Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I. ASFIKSIA
A. Pengertian
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia
sering disebut anoksia atau hipoksia.
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron yang
memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan
bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.
B. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan
seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
C. Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
-

Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.

Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.

2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)


Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya
kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi
sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
-

Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.

Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.

Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O 2
oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

D. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)
2. Sufokasi
2

3. Pembekapan (Smothering)
4. Tenggelam (Drowning)
E. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada
sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati
pada:

Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).

Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.

Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic


asphyxia).

Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,


misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

F.

Darah
menjadi
encer

Relaksas
i
ASFIK
Sfingter
SIA
Tekanan
Dilatasi
Oksigen
Kapiler
& Darah
Stasis
Turun
Sianosis
Kapiler

Fibrinoli
sis

Tak
Sadar

Tenaga
Otot
Menuru
Bendung
n
an
Kongesti Kapiler Tekanan
Visceral
Intrakapi
ler
meningk
at

Urin,
Feses,
Cairan
Sperma
Kerusak
Keluar
an
Dinding
Kapiler
Peningk
dan
atan
Lapisan
Permeab
ilitas
Tardie
Kapiler
Spot &
Oedema

Darah
Berwarn
a Ungu
Lebam
Mayat
Ungu
Ruptur
Pembuluh
Kapiler
SKEMA PATOFISIOLOGI
ASFIKSIA

Gejala Klinis
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan
pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude
dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah
cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan
ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat
sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak,
akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.
3. Fase Apnea
4

Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan


menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya
pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan
terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja
secara mendadak.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah
berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4 menit,
tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

Lingkaran Setan Asfiksia

G. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat


asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat
dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari
pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum.

Tardieus spot

Bintik perdarahan pada jantung

2. Kongesti dan Oedema


Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
6

hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia
H. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)


4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.

6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah


konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan
yang dinamakan sebagai Tardieus spot.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah subglotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
II. GANTUNG (HANGING)
A. Definisi
Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan
tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu
bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau
sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh
sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga
daerah tersebut mengalami tekanan.
B. Klasifikasi Gantung
8

1.

Berdasarkan Titik Gantung:


a. Penggantungan tipikal
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri
karotis paling besar.
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan.

2.

Berdasarkan Posisi Tubuh


a. Penggantungan Lengkap
Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh
berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri dengan kaki
mengambang dari lantai
b. Penggantungan Parsial
Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh
tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang
tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat badan
tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial.

C. Cara Kematian Pada Kasus Gantung:


Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah:
1. Bunuh diri
2. Pembunuhan
3. Kecelakaan
D. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban sebagian
atau seluruh beban tubuh di leher diantaranya adalah:

1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Apopleksia
9

Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darahotak
dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi
3. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah
arteri (oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar
dibawah menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri
dengan gantung.
4. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang
menyebabkan henti jantung.
5. Fraktur atau Dislokasi vertebra servikalis.
Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada hukuman gantung. Fraktur atau
dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang,
kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka
akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan
medulla oblongata dan mengakibatkan tehentinya pernafasan. Yang biasa terkena
fraktur adalah vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.
E. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung
1.

Pemeriksaan Luar Pada Jenazah

a. Tanda Penjeratan Pada Leher

Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan
semakin jelas dan dalam

Bentuk jeratan berjalan miring.

Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan kiring (oblique)
pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas antara kartilago tiroid
dengandagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju
belakang telinga Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging)
berbentuk lingkaran (V shape). Ciri-ciri jejas sebagai berikut :

Alur jeratan pucat.

Tepi alur jerat coklat kemerahan.

Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.


10

Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat
berbatas

tegas

dan

tidak

terdapat

tanda-tanda

abrasif.Jumlah

tanda

penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan.
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Kedalaman Bekas Jeratan
Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung.
c. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus
penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol keluar, perdarahan berupa
petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva. Jika didapatkan lidah terjulur maka
menunjukan adanya penekanan pada bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago
thyroida.
Tardieu spot pada Gantung diri.
Tardieu spot diakibatkan pecahnya
kapiler-kapiler pada kaki
Source: Color Atlas of Forensic
Pathology

d. Lebam Mayat
Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam mayat
terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat genitalia distal

11

Kasus Gantung Diri


Lebam pada gantung diri terkonsentrasi pada daerah ekstemitas
e.
Sekresi

Urin

dan
Feses
Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian asfiksia. Pada
stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak napas menjadi
sangat lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter
fungsieksresi hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.
2. Pemeriksaan Dalam Pada Jenazah
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia

Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah

Kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak

Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.

c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot


d. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih
banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
e. Pada pemeriksaan paru-paru serig ditemui edema paru.
f. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
g. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas
Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung
secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.
12

F. Aspek Medikolegal
Perbedaan
Usia

1.

Penggantungan Bunuh Diri


Penggantungan Pembunuhan
Lebih sering terjadi pada remaja Tidak mengenal batasan usia
dan dewasa

2.

Jejas Jerat

Bentuk miring berupa lingkaran Lingkaran


terputus

3.

Simpul Tali

tidak

terputus,

mendatar, letak di tengah leher

Biasanya satu simpul pada bagian Simpul tali lebih dari satu dan
samping leher. Simpul biasanya terikat kuat
simpul hidup

4.
5.

Riwayat

Korban

mempunyai

Korban

bunuh diri dengan cara lain

Cedera

Tidak

terdapat

riwayat Korban tidak mempunyai riwayat


upaya bunuh diri

luka

yang Terdapat

luka-luka

yang

menyebabkan kematian dan tidak mengarah ke pembunuhan


terdapat tanda-tanda perlawanan
Dapat ditemukan racun dalam
6.

Racun

lambung korban, seperti arsen, Dapat

terdapat

racun

berupa

sublimat, korosif. Rasa nyeri opium, kalium sianida. Racun ini


mendorong korban melakukan tidak menyebabkan efek kemauan
7.

Tangan

gantung diri

bunuh diri

Tidak dalam keadaan terikat

Tangan terikat mengarah k kasus


pembunuhan

8.

Kemudahan

Tempat

kejadian

ditemukan
9.

mudah Korban biasa digantung di tempat


yang sulit ditemukan

Tempat

Jika tempat kejadian merupakan Bila

kejadian

tempat

yang

tertutup,

sebaliknya

atau terkunci

dari

ditemukan
luar

maka

didapatkan ruangan dengan pintu penggantungan biasanya kasus


terkunci makan dugaan bunih diri pembunuhan
adalah kuat
10.

Lingkar tali

Jika lingkar tali dapat keluar Jika lingkar tali tidak dapat keluar
melewati kepala, maka dicurigain melewati kepala, maka dicurigai
bunuh diri

peristiwa pembunuhan

G. Perbedaan Penggantungan Antemortem dengan Postmortem


No

Penggantungan Antemortem

Penggantungan Postmortem
13

1.

Tanda jejas jerat berupa lingkaran Tanda jejas jerat biasanya berbentuk utuh
terputus (non continous) dan letaknya (continous), agak sirkuler dan letaknya pada
pada leher bagian atas

2.

bagian leher tidak begitu tinggi

Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali lebih dari satu biasanya lebih
pada sisi leher

dari satu, diikatkan dengan kuat dan


diletakan pada bagian depan leher

3.

Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis


sisi dari jejas penjeratan.

4.

pada

salah

satu

sisi

jejas

penjeratan tidak ada atau tidak jelas.

Lebam mayat tampak diatas jejas jerat Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh
dan pada tungkai bawah

yang menggantung sesuai dengan posisi


mayat setelah meninggal

5.

Pada kulit ditempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
teraba seperti kertas perkamen yaitu jelas
tanda parchmentisasi

6.

Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dll Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga,
sangat

jelas

terlihat

terutama jika dll, tergantung dari penyebab kematian

kematian karena asfiksia


7.

Wajah

membengkak

dan

mata Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga,

mengalami kongesti dan agak menonjol, dll, tergantung dari penyebab kematian
disertai dengan gambaran pembuluh
darah vena yang jelas pada bagian
kening dan dahi
8.

Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali

9.

pencekikan

Ereksi penis disertai dengan keluarnya Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada.
cairan sperma
korban

pria.

sering terjadi
Sering

pada Pengeluaran feses juga tidak ada

ditemukan

keluarnya feses
10.

Air liur ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan yang menetes pada
mulut,

dengan

arah

yang

vertikal kasus selain kasus penggantungan

menuju dada.

III.

PENJERATAN (STRANGULATION BY LIGATURE)


14

A. Definisi
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen,
kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama
makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya
merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya adalah kasus pembunuhan.
Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan
dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan
tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering
disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir
selalu melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan
thyroid.
B. Mekanisme kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu :
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri
(oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung.
3. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti
jantung.
C. Cara kematian pada kasus jerat
Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah:
1. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita jumpai pada
kejadianinfanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat,
dan hukuman mati(zaman dahulu).
2. Kecelakaan

15

Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita temukan pada
bayi yangterjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal
reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau
3. Bunuh diri.
Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan dengan cara
melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik.
Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat
tersebut
D. Gambaran Post Mortem Penjeratan
1. Pemeriksaan Luar Jenazah
Pada pemeriksaan luar hasil gantung diri didapatkan:
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
-

Tanda penjeratan jelas dan dalamSemakin kecil tali maka tanda penjeratan
semakin jelas dan dalam

Bentuk jeratan berjalan mendatar/horizontal


Alur jeratan pada leher korban berbentuk lingkaran. Alur jerat biasa disertai luka
lecet atau luka memar disekitar jejas yang terjadi karena korban berusaha
membuka jeratan tersebut.

Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat

Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat
berbatas

tegas

dan

tidak

terdapat

tanda-tanda

abrasif.Jumlah

tanda

penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan.
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas.
c. Lebam Mayat
Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban setelah mati.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
16

Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan :


a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia

Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah,

Terdapat buih halus di mulut

Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.

c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot


a. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini
lebih sering dihubungkan dengan tindak kekerasan.
d. Pada pemeriksaan paru-paru sering ditemui edema paru.
e. Jarang terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
E. Aspek Medikolegal
Perbedaan kasus gantung dan kasus jerat
Kasus Gantung
(bunuh diri)
Simpul hidup

Simpul

Simpul

dapat

Kasus Jerat
(pembunuhan)
Simpul mati

dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui

melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat)


kuat)
Jumlah lilitan penjerat

Bisa lebih dari 1 lilitan

Biasanya 1 buah lilitan

Arah

Serong ke atas

Mendatar/horizontal

Jarak

titik

tumpu- Jauh

Dekat

simpul

Berbentuk

Lokasi jejas

terputus)
Lebih tinggi

Lebih rendah

Jejas jerat

Meninggi ke arah simpul

Mendatar

Luka perlawanan

Luka lain-lain

Biasanya

Karakteristik simpul

terdapat luka percobaan lain


Jejas simpul jarang terlihat

Terlihat jejas simpul

Simpul hidup

Simpul

ada,

(lingkaran Berbentuk lingkaran penuh

mungkin Ada, sering di daerah leher

17

Simpul

dapat

dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui

melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat)


kuat)
Lebam mayat
Lokasi

Pada bagian bawah tubuh


Tersembunyi

Tergantung posisi tubuh korban


Bervariasi

Kondisi

Teratur

Tidak teratur

Pakaian

Rapi dan baik

Tidak teratur, robek

Ruangan

Terkunci dari dalam

Tidak teratur, terkunci dari luar

IV.

PENCEKIKAN
A. Definisi
Pencekikan adalah penekanan pada leher dengan tangan atau lengan bawah, yang

menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran
nafas sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat.
B. Mekanisme Kematian
1. Asfiksia
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal.
Gejala asfiksia :
a. Fase dyspnea :
-

Frekuensi nadi meningkat

Frekuensi nafas meningkat

Suhu tubuh meningkat

Tanda sianosis

b. Fase konvulsi
c. Fase apneu :
-

Frekuensi nafas meningkat

Kesadaran menurun

Relaksasi sfingter

d. Fase akhir : Nafas berhenti.


2. Refleks vagal

18

Reflek vagal menyebabkan kematian segera (immediate death), hal ini dikaitkan
dengan terminologi sudden cardiac arrest. Reflek vagal dimungkinkan bila leher
terkena trauma.
Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada corpus
caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna yang akan
menimbulkan bradikardi dan hipotensi. Refleks vagal ini jarang terjadi.
Jika mekanisme kematian adalah asfiksia, maka ditemukan tanda-tanda asfiksia.
Tetapi jika mekanisme kematian adalah refleks vagal, tidak didapatkan tanda-tanda
asfiksia.
3. Cara Kematian
Terdapat 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu pembunuhan dan kecelakaan
yang biasanya mati karena vagal reflex. Selain itu, terdapat 3 cara melakukan pencekikan
(manual strangulasi), yaitu :
a. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
b. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
c. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka ini
disebut mugging.
C. Gambaran Post Mortem Pencekikan
1. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala karena turut
tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan arteri vertebralis tidak
terganggu. Pemeriksaan luar dari otopsi kasus pencekikan (manual strangulasi), terdapat 3
hal penting yang harus diperhatikan, antara lain :
a. Tanda asfiksia

Sianosis

Lebam merah kebiruan gelap

Lebam terbentuk lebih cepat

Distribusi lebam lebih luas

Darah sukar membeku.

b. Tanda kekerasan pada leher

Luka memar pada kulit di leher


19

Bekas tekanan jari

Bekas kuku

Sidik jari

Tangan yang digunakan

Arah pencekikan

c. Tanda kekerasan pada tempat lain yang dapat menunjukkan bahwa korban melakukan
perlawanan.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
a. Perdarahan atau resapan darah pada otot-otot di leher tiroid, kelenjar ludah, serta
mukosa dan submukosa faring atau laring.
Pencekikan Terdapat
pendarahan pada lidah
akibat pencekikan
Source: Color Atlas of Forensic
Pathology

b. Fraktur, yang paling sering ditemukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea
c. Memar atau robekan membrane hipotiroidea
d. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging. Perdarahan
atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah, dan mukosa
& submukosa pharing atau laring. Fraktur yang paling sering kitatemukan pada os
hyoid. Fraktur lain pada kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dantrakea
e. Tanda Asfiksia :

Darah lebih gelap & lebih encer

Busa dalam saluran pernafasan

Organ tubuh lebih berat, lebih gelap, pada pengirisan banyak keluar darah

d. Petekie pada :

mukosa usus halus

20

epikardium daerah aurikuloventrikular

subpleura viseralis paru terutama pars diafragmatika dan fisura interlobaris

kulit kepala sebelah dalam terutama daerah temporal

e. Edema paru
V. SUFOKASI
Peristiwa sufokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai,
seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan
banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang
yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya
ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada
peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO 2, hawa panas
dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung.
VI.

PEMBEKAPAN
A. Definisi
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam

mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung
dengan menggunakan kantong plastik. Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau
seluruhnya, dimana yang terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang
dibekap masih mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari rongga
hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati
lemas, dimana pada pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses
pernafasan tidak dapat berlangsung.
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah, orang dewasa
yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang terjadi karena
Pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar terdapat di mulut, hidung, dan
daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar dan robekan pada bibir, khususnya bibir
bagian dalam yang berhadapan dengan gigi.
B. Cara Kematian
Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :
21

1. Bunuh diri (suicide)


Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada
penderita penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk, yaitu Dengan
membenamkan wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan bantal, pakaian, yang
diikatkan menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan menggunakan plester yang
menutupi hidung dan mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau
selimut. Selain itu juga dapat terjadi kecelakaan dimana seorang anak yang tidur
berdampingan dengan orangtuanya dan secara tidak sengaja orangtuanya menindih si
anak sehingga tidak dapat bernafas. Keadaan ini disebut overlying. Pada anak-anak dan
dewasa muda bisa terjadi kecelakaan terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan
sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantong plastik. Orang dewasa yang
terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh,
sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
3. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya
terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang sakit berat, orang dalam
pengaruh obat atau minuman keras.
Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan dengan cara hidung
dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang dibekapkan pada
hidung dan mulut.
Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan bersamaan dengan
menindih atau menduduki dada korban. Keadaan ini dinamakan burking.

C. Gambaran Post Mortem Pembekapan


1. Pemeriksaan Luar Jenazah

22

a. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan
dan kekuatan menekan.
b. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi,
yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
c. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat
bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat
mengalami memar atau cedera.
d. Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada
pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan.

Memar

atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam. Pada pembekapan dengan
mempergunakan bantal, bila tekanan yang dipergunakan cukup besar, dan orang
yang dibekap kebetulan memakai gincu (lipstick), maka pada bantal tersebut akan
tercetak bentuk bibir yang bergincu tadi, yang tidak jarang sampai merembes ke
bagian yang lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri. Pada anak-anak oleh karena
tenaga untuk melakukan pembekapan tersebut tidak terlalu besar, kelainan biasanya
minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau memar pada bibir bagian dalam yang
berhadapan dengan gigi dan rahang.
e. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain menekan
kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus pencekikan dengan
satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar pada otot leher bagian
belakang, yang untuk membuktikannya kadang-kadang harus dilakukan sayatan
untuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang menutupi
daerah tersebut. Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban.
f. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun
pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku
korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
a. Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena
cepatnya proses kematian
23

b. Kongesti (pembendungan yang sistemik)


Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan
merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan
banyak darah.
c. Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada kematian
yang berhubungan dengan hipoksia.
d. Perdarahan Berbintik (Petechial haemorrhages)
Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura visceralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit

kepala sebelah dalam

terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis. 16


e. Bisa juga didapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.
D. Gambaran Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopik sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi intravitalitas
yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini penting untuk
membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi
vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie dan emboli.
Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan dimana
oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida.
Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat meminimalisir diagnosis banding
dari beberapa kasus kematian yang disebabkan karena asfiksia.
VII.

TERSEDAK ( CHOKING DAN GAGGING )

A. Definisi
Sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengakibatkan hambatan udara masuk ke
paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking
sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring.

B. Mekanisme Kematian

24

Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat
ransangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja
jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.
C. Cara Kematian
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1. Bunuh diri ( suicide ). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan benda
asing ke dalam mulut sendiri disebabjan adanya refleks batuk atau muntah. Umumnya
korban adalah penderita sakit mental atau tahanan.
2. Pembunuhan ( homicodal choking ). Umumnya korban adalah bayi, orang dengan
fisik lemah atau tidak berdaya.
3. Kecelakaan ( accidental choking ). Pada bolus death yang terjadi bila tertawa atau
menangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam saluran pernapasan.
Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang kemudian masuk ke dalam
saluran pernapasan.
D. Gambaran Post Mortem Tersedak
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan
luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut ( orofaring atau laringofaring )
ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan
pernah ditemukan arang, batu dan lain-lainnya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari
kemungkinan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing.
VIII. TENGGELAM (Drowning)
A. Definisi
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas (asfiksia)
disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Istilah tenggelam harus pula
mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan
kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa.
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air.
Asalkan lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal itu sudah cukup
memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut maka
peristiwa tenggelam tidak hanya dapat terjadi di laut atau sungai tetapi dapat juga terjadi di

25

dalam wastafel atau ember berisi air.

(buku UNDIP)

Pada mayat yang ditemukan terbenam dalam

air, perlu pula diingat bahwa mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk kedalam air.
Perlu diketahui bahwa jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru
adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30 sampai 40 mililiter untuk bayi.
B. Jenis-Jenis Tenggelam
Jenis-jenis tenggelam antara lain: (buku UI)
1. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam.
2. Dry drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk kedalam saluran pernapasan, akibat spasme
laring.
3. Secondary drowning
Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air)
dan korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal.
Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
C. Sebab Kematian
Kematian yang terjadi pada peristiwa tenggelam dapat disebabkan diantaranya oleh:
1. Vagal Reflex
Peristiwa tenggelam yang mengakibatkan kematian karena vagal reflex disebut
tenggelam tipe I.
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post-mortem tidak ditemukan
adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya sehingga sering disebut
tenggelam kering (dry drowning).
2. Spasme Laring
Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali terjadi.
Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring. Pada
pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya
tidak didapati adanya air atau benda-benda air. Tenggelam jenis ini juga disebut
tenggelam tipe I.

26

3. Pengaruh air yang masuk paru-paru


a. Tenggelam di air tawar
Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai
gangguan elektrolit.
Pada keadaan ini terjadi absorbsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit
dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka akan terjadi
hemodilusi darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan
pecahnya sel darah merah (hemolisis). Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh
mencoba mengatasi keadaan ini dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot
jantung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma meningkat (hiperkalemi), terjadi
perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jantung dan dapat
mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian
menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu
5 menit.
Pemeriksaan post mortem ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung
kanan lebih tinggi dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paruparu. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II A.
b. Tenggelam di air asin
Pada peristiwa tenggelam di air asin akan mengakibatkan terjadinya anoksia dan
hemokonsentrasi. Tidak terjadi gangguan keseimbangan elektrolit.
Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga
air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringgan intertisial paru yang akan
menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar
magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi
lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung.
Pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl
pada jantung kiri lebih tinggi daripada janung kanan dan ditemukan buih serta bendabenda air.
Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II B. Kematian terjadi kira-kira dalam
waktu 8-9 menit setelah tenggelam (lebih lambat dibandingkan dengan tenggelam tipe
IIA).

27

D. Cara Kematian
Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena:
1. Kecelakaan
Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena korban jatuh ke laut,
danau atau sungai. Pada anak-anak keclakaan sering terjadi di kolam renang atau
galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab kecelakaan itu
antara lain karena mabuk atau mendapat serangan epilepsi.
2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali terjadi.
Kadang-kadang tubuh pelaku diikat dengan benda pemberat agar supaya tubuh dapat
tenggelam. Bukan pekerjaan yang mudah untuk membedakan tenggelam karena bunih
diri dengan pembunuhan.
3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan, seperti misalnya melemparkan korban ke laut atau
memasukan kepalanya ke dalam bak berisi air. Dari segi patologik saja sulit dapat
membedakan apakah peristiwa tenggelam itu akibat pembunuhan atau bunuh diri.
Pemeriksaan di tempat kejadian dapat membantu. Jika benar karena pembunuhan perlu
diteliti apakah korban di tenggelamkan kedalam air ketika ia masih hidup atau sesudah
dibunuh lebih dahulu dengan cara lain.
E. Pemeriksaan Post Mortem
Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar
mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam
keadaan membusuk.
Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah:
1. Menentukan identitas korban
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain:
o Pakaian dan benda-benda milik korban
o Warna dan distribusi rambut dan identitas lain
o Kelainana atau deformitas dan jaringan parut
o Sidik jari
o Pemeriksaan gigi
o Teknik identifikasi lain
28

2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam


Pada mayat masih segar, untuk menentukan apakah korban masih hidup atau
sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari hasil pemeriksaan :
a. Metode yang memuaskan untuk menentukan apakah orang masih hidup waktu
tenggelam adalah pemeriksaan diatom
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar elektrolit
magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai
membusuk. Demikian juga dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara
fisika dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban tenggelam mepunyai
nilai bermakna.
e. Pada beberapa kasus ditemukannya kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan
bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam air.
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning
Pada mayat yang segar, gambaran pasca kematian dapat menunjukkan tipe
drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau
kekerasan lain.
4. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian
Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian misanya kekerasan, obatobatan, alkohol dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau melalui bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam saluran
nafas, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan dapat membantu
menentukan apakah korban tenggelam ditempat itu atau tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian

Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu masuk ke air,
maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke
dalam saluran pernafasan. Pada immersion, kematian terjadi dengan cepat, hal
ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada waktu
cairan melalui saluran nafas bagian atas. Beberapa korban yang terjun dengan

29

kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke


hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang
keracunan alkohol.

Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung berarti kematian terjadi
seketika akibat spasme glottis yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk.

Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari keadaan
sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi perorangan yang bersangkutan,
keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran
pernapasan.
Korban tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama makin banyak,
kemudian menjadi tidak sadar dalam waktu 2-12 menit (fatal periode). Dalam periode ini bila
orban dikeluarkan dari air, ada kemungkinan masih dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.
F. Gambaran Post Mortem Kasus Tenggelam
Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan bendabenda asing lain yang terdapat dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam dalam
air.
b. Busa halus pada hidung dan mulut, kadang-kadang berdarah.
c. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang
pendarahan atau perbendungan.

Cutis anserina

d. Kutis anserina pada kulit permukaan anterior


tubuh

terutama

pada

ekstremitas

akibat

kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi


karena rangsang dinginnya air. Gambaran kutis
anserina kadangkala dapat juga akibat rigor
mortis pada otot tersebut.
e. Washer womans hand dimana telapak tangan
dan kaki berwarna keputihan dan berkeriput yang disebabkan karena imbibisi
cairan ke dalam kutis dan biasanya membutuhkan waktu lama.
Washer womans hand

30

f. Cadaveric spasme, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban
berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja seperti rumput atau
benda-benda lain dalam air.
g. Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan pada
benda-benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur dasar waktu
terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post mortal akibat benda-benda atau
binatang dalam air.

Cadaveric spame

Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam saluran
pernafasan.
b. Paru-paru mebesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama terjadi
pada kasus tenggelam di laut.
c. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit diantara septum interalveolar.
Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak Paltauf akibat
robeknya penyekat alveoli (Polsin).
d. Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini bukan merupakan
tanda khas tenggelam tetapi mungkin disebabkan oleh usaha respirasi.
e. Dapat juga ditemukan paru-paru yang normal karena cairan tidak masuk ke
dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah 9melalui proses
imbibisi), ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar.
f. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan
g. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan mungkin juga terdapat
dalam usus halus.
G. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Diatom.
Alga/ ganggang bersel satu dngan dinding terdiri dari silikat yang tahan panas
dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawat, alut, sungai, sumur.
Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatom masuk ke
dalam saluran nafas atau pencernaan, kemudian diatom akan masuk ke dalam
aliran darah melalui kerusakkan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup
31

dan tesebar ke seluruh jaringan. Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru
mayat segar. Bila mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari
jaringan ginjal, otot skelet, sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati
dan limpa kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal saluran
pencernaan terhadap makanan dan minuman.
Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan diatom cukup
banyak : 4-5/ LPB atau 10-20 per satuan sediaan, atau pada sumsum tulang cukup
ditemukan satu
2. Pemeriksaan Diatom dapat dilakukan dengan pemeriksaan destruksi pada paru
dan pemeriksaan getah paru.
3. Pemeriksaan Darah Jantung. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada
darah yng berasal dari bilik jantung kiri dan bilik jantung kanan. Bila tenggelam di
air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah
dari jantung kanan sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya.
Perbedaan kadar elektrolit lebih rendah dari 10% dapat menyokong diagnosis.
4. Pemeriksaan mikroskopik jaringan
5. Pemeriksaan keracunan
H. Diagnosis Tenggelam
Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukkan), maka diagnosis kematian
akibat tenggelam dapat dengan mudah ditegakkan melalui pemeriksaan yang teliti dari:
-

Pemeriksaan luar,

Pemeriksaan dalam,

Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi jaringan dan berat


jenis serta kadar elektrolit darah.
Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam dibuat

berdasarkan adanya diatom yang cukup banyak pada paru-paru yang bila disokong oleh
penemuan diatom pada ginjal, otot skelet atau sumsum tulang, maka diagnosis akan
menjadi makin pasti.

32

BAB III
KESIMPULAN

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang disertai dengan peningkatan
karbon dioksida. Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi
kematian.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya
pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam (drowning).
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase,
yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul
sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase
dispneu dan fase konvulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalanhan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tandatanda asfiksia akan lbih jelas.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata
berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase
konvulsi.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah
berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan
sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih
gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit
kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan
dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring
terutama yang berhubungan dengan kekerasan.

33

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
2. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang: 2000.
3. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan,
2007.
5. Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik Kasus
Tindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2009.
6. Mohan S. Dharma, Dkk., Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi
Forensik

FK,

2008,

Tersedia

di:

http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-dengantoksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf., Diakses pada tanggal 05 Januari 2012.


7. Bionity Team. Asphyxia. 2009.
http://www.bionity.com/en/encyclopedia/Asphyxia.html. Diakses Pada Tanggal 05
Januari 2012.

34

Anda mungkin juga menyukai