Pemetian
g. Penguburan dalam pyramid

Gambar 2.2. Teknik Pembalseman (Ala Mumi)


2.7.2. Teknik Pengawetan Tradisional
Pengawetan mayat ini dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana.
Caranya yaitu
a. Membersihkan mayat, isi kotoran dalam perut mayat harus dibuang
b. Minumkan mayat tersebut dengan larutan cuka dan garam yang telah
direbus (1 gelas)
c. Siram mayat dengan cairan daun sirih, tembakau dan daun teh.
d. Pusar mayat ditutupi dengan cairan daun kom.
e. Bungkus mayat dengan kain yang sebelumnya dibungkus dengan daun
sirih.
Gambar 2.3. Jenazah yang
Sudah Diawetkan Menggunakan
Cara Tradisional Masyarakat
Sumba

2.7.3 Teknik Konvensional

Pengawetan yang dilakukan dengan menggunkan formalin yaitu tertera


seperti yang berikut:
a. Sayat mayat pada bagian arteri femoralis (pada bagian paha).
b. Alirkan cairan formalin ke dalam mayat tersebut.
c. Rendam mayat beberapa menit pada formalin 40% atau alkohol 90%
d. Didiamkan lebih kurang selama 6 bulan

2.7.4. Teknik Kompresi


Pengawetan yang dilakukan dengan menggunkan teknik kompresi yaitu
tertera seperti yang berikut:
a. Sayat mayat pada bagian vena saphen magna.
b. Masukan jarum dan selang kecil khusus yang telah berhubungan dengan
jarum. Formalin yang digunakan sebanyak 5 liter
c. Alirkan cairan formalin kedalam mayat tersebut
d. Masukkan mayat ke dalam kantung mayat
2.8. Klasifikasi Embalming
Embalming atau proses pengawetan mayat dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu secara alami dan buatan. Embalming alami terjadi secara mummifikasi
dan adiposere, sedangkan embalming buatan dilakukan melalui proses embalming
modern.
2.9. Embalming Alami
2.9.1. Adiposere
Adiposere adalah fenomena yang terjadi pada mayat yang tidak
mengalami proses pembusukan yang biasa, melainkan mengalami pembentukan
adiposere. Adiposere merupakan substansi yang mirip seperti lilin yang lunak,
licin dan warnayanya bervariasi mulai dari putih keruh sampai coklat tua.
Adiposere mengandung asam lemak bebas, yang dibentuk melalui proses
hidrolisadan hidrogenasi setelah kematian yang disebut saponifikasi. Adanya
enzim bakteri dan air sangat penting untuk berlangsunya proses tersebut. Dengan
demikian, maka adiposere biasanya terbentuk pada mayat yang terbenam dalam
air dan rawa-rawa.
Lama pembentukan adiposere ini juga bervariasi, mulai dari satu minggu
sampai dua minggu. Waktu terkecil pembentukan adiposere daerah tropis adalah
satu sampai tiga minggu. Untuk perubahan seluruhnya pada orang dewasa
diperlukan tiga sampai enam bulan.
Perubahan yang nyata pada tubuh yang mengalami adiposere ini adalah
bagian yang banyak mengandung lemak, pada wanita terutama daerah dada, pipi,
gluteus, paha dan bagian tubuh yang berlemak. Organ-organ internal tidak diubah
menjadi adiposere.
Adiposere dapat bertahan lama sehingga mayat yang mengalami adiposere
dapat dikenali sesudah kematian yang lama, juga digunakan sebagai kepetingan

indentifikasi atau pemeriksaan luka-luka, oleh karena proses pengawetan alami,


meskipun kematian telah lama.
2.9.2. Mummifikasi
Mumifikasi adalah mayat yang mengalami pengawetan akibat proses
pengeringan dan penyusutan bagian-bagian tubuh. Kulit menjadi kering, keras dan
menempel pada tulang kerangka. Mayat menjadi lebih tahan dari penbusukan
sehingga masih jelas menunjukkan ciri-ciri seseorang. Fenomena ini terjadi pada
daerah yang panas dan lembab, dimana mayat dikuburkan tidak begitu dalam
danangin yang panas selalu bertiup sehingga mempercapat penguapan cairan
tubuh. Jangka waktu yang diperlukan sehingga dapat terjadi mummifikasi
biasanya lama, biasamya dalam waktu tiga bulan atau lebih, mayat relatif masih
utuh, maka indentifikasi lebih mudah dilakukan. Begitu pula luka-luka pada tubuh
korban masih dapat dikenal.13
2.10. Embalming Modern
2.10.1. Definisi Embalming Modern
Metode modern embalming didefinisikan sebagai desinfeksi dan
pelestarian tubuh yang sudah mati. Proses embalming modern dirancang untuk
menghambat dekomposisi jaringan untuk periode waktu yang diperlukan
sebagaimana yang diinginkan oleh keluarga agar jenazah berada dalam kondisi
yang baik. Embalming modern telah terbukti mampu menjaga tubuh utuh selama
beberapa dekade.19
Embalming merupakan sebuah "fiksasi" kimia protein sel. Secara prinsip
formaldehida pada dasarnya bereaksi dengan albumin. Formaldehid larut dalam
sel dan mengkonversinya menjadi untuk albuminoids atau gel, pada saat yang
sama, bakteri dihancurkan, sehingga menghentikan atau setidaknya menunda
dekomposisi pada jenazah. Setelah embalming selesai, tubuh hanya dapat diserang
oleh udara yang membawa bakteri dan jamur yang pada akhirnya dapat
menghancurkan tubuh dengan terpapar udara dan kelembaban yang cukup untuk
mendukung hadirnya pertumbuhan bakteri dan jamur.19
Embalming modern dilakukan dengan menggunakan cairan embalming
yang bersifat disinfektan dan pengawet. Cairan embalming disuntikkan ke dalam
sistem peredaran darah tubuh dengan pompa listrik, sementara darah dikeluarkan
dari tubuh dan dibuang. Sehingga posisi darah di tubuh diganti dengan disinfektan
dan cairan pengawet.
2.10.2. Tujuan Embalming Modern
Terdapat beberapa tujuan dilakukannya embalming modern, yakni adalah
sebagai berikut:19
a. Desinfeksi
Saat seseorang meninggal, beberapa patogen akan ikut mati,
namun sebagian besar masih dapat bertahan hidup karena memiliki
kemampuan untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam
jaringan mati. Seseorang yang datang dan berkontak langsung dengan

tubuh jenazah yang tidak mengalami proses embalming dapat terinfeksi


serta ada kemungkinan menjadikan lalat atau agen lain dalam mentransfer
patogen untuk manusia dan menginfeksi mereka.
b. Pelestarian
Pelestarian, yaitu upaya pencegahan pembusukan dan dekomposisi
jenazah, sehingga jenazah dikuburkan, dikremasikan tanpa bau atau halhal yang tidak menyenangkan lainnya.
c. Restorasi
Restorasi, yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan tubuh
jenazah kembali seperti masih hidup

2.10.3. Proses Embalming Modern


Proses embalming dimulai dengan mencuci tubuh mayat secara
menyeluruh dan disinfeksi tubuh. Dilakukan penjahitan pada luka terbuka yang
ada. Daerah mulut, hidung, serta lubang lainnya dibersihkan dan ditutup untuk
mencegah ekskresi yang dapat menjadi sumber penyakit atau infeksi.
Bahan pengawet kimia kemudian disuntikkan ke dalam tubuh melalui satu
atau lebih arteri, sementara cairan tubuh dikeluarkan melalui pembuluh darah
yang sesuai (Arterial dan Cavity Embalming). Bahan pengawet kimia dapat
membunuh bakteri dan mengawetkan mayat dengan mengubah struktur fisik dari
protein tubuh, sehingga tidak dapat lagi berfungsi sebagai host untuk
pertumbuhan bakteri. Dengan demikian proses dekomposisi dapat dihambat dan
jenazah dapat diawetkan.3
a. Arterial Embalming
Arterial embalming melibatkan injeksi bahan kimia ke dalam pembuluh
darah, biasanya melalui arteri karotis dextra dan darah dikeluarkan dari
venajugularis. Bahan kimia disuntikkan melalui pompa mekanis atau
dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Pijatan embalmer pada mayat untuk
memastikan distribusi yang tepat dari cairan embalming. Dalam kasus
sirkulasi yang buruk, titik injeksi lain dapat digunakan, yaitu arteri iliaka
atau arteri femoralis, pembuluh darah subklavia atau aksila.

Gambar 2.5. Arterial


Embalming
b. Cavity Embalming
Cairan di dalam rongga tubuh mayat diaspirasi dan bahan kimia
diinjeksikan ke dalam rongga tubuh dengan menggunakan aspirator dan
trocar. Tocar yang berbentuk panjang, runcing, dan adanya tabung logam
yang melekat pada selang pengaspirasi disisipkan dekat dengan pusar.

Embalmer menggunakan itu untuk menusuk perut, kandung kemih, usus


besar, dan paru. Gas dan cairan tubuh diaspirasi yang kemudian rongga
tubuh diisi dengan bahan kimia yang mengandung formaldehid
terkonsentrasi.

Gambar 2.6. Cavity Embalming


c. Hypodermic Embalming
Hypodermic Embalming merupakan metode tambahan dimana injeksi
bahan kimia pengawet ke dalam jaringan dengan menggunakan jarum dan
suntik hipodermik yang biasanya digunakan pada kasus dimana area yang
tidak memiliki aliran arterial yang baik setelah dilakukan injeksi arteri.4
d. Surface Embalming
Surface Embalming merupakan metode tambahan yang menggunakan
bahan kimia pengawet untuk mengawetkan area langsung pada permukaan
kulit dan area superfisial lainnya dan juga area yang rusak, seperti pada
kecelakaan lalu lintas, penbusukan, pertumbuhan kanker, atau donor kulit.2
2.10.4. Kelebihan Embalming Modern
a) Jenazah Menjadi Lebih Wangi
Untuk menghindari bau yang tidak menyenangkan pada jenazah dan juga
untuk mendapatkan aroma yang wangi, maka dibutuhkan campuran
beberapa zat kimia, seperti campuran formaldehid dengan deodorant dan
juga pemberian aroma terapi.
b) Tidak Ditemukan Rigor Mortis Pada Jenazah
Rigor mortis terjadi karena serabut otot mengandung Actin dan Myosin
yang mempunyai sifat untuk berkontraksi dan relaksi dengan adanya suatu
konsentrasi dari ATP dan kalium chlorida. Kelenturan dapat dipertahankan
karenaadanya metabolisme sel yang menghasilkan energi. Energi ini untuk
mengubah ADP menjadi ATP. Selama ATP masih ada serabut aktin dan
miosin berkontraksi. Bila cadangan glikogen habis maka energi tidak
terbentuk sehingga aktin dan miosin otot berubah menjadi massa seperti
jeli yang kaku sehingga terjadi suatu rigiditas. Perubahan- perubahan
kimia juga terjadi di dalam otot-otot pada waktu yang sama seperti
meningkatnya asam laktat akibat proses glikogenolisis secara anaerob,
perubahan pH jaringan dan lain-lain.
Rigor mortis biasanya terjadi 2-4 jam sesudah kematian dan berlangsung
selama 36-72 jam. Rigor mortis akan mempengaruhi proses embalming.
Oleh karena itu, rigor mortis harus dihilangkan terlebih dahulu dengan
menetralkan pH atau merubah keadaannya menjadi alkali. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan memberikan senyawa berupa amonia. Dengan

10

pemberian amonia, asam laktat akan ternetralisir sehingga serat otot akan
kembali dapat berkontraksi dan proses pembusukan segera dimulai. Pada
kondisi seperti inilah proses embalming dapat dilakukan.
c) Hiperemis Atau Tidak Pucat
Untuk mendapatkan jenazah yang tidak pucat, maka dibutuhkan campuran
formaldehid dengan lanolin atau humektan.
2.11. Lamanya Embalming Dapat Bertahan
Embalming tidak melindungi tubuh manusia selamanya, namun hanya
menunda konsekuensi yang tak terelakkan dan proses kematian alami. Terdapat
beberapa variasi dalam tingkat dekomposisi, tergantung pada kekuatan bahan
kimia dan metode embalming yang digunakan serta suhu dan kelembapan udara
pada lokasi akhir dimana mayat dipreservasi.
Setelah mayat diawetkan, pemeliharaan rutin diperlukan untuk menjaga
mayat agar tampak sebagai manusia yang hidup. Mayat ditempatkan dalam kotak
kaca steril, dimonitor untuk menjaga suhu dan kelembaban.
Sebagai contoh, para ilmuwan telah mempertahankan tubuh Lenin dan
dipamerkan di Lapangan Merah Moskow sejak segera setelah kematiannya pada
tahun 1924. Dikatakan bahwa untuk untuk menjaga penampilannya, maka
larutanembalming yang berwarna merah muda di oleskan pada tangan dan wajah
dua kali seminggu
Proses Embalming juga harus dilakukan kembali setiap 18 bulan, sebuah proses
mengisi ulang cairan embalming diperlukan untuk melestarikan mayat. Tubuh
Lenin dilaporkan memiliki pompa khusus dipasang di rongga dada untuk
mempertahankan kelembaban udara yang tepat.

Gambar 2.7. Mayat Vladimir Lenin Yang Diawetkan


2.12. Kewenangan dan Kompetensi dalam Pengawetan Jenazah
Kewenangan dan kompetensi (knowledge and skill) proses pengawetan
jenazah diberikan kepada seorang dokter ahli forensik. Hal ini disebabkan karena
diperlukan pengetahuan kedokteran untuk menentukan terlebih dahulu kematian
yang terjadi, apakah termasuk pada kematian yang wajar atau tidak wajar sebelum
dilakukan proses pengawetan jenazah, serta teknik dan formula pengawetan yang
hanya dimiliki oleh seorang pengawet jenazah (embalmer) bersertifikasi atau
seorang ahli kedokteran forensik.
2.13. Embalming Ditinjau Dari Berbagai Aspek
2.13.1. Sudut Medikolegal
Dalam praktek sehari-hari seorang dokter mungkin diminta untuk
melakukan embalming. Embalming pada umumnya dilakukan untuk menghambat

11

pembusukan, membunuh kuman, serta mempertahankan bentuk mayat. Pada


prinsipnya embalming hanya boleh dilakukan oleh dokter pada mayat yang
meninggal secara wajar (natural death), sedangkan pada mayat yang meninggal
tidak wajar (akibat pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan) embalming baru
boleh dilakukan setelah proses pemeriksaan forensik selesai dilakukan.
Embalming sebelum otopsi dapat menyebabkan perubahan serta hilangnya
atau berubahnya beberapa fakta forensik. Dokter yang melakukan hal tersebut
dapat diancam hukuman karena melakukan tindak pidana menghilangkan barang
bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Bunyi pasal 233 KUHP adalah Barang siapa
dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai,
menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat
atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk
sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun
kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
Di Negara Inggris pengawetan jenazah dilakukan oleh orang yang
mempunya isertifikat sebagai embalmer setelah yang bersangkutan mengikuti
pendidikan selama 3 tahun. Di Indonesia, sampai saat ini tidak ada institusi
pendidikan yang khusus mendidik seorang untuk menjadi embalmer. Dalam
pendidikan S2, spesialisasi kedokteran forensik adalah satu-satunya program
pendidikan yang mencantumkan pelajaran mengenai pengawetan jenazah dalam
kurikulumnya. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan oleh orang yang mempunyai
keahlian dan kewenangan yaitu dokter spesialis forensik. Adapun alasannya
adalah sebagai beriku:14
A. Indonesia tidak menganut sistim koroner atau medical examiner yang bertugas
memilah kasus kematian wajar dan tidak wajar.
B. Embalmer di Indonesia, yang secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan
embalming pada kasus kematian tidak wajar sebelum dilakukan otopsi, dapat
menyebabkan terjadinya kesulitan penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak
pidana yang hilang atau berubah dan karenanya dapat dikenakan sanksi pidana
penghilangan benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Jika pada kasus ini
dilakukan juga gugatan perdata, maka pihak rumah duka pun dapat saja ikut
dilibatkan sebagai pihak tergugat
Dalam hal telah dilakukan embalming tanpa sertifikat dan hasilnya buruk
dan merugikan keluarga, maka pihak rumah duka sebagai pihak yang turut
memfasilitasi embalming tersebut dapat turut digugat secara perdata berdasarkan
pasal 1365KUHPer. Pasal 1365 KUHPer berbunyi Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut.
2.13.2. Pendidikan Anatomi
Pengawetan yang dilakukan untuk pendidikan kedokteran sedikit berbeda
dengan pengawetan jenazah untuk keperluan lain. Prioritas pertama adalah untuk
pelestarian jangka panjang bukan untuk presentasi atau tampilan. Pengawetan

12

medis menggunakan cairan yang mengandung formaldehid pengawetan dengan


terkonsentrasi (37-40%, yang dikenal sebagai formalin) atau gluteraldehyde
sertafenol dan dibuat tanpa pewarna atau parfum. Banyak perusahaan kimia
pengawetan membuat cairan khusus pengawetan anatomi.
Anatomi pengawetan dilakukan ke dalam sistem peredaran darah tertutup.
Cairan biasanya disuntikkan dengan mesin pengawetan ke arteri di bawah tekanan
tinggi untuk menjenuhkan jaringan. Setelah jenazah dibiarkan selama beberapa
jam, sistem vena umumnya dibuka dan cairan diperbolehkan untuk mengalir
keluar, meskipun pengawetan anatomi banyak yang tidak menggunakan teknik
drainase.
Pengawetan anatomis dapat menggunakan gravitasi-pakan pengawetan, di
mana wadah untuk mengeluarkan cairan pengawetan yang ditinggikan di atas
permukaan tubuh dan cairan dimasukkan secara perlahan selama beberapa jam,
kadang-kadang selama beberapa hari. Berbeda dengan pengawetan arteri standar,
drainase tidak terjadi dan tubuh mengalami distensi ekstensif dengan cairan.
Akhirnya untuk mengurangi distensi, seringkali dilakukan sampai enam bulan
pendinginan, sehingga didapatkan penampilan cukup normal. Tidak ada rongga
perawatan terpisah dari organ internal. Mayat anatomis diawetkan memiliki
pewarnaan abu-abu, akibat konsentrasi formaldehida yang tinggi bercampur
dengan darah dan kurangnya agen pewarnaan merah biasanya ditambahkan ke
standar, non-medis, cairan pengawetan. Formaldehida dicampur dengan darah
menyebabkan perubahan warna abu-abu juga dikenal sebagai "abu-abu
formaldehida" atau "embalmer abu-abu".
2.13.3. Sudut Pandang Agama
Terdapat banyak perbedaan pendapat antara agama yang berbeda
mengenai kebolehan pengawetan jenazah:
A. Sudut Pandang Agama Islam
Di masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah
larangan dilakukannya pengawetan karena agama Islam mewajibkan
jenazah untuk dikuburkan dalam waktu 24 jam dari kematian. Seorang
muslim percaya bahwa roh akan tetap berada di tubuhnya dari mulai
kematian sampai setelah pemakaman. Tetapi untuk kasus tertentu seperti
pendidikan, hukum embalming ini dapat menjadi mubah, dengan syarat
segera dikuburkan setelah urusan terhadap jenazah selesai.27
B. Sudut Pandang Agama Kristen
Sebagian besar tokoh agama Kristen mengatakan bahwa pengawetan dapat
dilakukan. Beberapa badan organisasi dalam Ortodoksi Timur mengatakan
untuk dilakukan pengawetan kecuali jika diwajibkan oleh hukum atau
keharusan lainnya, sedangkan yang lain mungkin mencegah, tetapi tidak
melarang juga untuk dilakukan untuk dilakukan pengawetan. Secara
umum keputusan untuk dilakukan pengawetan adalah salah satu
yangditentukan oleh keluarga jenazah dan kebijakan gereja tertentu.
C. Sudut Pandang Agama Buddha

13

Pengawetan jenazah tidak dilarang dalam ajaran agama Buddha.


Sehubungan jenazah akan dikremasikan maka pengawetan jenajah tidak
wajib untuk dilakukan.
D. Sudut Pandang Agama Hindu
Banyak pihak berwenang berpendapat bahwa Hinduisme tidak menerima
pengawetan. Dalam prakteknya, agama hindu tidak melarang keras untuk
dilakukan pengawetan, seperti pengawetan yang pernah terjadi pada tokoh
agamaHindu yang sangat dihormati, umumnya pengawetan ini dilakukan
untuk pemulangan ke India untuk dilakukan ritual keagamaan dan
keagamaan di rumah keluarganya sebelum kremasi akhir. Secara
tradisional, tubuh yang mati harus dikremasi sebelum matahari terbenam,
sehingga pengawetan bukanlah sesuatu yang umum atau luas untuk
dilakukan.
2.14. Embalming Di Beberapa Fakultas Kedokteran
Cara pengawetan mayat yang dilakukan di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yaitu melalui arteri fermoralis yang disebut cara yang
ikonvensional. Cara ini juga dilakukan pada Universitas Gajah Mada dan
Universitas Brawijaya di Jawa. Manakala di Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga (UNAIR) telah menggunakan peralatan yang modern yang berprinsip
sistem kompressi untuk memasukan formaralin ke dalam tubuh cadaver dengan
alat yang sederhana. Disini fornalin dimasukkan kedalam tuluh cadaver melalui
vena saphena magna. Vena saphena magna letaknya lebih superfisial daripada
formaralis sehingga dengan demikian untuk mencapai vena saphena magna adalah
jauh lebih gampang. Kemudian cadaver di simpan di dalam kantong plastik dan
bukan diremdam didalam formalin.
2.15 Sistem Pengangkutan Jenazah
Dalam Peraturan atau Undang-Undang yang Berkaitan dengan Transportasi
Jenazah Antar Negara KEPMENKES NOMOR 424/MENKES/SK/IV/20072
Tentang pedoman upaya kesehatan dalam rangka karantina kesehatan
Prosedur pengawasan pengangkutan jenazah
1. Pemberangkatan jenazah
a. syarat teknis
Jenazah harus disuntik dengan obat penahan busuk secukupnya yang
dinyatakan dengan keterangan dokter.
Jenazah harus dimasukkan kedalam peti yang terbuat dari logam
(timah, seng, dan sebagainya).
Alasnya ditutup dengan bahan yang menyerap umpamanya serbuk
gergaji/arang halus yang tebalnya 5 cm.
Peti logam ditutup rapat-rapat (air tight), lalu dimasukkan dalam peti
kayu yang tebalnya sekurang-kurangnya 3 cm, sehingga peti tidak
dapat bergerak didalamnya. Peti kayu ini dipaku dengan skrup dengan
jarak sepanjang-panjangnya 20 cm dan diperkuat dengan ban-ban
logam.

14

b. syarat administrasi
Harus ada proses verbal yang sah dari pamong praja setempat atau
polisi tentang pemetian jenazah tersebut.
Harus ada keterangan dokter yang menyatakan sebab kematian orang
itu bukan karena penyakit menular segala surat keterangan/dokumen
yang bersangkutan harus disertakan pada jenazah tersebut untuk
ditandatangani oleh dokter KKP.
2. Kedatangan jenazah
a. syarat teknis
Jenazah telah dimasukkan dalam peti sesuai prosedur yang berlaku
Apabila tidak sesuai dengan ketentuan tersebut diatas dapat dilakukan
pemeriksaan ulang bersama instansi terkait (bea cukai, kepolisian).
b. syarat administrasi
Meninggal bukan karena penyakit karantina/penyakit menular
tertentu, dilengkapi dengan surat keterangan kematian dari dokter atau
rumah sakit yang berwenang.
Telah dilengkapi proses verbal yang sah dari pamong praja setempat
atau polisi tentang pemetian jenazah tersebut
Mekanisme Transportasi Jenazah Antar Negara
Prosedur Pengiriman Jenazah ke Indonesia
Prosedur pengurusan pengiriman jenazah ke Indonesia cukup sulit karena dalam
waktu singkat (2 atau 3 hari, dibatasi waktu yang diizinkan menyimpan jenazah di
RS), harus melakukan koordinasi dengan :
1. Rumah Sakit (mengenai penyimpanan sementara jenazah)
2. KBRI/Konjen sebagai wakil pemerintah RI (mengenai pengesahan
dokumen dan terjemahannya)
3. Ward Office atau City Hall sebagai wakil pemerintah asal
4. Perusahaan peti jenazah
5. Perusahaan Penerbangan (Jika dibawa dengan pesawat terbang)
Prosedur pengurusannya adalah :
1. Pihak RS akan menerbitkan maupun surat kematian.
2. Pengesahan surat kematian oleh pemerintahan kota setempat, dan
keterangan lokasi pemakaman : bahwa jenazah akan dibawa ke Indonesia
untuk dimakamkan di sana.
3. Pengawetan jenazah yang lazim dalam pengiriman via pesawat udara adalah
memakai es kering (dry ice).
4. Kontak ke perusahaan peti jenazah, dan penerbitan surat keterangan mengenai
: ukuran peti jenazah, cara pengawetan jenazah (misalnya apakah memakai
formalin, ataukah es kering). Juga menerbitkan surat keterangan bahwa peti
tersebut berisi jenazah.
5. KBRI/Konjen berdasarkan surat-surat di atas, akan menerbitkan surat
pengantar perjalanan resmi.
6. Dokumen maupun terjemahan yang telah disahkan oleh KBRI atau Konsulat
Jenderal tersebut akan dipakai untuk mengurus pengiriman jenazah ke

15

Indonesia ke perusahaan penerbangan. Istilah baku untuk jenazah dalam


pengiriman via pesawat adalah "human remains".

Legalisasi Akte kematian


Jika ada WNI yang meninggal dan jenazahnya akan dikirim ke tanah air, perlu
dilakukan Legalisasi akte kematian dan dokumen Repatriasi jenazah oleh KBRI.
Dokumen dokumen yang dilegalisir adalah :
1. Akte kematian dari kantor registrasi kematian Negara setempat
2. Dokumen ekspor
3. Sertifikat pengawetan jenazah
4. Sertifikat peti kemas
Pada saat yang sama, KBRI akan membatalkan paspor almarhum atau
almarhumah sebelum jenazah direpatriasi ke tanah air.

16

Anda mungkin juga menyukai