Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Organofosfat (OP) diperkenalkan pada tahun 1854 tetapi toksisitasnya tidak
diketahui sampai pada tahun 1931. Yang pertama insektisida organofosfat adalah
tetraetil pirofosfat (TEPP). Ini dikembangkan di Jerman sebagai pengganti
nikotin, yang dalam persediaan sedikit selama perang dunia kedua. Terkait
senyawa yang sangat beracun seperti Tabun dan Sarin dirahasiakan sebagai agen
perang kimia gas saraf. Sejak Schrader mensintesis parathion pada 1944, senyawa
organofosfat telah berkembang menjadi kelompok pestisida terbesar dan paling
serbaguna yang digunakan pada hari ini. Parathion memiliki perbedaan
keberadaan yang meragukan pestisida yang paling sering terlibat pada keracunan
fatal. Insektisida yang paling sering terlibat dalam keracunan pada manusia dan
senyawa organofosfat yang paling sering menjadi agen penyebabnya.1
Di India, organofosfat sebagai pestisida diperkenalkan pada 1960 dan
toksisitasnya diperkenalkan pertama kali dilaporkan pada 1962. Senyawa
organofosfat tidak diragukan lagi berkontribusi pada peningkatan hasil produk
pertanian dan juga dalam pengendalian vector penyakit tertentu seperti malaria.
Sayangnya mereka juga penting dalam penyebab bunuh diri dan keracunan yang
tidak disengaja. Senyawa organofosfat banyak digunakan dalam pertanian dalam
bentuk persiapan melindungi tanaman, racun yang kuat dan sumber keracunan.
Keracunan lebih banyak di negara terbelakang dibanding negara maju dan
pemahaman yang lengkap tentang hal ini penting untuk dokter yang bertugas di
Instalasi Gawat Darurat.1
Senyawa organofosfat berhubungan dengan masalah kesehatan masyarakat
yang penting. Upaya bunuh diri meningkat, dengan meningkatnya penggunaan
pestisida dalam pertanian. Pekerja pertanian serta mereka yang terlibat dalam
prosesnya berisiko tinggi mengalami keracunan. Organofosfat jarang digunakan

1
pembunuhan menggunakan racun. Penggunaan senyawa organofosfat sebagai
agen gas saraf telah dilarang oleh konvensi Jenewa pada 1974 sebagai bagian dari
larangan perang kimia yang lebih besar. Namun demikian, pengggunaan sporadis
dalam peperangan dan kejahatan teroris masih terus berlanjut. Paparan terhadap
organofosfat sebagai agen gas saraf telah terlibat sebagai faktor penyebab untuk “
Gulf War Syndrome” yang telah diamati pada veteran perang teluk.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Racun
2.1.1 Pengertian Racun
Racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan minimal),
apabila masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya
reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar dan dapat menyebabkan sakit, bahkan
kematian. Definisi lain dari racun adalah substansi yang, tanpa kekuatan
mekanis, bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan
gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian. Bila dua definisi tersebut
digabungkan akan menjadi racun adalah subtansi kimia, yang dalam jumlah
relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, dapat
menimbulkan efek yang cukup besar,dapat menyebabkan sakit, bahkan dapat
berakhir dengan kematian.2
Pengertian racun menurut Taylor : Setiap bahan atau zat yang dalam jumlah
relatif kecil, bila masuk ke dalam tubuh, akan menimulkan reaksi kimiawi yang
akan menyebabkan penyakit atau kematian.2
2.1.2 Jalan Masuk Racun
Racun dapat masuk ke dalam tubuh seseorang melalui beberapa cara, yaitu :2
a.Melalui mulut (peroral/ingesti) pada saat makan atau minum
b.Melaui saluran pernapasan (inhalasi) pada saat seseorang bernapas di
lingkungan udara yang beracun
cMelalui suntikan (parenteral,injeksi)
d.Melalui kulit yang sehat/intak atau kulit yang sakit
e.Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal)

3
2.1.3 Klasifikasi Racun
Racun dapat digolongkan sebagai berikut :2
a.Pestisida, meliputi :
Insektisida
1.Organoklorin
Derivat Chlorinethane : DDT
Derivat Cyclodiene : antara lain Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan,
Aldrin, Heptachlor, Toxapene
2.Organofosfat : seperti DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin,
Malathion
3.Carbamat : seperti Carbaryl, Aldicarb, Propaxur,Mobam
Herbisida
1.Chloropheoxy
2.Ikatan Dinitrophenal
3.Ikatan Karbonat : seperti Prepham, Barbave
4.Ikatan Urea
5.Ikatan Triasine : antara lain Atrazine
6.Amide : antara lain Propanil
7.Bipyridye
Fungisida
1.Caplan
2.Felpet
3.Pentachlorphenal
4.Hexachlorphenal
Rodentisida
1.Warfarin
2.Red Squill
3.Norbomide
4.Sodium Flouroacetate dan Flouroacetamide

4
5.Aepha Naphthyl Thiourea
6.Strychnine
7.Pyriminil
8.Anorganik :
Zinc Phosfat
Thallium Sulfat
Phosfor
Barium Carbamat
Alumunium Phosfat
Arsen Trioxyde
b.Bahan Industri
c.Bahan Untuk Rumah Tangga
d.Bahan Obat-Obatan
e.Racun (tanaman dan hewan)
2.1.4 Sifat Fisik Racun
Menurut sifat fisiknya, klasifikasi toksisitas dikenal sebagai berikut :2
 Gas : Tidak berbentuk, mengisi ruangan pada suhu dan tekanan normal,
tidak berbau pada konsentrasi rendah dan dapat berubah menjadi cair atau
padat dengan perubahan suhu dan tekanan. Masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernpasan atau kontak dengan kulit reseptor.
 Uap : Bentuk gas dari zat yang dalam keadaan biasa berwujud cair. Masuk
ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan atau kontak dengan kulit
reseptor.
 Debu : Partikel zat padat yang terjadi karena kekuatan alami. Masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernapasan atau mulut pada ssat makan.
 Kabut : Titik-titik cairan halus di udara yang terjadi akibat kondensasi
bentuk uap. Masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan atau
kontak dengan kulit reseptor.

5
 Fume : Partikel zat padat yang terjadi oleh kondensasi bentuk gas,
biasanya setelah penguapan benda padat yang dipijarkan. Masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernapasan atau kontak kulit dengan reseptor.
 Asap : Partikel zat karbon yang berukuran kurang dari 0,5 mikron, sebagai
akibat pembakaran tidak sempurna bahan yang mengangdung karbon.
Masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan atau kontak dengan
kulit reseptor.
 Awan : partikel cair sebagai hasil kondensasi fase gas. Ukuran partikelnya
antara 0,1-1mikron. Masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernpasan
atau kontak dengan kulit reseptor.
2.1.5 Sumber dan Tempat Racun
Berdasarkan sumber dan tempat racun-racun tersebut mudah diperoleh, racun
dapat dibagi menjadi lima golongan sebagai berikut: 2
a.Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga, misalnya disinfektan,
deterjen, insektisida dan sebagainya.
b.Racun-racun yang banyak digunakan dalam pertanian dan perkebunan,
misalnya pestisida, herbisida, dan sebagainya.
c.Racun-racun yang banyak dipakai dalam bidang kedoktera/pengobatan,
misalnya sedative hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dan
sebagainya.
d.Racun-racun yang banyakl dipakai dalam industri/laboratorium, misalnya
asam dan basa kuat, logam berat dan sebagainya.
e.Racun-racun yang terdapat di alam bebas, misalnya opium ganja, racun
singkong, racun jamur, serta racun pada binatang.
2.1.6 Mekanisme Kerja Racun
a.Racun yang bekerja secara setempat (lokal), misalnya racun bersifat korosif
(lisol, asam dan basa kuat) , racun bersifat iritan (arsen, HgCl2) dan racun
bersifat anastetik, (kokain, asam karbol). Racun-racun yang bekerja secara
setempat ini biasanya akan menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai

6
dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok akibat
nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang
terjadi pada saluran pencernaan.2
b.Racun yang bekerja secara umum (sistemis). Walaupun kerjanya secara
sistemis, racun-racun dalam golongan ini biasanya memiliki akibat/afinitas pada
salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan
sistem atau organ tubuh lainnya, misalnya (1) narkotik, barbiturate, dan alcohol
terutama berpengaruh pada susunan saraf pusat; (2) digitalis, asam oksalat
terutama berpengaruh terhadap jantung; (3) strychnine terutama berpengaruh
terhadap susunan tulang belakang;(4) CO dan HCN terutama berpengaruh
terhadap sumsum tulang belakang;(5)cantharides dan HgCl2 terutama
berpengaruh terhadap ginjal; serta (6) insektisida golongan hidrokarbon yang
di-chlor-kan dan phosphorus terutama berpengaruh terhadap hati.2
c.Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum, misalnya asam oksalat,
asam karbol, arsen, dan garam Pb. Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal),
juga akan menimbulkan depresi pada susunan saraf pusat (efek sistemis). Hal
ini dimungkinkan karena sebagian dari asam karbol tersebut akan diserap dan
berpengaruh terhadap otak.2
2.1.7 Parameter yang Mempengaruhi Kerja Racun
Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja racun bila masuk dalam tubuh
manusia antara lain :2
a.Cara pemberian. Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal
pada tubuh jika cara pemberiannya tepat. Sebagai contoh, racun-racun yang
berbentuk gas tentu akan memberikan efek maksimal bila dimasukkan ke dalam
tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti,
tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun dosis yang
masuk ke dalam tubuh sama besarnya. Berdasarkan cara pemberian, umumnya
racun akan paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi,

7
kemudian secara injeksi, ingesti, absorpsi melaui mukosa, dan yang paling
lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
b.Keadaan tubuh. Keadaan tubuh meliputi umur, kesehatan, kebiasaan, dan
hipersensitif. Umur: pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitive
terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi, pada
beberapa jenis racun, seperti barbirutate dan belladonna, justru anak-anak akan
lebih tahan. Kesehatan: pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau
ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibadingkan dengan orang
sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis
toksis. Hal ini dapatdimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses
detoksifikasi tidak berjalan dengan baik, demikian pula halnya dengan
ekskresinya. Pada penderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu
atau penyakit pada saluran pencernaan, penyerapan racun pada umumnya tidak
baik, sehingga jika pada penderita terjadi kematian, tidak boleh terburu-buru
mengambil kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun.
Sebaliknya, tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang
karena penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus
keracunan arsen (tipe gastrointestinal) yang gejala keracunannya mirip dengan
gejala gastroenteritis yang biasa dijumpai. Kebiasaan : faktor ini berpengaruh
dalam hal besarnya dosis racun yang dapat menimbulkan gejala-gejala
keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi. Akan tetapi, perlu
diingat bahwa toleransi tidak selamanya menetap. Menurutnya toeransi sering
terjadi misalnya pada pecandu narkotik, yang dalam bebrapa waktu tidak
menggunakan narkotik lagi. Menurutnya toleransi inilah yang dapat
menerangkan alasan bahwa para pecandu terebut mempunyai risiko kematian,
walaupun dosis yang digunakan sama besarnya. Hipersensitif (alergi-
idiosinkrasi): banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, steptomisin, dan
preparat-preparat yang mengandung yodium, yang menyebabkan kematian,
karena sikorban sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi

8
ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, yakni dalam
menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan oleh
hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian. Preparat-preparat
mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut dapat
mempengaruhi berat ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi
preparat tersebut.
c.Racunnya sendiri. Keadaan racunnya sendiri meliputi dosis, konsentrasi,
bentuk dan kombinasi fisik, adiksi dan sinergisme, susunan kimia, serta
antagonism. Dosis : besar kecilnya dosis racun akan menentukan berat
ringannya akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan tentang
faktor toleransi dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan
akan tampak walaupun racun yang masuk kedalam tubuh belum mencapai level
toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan/kongenital atau
intoleransi yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang
mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi
dan ekskresi. Konsentrasi : untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara
lokal, misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan
dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara
sistemis, yang dalam hal ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat
ringannya akbat yang ditimbulkan oleh racun tersebut. Bnetuk dan kombinasi
fisik : racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek
bila dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun
dalam keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila
dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya
berisi makanan. Adiksi dan sinergisme: barbiturate, misalnya jika diberikan
bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian,
walaupun dosis barturate yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi
hokum kedokteran kehakiman, kemungkina-kemungkinan terjadinya hal seperti
itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dengan kadar

9
racunyang ditemukan rendah sekali, sehingga harus dicari kemungkinan adanya
racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergis dengan racun yang ditemukan)
sebelum tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan oleh reaksi
anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi. Susuna kimia : ada
beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri, terjadi
hal sebaliknya. Antagonisme : kadang-kadang dijumpai kasus seseorang
memakan lebih dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa,
karena rekasi-reaksi tersebut saling menentralisasi satu sama lain. Dalam klinik,
adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin
dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi pernapasan dan oedema
paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.
2.1.8 Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan
Apabila ada orang yang mengatakan dirinya keracunan,dipastikan ada
gejala-gejala yang mendahuluinya serta gejala lanjutan yang perlu mendapat
respons lebih lanjut. Adapun kriteria diagnosis kasus keracunan adalah sebagai
berikut :2
a.Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun
(secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorpsi dan melalui kulit atau mukosa). Pada
umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai
kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri, keluarga korban tentunya
tidak akan meberikan keterangan yang besar, bahkan malah cenderung untuk
menyembunyikannya, karena kejadia tersebut merupakan aib bagi pihak
keluarga korban.
b.Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda/gejala keracunan zat yang
diduga. Tanda/gejala klinis biasanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat
dan pada praktiknya lebih sering dijumpai pada kasus-kasus tanpa disertai
dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian. Oleh karena itu, harus

10
dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatic yang
sebelumnya dalam keadaan sehat.
c.secara analisis kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa
makanan/obat/xat yang masuk ke dalam tubuh korban. Tidak boleh percaya
bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban adalah racun (walaupun ada
etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisis kiia. Kemungkinan-
kemungkian seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si
korban menelan semua racun tentunya tidak dapat dipakai.
d.Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopis
atau mikroskopis yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun
yang bersangkutan.
e.Bedah mayat (autopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracuna,
selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting
unbtuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Autopsi
menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya,
yang pada kasus-kasus seperti ini tidak akan ditemukan racun atau
metabolitnya, tetapi ditemukan kelainan-kelainan pada organ ytang
bersangkutan.
Secara analisis kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di
dalm tubuh/jaringan/cairan tubuh korban secara sintesis. Pemeriksaan
toksikologi (analisis kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan
tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti
dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan
toksikologis ini, tidak boleh terpaku pada dosis letal suatu zat, mengingat
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya
racun harus dibuktikan secara sistematis: diagnosis kematian karena racun tidak
dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam
lambung korban.

11
2.1.9 Pemeriksaan atas Korban Keracunan yang Fatal
Sebelum melakukan pemeriksaan atas korban yang mati keracunan, harus
diperhatikan beberapa hal yang penting, yaitu :3
 Kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, misalnya perihal pekerjaan
korban, perkiraan racun yang dipergunakan dan lain sebagainya.
 Pemeriksa tidak diperkenankan merokok, mempergunakanbanyak air,
menggunakan desinfektan atau air-freshner untuk menghilangkan baud an
bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu penafsiran pada pemeriksaan.
Kelainan atau perubahan yang terjadi pada korban yang tewas karena
keracunan, pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu atas dasar
interval waktu antara korban kontak dengan racun dan saat terjadinya
kematian.3
1.Kematian yang berlangsung cepat (“rapid poisoning death”)3
 Kongesti atau pembendungan alat-alat dalam.
 Edema paru-paru, otak dan ginjal,
 Tanda-tanda korosif (bila racun yang ditelan termasuk racun korosif)
 Bau yang khas dari hidung dan mulut, misalnya sianida, insektisida dan
alkohol (bila racun yang ditelan mempunyai bau yang khas)
 Lebam mayat yang khas, merah terang, cheery-red atau merah cokelat (bila
racunnya menyebabkan perubahan pada warna darah sehingga warna lebam
mayat pun mengalami perubahan).
2.Kematian yang berlangsung lambat (“delayed poisoning death”)3
 Terdapat kelainan yang khas untuk tiap jenis racun
 Keracunan arsen akan menunjukkan pigmentasi, hyperkeratosis dan
rontoknya rambut
 Keracunan karbon-monoksida; perlunakan pada globus palidus, perdarahan
berbintik pada subtansia alba, perdarahan pada otot papilares dan adanya
“ring haemorrhages” pada otak
 Keracunan alkohol; sirosis hepatik, perdarahan pada saluran pencernaan.

12
Pemeriksaan Luar3
 Pakaian, catat warna bercak, bau serta distribusinya:
1.Pada pembunuhan: bercak tidak beraturan(disiram)
2.Pada bunuh diri: bercak beraturan, pada bagian tangan dari atas ke bawah.
3.Pada kecelakaan : tidak khas.
 Lebam mayat, perhatikan warna dari lebam mayat
1.Merah terang, keracunan sianida atau terkena benda yang bersuhu rendah (es)
2.”Cherry-red” keracunan karbon monoksida
3.Cokelat kebiruan (“slaty”) keracunan anilin, nitrobenzene, kina, potasim-
klorat dan asetanilid.
 Bercak dan warna di sekitar mulut, serta distribusi
1.Yodium: warna kulit menjadi hitam
2.Nitrat: warna kulit menjadi kuning
3.Zat-zat korosif : luka bakar berwarna merah cokelat
4.Distribusi memberi informasi perihal cara kematian.
 Bau dari mulut dan hidung, yaitu dengan cara menekan dinding dada, dan
dekatkan hidung pemeriksa pada mulut atau hidung korban untuk
mengetahui bau yang keluar :
1.Sianida : berbau seperti amandel
2.Alkohol, insektisida, eter dan asam karbol : bau khas dan mudah dikenali
 Kelaian lain
1.Bekas Suntikan (needle mark: di daerah lipat siku, punggung tangan, lengan
atas, penis dan sekitar putting susu: keracunan narkotika.
2.”Skin blisters” keracunan narkotika, barbiturate dan karbon monoksida.
3.Kulit menjadi kuning : keracunan fosfor, tembaga dan keracunan “klorinate
hidrokarbon insektisida”

13
Pemeriksaan dalam3
 Pembukaan rongga tengkorak
Perhatikan bau yang keluar, warna jaringan otak (cherry-red pada keracunan
CO; menjadi lebih cokelat pada keracunan zat yang menyebabkan terjadinya
met-Hb)
 Pembukaan rongga dada
Perhatikan warna dan bau yang keluar, pada keracunan zat yang mengakibatkan
terjadinya hemolisis seperti: bisa ular, pirogalol, hidrokuinon atau arsin, darah
dan organ menjadi cokelat kemerahan dan gelap, pada keracunan zat yang
menganggu trombosit, akan tampak adanya perdarahan pada otot-otot.
 Pembukaan rongga perut
Bila racunnya ditelan, maka kelainan terutama terdapat pada lambung; selain
tentunya juga harus diperhatikan bau yang keluar serta perubahan warna dari
jaringan tubuh. Adapun kelainan pada lambung tersebut adalah :
1.Hiperemi, pada keracunan zat korosif hal ini sering dijumpai terutama pada
daerah kurvatura mayor; pada keracunan tembaga,selain hiperemi juga
didapatkan pewarnaan biru atau kehijauan, sedangkan pada asam sulfat akan
berwarna kehitaman.
2.Perlunakan, sering didapatkan pada keracunan zat korosif alkalis; kelainan ini
terdapat pada kurvatura mayor dan perlu dibedakan dengan perlunakan yang
terjadi sebagai akibat proses pembusukan.
3.Ulserasi, terutama keracunan zat korosif, tetapi ulkus tampak rapuh, tipis dan
dikelilingi tanda peradangan.
4.Perforasi, biasanya hanya terjadi pada keracunan asam sulfat pekat, perlu
dibedakan dengan proses pembusukan.
 Kelainan pada lambung yang disebabkan oleh zat korosif organik, seperti:
golongan fenol dan formaldehid
1.Korosif anorganik yang bersifat asam, seperti asam sulfat, asam klorida, dan
asam nitrat :

14
 Mukosa lambung mengkerut, berwarna cokelat atau hitam
 Mukosa memberi kesan kering dan hangus terbakar.
2.Korosif anorganik yang bersifat basa, seperti natrium hidroksida, kalium
hidroksida dan garam karbonatnya serta ammonia :
 Mukosa lambung lunak, sembab dan basah.
 Mukosa berwarna merah atau cokelat
 Pada perabaan memberi kesan seakan meraba sabun, oleh karena terjadi
proses penyabunan
3.Korosif golongan fenol, seperti asam karbol, lisol, dan kresol :
 Tampak “pseudomembran”, yang berwarna abu-abu kebiruan atau abu-abu
kekuningan, sebagai akibat terjadinya penetrasi dan koagulasi protein sel
dan penetrasi ke lapisan yang lebih dalam sehingga terjadi nekrosis.
 “Pseudomembran”, terbentuk dari jaringan yang nekrotik.
4.Korosif formaldehid, mengakibatkan mukosa membran menjadi mengkerut,
mengeras dan berwarna kelabu.
 Pada keracunan zat yang berbentuk gas, akan ditemukan perubahan pada
saluran pernapasan, yaitu sembab, hiperemi, tanda-tanda iritasi serta
kongesti,
 Pada keracunan zat yang bekerja pada susunan saraf pusat, akan didapatkan
tanda-tanda asfiksia dan disertai dengan ciri khusus dari racunnya sendiri
yaitu :
Striknin:tubuh korban melengkung, opistotonus, emperostotonus atau
pleurostotonus.
 Pada keracunan beberapa jenis zat, dapat terjadi perubahan warna dari urin,
yaitu :
1.Keracunan asam pikrat pekat: urin berwarna merah-kuning kecokelatan.
2.Keracunan sulfat kronis dan barbital; urin korban berwarna merah anggur
3.keracunan fenol atau salisilat: urin berwarna hijau kecokelatan atau hijau
gelap

15
4.Keracunan yang mengakibatkan terbentuknya met-Hb: urin akan berwarna
cokelat atau cokelat kehitaman.
2.2 Organofosfat
2.2.1 Pengertian Organofosfat
Meskipun sering disebut sebagai pestisida generasi kedua, insektisida
organophosporus yang sehari-hari disebut organofosfat (OP) sebenarnya
dikembangkan pada waktu yang hampir bersamaan dengan hidrokarbon berklor.
Dengan beberapa pengeualian, insektisida dari kelompok organofosfat
umumnya sangat beracun, tetapi mudah didekomposisi di alam. Organofosfat
bekerja sebagai racun perut, racun kontak, dan beberapa diantaranya racun
inhalasi. Semua insektisida OP merupakan racun saraf yang bekerja dengan cara
menghambat kolin esterase (ChE) yang mengakibatkan serannga sasaran
mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati.4
Insektisida organofosfat merupakan bahan kimia yang disintesis
berdasarkan struktur dasar yang disarankan oleh Gerhard Schrader pada
tahun1937. Insektisida pertama yang disintesis berdasarkan lead-structure ini
adalah sulfotep, yang diperkenalkan oleh G.Schrader dan H.Kukenthal pada
tahun1944.4
Sudah disinggung bahwa organofosfat dikenal sebagai insektisida yang
sangat toksik (sangat beracun), meskipun pada kenyataannya daya racun atau
toksisitasnya berkisar antara sangat toksik seperti parathion (LD50 pada tikus
>2mg/kg berat badan) hingga kurang toksik pada temefos (LD50 pada tikus
>4000 mg/kg). Organofosfat umumnya cepat didekomposisi di lingkungan dan
tidak bersifat bioakumulatif. Kebanyakan insektisida organofosfat merupakan
insektisida non-sistemik, meskipun beberapa diantaranya memiliki sifat
sistemik seperti demeton, disulfoton, fosfamidon, monokrotofos, dan tiometon.4
2.2.2 Penggolongan organofosfat
OP merupakan kelompok kimia yang memilki anggota sangat banyak (mungkin
paling banyak) dan terdiri dari beberapa subkelompok. Menurut rantai karbon

16
yang menyusunnya, insektisida organofosfat bisa diklasifikasikan ke dalam
beberapa kelompok berikut :4
1.Derivat alifatik, yang ditandai dengan rantai karbon lurus, contohnya asefat,
forat, dimetoat, dikrotofos, malation, metamidofos, triklorfon, dan terbufos
2.Derivat heterosiklik, contohnya azinfos-metil, fention, klorporifos,
metidation.
3.Derivat fenil, ditandai dengan adanya cincin fenil pada rantai struktur
molekulnya, contohnya parathion-etil, parathion-metil, izofenfos, dan
profenofos.
Pestisida yang termasuk ke dalam kelompok organofosfat juga bisa
dikelompokkan dalam kelompok berikut :4
 Kelompok pirofosfat, contohnya etion, schradan (OMPA), tetraetil
dithiofosfat (TEDTP).
 Fosforoholida dan sianida, contohnya dimetoks dan mipafoks.
 Dialkilarilfosfat, fosforotioat dan fosforoditioat, contohnya abate, azinfos-
metil, diazinon, parathion-etil, parathion-metil, fenitrotion, fention,
quinalfos, klorpirifos, dan metamidofos.
 Trialkilfosfat dan tiofosfat, contohnya diklorvos, (DDVP), dimeton,
dimetoat, dikrotofos, fosfamidon, malation, mevinfos, dan metidation.
2.2.3 Mekanisme Aksi Kercunan Organofosfat
Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan
kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja
enzim terjadi karena organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam
bentuk komponen yang stabil. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis
asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan
jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan
nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer.5

17
2.2.4 Manifestasi Klinis Keracunan Organofosfat
Gambaran klinis tergantung pada rute penyerapan agen organofosfor,
konversi enzimatik ke metabolit aktif, laju penghambatan asetilkolinesterase
(AChE) dan lipofilisitas agen. Paparan oral atau pernapasan umumnya
menghasilkan tanda atau gejala dalam 3 jam, sedangkan gejala toksisitas akibat
penyerapan kulit mungkin tertunda hingga 12 jam. Agen lipofilik seperti
dichlofenthion, fenthion, dan malathion terkait dengan onset gejala yang
tertunda (hingga 5 hari) dan penyakit yang berkepanjangan (> 30 hari), yang
mungkin terkait untuk penyerapan lemak adiposa cepat dan redistribusi tertunda
dari sumber lemak.10
Manifestasi meliputi :10
 Ekspresi stimulasi muskarinik yang berlebihan: Bradikardia, bronkorea,
bronkospasme, diare, hipotensi, lakrimasi, miosis,
 salivasi, buang air kecil dan muntah.
 Ekspresi stimulasi nikotinik yang berlebihan pada sistem simpatis:
Hipertensi, midriasis, berkeringat, dan takikardia.
 Ekspresi stimulasi nikotinik yang berlebihan pada sistem saraf pusat:
Agitasi, koma, kebingungan dan gagal napas.
 Ekspresi stimulasi nikotinik yang berlebihan pada neuromuskuler
“junction” : Fasikulasi, kelemahan dan kelumpuhan otot
Tanda-tanda muskarinik dapat diingat menggunakan salah satunya dari dua
mnemonik:10
• SLUDGE / BBB - Salivasi, Lakrimasi,
Urinasi,Defekasi, Emesis lambung, Bronkorea, Bronkospasme, Bradikardia
• DUMBEL - Defekasi, Urinasi, Miosis, Bronkorea / Bronkospasme /
Bradikardia, Emesis, Lakrimasi, Salivasi.
“Intermediate syndrome” (IMS) adalah gangguan neurologis yang berbeda
yang terjadi 24-96 jam setelah paparan pada 10-40% keracunan. Ini ditandai
dengan temuan neurologis termasuk kelemahan fleksi leher, depresi refleks

18
tendon yang dalam, dan insufensi pernafasan. Mekanisme yang ditsmpilkan
pada IMS meliputi beragam kerentanan dari berbagai reseptor kolinergik,
nekrosis otot, penghambatan AChE yang berkepanjangan, terapi oxime yang
tidak adekuat.penurunan regulasi dan desensitisasi dari reseptor asetilkolin
postsinaptik, kegagalan dari pelepasan asetilkolin postsinaptik, dan stress
oksidatif terkait miopati.10
2.2.5 Temuan Post Mortem pada Kasus Kematian
Selama pemeriksaan post mortem biasanya sianosis ditemukan di bibir, jari,
hidung korban. Noda darah buih ditemukan di mulut dan lubang hidung. Aroma
aneh dari senyawa organofosfat terdeteksi lagi dalam isi lambung. Semua organ
internal tersumbat, karena kematian paling banyak terjadi kasus akibat gagal
napas. Submukosa petekie perdarahan ditemukan di perut. Edema berlebihan
dan perdarahan subpleural petechial hadir. Hati itu lembut dan lembek. Otak
juga padat dan edema.6
2.2.6 Diagnosis Keracunan Organofosfat
Diagnosis keracunan organofosfat tiergantung pada riwayat pajanan
terhadap senyawa organofosfat, karakteristik manifestasi toksisitas dan
perbaikan tanda dan gejala setelah pemerian atropin. Diagnosis dapat dibantu
dengan bersikeras bahwa pihak pasien mengrim orang rumah untuk mencari
wadah racun disekitar tempat pasien.7
Bau seperti bawang putih adalah tanda klinis tambahan terutama jika pasien
telah menelan sulfur yang mengandung senyawa organofosfat. Identifikasi
analitik senyawa organofosfat dalam aspirasi lambung atau metabolitnya dalam
cairan tubuh memberikan pentunjuk bahwa pasien telah terpapar senyawa
organofosfat. Biasanya kadar plasma (pseudo) kolinesterase turun menjadi
kurang dari 50% sebelum tanda dan gejala muncul. Keparahan klinis telah
dinilai berdasarkan level pseudokolinesterase (ringan 20-50% aktivitas enzim,
sedang 10-20% aktivitas enzim, dan berat <10% aktivitas enzim) meskipun

19
banyak yang percaya bahwa aktivitas enzim tidak berkorelasi baik dengan
keparahan klinis.7
2.2.7 Pemeriksaan Laboratorium Organofosfat
Kemajuan ilmiah menuju pengembangan metode deteksi untuk senywa
organofosfat telah dilaporkan dalam literatur. Analisis organofosfat di
lingkungan dan biologis secara rutin dilakukan dengan menggunakan berbagai
teknik analitik, termasuk spektroskopi “Nuclear Magnetic Resonance” (NMR),
gas, kromatografi garis tipis atau cair dan spektrometri massa. Berbagai
pendekatan telah diselidiki untuk sensor, termasuk “enzymatic assays”,
pencetakan molekuler ditambah dengan “luminescence” (menggunakan
lantanida). Metode kolorimetri, gelombang akustik permukaan, molekul organik
“fluorescent” dan interferometry. Cara paling umum untuk mendeteksi
organofosfat adalah metode kromatografi ditambah dengan detektor berbeda
dan berbagai jenis spektroskopi, “immunoassays”, dan biosensor enzim
berdasarkan penghambatan aktivitas kolinesterase. Alternatif untuk metode
klasik untuk mendeteksi organofosfat adalah desain sensor optik, misalnya
kolorimetri atau kemosenso atau reagen flourometrik. Salah satu cara deteksi
kimia yang paling mudah dan sederhana adalah generasi sinyal optic, misalnya,
perubahan dalam pita penyerapan atau emisi kemosensor dengan adanya analit
target. Dalam beberapa tahun terakhir, optik output telah digunakan secara luas
untuk pengembangan kemosensor untuk pengenalan ion atau molekul netral dan
merasakan berdasarkan konsep supramolekul. Sayangnya, meskipun utilitas
deteksi optik menjadi semakin diminati baik dari segi analisis kualitatif dan
kuantitatif, jumlah sensor optik saat ini yang tersedia untuk deteksi senyawa
organofosfat cukup terbatas. Sensor berbasis flourosensi, biosensor dan
kemosensor, menawarkan keunggulan signifikan metode konvensional lain
untuk mendeteksi senyawa organofosfat. Keuntungan utama dari flourosensi
adalah sensitifitas molekul tunggal yang tinggi dan sebagian besar kasus
merespon secara langsung. Metode Flourosensi yang mampu mengukur

20
konsentrasi analit 106 kali lebih kecil dari teknik absorbansi. Demikian, teknik
flourosensi telah banyak digunakan pada biologi molekuler dan kimia analitik
tapi tidak secara ekstensif dalam mendeteksi pestisida organofosfat.8
2.2.8 Terapi dan Manajemen Keracunan Organofosfat
Bukti yang dapat dikenali dari jenis bahan kimia sangat penting dalam
menentukan arah dan perkiraan klinis pasien. Staf layanan medis darurat harus
berusaha mendapatkan tanda atau nama-nama bahan kimia yang pasien
tunjukkan dengan alasan yang sesuai dengan senyawa organofosfat memiliki
waktu maturasi dan waktu reaktivasi yang khas yang dapat membantu
mengelola pengobatan. Ketika ragu, senyawa organofosfat dimetil mengalami
pematangan yang cepat, yang membuat permulaan awal kritis “oximes” . Secara
korelasi, senyawa dietil dapat menyebabkan bahaya yang ditangguhkan dan
pengobatan “oxime” harus dilakukan. Metode pengobatan departemen gawat
darurat meliputi :9
1.Atropin
2.Airway, Breathing, and Circulation
3.”Oximes”
4.Dekontaminasi
5.Benzodiazepin
6.Pengobatan lain.
Atropin9
Atropin adalah antagonis muskarinik murni yang bersaing dengan
asetilkoloin pada reseptor muskarinik. Sebagian besar sumber awalnya
meresepkan atropine dengan banyak hal lain selain dampak visual dan setelah
melihat pengeringan muatan sebagai titik akhir dalam titrasi ke pengukuran
yang sesuai. Atropin paling sering diberikan secara intravena (IV) dengan dosis
yang disarankan 2 - 5 mg orang dewasa dan 0,05 mg / kg untuk anak-anak,
dengan pengukuran dasar 0,1 mg untuk mengantisipasi refleks bradikardi .
Atropin dapat direduksi setiap 5 - 10 menit.

21
Prasyarat atropin mungkin berbeda secara signifikan dari kasus ke kasus.
Keracunan senyawa organofosfat serius seringkali membutuhkan beberapa
milligram atropin. Dalam satu laporan kasus, seorang pasien membutuhkan
pengukuran atropin yang terus-menerus dan dalam jangka panjang diubah
menjadi campuran atropin menjadi agregat 30g lebih dari 5 hari Atropin tidak
mengikat reseptor nikotinik; dengan cara ini, itu tidak cukup dalam mengobati
kualitas racun neuromuskuler (terutama kekurangan otot pernapasan). Oleh
karena itu membutuhkanpengobatan antidotal oxime
Airway, Breathing, and Circulation9
Intubasi mungkin merupakan hal mendasar dalam kasus bahaya serius.
Setelah suksinilkolin digunakan untuk plasma cholinesterase, senyawa
organofosfat atau karbamat kehilangan gerak dapat ditunda.
Oxime9
Oxime utama yang dapat diakses di Amerika Serikat adalah pralidoxime (2-
PAM). Senyawa organofosfat dan karbamat mengikat dan memfosforilasi salah
AChE dan menekan kegunaan senyawa ini. Oximes mengikat ke senyawa
organofosfat atau karbamat, membuat senyawa memutuskan ikatannya dengan
AChE. Bagian terbesar dari dampak ini adalah pada sistem saraf perifer setelah
masuk ke SSP dibatasi. Dampak utama manfaat pralidoxime yang diantisipasi
adalah pemulihan transmisi neuromuskuler di neurotransmiter nikotinik.
Bagaimanapun, oxime juga meningkatkan gerakan kolinesterase di muskarinik
lokal, mengurangi kebutuhan untuk atropin. Eksplorasi in vitro telah
menunjukkan bahwa oxime merupakan reaktivator kuat dari AChE manusia
yang dikendalikan oleh senyawa organofosfat . Dalam beberapa keadaan,
pengaktifan kembali penekanan AChE oleh oximes mungkin akan dibatasi
ketika kecenderungan untuk kompleks senyawa-AChE spesifik buruk, maka
pengukuran atau jangka waktu perawatan kurang, senywa organofosfat
tersimpan di dalam tubuh pasien dan dengan cara ini reinhibisi cepat dari enzim
baru-baru ini diaktifkan kembali terjadi, dan pembatasan AChE.

22
Tingkat pengaktifan kembali bergantung pada karakter dan pengelompokan
khusus dari oxime dan senyawa organofosfat. Karena AChE yang dihambat
oleh dietil-senyawa organofosfat aktif kembali dan umurnya jauh lebih lambat
daripada analog dimetil, mereka sebagian besar membutuhkan pengobatan
oxime yang ditunda.
Setengah-keberadaan dari pematangan AChE dimetil terfosforilasi atau
diethyl terfosforilasi, sebagaimana ditentukan dalam sel darah merah manusia
secara in vitro, adalah 3,7 atau 33 jam, secara terpisah, dan jendela yang
membantu (4 kali paruh) adalah yang paling ekstrem 13 atau 132 jam, secara
individual.
Tingkat reaktivasi tergantung pada identitas spesifik dan konsentrasi oxime
dan senyawa organofosfat. Sebagai dietil-senyawa organofosfat-inhibitor AChE
yang diaktifkan kembali dan usia khususnya lebih lambat dari analog dimetil,
mereka umumnya membutuhkan pengobatan oxime yang lama. Waktu paruh
umur dimetil AChE dimetil terfosforilasi atau dietetil, sebagaimana ditentukan
dalam sel darah merah manusia yang terisolasi secara in vitro, adalah 3,7 atau
33 jam, masing-masing, dan jendela terapi (4 kali paruh) masing-masing
maksimum 13 atau 132 jam.
Dekontaminasi9
Dekontaminasi adalah bagian penting dari pertimbangan yang
mendasarinya. Ketika semua dikatakan telah dilakukan, pentingnya sterilisasi
bergantung pada kerusakan. Pasien dengan keracunan kulit dan nafas dalam
harus disterilkan sebelum dibawa ke UGD jika tidak dilakukan dalam
pengaturan pra-rumah sakit. Pakaian pasien harus dikeluarkan dan dilepas, dan
tubuhnya dicuci dengan pembersih dan air. Pasien dengan pajanan GI juga
harus didekontaminasi, namun staf UGD tidak boleh menunda perawatan
dengan dekontaminasi yang lebih baik, mengingat bahwa kerusakan nosokomial
akibat pajanan GI jarang terjadi. dan meragukan.

23
Dekontaminasi GI, manajemen oral arang aktif adalah intervensi rasional
setelah keracunan GI. Dalam kasus apa pun, seperti halnya pasien yang
diracuni, bahaya dan keuntungannya harus ditimbang. Terlepas dari kenyataan
bahwa tinjauan sistematis tidak menemukan konfirmasi pasti yang mendukung
bilas lambung, para penulis sarankan bilas pada pasien yang menunjukkan tepat
waktu setelah konsumsi dan tidak mual, dan pada pasien yang membutuhkan
intubasi karena konsumsi senyawa organofosfat atau karbamat secara intens.
Benzodiazepin9
Pasien yang diracuni dengan organofosfor secara teratur mengalami
delirium yang gelisah. Alasannya sulit, dengan kontribusi dari pestisida itu
sendiri, toksisitas atropin, hipoksia, alkohol yang dicerna dengan racun, dan
komplikasi medis. Padahal dasar manajemennya adalah penghindaran atau
pengobatan penyebab yang mendasari, pasien tertentu perlu farmakoterapi.
Pasien yang sangat gelisah akan mendapat manfaat dengan pengobatan
diazepam.
Diazepam adalah terapi lini pertama untuk kejang. Namun, kejang jarang
terjadi pada pasien yang teroksigenasi baik dengan keracunan pestisida Kejang
tampaknya lebih umum terjadi pada agen saraf organofosforus (seperti soman
dan tabun). Penelitian pada hewan menunjukkan hal itu diazepam mengurangi
kerusakan saraf dan mencegah kegagalan pernapasan dan kematian, tetapi
penelitian pada manusia hanya sedikit.
Pengobatan Lain9
Kejang adalah komplikasi keracunan senyawa organofosfat yang jarang
terjadi. Begitu mereka muncul, mereka menandai toksisitas yang parah. Seperti
kebanyakan kejang disebabkan racun, benzodiazepin adalah obat yang lebih
disarankan.
Agen berikut telah menunjukkan manfaat sebagai pengobatan tambahan dalam
keracunan senyawa organofosfat, dalam studi awal:
1. Magnesium sulfat

24
2. Fresh-frozen plasma
2.2.9 Prognosis Keracunan Organofosfat
Sistem penilaian klinis berbasis ICU seperti Acute Physiology and Chronic
Health Evaluation II (APACHE-II), Skor Fisiologi Akut Sederhana II, dan
Model Prediksi Mortalitas II telah ditemukan sebagai prediktor kematian yang
lebih baik daripada skala keparahan keracunan. Di satu-satunya prospektif studi,
untuk memeriksa faktor prognostik untuk pasien keracunan akut dengan
organofosfat atau karbamat (n = 1365), penulis menemukan bahwa skor koma
Glasgow (GCS) dari kurang dari 13 dikaitkan dengan prognosis yang buruk,
dan menggunakan GCS sama baiknya dengan menggunakan Internasional
Program Skor Tingkat Keracunan Keselamatan Kimia. Namun, agen
organofosfat yang terlibat juga harus diperhitungkan.1

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak perkembangan telah terjadi di bidang manajemen keracunan
organofosfat. Investigasi terbaru telah mengungkapkan lebih banyak pemahaman
tentang prinsip-prinsip dasar perawatan, dan obat-obatan yang lebih baru
sekarang tersedia untuk pengelolaan keracunan organofosfat. Namun, studi lebih
lanjut diperlukan untuk mengetahui lebih efektif perawatan untuk keracunan
organofosfat parah. Pencegahan tampaknya masih menjadi modalitas terbaik
manajemen. Legislasi dan pengendalian pestisida yang tepat adalah
direkomendasikan bagi negara-negara berkembang untuk mencegah keracunan
akibat pekerjaan, kecelakaan, dan disengaja.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Sinha PK, Sharma. Organophospate Poisoning: A Review. Med J Indones.
2003; 12(2):120-121.
2. Rumidi S, Rakhman AN, Maulana FW. Geotoksikologi: Usaha Mencegah
Keracunan akibat Bencana Geologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press; 2017.
3. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik; Pamulang-Tangerang
Selatan: BINARUPA AKSARA Press; 2008.
4. Djojosumarto P. Pestisida & Aplikasinya, Jakarta: Agromedia Pustaka; 2008.
5. Thanos C, Tomuka D, Mallo N. Livor Mortis pada Keracunan Insektisida
golongan Organofosfat di Kelinci. Jurnal e-Clinic. 2016; 4(1): 14-15.
6. Ahmad M, Rahman FN, Ashrafuzzaman M, et al. Overview of
Organophosphorus Compound Poisoning in Bangladesh and Medicologal
Aspects Related to Fatal Cases. JAFMC Bangladesh. 2009; 5(1): 43.
7. Paudyal BP. Organophosphorus Poisoning. J Nepal Med Assac. 2008; 471
(72): 255.
8. Kazemi M, Tahmasbi AM, Valizadeh R, et al. Importance and Toxicological
Effects of Organophosphorus Pesticides: A Comprehensive Review. Basic
Research Journal of Agricultural Science and Review. 2012; 1 (3):47.
9. Mohsen AT, Aljohani MD, Bunaian AS. Treatment and Management of
Organophosphate and Carbamic Poisoning. ECRONICON Open
Acces.2017; 11(3):108-110.
10. Narang U, Narang P, Gupta O. Organophosphorus Poisoning: A Social
Calamity. Journal of Mahatma Gandhi Institute of Medical Science. 2015;
20(1):46-47.

27
28

Anda mungkin juga menyukai