Alamat Korespondensi:
Steven Kristianto Yaputra
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: steven_kristianto@yahoo.com
Pendahuluan
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi dimana terdapat kegagalan jantung
memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Dimana jantung merupakan organ
penting yang berfungsi untuk mengalirkan nutrisi yang diperlukan organ melalui darah.
Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik yang
hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi
ventrikel.
Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang
disertai dengan keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau
latihan. Edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
gagal jantung kronik dalam hal anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, working diagnosis, differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, manifestasi
klinik, patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian,
penanganan kasus gagal jantung kronik dapat dilaksanakan dengan baik.
Anamnesis
Penyakit mengenai sistem kardiovaskular bisa timbul dengan berbagai macam
keluhan, yaitu: nyeri dada, sesak napas, edema, palpitasi, sinkop, kelelahan, stroke, dan
penyakit vaskular perifer. Berikut hal yang dapat ditanyakan, berhubungan dengan pasien:2
-
Apakah pasien sesak saat istirahat, beraktivitas, atau berbaring mendatar (ortopnea)?
Berapa jauh pasien dapat berjalan, berlari, atau menaiki tangga?
Apakah keadaan tersebut kronis atau muncul secara tiba-tiba?
Apakah disertai mengi atau stridor?
Bila ada batuk, dapat ditanyakan:2
Apakah baru-baru ini ada perubahan jenis obat yang dimakan pasien?
Apakah pasien mengkonsumsi obat yang bisa menyebabkan kardiomiopati?
Apakah pasien merokok?
Bagaimana konsumsi alkohol pasien?
Hal lain yang dapat ditanyakan:2
Gejala Klinis
Seorang laki-laki berusia 60 tahun mengeluh sering sesak saat beraktivitas, batuk.
Tidak ada dahak, demam, dan nyeri dada. Nafasnya sering tersengal-sengal sejak 6 bulan
yang lalu, terutama saat berjalan jauh, dan sangat mengganggu kesehariannya. Akan tetapi
2
pada saat istirahat, sesaknya jauh berkurang. Ia juga mengeluhkan selama 2 bulan ini kakinya
sering bengkak. Pasien telah menderita kencing manis, darah tinggi, dan pernah menderita
penyakit jantung koroner (sudah menjalani CABG).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga
kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tandatanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh
yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari
mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan
normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.3
Pada pemeriksaan dada dan jantung, pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan
urutan: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskulitasi.3
Inspeksi, secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung diamati,
misalnya tampak lelah, kelelahan karena cardiac output rendah, sesak yang menunjukkan
adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan clubbing finger dan kaki
berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga dengan ada tidaknya edem.
Khusus inspeksi organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks, trikuspidal,
pulmonal, aorta. Perlu juga melihat bentuk dada dan pergerakan napas.3
Pada palpasi, dengan menggunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergantung
rasa sensitivitasnya, meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang
diperhatikan dalam pemeriksaan adalah:3
Pulsasi
Thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa.
Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita.
Lift yaitu dorongan terhadap tangan pemeriksa
Ictus cordis yaitu pulsasi apeks, biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis
midclavikula kiri.
Apeks untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral
Sela iga IV-V sternal kiri dan sela iga IV-V kanan untuk mendengarkan bunyi jantung
compos mentis. Tanda-tanda vital menunjukkan tekanan darah 160/90mmHg, frekuensi nadi
100x/menit, frekuensi napas 22x/menit, dan suhu afebris. Pada hasil auskultasi didapatkan
gallop positif dan murmur negatif.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya,
begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak
pada gejala pasien.
Gambaran radiologis
Pada sinar-X dada gambaranberikut dapat terlihat :
o Pembesaran jantung
o Penonjolan vaskuler pada lobus atas akibat meningkatnya tekanan vena pulmonalis.
o Efusi pleura : terlihat sebagai penumpulan sudut kostofrenikus, namun dengan
semakin luasnya efusi, terdapat gambaran opak yang homogen di bagian basal dengan
tepi bagian atas yang cekung.
o Edema pulmonal interstisial : pada awalnya, merupakan penonjolan pembuluh darah
pada lobus atas dan penyempitan pembuluh darah pada lobus bawah. Seiring
meningkatnya t$ekanan vena, terjadi edema interstisial dan cairan kemudian
berkumpul di daerah interlobular dengan garis septal di bagian perifer (garis Kerley
B)
o Edema pulmonal alveolus. Dengan meningkatnya tekanan vena, cairan melewati
rongga alveolus (bayangan alveolus) dengan kekaburan dan gambaran berkabut pada
regio perihilar; pada kasus yang berat, terjadi edema pulmonal di seluruh kedua
lapangan paru. Sepertiga bagian luar paru dapat terpisah, edema sentral bilateral
digambarkan sebagai bats wing (sayap kelawar).3
Elektrokardiogram (EKG)
EKG memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-90%),
termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertrofi LV, gangguan konduksi, aritmia.4
Ekokardiografi
Pemeriksaan ini harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas
gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katup jantung dapat disingkirkan. Regurgitasi
mitral sering disebabkan pembesaran ventrikel kiri yang disebabkan dilatasi anulus mitral.4
Kateterisasi
Dilakukan pada dugaan penyakit jantung koroner, pada kasus kardiomiopati atau
miokarditis yang jarangm yang membutuhkan biopsi miokard, atau bila penilaian resistensi
vaskular paru dibutuhkan sebelum mempertimbangkan transplantasi jantung. Bila kateterisasi
jantung diindikasikan, biasanya dilakukan ventrikulografi kontras dan juga memberikan
pengukuran fungsi LV lain.4
Tes Latihan Fisik
Seringkali dilakukan untuk menilai adanya iskemia miokard dan pada beberapa kasus
untuk mengukur konsumsi oksigen maksimum (VO 2 maks). Ini adalah kadar dimana
konsumsi oksigen lebih lanjut tidak akan meningkat meskipun terdapat peningkatan latihan
lebih lanjut. VO2 maks merepresentasikan batas toleransi latihan aerobik dan sering menurun
pada gagal jantung.4
Working Diagnosis
Gagal Jantung Kronik
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi/foto
toraks, ekokardiografi Doppler, dan kateterisasi seperti terlihat pada bagan dibawah ini.3
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.3
Kriteria Major
o Paroksismal nokturnal dispnea
o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis
o Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
6
o
o
o
o
o
o
o
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 menit)
Terdapat klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association)
yaitu:6
Tabel 1. Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung Menurut NYHA.6 (Heart
Failure, diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/163062overview, 10 September 2013)
Kelas
I
II
Kapasitas Fungsional
Pasien tanpa keterbatasan aktivitas fisik
Pasien dengan sedikit keterbatasan aktivitas fisik, dimana aktivitas fisik biasa dapat
mengarah pada kelelahan, jantung berdebar, dispnue, atau nyeri angina ; Nyaman
III
saat istirahat.
Pasien dengan keterbatasan aktivitas fisik yang jelas, dimana aktivitas fisik kurang
dari biasa dapat mengarah pada kelelahan, jantung berdebar, dispnue, atau nyeri
IV
Differential Diagnosis
Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat / rapid / onset atau
adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda dari gagal jantung yang berakibat
7
diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama gagal
jantung, atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien dapat memperlihatkan
kedaruratan medik seperti edema paru akut.3
Manifestasi klinis GJA memberikan gambaran / kondisi spektrum yang luas dan
setiap klasifikasi tidak dapat menggambarkan secara spesifik.3
Pasien dengan GJA biasanya akan memperlihatkan salah satu dari enam bentuk GJA.
Edema paru tidak selalu menyertai semua ke enam bentuk GJA. Keenam bentuk dari GJA ini
adalah:3
1. Perburukan atau gagal jantung kronik kompensasi, adanya riwayat perburukan yang
progresif pada penderita yang sudah diketahui dan mendapat terapi sebelumnya
sebagai penderita gagal jantung kronik dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan
kongesti paru.
2. Terdapat bentuk edema paru. Pasien dengan respiratory distress yang berat,
pernapasan yang cepat, dan orthopnea dan ronki pada seluruh plapangan paru.
Saturasi O2 arterial biasanya <90% pada suhu ruangan, sebelum mendapat terapi
oksigen.
3. Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tanda-tanda gagal jantung yang disertai
dengan tekanan darah tinggi dan biasanya fungsi sistolik jantung masih relatif cukup
baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian tonus simpatik dengan takikardia dan
vasokonstriksi.
Pasien
mungkin
masih
hipovolemia
ringan.
Umumnya
kira 15% penderita SKA memperlihatkan gejala dan tanda-tandan gagal jantung.
Episode GJA biasanya disertai presipitasi oleh aritmia.
Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek apabila dasar
atau penyebabnya tidak bisa diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan
meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat
lebih dari 50% akan meninggal pada tahun pertama.4
Etiologi
Gagal jantung merupakan keadaan klinis dan bukan suatu diagnosis. Penyebabnya
harus selalu dicari.4
9
Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti
yang terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi
tertentu, bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan
darah sistemik ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini
disebabkan misalnya masalah mekanik seperti regurgitasi katup berat dan, lebih jarang,
fistula arteriovena, defisiensi tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung
yang tinggi ini sendiri dapat menyebabkan gagal jantung, tetapi bila tidak terlalu berat dapat
mempresipitasi gagal jantung pada orang-orang dengan penyakit jantung dasar.4
Prevalensi faktor etiologi tergantung dari populasi yang diteliti, penyakit jantung
koroner dan hipertensi merupakan penyebab tersering pada masyarakat Barah (?90% kasus),
sementara penyakit katup jantung dan defisiensi nutrisi mungkin lebih penting di negara
berkembang. Faktor risiko independen untuk terjadinya gagal jantung serupa dengan faktor
risiko pada penyakit jantung koroner (peningkatan kolesterol, hipertensi, dan diabetes)
ditambah adanya hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy / LVH) pada EKG
istirahat. Bila terdapat pada hipertensi, LVH dikaitkan dengan 14 kali risiko gagal jantung
pada orang berusia lebih dari 65 tahun. Selain itu, prevalensi faktor etiologi telah berubah
seiring perjalanan waktu. Data kohort dari studi Framingham mengidentifikasi riwayat
hipertensi pada >75% pasien dengan gagal jantung, sementara penelitian lebih baru
menyatakan prevalensu yang lebih rendah (10-15%), mungkin karena terapi hipertensi yang
lebih baik. Dari telaah studi klinis pada hipertensi, terapi efektif dapat mengurangi insidensi
gagal jantung sebesar 50%.4
Berbagai faktor dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi perkembangan gagal
jantung pada pasien dengan penyakit jantung primer:4
miokard.
Alkohol bersifat kardiotoksik, terutama bila dikonsumsi dalam jumlah besar
Aritmia mengurangi efisiensi jantung, sepert yang terjadi bula kontraksi atrium hilang
(fibrilasi atrium, AF) atau disosiasi dari kontraksi ventrikel (blok jantung). Takikardia
(ventrikel atau atrium) menurunkan waktu pengisian ventrikel, meningkatkan beban
kerja miokard dan kebutuhan oksigen menyebabkan iskemia miokard, dan bila terjadi
dalam waktu lama, dapat menyebabkan dilatasi ventrikel serta perburukan fungsi
10
ventrikel. Aritmia sendiri merupakan konsekuensi gagal jantung yang umum terjadi,
apapun etiologinya, dengan AF dilaporkan pada 20-30% kasus gagal jantung. Aritmia
ventrikel merupakan penyebab umum kematian mendadak pada keadaan ini.
Manifestasi Klinis
Gejala utama dari gagal jantung adalah kelelahan dan napas yang pendek. Meskipun
kelelahan biasanya sudah dianggap pada rendahnya cardiac output dalam gagal jantung,
seperti pada keabnormalan sistem muskuloskeletal dan sakit bukan jantung lainnya (misalnya
anemia), juga berperan dalam gejala ini. Dalam tahap awal gagal jantung, dispnue diamati
hanya pada pengerahan tenaga; namun, dalam perkembangan penyakitnya, dispnue terjadi
dalam level stress yang lebih rendah, dan mungkin dapat terjadi saat istirahat. Penyebab dari
dispnue dalam gagal jantung mungkin multifaktorial. Mekanisme paling penting adalah
kongesti paru dengan akumulasi dari jaringan interstisial atau cairan intraalveolar, dimana
aktivitas reseptor juxtakapiler J, yang menstimulasi dengan cepat, karakteristik napas pendek
dari dispnue jantung. Faktor lain yang berkontribusi pada dispnue dalam tenaga termasuk
reduksi dalam compliance paru, penambahan resistensi sirkulasi, otot pernapasam dan/atau
kelelahan diafragma, dan anemia. Dispnue mungkin menjadi lebih rendah frekuensinya
dengan onset kegagalan ventrikel kanan dan regurgitasi trikuspidalis.7
Gejala ortopnue, dimana didefinisikan sebagai dispnue yang terjadi dalam posisi
terlentang, biasanya manifestasi lanjut dari gagal jantung dibanding dispnue oleh pengerahan
tenaga. Hal tersebut dihasilkan dari redistribusi cairan dari sirkulasi splanicus dan ekstremitas
bawah menuju sirkulasi sentral selama terlentang, dengan diakibatkan meningkat tekanan
dalam kapiler pulmonal. Batuk nokturnal merupakan manifestasi yang biasa terjadi dalam
proses ini dan biasanya diabaikan sebagai gejala gagal jantung. Ortopnue secara umum lebih
lega dengan duduk tegak lurus atau tidur dengan bantal khusus. Meskipun ortopnue
merupakan gejala spesifik gagal jantung, mungkin terjadi dalam pasien obesitas abdomen
atau ascites dan pasien dengan penyakit paru yang mekanisme parunya mendukung posisi
tegak lurus.7
Gejala lainnya adalah paroxysmal noxturnal dyspnea (PND). Istilah ini mengacu pada
episode akut sesak napas yang hebat dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan
membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat
11
bermanifestasi dengan batuk atau wheezing, mungkin karena tekanan yang bertambah di
dalam arteri bronkial mengarah kepada kompresi jalan napas, sejalan dengan edema paru
interstisial yang mengarah ke penahanan jalan napas. Padahal orthopnue mungkin lebih baik
dengan duduk tegak disamping berbaring di kasur dengan kaki dalam posisi tertentu, pasien
dengan PND sering mempunyai batuk persisten dan wheezing bahkan setelah mereka berada
di posisi tegak lurus. Cardiac asthma berkaitan erat dengan PND, dikarakterisitikkan dengan
wheezing sekunder menuju bronkospasme, dan haris dibedakan dengan asma promer dan
penyakit paru karena wheezing.7
Ada pula gejala yang disebut pernapasan Cheyne-stokes, juga dikaitkan sebagai
pernapasan periodik. Pernapasan Cheyne-Stokes diderita 40 pasien dengan gagal jantung dan
biasanya diasosiasikan dengan cardiac output yang rendah. Pernapasan Cheyne-Stokes ini
disebabkan kurangnya sensitivitas dari pusat respirasi menuju tekanan P CO2 arteri. Ada fase
apneu, selama PO2 arteri turun dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan dalam kandungan gas
darah arteri menstimulasi turunnya pusat pernapasan, menyebabkan hiperventilasi dan
hipokapnia, diikuti dengan kekambuhan apneu. Pernapasan Cheyne-Stokes mungkin
dirasakan oleh pasien atau keluarga pasien sebagai dispnue parah atau penghentian sementara
pernapasan.7
Pasien dengan gagal jantung mungkin menunjukkan gejala gastrointestinal.
Anoreksia, nausea, dan rasa penuh yang cepat yang berkaitan dengan nyeri perut dan
kekenyangan adalah masalah biasa dan mungkin berelasi dengan edema dari dinding usus
dan/atau kongesti hati. Kongesti hati dan perenggangan kapsulnya mungkin mengarah pada
nyeri kuadran kanan atas. Gejala serebral seperti kebingungan, disorientasi, dan tidur dan
gangguan mood mungkin diamati dalam pasien dengan gagal jantung parah, khususnya
pasien tua dengan cerebral arteriosclerosis dan pengurangan cerebral perfusion. Nokturia
adalah gejala yang biasa terjadi pada gagal jantung dan berkontribusi pada insomnia.7
Patofisiologi
Miosit jantung biasanya dianggap sebagai sel yang telah selesai berdiferensiasi dan
kehilangan kemampuannya membelah diri. Dalam kondisi yang normal, penambahan jumlah
miosit fungsional tidak dapat terjadi. Peningkatan beban mekanis menyebabkan peningkatan
kandungan komponen subselular yang menyebabkan peningkatan ukuran sel (hipertrofi).
12
Meningkatnya kerja mekanis karena peningkatan beban tekanan atau volume atau sinyal
trofik (misalnya hipertiroidisme melalui stimulasi reseptor adrenergik-beta) meningkatkan
kecepatan sintesis protein, jumlah protein di masing-masing sel, jumlah sarkomer dan
mitokondria, dimensi dan massa miosit dan, akhirnya, ukuran jantung. Bagaimanapun,
seberapa besar miosit jantung orang dewasa memiliki kapasitas menyintesis DNA dan apakah
hal ini menyebabkan pembelahan sel masih merupakan masalah yang diperdebatkan.8
Tingkat hipertrofi bervariasi sesuai kausa yang mendasarinya. Berat jantung biasanya
berkisar antara 350 sampai 600 gram (hingga sekitar dua kali lipat daripada normal) pada
hipertensi pulmonaris dan penyakit jantung iskemik; dari 400 sampai 800 gram (hingga tiga
kali normal) pada hipertensi sistemik, stenosis aorta, regurgitasi mitral, atau kardiomiopati
hipertrofi. Jantung dengan berat lebih dari 1000 gram jarang dijumpai.8
Pola hipertrofi mencerminkan sifat stimulus yang mendasarinya. Ventrikel yang
mengalami kelebihan tekanan (misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta) membentuk
pressure-overload hypertrophy ventrikel kiri (juga disebut hipertrofi konsentrik), disertai oleh
peningkatan ketebalan dinding. Di ventrikel kiri, hipertrofi otot dapat menyebabkan garis
tengah rongga berkurang. Pada kelebihan beban tekanan, pengendapan sarkomer paralel
dengan sumbu panjang sel; luas potongan melintang miosir meningkat (tetapi panjang sel
tidak). Sebaliknya, kelebihan beban volume, massa otot dan ketebalan dinding meningkat
kira-kira setara dengan garis tengah ruang jantung. Namun, karena dilatasi, ketebalan dinding
jantung yang telah mengalami hipertrofi dan dilatasi tidak selalu meningkat, dan ketebalan
tersebut mungkin normal atau kurang daripada normal. Oleh karena itu, ketebalan dinding itu
sendiri bukan ukuran yang memadai untuk hipertrofi akibat kelebuhan beban volume.8
Hipertrofi jantung juga disertai berbagai perubahan transkripsional dan morfologik.
Pada kelebihan beban hemodinamik yang berkepanjangan, ekspresi gen mengalami
perubahan sehingga terjadi re-ekspresi suatu pola sintesis protein yang analog dengan yang
dijumpai pada perkembangan jantung janin; perubahan lain analog dengan kejadian-kejadian
yang berlangsung selama mitosis sel normal yang berproliferasi. Mediator awal hipertrofi
antara lain gen-gen immediate-early. Peningkatan atau re-ekspresi selektif bentuk-bentuk
embrionik/janin protein kontraktil dan protein lain juga terjadi, termasuk rantai berat miosin, ANP, dan kolagen. Meningkatnya ukuran miosit yang terjadi pada hipertrofi jantung
biasaya disertai dengan berkurangnya kepadatan kapiler, meningkatnya jarak antar-kapiler,
dan pengendapan jaringan fibrosa. Bertambahnya massa otot menyebabkan peningkatan
13
kebutuhan metabolik dan ketegangan dinding, dua penentu utama konsumsi oksigen jantung.
Faktor utama lain dalam konsumsi oksigen adalah kecepatan dan kontraktilitas jantung
(keadaan inotropik, atau gaya kontraksi), dan keduanya meningkat pada keadaan hipertrofik.8
Oleh karena itu, geometri, struktur, dan komposisi jantung yang mengalami hipertrofi
tidaklah normal. Hipertrofi jantun merupakan suatu keseimbangan yang lemah antara
karakteristik adaptif dan perubahan struktural dan/atau biokimiawi/molekular yang berpotensi
merugikan (termasuk berkurangnya perbandingan kapiler-terhadap-miosit, meningkatnya
jaringan fibrosa, dan sintesis protein abnormal). Oleh karena itu, hipertrofi jantung yang
menetap sering berkembang menjadi gagal jantung. Pada akhirnya, penyakit jantung primer
dan beban kompensatorik yang timbul semakin menggerogoti cadangan miokardium.
Kemudian mulai terjadi penurunan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung (cardiac
output) yang sering berakhir dengan kematian.8
Pada banyak kasus, dasar struktural, biokimiawi, dan molekular kegagalan kontraktil
miokardoium tidak jelas. Pada beberapa kasus (misalnya infark miokardium), jelas terjadi
kematian miosit dan berkurangnya elemen-elemen vital pompa. Oleh karena itu, bagian
otot jantung yang tidak mengalami infark harus bekerja berlebihan. Sebaliknya,
pada
penyakit katup jantung, meningkatnya kerja volume atau tekanan memengaruhi miokardium
secara global. Perubahan molekular dan selular pada jantung yang mengalami hipertrofi yang
pada awalnya berperan meningkatkan fungsi dapat ikut menyebabkan terjadinya gagal
jantung. Protein yang termasuk elemen kontraktil, penggabungan eksitasi-kontraksi, dan
pemakaian energi mungkin mengalami perubahan signifikan melalui produksi isoform yang
berbeda yang mungkin kurang fungsional daripada normal atau mungkin jumlahnya
berkurang atau bertambah. Perubahan pengolahan ion kalsium intrasel juga mungkin
berperan menyebabkan gangguan kontraksi dan relaksasi. Berkurangnya miosit akibat
apoptosis mungkin berperan dalam disfungsi mikardium progresif yang dijumpai pada
penyakit jantung dengan hipertrofi.8
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medika Mentosa
Tingkat rekomendasi (Class) dan tingkat kepercayaan (evidence) mengikuti format
petunjuk dari ESC 2005, dimana untuk rekomendasi:3
14
inhibitors. Dianjurkan sebagai lini pertama baik dengan atau tampa keluhan dengan fraksi
ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom, mengurangi kekerapan
rawat inap di rumah sakit (I, A). Obat ini harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak
ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama diuretik (I, B).
Segera berikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung, sesudah infark jantung, untuk
meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark, serta kekerapan rawat inap. Agar
dosisnya dianggap bermanfaat, obat ini harus dititrasi sesuai dengan bukti klinis, bukan
berdasarkan perbaikan gejala.3
Obat diuretik yang diberikan adalah Loop diuretic, tiazid, metolazon. Penting untuk
pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru, dan edema
perifer (I, A). Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan harus dikombinasi dengan
penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat beta.3
Obat -blocker direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan berat
yang stabil baik karena iskemi atau kardiomiopati noniskemi dalam pengobatan standar
seperti diuretik atau penyekat enzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan
adanya kontraindikasi terhadap penyekat beta. Obat ini terbukti menurunkan angka masuk
rumah sakit, meningkatkan klasifikasi fungsi (I, A). Pada disfungsi jantung sistolik sesudah
suatu infark miokard baik simtomatik atau asimtomatik, penambahan penyekat beta jangka
panjang pada pemakaian penyekat enzim konversi angiotensin terbukti menurunkan
mortalitas (I, B). Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang direkomendasi yaitu
bisoprolol, karvedilol, metoprolol suksinat, dan nebivolol (I, A).3
15
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal sertia upaya
Komplikasi
16
Tromboemboli: risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT dan
emboli paru) dan emboli sistemik tinggi, terutama gagal jantung berat.
Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada gagal jantungm yang bisa
menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauam
Prognosis
Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan
berkaitan dengan derajat keparahannya. Data Framinham yang dikumpulkan sebelum
penggunaan vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukkan mortalitas 1 tahun rerata sebesar
30% bila semua pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60%
padas NYHA kelas IV. Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada
sebagian besar kanker. Kematian terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak
(diduga aritmia) dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah faktor yan berkaitan
dengan prognosis gagal jantung:4
Klinis: semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis, semakin
buruk prognosis
Hemodinamik: semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi
buruk
Aritmia: fokus ektopik ventrkel yang sering atau takikardia ventrikel pada
pengawasan EKG ambulatori menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah
17
aritmia ventrikel hanya merupakan peninda prognosis yang buruk atau apakah aritmia
merupakan penyebab kematian.
Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok risiko tinggi. Berikut cara pencegahannya:3
Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner
Pengobatan infark jantung segera di triase, serta ppenceggahan infark ulangan
Pengobatan hipertensi yang agresif
Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup
Memerlukan pembahasan khusus
Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari,
selain modulasi progresi dari disfungsi asimptomatik menjadi gagal jantung
Kesimpulan
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara adekuat
akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung.
Berdasarkan kasus yang di dapat, serta gejala-gejala klinis yang timbul pada pasien,
dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien mengarah kepada Gagal Jantung Kronis.
Diagnosis tersebut tidak dapat dipastikan sampai melakukan pemeriksaan lebih lanjut, seperti
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lainnya.
Daftar Pustaka
18
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2011.h.327, 355.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. h.
23, 26, .
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 66-8, 15844. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture notes kardiologi. Edisi ke4. Jakarta: Erlangga; 2003. h. 80-8
5. Heart Failure, diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview,
10 September 2013.
6. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editor.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th edition. Dwijayandthi L, Dharmawan
D, penyunting. Mengenali pola-pola foto-foto diagnostik. Jakart: EGC; 2010.h. 73.
7. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies; 2012.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi Robbins. Edisi ke-7. Jakarta:
EGC; 2007. h. 578-80
9. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2003. h. 151.
19