DASAR TEORI
2.1 Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia
(Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas/kerusakan/
cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu
materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme
terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang merugikan
terhadap organisme. Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan
sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai
bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan
dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan
sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme
biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan
oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek
yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka
perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul.
Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi
pada suatu organisme. (Ariens,dkk. 1985).
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme
biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut
telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan
pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek
berbahaya itu terjadi. (Ariens,dkk. 1985).
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi
interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat
dua aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia
dengan organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek
farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub bahasan
kerja toksik. Telah dipostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik suatu tokson
sangat ditentukan oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran
suatu zat yang berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu
menghasilkan juga keracunan. Misal insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis
tertentu tidak akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi manusia, namun pada
dosis tersebut memberikan efek yang mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan
karena konsentrasi tersebut berada jauh dibawah konsentrasi minimal efek pada
manusia. Namun sebaliknya apabila kita terpejan oleh DDT dalam waktu yang relatif
lama, dimana telah diketahui bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai dilingkungan
dan sangat lipofil, akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh
dalam waktu relatif lama. Karena sifat fisiko kimia dari DDT, mengakibatkan DDT
akan terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga
apabila batas konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek toksik.
Efek atau kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang bersifat kronis
(Budiyanto,dkk. 2003)
(Budiyanto,dkk. 2003)
2.2 Organofosfat
2.2.1 Definisi Organofosfat
Menurut U.S Departement of Health and Human Service (1999) senyawa
organofosfat merupakan kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat toksik
dalam menghambat cholinesterases yang mengakibatkan sasaran mengalami
kelumpuhan dan menyebabkan kematian. Organofosfat adalah insektisida yang paling
toksik diantara jenis pestisida dan sering menyebabkan keracunan pada orang.
Tertelan organofosfat dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan kematian, tetapi
diperlukan lebih dari beberapa miligram untuk dapat menyebabkan kematian pada
orang dewasa. Pajanan terhadap manusia bisa terjadi melalui hidung, kulit atau mulut.
Pajanan terbanyak melalui kulit, karena sifat lipofilik dari senyawa organofosfat.
Paparan yang serius mempengaruhi reseptor rangsangan muscarinic dan nikotinic
(Christensen KA, 2001)
Lebih dari 50.000 komponen organophosphate telah disynthesis dan diuji
untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenis
saja dewasa ini. Semua produk organophosphate tersebut berefek toksik bila tertelan,
dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh serangga.
Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin,
edroprium dan neostigmin yang digunakan utuk aktivitas kholinomimetik (efek
seperti asetyl kholin). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan
neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk antidotum
pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik (mis: trisyklik anti
depressant, atrophin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan
organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu
untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata (Hardman, 1996)
2.2.2 Struktur Komponen Organofosfat
Organophosphat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II.
Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai dengan tujuannya sebagai
insektisida. Pada awal synthesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate
(TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga
cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan
komponen yang poten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap orang (mis:
malathion), tetapi masih sangat toksik terhadap insekta (Hardman, 1996).
Nama Structure
Tetraethylpyrophosphate (TEPP)
Parathion
Malathion
Sarin
Gejala awal seperti SLUD terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena
terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam
darah meningkat pada mata dan otot polos.
2.2.5 Pengobatan
Pengobatan keracunan pestisida ini harus cepat dilakukan terutama untuk
toksisitas organophosphat.. Bila dilakukan terlambat dalam beberapa menit akan
dapat menyebabkan kematian. Diagnosis keracunan dilakukan berdasarkan terjadinya
gejala penyakit dan sejarah kejadiannya yang saling berhubungan. Pada keracunan
yang berat , pseudokholinesterase dan aktifits erytrocyt kholinesterase harus diukur
dan bila kandungannya jauh dibawah normal, kercaunan mesti terjadi dan gejala
segera timbul (Dipiro, 2005)
Pengobatan dengan pemberian atrophin sulfat dosis 1-2 mg i.v. dan biasanya
diberikan setiap jam dari 25-50 mg. Atrophin akan memblok efek muskarinik dan
beberapa pusat reseptor muskarinik. Pralidoxim (2-PAM) adalah obat spesifik untuk
antidotum keracunan organofosfat. Obat tersebut dijual secara komersiil dan tersedia
sebagai garam chlorin.
2.3 Sulfonamida
Sulfonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaan
sulfonamide kemudian terdesak oleh antibiotik. Pertengahan tahun 1970 penemuan
kegunaan sedian kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol meningkatkan kembali
penggunaan sulfonamide untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu.
Sulfonamid merupakan kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar yang
sama, yaitu H2N-C6H4-SO2NHR dan R adalah bermacam-macam substituen. Pada
prinsipnya, senyawa-senyawa ini digunakan untuk menghadapi berbagai infeksi.
Namun, setelah ditemukan zat-zat antibiotika, sejak tahun 1980an indikasi dan
penggunaannya semakin bekurang. Meskipun demikian, dari sudut sejarah, senyawa-
senyawa ini penting karena merupakan kelompok obat pertama yang digunakan
secara efektif terhadap infeksi bakteri. (Tjay, 1991).
2.4 Atropin
Atropin termasuk golongan antikolinergik yang bekerja pada reseptor
muskarinik (antimuskarinik), menghambat transmisi asetilkolin yang dipersyarafi
oleh serabut pascaganglioner kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot rangka serta
pada tempat asetilkolin.Penghambatan oleh atropine hanya terjadi pada dosis sangat
besar. Pada dosis kecil (sekitar 0,25mg) atropine hanya menekan sekresi air liur,
mucus, bronkus dan keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan
penghambatan N. Vagus terhadap jantung baru terlihat padadosis lebih besar. Dosis
yang lebih besar lagi diperlukan untuk menghambat peristaltic usus dansekresi asam
lambung.Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat diatasi oleh pemberian
asetilkolindalam jumlah berlebihan atau pemberian asetilkolinesterase (Tjay, 1991).
Penggunaan atropin sulfat dapat sebagai antidotum untuk inhibitor
kolinesterase antikolinergik, midriatika, preanestetik medikasi, antispasmodik,
antidotum untuk insektisida golongan organofosfat. Atropin sulfat memiliki pemerian
berupa bentuk serbuk kristal, kristal yang tidak berwarna atau putih dan tidak berbau.
Titik lebur 403OF (206OC). Larut dalam air, alkohol, gliserol. Tidak larut dalam
kloroform, eter. Rumus kimia : C34-H46-N2-O6.H2-O4-S (Tjay, 1991).