Anda di halaman 1dari 20

Gagal Jantung Akut

Panji Brata M
102010355
bratamaulana@yahoo.com
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Pendahuluan
Heart Failure (HF) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang
didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh
dengan adekuat, akibat adanya gangguan structural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan
HF biasanya menunjukkan ciri-ciri seperti gejala-gejala dari HF berupa sesak nafas yang spesifik
pada saat istirahat atau saat beraktifitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga. Tanda-tanda dari
HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai dan ditemukannya abnormalitas dari
struktur dan fungsional jantung.
Gagal Jantung Akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat/rapid/onset atau adanya
perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda dari gagal jantung yang berakibat diperlukannya
tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama GJ, atau perburukan dari
gagal jantung kronik sebelumnya.

Anamnesis
Gejala gagal jantung secara konvensional dibagi menjadi gagal ventrikel kiri (left
ventricular failure, LVF), gagal ventrikel kanan (right ventricular failure, RVF), atau keduanya
(gagal jantung kongestif atau biventrikel)
Gagal jantung bukan merupakan diagnosis dan penyebab yang mendasarinya harus selalu
dicari. Gagal jantung adalah alasan yang sangat sering, mencakup 5% dari pasien yang dirawat
dibangsal rumah sakit.1

Gagal ventikel kiri:

Sesak napas
Ortopnea
Dispnea nocturnal paroksismal (adakah masalah dengan pernapasan di malam hari?

Ceritakan lebih lanjut, tanyakan langsung mengenai jumlah bantal yang dipakai)
Yang lebih jarang adalah mengi (wheezing), batuk, sputum merah muda, toleransi
olahraga berkurang.

Gagal ventrikel kanan:

Edema perifer khususnya pada pergelangan kaki, tungkai, sacrum


Asites
Ikterus, nyari hati, mual, dan nafsu makan berkurang (akibat edema usus), namun jarang

terjadi.
Efusi pleura.

Gagal jantung akut bisa timbul dengan gejala sesak napas mendadak dan hebat, sianosis, dan
distress. Gagal jantung kronis bisa berhubungan dengan berkurangnya toleransi olahraga, edema
perifer, letargi, malaise, dan penurunan berat badan (kaheksia jantung).
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan kepada pasien adalah:1

Adakah riwayat nyeri dada? (adakah riwayat MI baru?)


Adakah riwayat penyakit jantug sebelumnya, khususnya MI, angina, murmur, aritmia,

atau penyakit katup jantung yang diketahui?


Adakah riwayat factor resiko aterosklerosis?
Adakah riwayat penyakit pernapasan atau ginjal?
Adakah riwayat kardiomiopati?
Sebelumnya apakah pasien sudah pernah berobat?
Adakah keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang sama?
Apakah pasien seorang pengkonsumsi alcohol dan rokok?
Bagaimana keadaan pasien saat beraktifitas?
Adakah keterbatasan gaya hidup oleh keluhan yang dirasakan?

Pemeriksaan fisik

Penderitaan umumnya tampak sangat gelisah dan sesak. Kesadaran bervariasi dari sedikit
berubah sampai koma. Pada tipe hiperkapnik, penderita mengalami sakit kepala, kebingungan,
mengantuk, tertidur sampai koma. Kadang-kadang didapatkan gangguan penglihatan terutama
pada asidosis berat, juga dapat terjadi tremor. Pada tipe hipoksik tampak sianosis di bibir dan
jari-jari.2
Pada system pernapasan, biasanya didapatkan frekuensi napas menurun, normal atau
meningkat, pernapasan mungkin sukar atau tenang, sehingga pola pernapasan perlu diamati
dengan baik, misalnya napas cepat dan dangkal menandakan depresi pernapasan, takipnea
menunjukkan adanya hipoksemia. Pada system kardiovaskular biasanya tekanan sedikit
meningkat. Pada kasus berat didapatkan hipotensi, bradikardi yang bervariasi sampai aritmia.
Pada

pemeriksaan

fisik

thoraks

dicari

penyakit-penyakit

yang

kemungkinan

mendasarinya. Adanya murmur, irama gallop. Disertai dengan ronki menunjukkan adanya gagal
jantung: bising mengi yang keras menunjukkan adanya asma berat, ronki basah disertai dengan
demam ditemukan pada kasus infeksi pulmoner. Kalau ada tanda-tanda gangguan neurologis
perlu dipikirkan kemungkinan terjadi stroke, miastenia gravis, atau sindrom Guillain- Barre.2

Pemeriksaan penunjang
a

Radiografi toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) >50%),


terutama bila gagal jantung sudah kronis. Ukuran jantung yang normal tidak menyingkirkan
diagnosis dan bisa didapatkan pada gagal jantung kiri akut, seperti yang terjadi pada infark
miokard, regurgitasi katup akut, atau defek septum ventrikel (VSD) pascainfark.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang
oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
Normalnya, perfusi paru terlihat lebih banyak di basis paru, namun dengan kongesti vena
paru (gagal LV) timbul diversi lobus atas dan, ketika tekanan vena pulmonalis meningkat
melebihi 20 mmHg, terjadi edema interstisial yang menyebabkan garis septal (karley B)
terutama pada basis. Ketika tekanan meningkat melebihi 25mmHg, terjadi edema hilar
dengan distribusi kupu-kupu atau sayap kelelawar, dan edema perivaskular menyebabkan
gambawan awan pada pembuluh darah. Pembesaran vena cava superior dan vena azigos

dapat terlihat. Bila gagal jantung menyebabkan efusi pleura, maka biasanya bilateral namun
bila unilateral cenderung lebih sering terjadi pada sisi kanan. Efusi sisi kiri unilateral harus
b

memikirkan kemungkinan penyebab lain seperti keganasan atau infark paru.3


Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-

90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertrofi LF, gaguan konduksi, aritmia.
Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung.
Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolic), dan abnormalitas gerakan
dinding dapat dinilai, dan penyakit katup jantung dapat di singkirkan. Regurgitasi mitral

d
e

seringkali disebabkan pembesaran ventrikel kiri yang menyebabkan dilatasi annulus mitral.
EKG ambulatory harus dilakukan juka diduga terdapat aritmia
Tes darah direkomendasikan untuk menyingkirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum
terapi dimulai. Disfungsi tiroid (baik hiper maupun hipotiroidisme) dapat menyebabkan
gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan. Dimasa datang,
pengukuran penanda biokimiawi (seperti peptide natriuretik) dapat terbukti berguna dalam

diagnosis gagal jantung dan memonitor progresivitasnya.3


Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventikel
(ventrikulograf) dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit
diperoleh. Pemindaian perfusi miokard dapat membantu dalam menilai kebermaknaan

fungsional penyakit jantung koroner.


Kateterisasi jantung harus dilakukan pada dugaan penyakit jantung koroner, pada kasus
kardiomiopati atau miokarditis yang jarang, yang membutuhkan bopsi miokard, atau bila
penilaian resistensi vascular paru dibutuhkan sebelum mempertimbangkan transplatasi
jantung. Bila katerisasi jantung diindikasikan, biasanya dilakukan ventrikulografi kontras dan

juga memberikan pengukuran fungsi LV lain.


Tes latihan fisik seringkali dilakukan, untuk menilai adanya iskemia miokard dan pada
beberapa kasus untuk mengukur konsumsi oksigen maksimum (VO2 maks). Ini adalah kadar
di mana konsumsi oksigen lebih lanjut tidak akan meningkat meskipun terdapat peningkatan
latihan lebih lanjut. VO2 maks merepresentasikan batas toleransi latihan aerobic dan sering
menurun pada gagal jantung.3

Diagnosis banding
CHF harus dibedakan dari yang berikut :

a. Edema paru non kardiogenik (sindroma distress pernapasan akut (ARDS))


Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru dan akibat
peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler
paru sering juga disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS). 4
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal
jantung menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang
menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik
atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru.4
Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di
jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal
dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan
melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas,
dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat
diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah kerusakan endotel
yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan
eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga
terbentuk membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler
paru adalah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).4

Gejala dan Tanda


Awitan penyakit ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat. Penderita
sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau perasaan tertekan atau perasaan
nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering menghasilkan riak berbusa dan
berwarna merah muda. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan lemah,
biasanya penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis.

Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan
auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung pada bagian bawah dada. 4

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis dan pemeriksaan yang disebabkan edema
paru dan gejala klinis penyakit dasarnya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam menentukan diagnosis antara lain:
Rontgenogram dada yang memperlihatkan adanya infiltrat-infiltrat bilateral yang difus
tanpa disertai oleh tanda edema paru kardiogenik. Kadang-kadang satu paru-paru
terserang lebih hebat dari paru-paru lainnya. Jika edema paru tersebut menyertai proses
paru-paru lain (seperti pneumonia, fibrosis kistik) maka temuan klinis dan rontgenografis
pada penyakit primer dapat mengaburkan temuan-temuan pada edema paru.
Analisa gas darah dapat mendukung dan juga sebagai acuan pada pengobatan edema
paru. Pada edema paru pemeriksaan analisa gas darah (AGD) memperlihatkan
hipoksemia berat.
CT Scan toraks juga dapat membantu dalam diagnosa dan dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan dari edema paru. Elektrokardiografi untuk membedakan edema

paru akibat kelainan jantung.4


b. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
Penyakit paru obstruktif kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut. Pasien
PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien mengalami perburukan yang
bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variasi gejala harian normal
sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi
akut ini biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau
obat golongan sedative. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui.5
Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti
sesak napas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi
sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti sesak napas yang semakin
bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum, atau dapat juga
memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, fatigue dan gangguan susah tidur

Faktor resiko

1 Gen
2 Paparan : Asap rokok, occupational dust, polusi udara indoor, polusi udara outdoor
3 Lung growth dan development
4 Stress oksidatif
5 Gender
6 Usia
7 Infeksi respirasi
8 Pernah sakit tuberkulosa
9 Status social ekonomi
10 Nutrisi
11 Komorbid
Tabel 1. Faktor resiko PPOK5

Gejala
Yang menonjol adalah gejala sesak dan batuk sepanjang hari, kadang-kadang disertai

wheezing. Pemeriksaan spirometri menunjukan adanya ireversibilitas. Sering didapatkan riwayat


merokok yang sudah lama.

c. Pneumonia
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun parasit di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang
bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi inflame dan terisi oleh cairan.
Pneumonia dapat juga disebabkan oleh iritasi kimia atau fisik dari paru-paru atau sebagai akibat
dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu banyak minum alkohol. Namun
penyebab yang paling sering ialah serangan bakteria streptococcus pneumoniae, atau
pneumokokus.4
Penyakit Pneumonia sering kali diderita sebagian besar orang yang lanjut usia (lansia)
dan mereka yang memiliki penyakit kronik sebagai akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh
(Imun), akan tetapi Pneumonia juga bisa menyerang kaula muda yang bertubuh sehat. Saat ini
didunia penyakit Pneumonia dilaporkan telah menjadi penyakit utama di kalangan kanak-kanak
dan merupakan satu penyakit serius yang meragut nyawa beribu-ribu warga tua setiap tahun.

Cara penularan virus atau bakteri Pneumonia sampai saat ini belum diketahui pasti,
namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi terserang penyakit
Pneumonia. Hal ini diantaranya adalah :

Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah, seperti penderita HIV/AIDS dan para
penderita penyakit kronik seperti sakit jantung, diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka
yang pernah/rutin menjalani kemoterapy (chemotherapy) dan meminum obat golongan
Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya memiliki daya
tahan tubuh (Immun) yang lemah.

Perokok dan peminum alkohol. Perokok berat dapat mengalami irritasi pada saluran
pernafasan (bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi muccus (riak/dahak), Apabila
riak/dahak mengandung bakteri maka dapat menyebabkan Pneumonia. Alkohol dapat
berdampak buruk terhadap sel-sel darah putih, hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan
tubuh dalam melawan suatu infeksi.

Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU). Pasien yang dilakukan
tindakan ventilator (alat bantu nafas) endotracheal tube sangat beresiko terkena
Pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke
arah kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas
(ventilator) maka potensial tinggi terkena Pneumonia.

Menghirup udara tercemar polusi zat kemikal. Resiko tinggi dihadapi oleh para petani
apabila mereka menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal (chemical) tanpa memakai
masker adalah terjadi irritasi dan menimbulkan peradangan pada paru yang akibatnya
mudah menderita penyakit Pneumonia dengan masuknya bakteri atau virus.

Pasien yang lama berbaring. Pasien yang mengalami operasi besar sehingga
menyebabkannya bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan salah satu resiko tinggi
terkena penyakit Pneumonia, dimana dengan tidur berbaring statis memungkinkan
riak/muccus berkumpul dirongga paru dan menjadi media berkembangnya bakteri.

Gejala yang berhubungan dengan pneumonia termasuk batuk, sakit dada, demam, dan
kesulitan bernafas. Sedangkan tanda-tanda menderita Pneumonia dapat diketahui setelah
menjalani pemeriksaan X-ray (Rongent) dan pemeriksaan sputum.4
Penyebab yang mendasari CHF harus ditegakkan dari yang berikut:6

Iskemia/infark miokard
Kardiomiopati hipertrofi hipertensi
Penyakit katup jantung
Kardiomiopati primer (idiopatik, alcohol, pascainfeksi, amiloidosis, restriktif)
Penyakit pericardium
Kelebihan beban cairan (iatrogenic versus gagal ginjal)

Etiologi
Penyakit yang menyebabkan kerusakan atau beban berlebih pada kemampuan pompa
jantung menyebabkan gagal jantung.7
Penting untuk dipertimbangkan adanya factor memperberat :

Aritmia (misalnya fibrilasi atrium)


Masalah dengan obat (tidak patuh, obat penahan cairan, misalnya obat antiinflamasi

nonsteroid (OAINS))
Anemia
Infeksi, misalnya pneumonia, infeksi saluran kemih
Penyakit tiroid.

Epidemiologi
1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF; terjadi 700.000
perawatan di rumah sakit pertahun. Factor resiko terjadinya gagal jantung yang paling sering
adalah usia. CHF merupakan alasan paling umum bagi lansia untuk dirawat dirumah sakit (75%
pasien yang dirawat dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun). 44% pasien Medicare yang
dirawat karena CHF akan dirawat kembali pada 6 bulan kemudian. Terdapat 2 juta kunjungan

pasien rawat jalan per tahun yang menderita CHF; biasanya diperkirakan 10 miliar dollar per
tahun. Daya tahan hidup selama 8 tahun bagi semua kelas CHF adalah 30%; untuk CHF berat,
angka mortalitas dalam 1 tahun adalah 60%. Factor resiko terpenting untuk CHF adalah penyakit
arteri koroner dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah factor resiko terpenting kedua
untuk CHF. Factor resiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, diabetes, dan
penyakit katup jantung.6

Gejala klinis
Manifestasi klinis GJA memberikan gambaran/ kondisi spectrum yang luas dan setiap
klasifikasi tidak akan dapat menggambarkan secara spesifik. Pasien dengan GJA biasanya
memperlihatkan salah satu dari enam bentuk GJA. Edema paru tidak selalu menyertai semua
keenam bentuk GJA.8
Keenam bentuk dari PJA ini, adalah:
a

Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK) dekompensasi, adanya riwayat perburukan yang
progresif pada penderita yang sudah diketahui dan mendapat terapi sebelumnya sebagai
penderita GJK dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru. Tekanan darah

yang rendah pada saat masuk RS, merupakan petanda prognose buruk.
Edema paru. Pasien dengan respiratori distress yang berat, pernafasan yang cepat, dan
orthopnea dan ronchi pada seluruh lapang paru. Saturasi O2 arterial biasanya <90% pada

suhu ruangan, sebelum mendapat terapi oksigen.


Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tanda-tanda gagal jantung yang disertai dengan
tekanan darah tinggi dan biasanya fungsi sistolik jantung massif relative cukup baik, juga
terdapt tanda-tanda peninggian tonus simpatitik dengan takikardia dan vasokonstriksi. Pasien
mungkin masih eu volemia atau hanya hipervolemia yang ringan. Umumnya memperlihatkan

kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik.


Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya bukti tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang
disebabkan oleh gagal jantung, walau sesudah preload dan aritmia berat sudah dikoreksi
secara adekuat
Tidak ada parameter hemodinamik diagnostic yang pasti. Akan tetapi cirikhas dari syok
kardiogenik adalah tekanan darah sistolik yang rendah (tekanan darah sistolik <90mmHg,

atau penurunan dari tekanan arteriol rata-rata (mean arterial pressure >30mmHg), dan tidak
adanya produksi urin, atau berkurang (<0,5ml/kg/jam). Gangguan irama jantung sering
e

ditemukan. Tanda-tanda hipoperfusi organ dan kongestiparu timbul dalam waktu cepat.
Gagal jantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya sindroma low out put tanpa disertai
oleh kongesti paru dengan peninggian tekanan vena jugularis dengan atau tanpa

hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah.


Sindroma koroner akut dan gagal jantung
Banyak penderita GJA timbul bersama dengan SKA yang dibuktikan dari gambaran klinis
dan pemeriksaan penunjang. Kira-kira 15% penderita SKA memperlihatkan tanda-tanda dan
gejala gagal jantung.8
Gagal jantung kiri: sesak napas, diperberat bila berbaring (ortopnea), terutama saat

tengah malam (dispnea nocturnal paroksismal(paroxysmal nocturnal dyspnoea (PND)). Tandatanda yang muncul diantaranya adalah takipnea, takikardia, terdengarnya bunyi jantung ketiga
dan ronki paru bibasilar saat inspirasi. Kenaikan tekanan vena jugularis (JVP) dan edema perifer
biasa tidak ada.7
Gagal jantung kanan: retensi cairan pada tungkai, pada kasus yang berat dapat terjadi
asites. Tanda-tanda yang ditemukan adalah kenaokan JVP dan edema perifer.
Gagal jantung kronis: pada CHF yang berlangsung lama terhadi pembesaran jantung
(kardiomegali dan regurgitasi mitral/tricuspid sekunder). Penurunan otot skelet (kaheksia
jantung) bisa substansial dan menyebabkan fatigue, kelelahan, dan kelemahan. Tinngkat berat
penyakit ditentujan oleh klasifikasi dari New York Heart Association (NYHA)
Kelas NYHA
Sesak napas
I
Tidak ada
II
Pada aktivitas berat
III
Pada aktivitas sedang
IV
Saat istirahat
Tabel 2. Klasifikasi menurut New York Heart Association7

Patofisiologis

Gagal jantung merupakan sindrom, walaupun penyebabnya berbeda-beda, namun bila


terjadi memiliki gejala, tanda , dan patofisiologis yang sama. Curah jantung yang tidak adekuat
menstimulasi mekanisme kompennsasi yang mirip dengan respon terhadap hipovolemia.
Walaupun awalnya bermanfaat, pada akhirnya mekanisme ini menjadi maladaptive:7

Aktifasi neurohormonal terjadi dengan peningkatan vasokonstriktor (renin, angiotensin


II, katekolamin) yang memicu retensis haram dan air serta meningkatkan beban akhir
(afterload) jantung. Hal tersebut mengurangi pengosongan venntrikel kiri dan
menurunkan curah jantung, yang menyebabkan aktivasi neuroendokrin yang lebih hebat,
sehingga meningkatkan afterload dan seterusnya, yang akhirnya membentuk lingkaran

setan.
Dilatasi ventrikel adalah terganggunya fungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan
retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak
efisien secara mekanis (hokum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misalnya pada
penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas dak aktivasi
neuroendokrin.
a Klasifikasi
Klasifikasi berbagai sindrom gagal jantung dibuat berdasarkan gambaran umum yang

mendominasi sindrom klinis secara keseluruhan. Hal ini bisa membantu menegakkan diagnosis.

Gagal jantung akut (acute heart failure (AHF)) secara garis besar sama dengan gagal
jantung kiri dan disebabkan oleh kegagalan mempertahankan curah jantung yang terjadi
mendadak. Tidak terdapat cukup waktu untuk terjadinya mekanisme kompensasi dan

gambaran klinisnya didominasi oleh edema paru akut.


Gagal jantung kronis (chronic heart failure (CHF)) secara garis besar sama dengan gagal
jantung kanan. Curah jantung menurun secara bertahap, gejala dan tanda tidak terlalu
jelas, dan didominasi oleh gambaran yang menunjukan mekanisme kompensasi. Yang
membingungkan, sering terjadi gagal jantung kiri dan kanan sekaligus, biasanya karena
gagal jantung kiri kronis menyebabkan hipertensi pulmonal sekunder dan gagal jantung
kanan. Kegagalan biventricular kronis disebut gagal jantung kongestif.7

Tatalaksana

Farmakologi
Gagal jantung terjadi bila curah jangtung tidak cukup untuk memberikan perfusi yang
adekuat ke jaringan, walaupun pengisian jantung berlangsung normal. Hal tersebut
menyebabkan berbagai gejala misalnya fatigue, edema, kesulitan bernapas, dan toleransi
latihan yang menurun. Gagal jantung kongestif biasa diartikan sebagai kombinasi dari gagal
jantung kanan dan kiri, menyebabkan kongesti paru dan edema perifer. Penyebab gagal
jantung termasuk hipertensi, penyakit katup, kardiomiopati, yang paling sering adalah
penyakit jantung koroner. Curah jantung yang rendah pada gagal jantung menyebabkan
aktivitas saraf simpatis meningkat, yang menstimulasi frekuensi serta kekuatan denyut
jantung dan mempertahankan tekanan darah dengan meningkatkan resistensi vascular. Pada
gagal jantung, peningkatan tahanan yang harus dilawan jantung (afterload) akan semakin
menekan curah jantung. Aliran darah ginjal yang berkurang menyebabkan sekresi renin dan
peningkatan kadar angiotensin serta aldosteron plasma. Retensi natrium dan air
meningkatkan volume darah, meningkatkan tekanan vena sentral (preload), dan terjadi
pembentukan edema. Perubahan-perubahan akibat kompensasi ini pada awalnya membantu
mempertahankan curah jantung, namun dengan waktu yang lebih pancang menyebabkan
perubahan (misalnya dilatasi ventrikel abnormal) yang meningkatkan mortalitas dan
morbiditas. Hanya obat-obatan penghambat neurohormon yang terlibat pada perubahanperubahan kompensasi ini yang meningkatkan ketahanan hidup pada pasien dengan gagal
jantung kronis (yaitu inhibitor ACE, bloker B).9
Terapi gagal jantung ringan biasanya dimulai dengan inhibitor ACE. Inhibitor ACE (misalnya
kaptopril) menurunkan beban pada jantung dan uji klinis telah menunjukkan bahwa inhibitor
ACE menurunkan gejala, memperlambat progresi penyakit, dan memperpanjang hidup pada
gagal jantung kronis. Pada gagal jantung yang lebih berat, ditambahkan suatu diuretic, yang
meningkatkan ekskresi natrium dan air. Dengan menurunkan volume dalam sirkulasi, maka
preload dan edema akan berkurang. Tiazid (misalnya bendroflumetiazid) bisa saja cukup,
namun seringkali dibutuhkan diuretic loop (misalnya furosemid). Bila gagal jantung sangat
berat di mana kombinasi diuretic dengan inhibitor ACE gagal untuk menghasilkan respons
yang adekuat, maka bisa ditambahkan digoksin, yang merupakan obat inotropik. Semua obat
inotropik meningkatkan kekuatan otot jantung dengan menambah peningkatan kalsium
sitosol yang terjadi pada setiap potensial aksi. Digoksin meningkatkan kalsium intraselular
secara tidak langsung, dengan menghambat Na/K ATPase membrane. Semua obat inotropik

cenderung menyebabkan aritmia karena kalsium sitosol yang berlebihan dapat memicu aliran
membrane aritmogenik.
Uji terbaru menunjukkan bahwa pada gagal jantung ringan/ sedang dan berat, penambahan
bloker B semakin menurunkan mortalitas pada pasien yang mendapat inhibitor ACE dan
diuretic. Pada pasien dengan gagal jantung berat dan dengan gejala yang tidak dapat
dikendalikan dengan terapi standar, penambahan spironolakton telah menunjukkan
penurunan mortalitas dari 46% menjadi 35%.
Inhibitor ACE
Dilatasi vena menurunkan tekanan pengisian (preload) dan dilatasi arteriol menurunkan
afterload. Pengurangan tonus vascular menurunkan kerja serta kebutuhan oksigen pada gagal
jantung. Inhibitor ACE (misalnya kaptopril, enalapril) merupakan vasodilator yang paling sesuai
pada gagal jantung, karena dapat menurunkan resistensi arteri maupun vena dengan mencegah
peningkatan angiotensin II(vasokonstriktor) yang sering ditemukan pada gagal jantung. Curah
jantung menungkat dank arena terjadi penurunan resistensi renovaskular, terjadi peningkatan
aliran darah ginjal. Efek yang terakhir ini, bersama dengan pelepasan aldosteron yang berkurang
(angiotensin II merupakan stimulus untuk pelepasan aldosteron), meningkatkan ekskresi Na dan
H2O, menurunkan volume darah, dan mengurangi aliran balik vena ke jantung. Inhibisi ACE
juga mengurangi efek pertumbuhan langsung yang dilakukan angiotensin pada jantung.
Antagonis angiotensin (misalnya losartan) bisa atau tidak bisa mempunyai efek lmenguntungkan
yang sama seperti inhibitor ACE. Vasodilator lain (misalnya isosorbid mononitrat dengan
hidralazin) saat ini hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi inhibitor ACE.9

Bloker
Bloker secara akut dapat menurunkan kontraktilitas miokard dan memperberat gagal

jantung. Akan tetapi, penggunaan jangka panjang dengan meyakinkan telah menunjukkan
perbaikan ketahanan hidup pada pasien dengan gagal jantung yang stabil, kemungkinan dengan
memblok efek pperusakan dari aktivitas simpatis yang berlebihan. Untuk mencegah efek
samping, terapi dimulai dengan dosis rendah yang secara bertahap ditingkatkan selama periode
beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada uji klinis, karvedilol, bisoprolol, dan metoprolol,
yang diberikan bersama inhibitor ACE dan diuretic selama kira-kira 1 tahun dapat menurunkan
mortalitas dari 11-17% menjadi 7-12%.9

Obat inotropik
Digoksin, suatu glikosida yang diekstrak dari daun foxglove (Digitalis sp), merupakan

obat inotropik yang paling penting.


Efek mekanis dan manfaat terapi
Digoksin meningkatkan kekuatan kontraksi jantung pada gagal jantung. Manfaat ini
seringkali diragukan pada pasien dengan gagal jantung kronis pada ritme sinus, namun uji klinis
terbaru telah menunjukkan bahwa digoksin dapat menurunkan gejala gagal jantung pada pasien
yang sudah mendapay diuretic dan inhibitor ACE. Digoksin khususnya diindikasikan pada gagal
jantung akibat fibrilasi atrium.9
Mekanisme kerja
Digoksin menghambat Na/K ATPase membrane, yang berperan dam pertukaran Na/K
melalui membrane sel otot. Hal ini meningkatkan Na intraselular dan menghasilkan peningkatan
sekunder Ca intraselular yang meningkatkan kekuatan kontraksi miokard. Penigkatan Ca
intraselular yang terjadi karena penurunan gradient Na sepanjang membrane, mengurangi
pengeluaran Ca oleh penukar Na/Ca yang terjadi selama diastole.
Digoksin dan ion K berkompetisi untuk sebuah reseptor (Na/K-ATPase) pada sisi luar
membrane sel otot, sehingga efek digoksin bisa meningkat secara membahayakan pada
hipokalemia sebagai contoh yang disebabkan oleh diuretic.9
Efek listrik
Efek ini merupakan akibat dari campuran efek langsung dan tidak langsung yang
kompleks
Efek langsung
Padas el atrium dan ventrikel, potensial aksi serta periode refrakter memendek, karena
peningkatan Ca intraselular menstimulasi kanal kalium. Konsentrasi yang toksik menyebabkan
depolarisasi (akibat inhibisi pompa Na) dan tampak oscillatory depolarizing afterpotentials
setelah potensial aksi normal (disebabkan oleh Ca intraselular yang meningkat). Bila

afterpotential yang tertunda mencapai ambang batas, maka akan terjadi potensial aksi yang
menyebabkan denyut ektopik. Dengan toksisitas yang meningkat, denyut ektopik tersebut
selanjutnya membangkitkan denyut lain, menyebabkan aritmia yang dipertahankan sendiri
(takikardia ventricular) yang bisa berlanjut menjadi fibrilasi ventricular.
Efek tidak langsung
Digoksin meningkatkan aktivitas vagus sentral dan memfasilitasi transmisi muskarinik
pada jantung. Hal ini : (i) memperlambat frekuensi jantung; (ii) memperlambat konduktansi
atrioventrikular; dan (iii) memperpanjang periode refrakter nodus atrioventrikular. Penggunaan
digoksin adalah karena efeknya pada fibrilasi atrium, namun pada kadar toksik terjadi blok
jantung.9
Efek pada organ lain
Digoksin mempengaruhi semua jaringanyang dapat dieksitasi, kardioselektivitasnya
berasal dari ketergantungan yang berasal dari fungsi miokard terhadap kecepatan pengeluaran
natrium. Efek di luar jantung yang paling sering terjadi adalah pada usus, dan digoksin bisa
menyebabkan anoreksia, mual, muntah, atau diare. Efek-efek ini sebagian disebabkan oleh efek
pada otot polos usus dan sebagian merupakan akibat perangsangan vagus sentral serta
chemoreceptor trigger zone. Efek yang jarang terjadi adalah confusion atau bahkan psikosis.
Toksisitas
Toksisitas digoksin cukup sering terjadi karena aritmia dapat terjadi pada konsentrasi
yang hanya dua atau tiga kali lipat dari konsentrasi terapi yang optimal. Berdasarkan
keparahannya, terapi toksisitas dapat berupa penghentian obat, siplementasi kalium, obat
antiaritmia (fenitoin atau lidokain), atau pada intoksikasi sangat berat, fragmen antibody spesifik
digoksin.

Obat simpatomimetik
Obat ini mengaktivasi reseptor B jantung dan menstimulasi adenilat siklase, suatu efek

yang diperantarai oleh protein G yang disebut G2. Hal tersebut menyebabkan peningkatan cAMP
yang mengaktivase protein kinase yang tergantung cAMP, yang menyebabkan fosforilasi kanal

Ca tipe L dan meningkatkan kemungkinan pembukaannya. Hal tersebut meningkatkan influx Ca


dan kekuatan kontraksi miokard. Tidak seperti digoksin yang mempunyai efek netral pada
ketahanan hidup, obat inotropik positif lainnya dapat meningkatkan mortalitas. Untuk alasan
tersebut, obat inotropik nonglikosida digunakan hanya untuk jangka pendek pada pasien refrakter
atau pasien yang sedang menunggu transplantasi jantung. Debutamin diberikan secara infus
intravena pada gagal jantung berat akut. Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor B1 pada
jantung dan meningkatkan kontraktilitas dengan sedikit efek pada frekuensi. Selain itu, kerja
padapada jantung dan meningkatkan kontaktilitas dengan sedikit efek pada frekuensi. Selain itu,
kerja pada reseptor B2 menyebabkan vasodilatasi. Dopamine yang diberikan secara infuse
intavena dengan dosis rendah pada pasien sehat meningkatkan perfusi ginjal dengan
menstimulasi reseptor dopamine pada susunan pembuluh darah ginjal. Penemuan ini terus
mendorong penggunaan dopamine dosis rendah (bersama dengan dobutamin) pada syok
kardiogenik, dimana sering terjadi perburukan fungsi ginjal. Akan tetapi, penilitian baru-baru ini
menemukan bahwa pemberian dopamine dosis rendah pada pasien dengan penyakit kritis tidak
bermanfaat.9
b

Nonfarmakologi
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta upaya bila

timbul keluhan, dan dasar pengobatan


Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual serta rehabilitasi
Edukasi pola diet kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alhokol.
Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan
Mengurangi berat badan pada pasien obesitas
Hentikan merokok
Pada perjalanan jauh dengan pesawat ketinggian udara pasnas dan humiditas memerlukan

perhatian khusus.
Konseling mengenai obat baik efek samping dan menghindari obat-obatan tertentu.

Komplikasi

Tromboemboli : resiko terjadinya bekuan vena ( thrombosis vena dalam atau DVT (deep
venous thrombosis) dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF
berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.

Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut jantung (dengan pemberian

digoksin/bloker B) dan pemberian warfarin.


Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretic dengan dosis yang

ditinggikan. Transplantasi jantung merupakan pilihan pada pasien tertentu.


Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian jantung
mendadak (25-50% kematian pada CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron,
bloker B, dan defibrillator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.7

Pencegahan
Banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah progresivitas keadaan dan bahkan
timbulnya penyakit pada pasien lanjut-usia. Diet yang tidak memadai pada manula harus
diperbaiki; bagi pasien yang kurang mendapatkan pajanan sinar matahari dan masukan vitamin
D, pemakaian sebutir kapsul multivitamin setiap hari dianjurkan. Penggunaan tembakau dan
alcohol harus dikurangi, mengingat manfaat penghentiannya yang jelas sekalipun bagi mereka
yang berusia diatas 65 tahun. Pentingnya meninjau seluruh riwayat pengobatan pasien dan
kemudian menghentikan penggunaan obat yang tidak perlu tidak usah ditegaskan secara
berlebihan lagi.
Olahraga harus dianjurkan bukan saja demi pengaruhnya yang bermanfaat bagi tekanan
darah, kondisi kardiovaskular, homeostasis glukosa, densitas tulang, dan status fungsional,
melainkan juga karena olahraga dapat memperbaiki suasana hati serta interaksi social,
mengurangi insomnia serta konstipasi, dan mencegah keadaan sering terjatuh.10

Prognosis
Martalitas I tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan berkaitan
dengan derajat keparahannya. Data Framingham yang dikumpulkan sebelum penggunaan
vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukan mortalitas I tahun rerata sebesar 30% bila semua
pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60% pada NYHA kelas IV.
Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar kanker. Kematian

terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga karena aritmia) dengan
frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah factor yang berkaitan dengan prognosis pada gagal
jantung:3

Klinis : semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis, semakin

buruk prognosis;
Hemodinamik: semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi, semakin

buruk prognosis;
Biokimia: terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin, vasopressin,
dan peptide natriuretik plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan prognosis yang lebih

buruk; dan
Aritmia : focus ektopik ventikel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan
EKG ambulatory menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia ventrikel
hanya merupakan penanda prognosis yang buruk atau apakah aritmia merupakan
penyebab kematian.

Stroke dan Tromboemboli


Insidensi keseluruhan tahunan stroke atau tromboemboli pada gagal jantung sebesar 2%.
Factor predisposisi antara lain adalah imobilitas, curah jantung rendah, dilatasi ventrikel atau
aneurisma, dan AF. Resiko tahunan stroke pada penelitian gagal jantung sekitar 1,5% pada gagal
jantung ringan/ sedang dan 4% pada yang berat, dibandingkan dengan 0,5% pada kontrol.3

Penutup
Gagal jantung (GJ) adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh dengan adekuat,
akibat adanya gangguan structural dan fungsional dari jantung. Mendiagnosa gagal jantung akut
dilakukan dengan mengevaluasi keluhan yang diberitaukan oleh pasien, serta melihat hasil
seletah dilakukannya pemeriksaan fisik baik dari tampak keadaan pasien, keadatan tanda-tanda
vital, dan hasil dari pemeriksaan jantung, torak, abdomen, ekstremitas. Serta bisa dibantu oleh
hasil dari elektrokardiogram, foto thoraks, pemeriksaan laboratorium,ekokardiografi, tes latihan
fisik, dan katerisasi jantung. Dengan diagnose yang tepat maka dapat dipikirkan sejak awal apa

terapi yang tepat untuk secepatnya memperbaiki gejala-gejala atau keluhan-keluhan dan
menstabilkan kondisi hemodinamik

Daftar Pustaka
1

Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga Medical

Series; 2005.hlm 116


Bakta IM, Suastika IK. Gawat daruraat di bidang penyakit dalam.Jakarta; EGC; 2003.hlm

37
Safitri A. Lecture notes kardiologi. Edisi 4 Jakarta: Erlangga Medical Series; 2003.hlm

4
5

86-8.
Danusantoso H.Buku saku ilmu penyakit paru. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2012.hlm 75-83
Maranatha D. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam : Wibisono MJ, Winariani, Hariadi
S. Buku ajar ilmu penyakit paru.Cetakan 2. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK

Unair; 2010.hml 37-9


Yulianti D. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan manajemen. Edisi 2. Jakarta :

7
8

EGC; 2007 hlm 53-7


Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2005. Hlm 150
Manurun D. Gagal jantung akut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyoso B, Alwi A, K Simadibrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi 5. Jakarta : EGC;2011. Hlm

1586-95
Surapsari J. At a glance farmakologi medis. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga medical

series;2006. Hlm 42-3


10 Asdie AH. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13.Vol 1.Jakarta :EGC;2007. Hlm
223

Anda mungkin juga menyukai