Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek


merugikan berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi
terhadap semua sistem makhluk hidup. Pada bidang biomedis, ahli toksikologi
akan menangani efek samping yang timbul pada manusia akibat pajanan obat dan
zat kimiawi lainnya, serta pembuktian keamanan atau bahaya potensial yang
terkait penggunaannya.

Toksikologi forensik sendiri berkaitan dengan penerapan ilmu toksikologi


pada berbagai kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan
bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal serta untuk
menjadi bukti dalam pengadilan.

Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua


kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya
kematian akibat keracunan morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan
insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok yang kedua – dimana sebenarnya
yang terbanyak kasusnya, akan tetapi belum banyak disadari – adalah untuk
mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi.
Dengan demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan
rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi.

Bila pada tujuan pertama dari pemeriksaan atas diri korban diharapkan
dapat ditemukan reaksi atau obat dalam dosis yang mematikan, maka tidaklah
demikian pada yang kedua, dimana disini yang perlu dibuktikan atau dicari
korelasinya adalah sampai sejauh mana reaksi obat tersebut berperan dalam
memungkinkan terjadinya berbagai peristiwa tadi.
2

Karena sifat beracunnya, mudahnya didapat serta mudahnya digunakan


oleh masyarakat, maka wajarlah jika ada yang menyalahgunakannya untuk hal-hal
yang bertentangan dengan hukum, misalnya pada kasus pembunuhan, yang bisa
dilakukan secara langsung maupun perlahan-lahan dengan gejala yang tidak jelas.

Dalam menghadapi kasus yang demikian, maka peranan kedokteran


kehakiman sangatlah penting dalam menentukan apakah korban benar-benar
meninggal karena arsen, atau sebab lain. Selain dengan pemeriksaan otopsi, dokter
juga bekerja sama dengan bagian toksikologi dalam menentukan adanya arsen dan
jumlahnya yang ada pada korban.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 defenisi toksikologi forensik

Toksikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kerja senyawa yang


merugikan terhadap organisme hidup.

Toksikologi forensik adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek
berbahaya zat kimia (racun) terhadap mekanisme biologi. Toksikologi forensik
juga mempelajari masalah keracunan untuk kepentingan forensik.

Menurut Waluyadi toksikologi forensik ilmu yang mempelajari tentang


racun dan pengidentifikasian bahan racun yang di duga ada dalam organ atau
jaringan tubuh atau cairan korban.

2.2 Racun

Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil
(bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan
menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat
menyebabkan sakit, bahkan kematian.

Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis,


yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan
fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian.

Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi


kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau
mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya
kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit,
bahkan kematian.
4

2.3 klasifikasi racun

Racun adalah suatu zat yang apabila kontak atau masuk kedalam tubuh
dalam jumlah tertentu (dosis toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia
mauppun fisiologis sehingga menyebabkan sakit atau pun kematian. Untuk
kepentingan di bidang forensik, racun dibagi berdasarkan sifat kimia, fisik serta
pengaruhnya terhadap tubuh manusia, yaitu:

1. Racun Anorganik.

a. Racun Korosif : Terdiri atas racun yang dapat menyebabkan


kerusakan atau kematian sel–sel yang terkena akibat efek lokal. Pada itngkat yang
lebih ringan dapat terjadi iritasi atau keradangan. Beberapa racun korosif juga
memberikan efek sistemik dan diabsorpsi ke dalam peredaran darah sehingga
menyebabkan efek umum

b. Racun Metalik dan nonmetalik : Terdiri atas semua racun yang


mempunyai elemen logam dalam molekulnya. Bebrapa perkelcualian, beberapa
logam seperti arsenikum, merkuri, ataupun timah hitam jarang toksisi bila berada
dalam bentuk logam murninya, kecuali bentuk senyawa kimianya akan toksis.

2. Racun Organik

Racun Volatil dan racun non volatil : senyawa yang digunakan adalah
turunan dari alkohol, yaitu Methyl Alcohol (metanol). Metanol juga dikenal
sebagai Wood alcohol dimana lethal dosisnya sangat bervariasi pada setiap orang.
Kematian timbul pada 30-60 ml pemberian methanol. Kadang–kadang gejala tidak
tampak sampai 26 jam atau lebih setelah keracunan namun tiba–tiba penderita
dapat meninggal.

3. Racun Gas : terdiri dari karbon Dioksida dan Karbon Monoksida. Karbon
Dioksida akan menyebabkan asfiksia karena berkurangnya jumlah oksigen di
5

udarapernafasan dan proses ini pada tahap awal akan dipercepat dengan adanya
efek langsung Karbon Dioksida pada pusat pernafasan, sehingga tingkat
keracunan perinhalasi makin berat. Gejala keracunan akibat karbon dioksida
adalah: sakit kepala serta kepala terasa berat, tinitus, nausea, perspirasi, otot–
ototmenjadi lemah, somnolensi hebat, tekanan darah menignkat disertai dengan
sianosis, pernafasan cepat dan nadi cepat, collaps, koma dan meninggal. Pada
karbon monoksida, gas ini berasal dari pembakaran yang tidak sempurna dari
senyawa organik misal asap kendaraan bermotor, gas untuk memasak, hasil
pembakaran batu bara dan lain–lain. Karbon monoksida akan mengikan Hb secara
cepat dan lengkap dan menghambat oksigen berikatan dengan oksigen. Sehingga
suplai oksigen ke organ vital pun akan berkurang dan akan timbul anoksemia.
Lama kelamaan, Hb akan kehilangan kemampuannya untuk mengikat oksigen dan
akan mmeperpuruk kondisi anoksemia pada jaringan.

4. Racun lain–lain

a. Racun makanan

b. Racun binatang

c. Racun tumbuh–tumbuhan

beberapa jenis racun yang sering dijumpai meliputi :

1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.

Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.

2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian,


perkebunan.

Misalnya: pestisida, herbisida.

3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.

Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.


6

4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.

Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.

5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.

Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang

2.4 Mekanisme kerja racun

1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)

Misalnya:

- Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.

- Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.

- Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.

Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan


menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan
kematian yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena
peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran
pencernaan.

2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)

Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini


biasanya memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang
lebih besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.

Misalnya:

- Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan


syaraf pusat.

- Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.


7

- Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.

- CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim


pernafasan.

- Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.

- Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus


terutama berpengaruh terhadap hati.

3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum

Misalnya:

- Asam oksalat

- Asam karbol

Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan


depresi pada susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan karena
sebagian dari asam karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap otak.

- Arsen

- Garam Pb

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun

1. Cara pemberian : Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun


akan paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi,
kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui
mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam
tubuh melalui kulit yang sehat.

2. Keadaan tubuh :
a . Umur : Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitive
terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada
8

beberapa jenis racun seperti barbiturate dan belladonna, justru anak-


anak akan lebih tahan.
b. kesehatan Kesehatan : Pada orang-orang yang menderita penyakit
hati atau penyakit ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila
dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk ke
dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti
karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan
dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka
yang menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau
penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada
umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian,
kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian
penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh
tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit
tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan
arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip
dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat
menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena
terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak
selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya
pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak
menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi
kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.
d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan
preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian,
karena sikorban sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari
9

segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita


harus menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan
oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian
preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi
preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang
akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.
3. Racunnya sendiri

a. Dosis : Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-


ringannya akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh
dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi individual.
Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun
yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan
intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau
intoleransi yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang
mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan
detoksifikasi dan ekskresi.

b. Konsentrasi : Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara


lokal misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila
dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan
racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah
yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan oleh racun tersebut.

c. Bentuk dan kombinasi fisik : Racun yang berbentuk cair tentunya


akan lebih cepat menimbulkan efek bila dibandingkan dengan yang
berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan
lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila
dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan
lambungnya berisi makanan.
10

d. Adiksi dan sinergisme : Barbiturate, misalnya jika diberikan


bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau CO, dapat
menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan
jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman,
kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh
dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun
yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari
kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif
(sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita tiba pada
kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi
anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi.

e. Susunan kimia : Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam


susunan kimia tertentu tidak akan menimbulkan gejala keracunan,
tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang sebaliknya.

f. Antagonisme : Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang


memakan lebih dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan
apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling menetralisir satu
sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan
untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai
untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang
terjadi pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.

2.6 Kriteria diagnosis kasus keracunan

1.Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun


(secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa). Pada
umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai kriteria
diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga korban tentunya tidak akan
11

memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk


menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga
korban.

2.Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang
diduga. Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa
disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian
sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non
traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.

3.Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan /
obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban. Kita selamanya tidak boleh percaya
bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada
etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-
kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban
menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.

4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik


atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang
bersangkutan. Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus
keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga
penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian.
Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan
sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan
racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan
pada organ yang bersangkutan.

5.Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam
tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.

Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa


12

pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak


memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan
pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat,
mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada
tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena
racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun
dalam lambung korban.

Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada


kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima
merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.

2.7 Analitikal Toksikologi

Analitikal toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang


berfungsi untuk:

1. Analisa tentang adanya racun.

2. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.

3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.

4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun


organophospat.

5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer,


barbiturate, narkotika, ganja, dan lain sebagainya.

Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang
bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan
dalam otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan sebab kematian.

Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya


darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini
13

membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan.

Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan dokter


mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan memudahkan
pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna.

Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-


racun tertentu, misalnya:

 Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-
racun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah
menguap.

 Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan
keracunan logam berat yang akut.

 Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik
non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.

 Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk
pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.

Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau
organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka
belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun
yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi
seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun
yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka
penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa.

2.8 Pemeriksaan kedokteran forensik

Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan,


yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang
14

sampai saat sebelum di autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap


kemungkinan keracunan.

Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracuan bila pada


pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan,
bila pada autopsy ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan
dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan
sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung serta bila pada autopsi
tidak ditemukan penyebab kematian.

Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan


beberapa pemeriksaan penting, yaitu :

1. Pemeriksaan di tempat kejadian

Perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab kematian dan menentukan


cara kematian. Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat
kematian. Mengumpulkan barang bukti.

2. Pemeriksaan luar

a. Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang
kiranya ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping
mayat ia harus menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu
bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
b. Segera. Pemeriksa harus segera berada di samping mayat dan harus
menekan dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak
biasa keluar dari lubang hidung dan mulut.
c. Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan
oleh tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak
berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
d. Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai
makna, karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi
15

warna darah yang tampak pada kulit.


e. Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis
pada telapak tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna
kelabu kebirubiruan akibat keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak
dalam jaringan ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada
keracunan tembaga (Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan
insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.
f. Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang
tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik
pada kuku.
g. Rambut. Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium,
arsen, ari raksa dan boraks.
h. Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti
fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau
akibat bias ular.

2.9 Pembedahan Jenazah

Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah terdapat bau
yang tidak biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak tercium "bau
racun" maka sebaiknya rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu agar bau visera
perut tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila dicurigai adalah sianida. Bau
sianida, alkohol, kloroform, dan eter akan tercium paling kuat dalam rongga
tengkorak.

Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan


hemolisis (bisa ular), pirogarol, hidrokuinon, dinitrophenol dan arsen. Darah dan
organ-organ dalam berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun yang
menimbulkan gangguan trombosit, akan terdapat banyak bercak perdarahan, pada
organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat menimbulkan kematian, misalnya
sianida, alcohol, kloroform maka darah dalam jantung dan pembuluh darah besar
16

tetap cair tidak terdapat bekuan darah.

Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat
atau menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian
atas dibuka sampai pada ikatan atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan
selaput lendir diperhatikan akan adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis dan
glotis perhatikan apakah terdapat hiperemi atau edema, disebabkan oleh inhalasi
atau aspirasi gas atau uap yang meransang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat
yang meransang. Edema glotis juga dapat ditemukan pada pemakaian akibat syok
anafilaktik, misalnya akibat penisilin.

Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik,


berupa pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang meransang seperti klorin dan
nitrogen oksida ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta emfisema akut
karena terjadi batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada lambung dan usus dua
belas jari lambung dibuka sepanjang kurvakura mayor dan diperhatikan apakah
mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung warnanya dan terdiri
dari bahan-bahan apa. Bila terdapat tablet atau kapsul diambil. dengan sendok dan
disimpan secara terpisah untuk mencegah disintegrasi tablet/kapsul. Pada kasus-
kasus non-toksikologik hendaknya pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir
otopsi atau sampai pemeriksa telah menemukan penyebab kematian. Hal ini
penting karena umumnya pemeriksa baru teringat pada keracunan setelah pada
akhir autopsi ia tidak dapat menemukan penyebab kematian.

Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam


setelah korban menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu
tersebut. Pada hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi
lemak sering ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada
keracunan fosfor, karbon tetraklorida, klorform dan trinitro toulena.

Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat


disebabkan oleh racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks
17

membengkak, gambaran tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning.


Perubahan ini dapat dijumpai pada keracunan dengan persenyawaan bismuth, air
raksa, sulfonamide, fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya analisis
toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus keracunan logam berat atau pada
pencarian racun secara umum atau pada pemeriksaan histologik ditemukan
Kristal-kristal Ca-oksalat atau sulfonamide.

Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih,


seluruh urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain
untuk dilakukan pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung kemih
dan dikirim dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali.
Walaupun kandung kemih dalam keadaan kosong, kandung kemih harus tetap
diambil untuk pemriksaan toksikologik.

Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada kasus
kematian yangcepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada
keracunan kronik arsenatau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat
ditemukan pada keracunan karbonmonoksida,barbiturat, nitrogen oksida, dan
logam berat seperti air raksa air raksa, arsen dantimah hitam. Obat-obat yang
bekerja pada otak tidak selalu terdapat dalam konsentrasi tinggidalam jaringan
otak.

Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida bila


korban hidupselama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak
dalam otot septuminterventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris
pada muskulus papilaris ventrikelkiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot
tersebut sehingga tampak gambaran sepertikipas.

Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak


menunjukkan kelainanpatologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil karena
karena kadar sianida dalam limpabeberapa kali lebih besar daripada kadar dalam
darah. Empedu merupakan bahan yang baikuntuk penentuan glutetimida,
18

quabaina, morfin dan heroin. Pada keracunan karena inhalasigas atau uap beracun,
paru-paru diambil, dalam botol kedap udara.

Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut.Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan
kemudian dengan lambatdilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan
bahwa korban meninggal akibatpenyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan
diambil dalam radius 5-10 cm.

Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil.
Rambut diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan
kemudian diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang
proksimal dan bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa
menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap bagian rambut yang
telah digunting beberapa bagian yang dimulai dari bagian proksimal dan setiap
bagian panjangnya ½ inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar
arsennya.

Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-


kuku kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa
diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari
proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.

2.10 Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik

Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada
waktu autopsy daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk
mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik
atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan.

Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah


kanan dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50
ml, diambila dari vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada korban
19

yang masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting, diambil 2 contoh darah
masing-masing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa
pengawet.

Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam kandung
kemih untuk pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung beserta isinya. Usus
beserta isinya berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu beberapa jam
setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat kematian dan dapat pula
ditemukan pil yang tidak hancur oleh lambung.

Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi


anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil, hanya
beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk
menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati merupakan tempat
detoksikasi tubuh terpenting.

Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi
logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara histologik
ditemukan Ca-oksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan lipoid dalam otak
mampu menahan racun. Misalnya CHCI3 tetap ada walaupun jaringan otak telah
membusuk. Otak bagian tengah penting pada intoksikasi CN karena tahan
terhadap pembusukan. Untuk menghidari cairan empedu mengalir ke hati dan
mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu jangan dibuka.

Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan
cara yang telah disebutkan, adalah :

1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)

2. Darah

3. Tempat keluar (urin, empedu)


20

BAB III
KESIMPULAN
Toksikologi forensik merupakan salah satu cabang toksikologi yang
memusatkan perhatian pada analisa yang berperan dalam penegakan hukum dan
peradilan. Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak
hukum khususnya dalam melakukan analisis racun baik kualitatif maupun
kuantitatif dan kemudian menerjemahkan hasil analisis ke dalam suatu laporan
(surat, surat keterangan ahli atau saksi ahli), sebagai bukti dalam tindak kriminal
(forensik) di pengadilan. Pengambilan sampel pada korban hidup dan yang sudah
berbeda akan berbeda. Pada korban yang sudah meninggal, seluruh organ akan
diambil sedikit jaringannya kemudian diperiksa melalui berbagai metode analisa
secara kimiawi, bologi, maupun secara histopatologi.
21

DAFTAR PUSTAKA

Amir. A,. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi II. Medan: 2005

Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu


Kedokteran Forensik. ED. 2. Jakarta. FKUI. 1997

Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal. Surabaya. 2010.

Dharma, M.S. et al. (2008). Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik.


[Online].Tersedia:
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-
dengan-toksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf

Flora H. S., 2013. Peranan Toksikologi Forensik dalam Pengungkapan Kasus


Pembunuhan. J Saintech. 05(01). Jakarta.

The Forensic Toxicology Council. Briefing: What is Forensic Toxicology?. The


American Board of Forensic Toxicology (ABFT). 2010. [disitasi 2014
November30];10:31.Tersedia dari :
http://http://www.abft.org/files/WHATISFO RENSICTOXICOLOGY.pdf/

Anda mungkin juga menyukai