Anda di halaman 1dari 28

PENGARUH POLIVINIL PIROLIDON

TERHADAP LAJU DISOLUSI FUROSEMID


DALAM SISTEM DISPERSI PADAT

OLEH :
CAHAYA MENTARI
N111 16011
DISOLUSI DAN DISPERSI PADAT (A)

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Biopharmaceutical Classification System (BCS) merupakan


pengklasifikasian zat obat berdasarkan permeabilitas pada usus dan
kelarutannya dengan air. BCS terbagi dalam 4 kelas, yaitu kelas I untuk
kelarutan dan permeabilitas tinggi, kelas II untuk kelarutan rendah tetapi
permeabilitas tinggi, kelas III untuk kelarutan tinggi tetapi permeabilitas
rendah, dan kelas IV untuk kelarutan dan permeabilitas rendah (Martin et al.,
2011). Untuk obat yang termasuk kedalam BCS kelas II, proses disolusi
menjadi tahap penentu absorbsi obat (Sutriyo dkk., 2008). Sehingga diperlukan
suatu usaha untuk meningkatkan disolusi yang dapat dilakukan dengan
meningkatkan kelarutan obat untuk mempercepat proses absorbsi dan onset
kerja obat.
Furosemid merupakan obat golongan diuretika kuat, yang efektif untuk
pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal dan hipertensi.
Pengobatan dengan furosemid sering menimbulkan permasalahan bioavaibilitas
per oral. Permasalahan bioavailabilitas yang timbul sering dikaitkan dengan laju
disolusi furosemid yang rendah. Furosemid memiliki titik lebur cukup tinggi
yaitu 206°C dan praktis tidak larut dalam air (Al Obaid et al 1989). Umumnya
absorpsi obat di saluran cerna terjadi secara difusi pasif. Agar dapat diabsorpsi,
obat harus larut dalam cairan pencernaan. Sebelum absorpsi terjadi, suatu
bentuk sediaan tablet mengalami disintegrasi, deagregasi dan disolusi.
Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi dapat berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan. Proses
disintegrasi belum menggambarkan pelarutan sempurna suatu obat. Partikel-
partikel kecil hasil disintegrasi akan terdisolusi. Disolusi merupakan proses
dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan.
Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu tahapan
penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat. Laju pelarutan obat di dalam
saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri (Abdou H.M., 1989).
Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas. Salah satu metode
untuk meningkatkan laju disolusi obat adalah dengan pembentukan dispersi
obat yang sukar larut dalam pembawa polimer. Salah satu pembawa polimer
yang akan dapat digunakan adalah polivinilpirolidon (PVP).

1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh polivinilpirolidon
(PVP) terhadap laju disolusi furosemid dalam sistem disperse padat dan
campuran fisik.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Dispersi Padat

Dispersi padat merupakan dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam
pembawa inert atau matriks pada keadaan padat. Dispersi padat diklasifikasikan
dalam enam tipe yaitu campuran eutektik sederhana, larutan padat, larutan dan
suspense gelas, pengendapan amorf dalam pembawa kristal, pembentukan
senyawa kompleks dan kombinasi dari lima tipe di atas. Pembuatan disperse
padat dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: metode peleburan
(melting method), metode pelarutan (solvent method), dan metode campuran
(melting-solvent method) (Chiou et al 1971).

2.2 Klasifikasi Dispersi Padat

Dispersi padat dapat terbagi dalam 6 tipe, yaitu campuran eutektik


sederhana, larutan padat, larutan dan suspensi gelas, endapan amorf dalam
pembawa kristal, gabungan senyawa atau bentuk kompleks, dan kombinasi
dari kelima tipe sebelumnya (Singh et al., 2011).

1. Campuran Eutektik Sederhana

Campuran eutektik sederhana dilakukan melalui proses pemadatan


dengan cepatantara dua senyawa yang dileburkan. Campuran ini secara
termodinamika mirip dengan campuran fisik komponenkomponen
kristalnya. Sehingga, pola difraksi sinar X merupakan penjumlahan dari
kedua komponennya (Kumar dan Singh, 2013).

2. Larutan Padat
Larutan padat merupakan dua komponen kristal yang berada dalam
satu fase homogen. Ukuran dari partikel obat dapat berkurang sampai
tingkat molekular sehingga kecepatan disolusi dari larutan padat lebih tinggi
jika dibandingkan dengan campuran eutektik sederhana (Kumar dan Singh,
2013).

3. Larutan dan Suspensi Gelas

Larutan gelas merupakan keadaan dimana solut terlarut dalam


sistem gelas yang homogen. Suspensi gelas sendiri adalah campuran antara
partikel yang mengendap dan tersuspensi dalam sistem gelas. Contoh dari
pembawa yang dapat membentuk larutan dan suspensi gelas adalah asam
sitrat, dekstrosa, sukrosa, dan galaktosa (Kumar dan Singh, 2013).

4. Endapan amorf dalam Pembawa Kristal

Endapan amorf dalam pembawa kristalin merupakan obat yang


awalnya berbentuk kristalin, tetapi pada pembawa kristalin mengendap
dalam bentuk amorf. Hal ini terjadi karena obat tersebut memiliki
kecenderungan mengendap lebih cepat dalam bentuk amorf jika terdapat
pembawa (Kumar dan Singh, 2013).

5. Gabungan Senyawa atau Bentuk Kompleks

Gabungan senyawa atau bentuk kompleks ditandai dengan adanya


kompleksasi dari dua komponen selama pembuatan dispersi padat. Yang
mempengaruhi dalam pembentukan kompleks adalah kelarutan, disosiasi
konstan, dan tingkat penyerapan instrinsik kompleks (Kumar dan Singh,
2013).

6. Kombinasi dari kelima tipe sebelumnya

Tipe dispersi padat yang termasuk kategori kombinasi adalah jika


merupakan gabungan dari dua atau lebih dari lima tipe sebelumnya
2.3 Pemilihan Pembawa

Pembawa memiliki pengaruh besar terhadap karakteristik disolusi dari


disperse obat. Kriteria yang harus dipenuhi agar dapat meningkatkan disolusi obat
adalah (Tiwari et al., 2009):

a. Mudah larut dalam air dengan sifat disolusi yaitu intrinsik cepat.

b. Nontoksik dan inert secara farmakologi

c. Stabil pada panas dengan suhu peleburan rendah

d. Larut pada berbagai macam pelarut

e. Kompatibel dengan obat dan ikatan kompleks yang terbentuk dengan obat
tidak kuat.

f. Mampu meningkatkan daya kelarutan air pada obat.

Dispersi padat dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaan basis


pembawanya, yaitu (Kumari et al., 2013):

1. Generasi Pertama, dimana dibuat menggunakan pembawa pertama yang


digunakan dalam dispersi padat yaitu pembawa kristal seperti urea dan gula.

2. Generasi Kedua, dimana dibuat menggunakan pembawa amorf seperti


polimer dan bukan pembawa krisral. Polimer yang dapat digunakan adalah
polimer alami seperti HPMC, etil selulosa, dan hidroksipropilselulosa atau
dengan polimer sintetis seperti PVP, PEG, dan polymethacrylates.

3. Generasi Ketiga, dimana dibuat menggunakan pembawa yang memiliki


sifat pengemulsi sendiri seperti penggunaan surfaktan inulin, compritol
888 ATO, atau poloxamer 407.
2.4 Keuntungan Dan Kerugian Dispersi Padat

2.4.1 Keuntungan Dispersi Padat

Dispersi padat banyak digunakan dengan tujuan untuk mengurangi


ukuran partikel, meningkatkan pembasahan, mengurangi struktur kristal
obat dalam bentuk amorf, meningkatkan porositas obat, meningkatkan
kelarutan obat, menutupi rasa obat, menstabilkan obat yang tidak stabil, dan
mempersiapkan tablet oral dengan disintegrasi yang cepat. Keuntungan dari
penggunaan dispersi padat adalah (Pankaj dan Prakash, 2013):
1. Ukuran Partikel Berkurang

Dispersi padat merupakan cara untuk mengurangi ukuran partikel


dimana obat akan terdispersi secara molekular dalam medium disolusi.
Ukuran partikel yang berkurang akan menyebabkan tingginya luas
permukaan, sehingga laju disolusi meningkat dan dapat meningkatkan
bioavaibilitas obat.

2. Peningkatan Kemampuan Obat Terbasahi

Selama pembuatan dispersi padat, kemampuan obat untuk terbasahi


juga akan meningkat sehingga akan meningkatkan kelarutan obat. Bahan
pembawa dapat meningkatkan pembasahan dari partikel obat sehingga
dapat mempengaruhi profil disolusi obat.

3. Obat dalam Bentuk Amorf

Penggunaan dispersi padat dapat menurunkan kristalinitas suatu


obat dimana obat kristal yang sukar larut, kelarutannya cenderung
meningkat ketika dalam keadaan amorf. Hal ini disebabkan karena tidak ada
energi yang dibutuhkan untuk memecah kristal obat selama proses disolusi
sehingga peningkatan pelepasan obat dapat dicapai dengan penggunaan obat
dalam bentuk amorf.
4. Porositas Lebih Tinggi

Dispersi padat dapat menghasilkan partikel dengan porositas lebih tinggi


tergantung pada sifat pembawanya. Porositas pada partikel yang dihasilkan
akan meningkat sehingga juga akan mempercepat pelepasan obat.

2.4.2 Kerugian Dispersi Padat

Kelemahan utama dari penggunaan dispersi padat adalah


ketidakstabilannya. Beberapa kerugian yang menjadi
pertimbangan dalam pemilihan penggunaan dispersi padat adalah (Sridhar
dkk., 2013):

1. Penggunaan tidak secara luas pada produk komersial karena pada proses
penyimpanan memungkinkan terjadinya kristalisasi akibat pengaruh
suhu dan kelembapan. Menurut Tian, et al (2014), dispersi padat yang
disimpan pada suhu ruang (±25⁰C) pada waktu lebih dari 2 bulan dapat
menyebabkan terjadinya proses penuaan fisik (physical aging process).
Pada proses ini, obat cenderung mengalami aglomerasi untuk
mengurangi luas permukaan total. Meningkatnya ukuran molekul obat
dapat menjadi penyebab menurunnya laju disolusi (Florence dan
Attwood, 2006).
2. Sebagian besar polimer yang digunakan menyerap kelembapan,
sehingga terjadi pemisahan fasa dan perubahan bentuk dari amorf
menjadi kristal. Hal ini berdampak pada penurunan kelarutan dan laju
disolusi.
3. Memiliki beberapa keterbatasan seperti mahal, tidak stabil, dan sulit
digabungkan dengan formulasi sediaan obat.
2.5 Mekanisme Pelepasan Dispersi Padat

Mekanisme Pelepasan Dispersi Padat

Mekanisme pelepasan obat dari polimer pada dispersi padat tergantung pada
kelarutan obat dalam lapisan difusi polimer yang nantinya juga akan mempengaruhi
laju disolusi obat tersebut. Terdapat dua mekanisme pelepasan obat pada dispersi
padat yaitu carried controlled dissolution dan drug controlled dissolution. Pada
pelepasan dengan mekanisme carried controlled dissolution, laju disolusi
bergantung pada polimer pembawa dimana obat yang larut dengan cepat pada
lapisan difusi polimer, ukuran partikelnya akan menurun karena
terdispersi secara molekular dalam lapisan difusi polimer dan akan terlepas ke
medium pelarut (Craig, 2002).

Sedangkan pada pelepasan dengan mekanisme drug controlled dissolution,


laju disolusi tergantung dari obat itu sendiri dimana obat larut dengan lambat pada
lapisan difusi polimer sehingga terlepas ke medium
pelarut dalam bentuk partikel padat. Tetapi pelepasan obat pada mekanisme drug
controlled dissolution tetap dapat meningkatkan disolusi obat jika dibandingkan
obat konvensional karena luas permukaan yang lebih tinggi, penurunan aglomerasi,
dan peningkatan pembasahan. Namun pelepasan dengan mekanisme carried
controlled dissolution dapat meningkatkan laju disolusi yang lebih baik jika
dibandingkan dengan mekanisme drug controlled release (Craig, 2002). Skema
pelepasan obat pada sistem dispersi pada ditunjukkan pada gambar 1.

2.6 Metode Pembuatan Dan Metode Evaluasi Dispersi Padat

2.6.1 Metode Pembuatan Dispersi Padat

Pembuatan dispersi padat dapat dilakukan dengan menggunakan 3


metode yaitu metode solvent evaporation, metode melting, dan metode
campuran.
1.Metode Solvent Evaporation

Cara pembuatan dengan metode solvent evaporation dilakukan


dengan melarutkan obat dan pembawa dalam pelarut organik. Setelah
terdisolusi, pelarut diuapkan dengan cara pengeringan. Pengeringan yang
banyak digunakan dalam metode ini adalah pengeringan dengan vakum,
spray dring, dan freeze drying. Keuntungan dari metode ini adalah dapat
mencegah peruraian bahan obat ataupun pembawa karena penguapan
dilakukan pada suhu yang rendah. Sedangkan kerugian dari metode ini
adalah tidak ekonomis, pelarut sulit menguap secara sempurna, dan adanya
pengaruh pelarut terhadap kestabilan kimia obar sehingga sulit dihasilkan
bentuk kristal (Marison, 2015).

2.Metode Melting

Cara pembuatan dengan metode melting dilakukan dengan


menimbang masing-masing obat dan pembawa, kemudian dicampur
menggunakan mortar dan stamper. Campuran dipanaskan langsung hingga
melebur dan membentuk dispersi yang homogen. Leburan dispersi ini
kemudian didinginkan hingga memadat untuk mendapatkan massa yang
beku. Massa padat yang terbentuk ditumbuk dan diayak (Kumari et al.,
2013). Keuntungan dari metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Tetapi
kerugiannya yaitu tidak cocok digunakan untuk bahan-bahan yang tidak
tahan terhadap pemanasan (Marison, 2015).

3. Metode Campuran

Metode campuran merupakan campuran metode solvent


evaporation dan metode melting. Cara pembuatannya yaitu obat ditimbang
dan dilarutkan dalam pelarut organik yang sesuai. Kemudian larutan
dimasukkan ke dalam lelehan pembawa dengan menuangkan ke dalamnya.
Campuran ini didinginkan dan dikeringkan hingga membentuk massa
padat. Lalu massa padat dihancurkan, ditumbuk, dan diayak (Kumari et al.,
2013). Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk obat yang
termolabil dengan titik lebur tinggi. Tetapi kerugiannya yaitu hanya dapat
digunakan untuk obat dengan dosis terapetik dibawah 50 mg (Marison,
2015).

2.6.2 Metode Evaluasi Dispersi Padat

Evaluasi dispersi padat dapat dilakukan dengan berbagai macam metode


yaitu analisis termal, difraksi sinar X, spektroskopi, mikroskopi, disolusi, dan
kromatografi (Lestari dan Zaelani, 2014).

1. Analisis Termal

Analisis termal merupakan metode yang sangat umum digunakan


untuk mengetahui interaksi fisikokimia dari komponen-komponen dalam
sistem. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam analisis termal
adalah metode kurva pendingin, metode lebur cair, metode
termomikroskopik, DTA (Differential Thermal Analysis), DSC
(Differential Scanning Calorimeter), dan metode daerah peleburan. Metode
kurva pendingin digunakan untuk sampel yang
tidak stabil terhadap pemanasan untuk pembuatan diagram fase. Metode
lebur cair digunakan untuk membedakan system larutan padat dan eutektik
sederhana. Metode termomikroskopik digunakan untuk mengamati bentuk
diagram fase menggunakan mikroskop polarisasi. DTA digunakan untuk
mempelajari kesetimbangan fase sampel murni atau campuran. Sedangkan
metode daerah peleburan digunakan dalam pembuatan diagram fase untuk
penentuan komposisi eutektik dan kelarutan padat-padat (Lestasi dan
Zaelani, 2014).

2. Difraksi Sinar X

Difraksi sinar X merupakan metode yang umum digunakan untuk


mengetahui adanya interaksi antara komponen padat. Interaksi tersebut
dapat dilihat dari adanya fase amorf yang terbentuk akibat interaksi
komponenkomponen tersebut (Nurhadijah dkk., 2015). Cara kerja dari
analisis ini yaitu bahan yang akan dianalisis digerus sampai halus yang
kemudian dipreparasi lebih lanjut menjadi lebih padat dalam suatu holder
yang akan diletakkan pada alat uji dan diradiasi menggunakan sinar X. Data
hasil penyinaran sinar X berupa spektrum difraksi sinar X yang akan
terdeteksi dan tercatat dalam bentuk grafik peak intenstas, kemudian akan
dianalisis antara bidang kisi kristalnya (Anwar, 2015).

3. Spektroskopi

Metode ini terdiri dari spektroskopi ultraviolet dan inframerah. Pada


spektroskopi ultrabiolet, adanya kompleks baru atau interaksi antara zat
aktif dan pembawa dalam larutan ditandai dengan bergesernya
lamda/Panjang gelombang maksimum. Sedangkan pada spektroskopi
inframerah, adanya kompleks baru atau interaksi antara zat aktif dan
pembawa dalam larutan ditandai dengan pergeseran puncak serapan atau
terbentuknya serapan yang baru (Lestari dan Zaelani, 2014).
4. Mikroskopi

Metode mikroskopi digunakan untuk mempelajari polimorfisme dan


morfologi dari dispersi padat baik dari ukuran ataupun bentuk kristal
(Lestari dan Zaelani, 2014).

5.Disolusi
Metode disolusi digunakan untuk menguji dispersi padt jika
dibandingkan dengan campuran fisik komponennya (Lestari dan Zaelani,
2014). Uji disolusi dilakukan dengan tujuan untuk mengukur laju pelepasan
obat dari bentuk sediaan tertentu secara in vitro (Lachman et al., 1987).
Disolusi adalah proses dimana zat obat padat terlarut dalam pelarut. Laju
disolusi obat dengan kelarutan yang rendah sering mengontrol tingkat
penyerapan sistemik dari obat tersebut. Sehingga, uji disolusi dapat
digunakan untuk memprediksi bioavaibilitas obat (Shargel et al., 2004).

6.Kromatografi

Metode kromatografi digunakan untuk menentukan adanya interaksi


antar komponen dispersi padat seperti pembentukan kompleks dan
mengamati adanya penguraian akibat pembuatan dispersi padat (Lestari dan
Zaelani, 2014).
BAB III

METODE KERJA

3.1 Bahan dan Alat


3.1.1 Bahan
Furosemid (P.T. Pyridam), Polivinilpirolidon (PVP) K-30 (BASF Germany),
Etanol 96% (P.T. Brataco Chemika), larutan dapar fosfat pH 5,8.
3.1.2 Alat
Lemari pengering, timbangan analitik, alat laju disolusi tipe 2 (Erweka),
spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV-1601), spektrofotometer inframerah (FTIR
BioRed-Merlin), difraksi sinar-X (Philips X-Ray Diffractometer Type PW 3710), alat
uji termal (Differential Scanning Calorimetry Perkin-Elmer), alat-alat gelas
3.2 Cara Kerja
1. Pembuatan dispersi padat furosemid-PVP
Dispersi padat furosemid-PVP dibuat dengan menggunakan metode
pelarutan. Furosemid dan PVP ditimbang dan dilarutkan dalam etanol 96 % dalam
beker glass pada perbandingan yang berbeda antara
furosemid dan PVP. Perbandingan berat furosemid-PVP yang dibuat adalah 1:1,
1:3, 1:5, 1:7, 1:9, dan 1:15. Etanol 96% ditambahkan ke dalam
beker dengan volume lima kali massa PVP. Campuran dilarutkan dengan
bantuan ultrasonik sampai terbentuk larutan yang jernih dan homogen.
Pelarut etanol 96% dihilangkan dengan menguapkan larutan tersebut di dalam
lemari pengering. Dispersi padat yang terbentuk dikumpulkan
dan digerus dalam mortir, kemudian diayak dengan ayakan mesh 80 dan
disimpan dalam wadah gelas yang kedap udara (Pignatello et al 2002, Syukri et al
2002, Akbuga et al 1998).
2. Pembuatan serbuk campuran fisik
Sejumlah serbuk furosemid dan PVP dengan perbandingan berat tertentu
ditempatkan dalam mortir. Perbandingan yang dibuat adalah
1:1, 1:3, 1:5, 1:7, 1:9, dan 1:15. Campuran dibuat dengan triturasi
sederhana dalam mortir porselin, kemudian diayak dengan ayakan
mesh 80 dan disimpan dalam wadah gelas yang kedap udara.
3. Pembuatan kurva kalibrasi furosemide
Kurva kalibrasi dibuat dari serapan larutan furosemid dalam dapar pospat pH 5,8
dengan konsentrasi 1, 2, 3, 5, 10, dan 20 ppm. Masing-masing larutan diukur
konsentrasinya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum
277,7 nm. Kemudian dibuat kurva kalibrasi dan persamaannya dalam y = a + bx.

1. Karakterisasi fisikokimia dispersi padat dan campuran fisik


a. Uji disolusi
Uji disolusi dilakukan terhadap furosemid, dispersi padat
furosemidPVP dan campuran fisik furosemid PVP perbandingan 1:1, 1:3,
1:5, 1:7, 1:9 dan 1:15, menggunakan alat tipe 2 (tipe dayung) dengan
kecepatan 50 rpm. Medium disolusi yang digunakan adalah 900 ml dapar
fosfat pH 5,8 Temperatur selama pengujian
diatur pada 37±0,5°C. Pengambilan sampel dilakukan setelah pengujian
berjalan selama 0,25, 0,5, 1, 2, 4, 5, 6 dan 8 jam. Konsentrasi furosemide
terdisolusi dalam setiap sampel diukur dengan spektrofotometer UV pada
panjang gelombang maksimum 277,7 nm (Villiers et al 1989, Lannucelli
V 2000)

b. Difraksi sinar X

Pola difraksi sinar-X furosemid, PVP, dispersi padat furosemid-PVP


1:15, dan campuran fisik furosemidPVP 1:15 direkam dengan Philips
difraktometer PW 3710 untuk serbuk pada interval 0°-90°/20
menggunakan sumber radiasi Cobalt.

c. Spektrofotometer FT-IR

Spektrum IR furosemid, PVP, dispersi padat furosemid-PVP 1:15,


dan campuran fisik furosemid-PVP 1:15 diukur dengan spektrofotometer
inframerah (FTIR BioRed-Merlin), menggunakan tablet KBr. Spektrum
serapan direkam dengan FTIR (Fourier Transform Infrared) pada bilangan
gelombang 4000-400 cm-1.
1. Uji termal (DSC)

Uji termal dilakukan terhadap furosemid, PVP, dispersi padat


furosemid-PVP 1:15, dan campuran fisik furosemid-PVP 1:15,
menggunakan Perkin-Elmer Differential Scanning Calorimetry Sejumlah
sample (5 - 10 mg) dimasukkan ke dalam wadah alumunium, kemudian
dipanaskan dan diukur dari 40-250°C. Kecepatan pemanasan 10°C per
menit. Proses endotermik atau eksotermik tercatat pada rekorder.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

1. Kurva kalibrasi furosemide

Pengukuran konsentrasi larutan furosemid dalam dapar pospat pH 5,8 dilakukan


pada panjang gelombang 277,7 nm (Gambar 1a). Persamaan garis kurva kalibrasi
furosemid dalam dapar fosfat pH 5,8 adalah (Gambar 1b) :

2. Karakterisasi fisikokimia dispersi padat dan campuran fisik

a. Uji disolusi

Hasil profil laju disolusi furosemid, dispersi padat, dan campuran


fisik dengan perbandingan berat furosemid dan PVP dalam media dapar pospat pH
5,8 dengan alat tipe dayung dapat dilihat pada tabel 1, 2, dan 3 dan gambar 2 dan3.
Laju disolusi dispersi padat lebih besar daripada laju disolusi campuran fisik dan
furosemid. Laju disolusi campuran fisik lebih besar daripada furosemid.
b. Pola difraksi sinar X

Pengukuran difraksi sinar X furosemid, dispersi padat 1:15, campuran fisik


1:15, PVP dan perbandingan dari ketiganya dapat dilihat pada gambar 4. Puncak-
puncak pola difraksi furosemid lebih tajam intensitasnya daripada dispersi padat
dan campuran fisik. Intensitas puncak pola difraksi campuran fisik lebih tajam
daripada dispersi padat.

c. Spektrum Inframerah

Hasil spektrum serapan inframerah furosemid, dispersi padat 1:15,


campuran fisik 1:15, dan PVP dapat dilihat pada gambar 5. Spektrum inframerah
berupa pita absorpsi dengan bilangan gelombang dari 4000 sampai 400 cm-1. Data
spektrum serapan inframerah furosemid, dispersi padat 1:15, dan campuran fisik
1:15 dapat dilihat pada tabel 4.

d. Uji termal

Hasil uji termal menggunakan Differential Scanning Calorimetri (DSC)


dari furosemid, dispersi padat 1:15, campuran fisik 1:15, dan PVP dapat
dilihat pada gambar 6. Furosemid memiliki puncak eksoterm pada
temperatur 209,33 sampai 225,09°C dengan titik puncak 214, 72°C. Dispersi padat
memiliki titik puncak pada temperatur 90,23°C, campuran
fisik memiliki puncak 93,82°C dan PVP memiliki puncak 104,61°C.

4.2 PEMBAHASAN

Dispersi padat furosemid-PVP dan campuran fisik furosemid-PVP


dibuat dalam 6 variasi perbandingan berat untuk mengetahui kemampuan
PVP dalam meningkatkan laju disolusi furosemid dalam sistem dispersi
padat dan campuran fisiknya. Campuran fisik furosemid-PVP dibuat
dalam perbandingan berat yang sama sebagai pembanding, untuk mengetahui perbedaan
pengaruh antara campuran fisik dengan dispersi padat
terhadap laju disolusi.

Interaksi antara molekul-molekul furosemid dan PVP dapat terjadi saat proses
pembentukan dispersi padat. Molekul-molekul furosemide akan terdispersi dan
terperangkap dalam jaringan polimer PVP dan saat pemanasan, dapat terjadi perubahan
keadaan fisik furosemid menjadi bentuk amorf (Chiou et al 1971).

Kemampuan PVP untuk meningkatkan laju disolusi furosemid dalam dispersi


padat dapat diketahui dari kenaikan laju disolusi setiap perbandingan berat. Interaksi yang
terjadi lebih lanjut dikarakterisasi menggunakan metoda spektroskopi (FTIR, XRD dan
DSC.

Hasil uji disolusi memperlihatkan bahwa laju disolusi dispersi padat jauh lebih
tinggi dibandingkan furosemid murni. Semakin besar perbandingan PVP terhadap
furosemid, semakin tinggi laju disolusinya. Dari grafik pada gambar 5 diketahui bahwa laju
disolusi campuran fisik juga meningkat, tetapi lebih kecil daripada dispersi padat
furosemidPVP.

Furosemid mempunyai struktur kristal triklinik yang praktis tidak larut air. Dengan
meningkatnya laju disolusi furosemid dalam dispersi padat dan campuran fisik, dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan keadaan kristal furosemide menjadi bentuk
amorfnya akibat dari interaksi dengan PVP.

Gambar 4 hasil uji difraksi sinar X menunjukkan pola difraksi polimer


PVP murni tipe amorf sedangkan pola difraksi furosemid murni menunjukkan tipe kristal.
Pola difraksi campuran fisik dan dispersi padat mendekati pola dispersi PVP yang
berbentuk amorf, dimana intensitas puncak-puncak kristal furosemide dalam dispersi padat
dan campuran fisik pada perbadingan jumlah PVP yang rendah masih menunjukkan sinyal
kristal meskipun tidak setajam furosemid murni. Semakin tinggi jumlah PVP dalam
campuran fisik dan dispersi padat, semakin rendah intensitasnya.

Difraksi sinar X furosemide menghasilkan difraktogram intensitas puncak yang


tinggi pada sudut-sudut tertentu. Pola difraksi sinar-X, diketahui bahwa puncak-puncak
tertinggi
furosemid berada dalam kisaran sudut 20 sampai 90°. Puncak-puncak
tersebut menunjukkan bahwa furosemid masih berada dalam bentuk kristalnya.
Difraktogram dispersi padat furosemid-PVP 1:15 mempunyai puncak-puncak dengan
intensitas yang lebih kecil daripada furosemid. Furosemid dalam dispersi padat telah
berada dalam bentuk amorf. Campuran fisik furosemid mempunyai beberapa puncak
dengan intensitas yang lebih tajam daripada dispersi padat furosemid. Furosemid
dalam campuran fisik masih mempunyai bentuk kristal.

Intensitas puncak difraktogram menunjukkan banyaknya fasa kristal dalam sampel


uji. Semakin tinggi puncak, semakin besar fasa kristal, sebaliknya semakin kecil intensitas
puncak semakin kecil fasa kristalnya. Intensitas difraktogram dihasilkan oleh difraksi sinar-
X yang mengenai permukaan kristal dengan sudutsudut difraksi tertentu (Suryanarayana et
al. 1998).

Penurunan intensitas puncakpuncak pada dispersi padat menunjukkan adanya


perubahan bentuk kristal menjadi bentuk amorf. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
ikatan antarmolekul furosemid yang membentuk kristal telah terdeformasi. Kemungkinan
adanya ikatan antar molekul akibat interaksi furosemid dan PVP dapat diketahui dari
spektrum inframerah dimana terjadi pergeseran pita absorpsi. Spektrofotometer inframerah
bekerja berdasarkan besarnya vibrasi yang dihasilkan oleh atom-atom yang berinteraksi.
Vibrasi dari atom-atom umumnya adalah tarik ulur (strechting ) dan naik-turun (bending).
Vibrasi dari atom-atom yang berinteraksi akan menghasilkan frekuensi tertentu. Frekuensi
berbanding lurus dengan bilangan gelombang (cm-1). Setiap interaksi antar atom atau
gugus mempunyai frekuensi tertentu dan muncul pada bilangan gelombang tertentu pada
spektrum. Setiap interaksi atom-atom dapat memiliki kedua jenis vibrasi tersebut, sehingga
muncul di dua bilangan gelombang yang berbeda (Skoog D.A et al).

Gugus-gugus pada furosemid diketahui dari serapan pada bilangan


gelombang dan intensitasnya. Furosemid memiliki gugus amin sekunder dengan vibrasi
strechting dan bending. Gugus lainnya adalah gugus amin primer yang berada dalam gugus
sulfonamida, gugus karboksilat dan ikatan rangkap antara S dan O. Terdapat ikatan
hidrogen intramolekuar antara gugus amin sekunder dan gugus karboksilat. Ikatan hidrogen
intermolekuler antara atom H pada amin primer dan O pada gugus sulfonamide (Doherty
et al 1987).

Spektrum serapan inframerah dispersi padat dan campuran fisik menunjukkan


furosemid mengalami pegeseran pita absorpsi. Selain itu intensitas pita absorpsi juga
berkurang dan melandai. Pergeseran pita terjadi pada beberapa gugus, yaitu
pada gugus amin sekunder, gugus amin primer pada sulfonamida, karboksilat dan S=O
pada gugus sulfonamida. Gugus amin primer sulfonamida (stretching), amin sekunder,
gugus S=O, dan karboksilat bergeser ke bilangan gelombang yang lebih rendah, sedangkan
amin primer vibrasi bending mengalami sedikit pergeseran ke bilangan gelombang
yang lebih besar. Intensitas pita abosrpsi jauh menurun dan melandai,
terutama pada daerah bilangan gelombang 3700 - 3000 cm-1. Analisis difraksi sinar X dan
inframerah memperlihatkan berubahnya struktur kristal furosemid dalam dispersi
padat. Struktur furosemid terdeformasi karena terbentuknya ikatan antara molekul
furosemid dan PVP. Hasil spektrum ini menunjukkan adanya ikatan hidrogen.

Gugus-gugus pada molekul furosemid diduga berinteraksi dengan PVP


membentuk ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen yang mungkin terbentuk adalah ikatan antara
atom O pada PVP dengan atom H pada gugus amin sekunder, atom H pada gugus amin
primer sulfonamida, dan atom H pada gugus karboksilat furosemid. Pergeseran pita
spektrum terbesar terjadi pada gugus amin primer sulfonamida. Pergeseran yang besar dan
intensitas pita yang melandai menunjukkan kemungkinan terbesar ikatan hidrogen terjadi
pada gugus ini, yaitu pada atom H gugus amin primer sulfonamida. Kemungkinan yang
lain, yaitu pada gugus amin sekunder dan karboksilat dapat terjadi tetapi tidak sebesar pada
sulfonamida. Pergeseran pada gugus ini tidak sebesar pada amin, primer bahkan pergeseran
pada gugus karboksilat sangat kecil. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan
hidrogen molekular antara karboksilat dan amin sekunder (Doherty et al 1987).

Perubahan bentuk kristal menjadi amorf dapat digambarkan dari pola hasil uji
termalnya. Termogram furosemid, memperlihatkan puncak eksotermis, yang menunjukkan
bentuk kristal. Temperatur titik lebur furosemid dapat dilihat dari awal
terbentuknya puncak eksotermis, yaitu pada 209,33°C. Termogram PVP
menunjukkan puncak pada temperatur 104,61°C, sedangkan dispersi padat 1:15 dan
campuran fisik mengalami pergeseran ke temperatur yang lebih rendah (93,82°C dan
90,23°C).

Pada termogram dispersi padat1:15 dan campuran fisik 1:15, PVP terlihat dominan
dan tidak ada tanda puncak eksotermis seperti pada termogram furosemid. Hal ini terjadi
karena adanya interaksi antara PVP dengan furosemid yang menyebabkan perubahan
bentuk kristal furosemid menjadi amorf, sehingga tidak ada lagi puncak eksotermis yang
menunjukkan adanya fasa kristal dan menurunkan temperature puncak PVP.

Hasil dari karakterisasi fisikokimia yang dilakukan memperlihatkan terjadinya


interaksi antara furosemid dengan PVP baik dalam bentuk campuran fisik maupun dispersi
padat. Interaksi yang terjadi menurunkan fase kristal furosemide dan meningkatkan fase
amorfnya sehingga meningkatkan laju disolusi furosemid. Dengan meningkatnya
laju disolusi furosemid diharapkan dapat memperbaiki bioavaibilitas
fusrosemid per oral.
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa polivinilpirolidon (PVP) dapat


meningkatkan laju disolusi furosemid dalam sistem dispersi padat. Dari enam
variasi perbandingan dispersi padat furosemid dan PVP, didapatkan bahwa PVP
dengan berat limabelas kali furosemid dalam dispersi padat memiliki laju disolusi
tertinggi. Peningkatan yang cukup tinggi juga didapatkan dalam system campuran
fisik furosemid-PVP.

Hasil karakterisasi fisikokimia (FT-IR, XRD dan DSC) menunjukkan


terjadinya perubahan keadaan padat kristal furosemid menjadi bentuk amorf dalam
dispersi padat.
DAFTAR ISI

1. Martin, A., Sinko, P. dan Singh, Y., 2011. Physical Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences, 6th ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
2. Sutriyo, Rachmat H. dan Rosalina, M., 2008. Pengembangan Sediaan dengan
Pelepasan dimodifikasi mengandung Furosemid sebagai Model Zat Aktif
menggunakan Sistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No.
1, April, 01 – 08.
3. Lestari, N. dan Zaelani, D., 2014. Kajian Pustaka Peningkatan Kelarutan Obat
Sukar Larut dalam Air dengan Dispersi Padat, Penerbit ITFB, Bandung.
4. Dhirendra, K., Lewis, S., Udupa, N. dan Atin, K. 2009. Solid Dispersions: A
Review. Pak. J. Pharm. Sci.. 22(2):234-246.
5. Saffoon, N., Jhanker, Y.M. dan Huda, N.H. 2011. Dissolution Profile of
Ibuprofen Solid Dispersion Prepared with Cellulosic Polymers and Sugar by
Fusion Method. Stamford Journal of Pharmaceutical Sciences, 1:31-37.
6. Kumari, R., Chandel, P. dan Kapoor, A. 2013. Paramount Role of Solid
Dispersion in Enhancement of Solubility. Indo Global Journal of
Pharmaceutical Sciences. 3(1):78-89.
7. Pankaj, S. dan Prakash, J. 2013. Solid Dispersion: An Overview. International
Journal of Pharmaceutical Research and BioScience. 2(3): 114-43.
8. Craig, D., 2002. The Mechanisms of Drug Release from Solid Dispersions in
Water-Soluble Polymers. International Journal of Pharmaceutics, 231, pp.131-
44.
9. Marison, E., 2015. Pengaruh Formulasi Dispersi Padat Terhadap Peningkatan
Disolusi Tablet Meloksikam dengan Menggunakan Manitol Sebagai Polimer
Hidrofilik. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan, Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
10. Anwar, S., 2015. Pemanfaatan Serat Batang Pohon Pisang dalam Sintesis
Material Hibrida Berbasis Geopolimer Abu Layang Batubara. Tugas Akhir.
Tidak diterbitkan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang, Semarang.
11. Lachman, L., Lieberman, H. dan Kanig, J.,1987. The Theory and Practice of
Industrial Pharmacy, Varghese Publishing House, Dadar Bombay.
12. Shargel, L., Wu-Pong, S. dan Yu, A., 2004. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics, 5th ed, McGraw Hill, Boston.
13. Sridhar I., Doshi A., Joshi B., Wankhede., and Doshi J., 2013. Solid
Dispersions: an Approach to Enhance Solubility of Poorly Water Soluble
Drug, Journal of Scientific and Innovative Research, 2(3): 685-694
14. Nurhadijah G., Darusman F., dan Priani S.E., 2015. Peningkatan Kelarutan dan
Laju Disolusi Glimepirid dengan Teknik Dispersi Padat Menggunakan
Polimer PVP K-30, Prosiding Penelitian Sivitas Akademika Unisba, p.316-322
15. Chiou W.L. dan Riegelman S., 1971. Pharmaceutical Applications of Solid
Dispersion Sistems. Journal of Pharmaceutical Sciences, 60(9):1281-302
16. Agoes G., 2012. Sediaan Farmasi Padat 6, Intitut Teknologi Bandung,
Bandung, p.46-176.
17. Margaret. 2008. Peningkatan Kelarutan Ibuprofen Dengan Metode Dispersi
Padat Menggunakan Polietilenglikol 6000. Depok : FMIPA Universitas
Indonesia
18. Kumar, P., Singh, C. (2013). A Study on Solubility Enhancement Methods for
Poorly Water Soluble Drugs. American Journal of Pharmacological Sciences,
1(4), 67-73.
19. Tiwari, R., Tiwari, G., Srivastava, B., & Rai, A.K. (2009). Solid Dispersions :
An Overview To Modify Bioavailability Of Poorly Water Soluble Drugs.
International Journal of PharmTech Research, 1(4), 1338-1349.
20. Tian, B. et al., 2014. A Comparison of the Effect of Temperature and Moisture
on the Solid Dispersions: Aging and Crystallization. International Journal of
Pharmaceutics, pp.1-8.
21. Florence, A. & Attwood, D., 2006. Physicochemical Principles of Pharmacy
Fourth Edition. London: Pharmaceutical Press.
22. Abdou HM Dissolutions Bioavailability and Bioequivalence, Mack Publishing
Co, 1989.
23. Akbuga J., Gursoy A., dan Yetimoglu F. Preparation and Properties of Tablets
Prepared from FurosemidPVP Solid Dispersion System. Drug Dev. Ind.
Pharm, 14(15-17)1998: 2091-2108.
24. Akbuga J., Gursoy A., dan Kendi E. The Preparation and Stability of Fast
Release Furosemide-PVP Solid Dispersion. Drug Dev. Ind. Pharm. 14(10).
1998: 1439-1464.
25. Al-Obaid A.M., Al-Shammary, dan Al-Rashood K.A.M, Analytical Profiles of
Drug Substances. Vol 18: 989:153-193.
26. Doherty C., dan York P. Evidence for Solid and Liquid State Interactions in a
Furosemid-PVP Solid Dispersion. J. of Pharm. Sci 76(9).1987: 731-737.
27. Lannucelli V. PVP Solid Dispersion for the Controlled Release of Furosemide
from a Floating Multiple-Unit System. Drug Dev. Ind. Pharm 26(96).2000:
595-603.
28. Pignatello R, Ferro M, Puglisi G.,Preparation of Solid Dispersion of
Nonsteroid Anti-Inflammatory Drugs with Acrylic Polymers and studies on
Mechanisms of drug polymer interactions, AAPS Pharm. Sci. Tech. 3(2) 2002.
29. Skoog D.A.,West D.M., dan Holler F. James. Fundamentals of Analytical
chemistry. 7th Ed. Saunders Collage. 557-592.
30. Suryanarayana C dan Norton G, XRay Diffraction a Practical Approach,
Plenum Press, New York, 1998.
31. Syukri Y., T. Yuwono, dan L. Hakim. Preformulasi Sediaan Furosemida
Mudah Larut. Majalah Farmasi Indonesia, 13(1) 2002: 50-54.
32. Villiers M.M., dan J.G. van der Watt. Dissolution from Ordered Mixtures:
The Effect of Stirring Rate and Particle Characteristic on the Dissolution Rate.
Drug Dev. Ind. Pharm, 15(4) 1989: 621-627.
33. Suryanarayana C dan Norton G, XRay Diffraction a Practical Approach,
Plenum Press, New York, 1998.

Anda mungkin juga menyukai