Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN

Disusun oleh:

Nalendra Tri Widhianarto

(030.12.185)

Pembimbing:

dr.Nadiah Soleman, Sp.KK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

PERIODE 15 JANUARI 2018 – 17 FEBRUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN

DISUSUN OLEH :

Nalendra Tri Widhianarto

030.12.185

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing

dr. Nadiah Soleman, Sp.KK, M.Kes

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik

Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin di RSUD Kardinah periode 15 Januari 2018 – 17

Februari 2018

Tegal, Februari 2018

Pembimbing

dr. Nadiah Soleman, Sp. KK, M.Kes

2
Daftar Isi
Judul………………………………………………………………………………..... 1
Lembar Pengesahan…………………………………………………………………. 2
Daftar Isi…………………………………………………………………………….. 3
Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………... 4
Bab II Laporan Kasus……………………………………………………………….. 7
Bab III Pembahasan………………………………………………………………… 13
3.1 Definisi……………………………………………………………… 13
3.2 Etiologi……………………………………………………………… 13
3.3 Epidemiologi………………………………………………………... 13
3.4 Klasifikasi…………………………………………………………... 14
3.5 Patofisiologi………………………………………………………… 16
3.6 Manifestasi klinis…………………………………………………… 18
3.7 Penegakan diagnosis…………………………………………..……. 20
3.8 Pemeriksaan penunjang………………………………………...…... 22
3.9 Penatalaksaan……………………………………………………….. 23
3.10 Prognosis……………………………………………………………. 27
Bab IV Kesimpulan……….......…………………………………………………….. 28
Daftar Pustaka………………………………………………………………………. 29

3
BAB I
PENDAHULUAN

Morbus hansen merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh


kuman Mycobacterium Leprae dan menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. Penyakit ini terutama menjangkit kulit dan saraf jika tidak diterapi, dan dapat
mengakibatkan kerusakan yang permanen dan progresif pada kulit, saraf, tungkai, dan
mata. Terdapat dampak baik secara psikologis, sosial, dan ekonomi penyakit ini bagi
penderitanya yang diakibatkan oleh deformitas yang diakibatkan morbus hansen.
Kuman Mycobacterium Leprae berbentuk batang, bersifat tahan asam, dan ditemukan
oleh Gerald Armauer Hansen dari Norwegia pada tahun 1873.1 Kuman ini
berkembang biak dengan sangat lambat dan masa inkubasinya tidak diketahui dengan
pasti.1,2 Dua hingga lima tahun merupakan masa inkubasi pada umumnya, tapi ada
pula yang melaporkan masa inkubasi dari 3 bulan hingga 40 tahun. 1,2 Kuman masuk
ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan kulit yang tidak utuh. Sumber
penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman yang belum
diobati. Setelah kuman masuk ke dalam tubuh, kuman menuju tempat predileksinya
yaitu saraf tepi. 1

Morbus hansen atau kusta atau lepra bukan merupakan penyakit yang tidak
dapat dikendalikan.1 Morbus hansen menyerang semua umur dan menyebar luas ke
seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan sub tropis,
serta masyarakat yang sosial ekonomi nya rendah.1,2 Makin rendah sosial ekonomi
makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan.1,2,3 Jumlah kasus di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun 85%.1 Kasus kusta yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih
890.000 penderita1. Di Indonesia jumlah kasus yang tercatat pada akhir Maret 1997
adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa
Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. 1,2,3 Penderita anak-anak dibawah umur 14
tahun lebih kurang sebesar 13%, sedangkan untuk anak umur kurang dari 1 tahun
jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.1

4
Penyakit kusta berhubungan dengan respon imunologi. 95% populasi manusia
mempunyai kekebalan alamiah terhadap Mycobacterium leprae.1 Mycobacterium
leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sehingga penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memeberikan gejala yang lebih berat,
dan sebaliknya.1,2 Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit
disebabkan oleh perbedaan respon imunologi pada masing-masing individu dan gejala
klinis nya sebanding dengan tingkat reaksi selular. 1,2,3 Kuman masuk ke dalam tubuh
melalui saluran pernafasan dan kulit yang tidak intak atau utuh.3 Sumber penularan
adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman yang belum diobati. 3 Setelah
kuman masuk ke dalam tubuh, kuman menuju tempat predileksinya yaitu syaraf tepi. 1

Menurut WHO tahun 1997, diagnosis kusta berdasarkan adanya tanda utama
atau Cardinal signs berupa: (1) Terdapat kelainan kulit yang hipopigmentasi atau
eritematosa dengan anastesi, (2) Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan
anastesi, (3) Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam. 2 Jika terdapat satu dari
ketiga cardinal signs tersebut ditemukan, dapat menjadi dasar didiagnosa kusta. 1,2
Selain dari Cardinal signs dapat ditemukan gejala lain kusta yaitu madarosis,
penebalan cuping telinga, facies leonina, dan anestesi simetris pada kedua tangan dan
kaki (gloves & stocking anastesia).4 Untuk memastikan diagnosis kusta, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang.1,2 Yang sering dilakukan adalah pemeriksaan
bakteriologis dengan cara mengambil sediaan dari kedua cuping telinga atau kerokan
jaringan kulit yang kemudian digoreskan pada obyek glass dan diwarnai dengan
pewarnaan tahan asam, yaitu Zielhl Nielsen. 1,2 WHO mengklasifikasikan kusta
menjadi 2 tipe yaitu PB (Pausibasiler) dan MB (Multibasiler). 1,2 Pada kusta tipe PB
ditemukan lesi kulit hipopigmentasi yang asimetris berjumlah 1-5, berbatas tegas,
kering, kasar, anastesi jelas, penebalan syaraf tepi terjadi secara dini, dan BTA
negatif. Sedangkan pada tipe MB lesi eritematus, simetris, jumlah lebih dari 5, batas
tidak tegas, permukaan halus mengkilat, anastesi tidak jelas, penebalan syaraf tepi
terjadi kronis, dan BTA positif.4,5 Menurut rekomendasi WHO, pengobatan yang
dipakai untuk penyakit kusta adalah MDT (Multi Drug Therapy).1,2,3 Regimen ini
terdiri dari kombinasi dapson, rifampisin, dan lamprene. 1 Untuk kusta tipe PB
diberikan rifampisin 600 mg/bulan dan dapson 100 mg/hari. Pengobatan diberikan
secara teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan.1,2

5
Sedangkan yang tipe MB hari pertama diberikan rifampisin 600 mg/bulan, lampren
300 mg/bulan, dapson 100mg/bulan kemudian pada dilanjutkan lampren 50 mg/hari
dan dapson 100 mg/hari pada hari ke-2 sampai 28.1,2 Pengobatan dilakukan secara
teratur sebanyak 12 bulan dan diselesaikan maksimal 18 bulan. 1,2,3

6
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Ahmad Agus Salim


Umur : 22 tahun
Status perkawinan : Belum Menikah
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Alamat : Mejam Timur Rt 01 / Rw 02
Agama : Islam
Tanggal masuk : 20 Januari 2018

A. ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis yang dilakukan di poliklinik Kulit dan


kelamin RSUD Kardinah Tegal pada tanggal 20 Januari 2018

Keluhan utama:
Bercak putih pada kulit lengan dan kaki sejak 6 tahun lalu.

Keluhan tambahan :
Pasie mengeluh merasa sedikit baal pada bercak putih di lengan dan kaki
pasien, pada lokasi yang sama dirasakan sangat nyeri bila tergores. Pasien juga
mengeluh sering merasa kesemutan pada lengan kanan dan kaki kiri, terutama saat
malam hari

Riwayat penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah Tegal dengan
keluhan timbul bercak-bercak putih yang terasa baal pada kulit lengan kanan dan kaki
kiri pasien sejak 6 tahun yang lalu, bercak ini dirasakan semakin lama semakin banyak.
Lesi dirasakan tidak gatal, tidak nyeri, pasien juga mengeluh sering merasa kesemutan
pada lengan kanan dan kaki kiri.

7
Sebelum ke RS pasien sudah berobat ke puskesmas dan dilakukan skin smear,
tetapi hasilnya (-) dan kemudian dirujuk untuk diperiksa oleh Sp KK di RSUD
Kardinah Tegal.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Hipertensi (-) DM (-)


- Riwayat keluhan seperti sekarang sebelumnya disangkal
- Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Pasien mengaku dikeluarganya terdapat anggota keluarga yang memiliki keluhan
serupa dengan pasien, yaitu kakak dan adik pasien, saat ini kakak pasien sudah
meninggal, dan adik pasien sedang menjalani terapi selama 1 tahun terakhir.
- Riwayat hipertensi, jantung, paru, ginjal, diabetes melitus disangkal

Riwayat Kebiasaan
Riwayat mengkonsumsi steroid disangkal.

Riwayat higiene :
- Pasien mandi dua kali sehari atau dengan air PAM dan memakai sabun
- Pasien mengganti pakaian dua kali sehari

Riwayat Sosial Ekonomi


- Pendidikan terakhir: SD
- Pekerjaan: Kuli Bangunan
- Pembiayaan pengobatan dengan BPJS

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di Poliklinik Kulit dan kelamin RSUD Kardinah Tegal.
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Kesan gizi : Normal
8
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 89x/menit, regular, isi cukup
Pernapasan : 20 x /menit
Suhu : 36,7ºC

Antropometri
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 65 kg
BMI : 25,17 kg/m (Normal)
Kepala
Bentuk : Normocephali.
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Kulit kepala : Tidak ada kelainan kulit
Mata
Sklera Ikterik : -/-
Konjungtiva Anemis : -/-
Telinga
Bentuk : Normotia
Liang telinga : Lapang
Serumen : +/+
Cairan/sekret : -/-
Hidung
Bentuk : Normal
Septum deviasi : -/-
Mulut
Bibir : Sianosis (-) Tonsil : T1-T1, tenang
Gigi geligi : Caries, lengkap Faring : Tidak hiperemis
Lidah : Normoglosia, atrofi papil (-)
Mukosa : Tidak hiperemis

9
Leher
Inspeksi : Oedem (-), hematom (-)
Palpasi : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis di ICS V teraba di garis midklavikularis kiri
Perkusi
Batas kanan : ICS III-IV garis sternalis kanan dengan suara redup
Batas kiri : ICS V di garis midklavikularis kiri dengan suara redup
Batas atas : ICS III linea parasternal kiri dengan suara redup
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis,
Palpasi : Vocal fremitus dextra sama dengan sinistra
Perkusi : Sonor dikedua hemi thoraks
Auskultasi : Vesikuler, Wheezing -/-, Rhonki -/-

Abdomen
Inspeksi : Buncit, warna sawo matang, tidak ikterik, tidak efloresensi
yang bermakna
Auskultasi : Bising usus 3 x/menit
Palpasi
Dinding perut : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), massa (-),
defense muscular (-) turgor kulit baik
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani di empat kuadran abdomen
Genitalia : Normal

10
Ekstremitas
- Superior : Oedem (-), deformitas (-), kelainan kulit (+), kelainan kuku (-)
- Inferior : Oedem (-), deformitas (-), kelainan kulit (+), kelainan kuku (-)
1. STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi : Lengan kanan
Distribusi : Regional
Bentuk : Tidak teratur
Ukuran : Numular
Efloresensi : Makula Hipopigmentasi

Lokasi : Kaki kiri


Distribusi : Regional
Bentuk : Tidak teratur
Ukuran : Numular
Efloresensi : Makula Hipopigmentasi

11
C. DIAGNOSIS BANDING
- Morbus Hansen MB
- Morbus Hansen PB
- Vitiligo
- Pitiriasis Versikolor
- Pitiriasis Alba
D. RESUME
Pasien datang dengan keluhan Bercak putih pada kulit lengan dan kaki sejak 6
tahun lalu. Pasien mengeluh merasa sedikit baal pada bercak putih di lengan dan
kaki pasien, pada lokasi yang sama dirasakan sangat nyeri bila tergores. Pasien juga
mengeluh sering merasa kesemutan pada lengan kanan dan kaki kiri, terutama saat
malam hari sebelum ke RS pasien sudah berobat ke puskesmas dan dilakukan skin
smear, tetapi hasilnya (-).

Pasien mengaku kakak dan adik pasien juga mengalami hal yang sama, kakak
pasien saat ini sudah meninggal, dan adik pasien sedang menjalani terapi selama
kurang lebih satu tahun terakhir.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum dalam batas normal,


terdapat efloresensi macula hipopigmentasi pada lengan kanan dan kaki kiri pasien
disertai dengan hipoestesi.

E. DIAGNOSIS KERJA
- Morbus Hansen MB
F. PENATALAKSANAAN
 1 Bulan sekali
- Rifampisin 600mg/bulan
- DDS 100mg/bulan
- Clofazimine 300mg/bulan
 Setiap hari
- DDS 100mg/hari
- Clofazimine 50 mg/hari
G. PROGNOSIS
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Fungtionam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : dubia

12
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
yang bersifat intraseluler obligat. Organ yang akan terserang duluan adalah saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian akan menyerang organ-organ lain selain saraf pusat.1

2.2 Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A
Hansen pada tahun 1874 di norwegia. Kuman ini bersifat intraseluler obligat,
sehingga belum bisa dibiakkan karena hanya bisa hidup di dalam sel makhluk hidup
lain. Bakteri ini berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, Gram (-), tahan
asam dan alcohol.1,2

2.3 Epidemiologi
Insiden rate penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncaknya terjadi
pada umur 10 – 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat
sesuai dengan umurnya dan puncaknya pada umur 30 – 50 tahun dan kemudian
perlahan – lahan menurun.1,3

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda –


beda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menduduki
urutan ke 3. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya
disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. 3

Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. 4,5
India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan
Indonesia.4,5 Pada tahun 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000,
pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada tahun 1999, 108 kasus terjadi di Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70%
kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus
ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta
dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.3,4,5
13
Kelompok berisiko

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua
kali lebih tinggi dari wanita.3,4,5

2.4 Klasifikasi

Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate
dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).1,2,3,4,5

Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO (Kosasih, 2010)1

PB (Pausibasilar) MB
(Multibasilar)

Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi >5 lesi


datar, papul yang
meninggi, infiltrate, plak Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
simetris
eritem, nocus) Distribusi tidak simetris

Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang Hilangnya sensasi


(menyebabkan hilangnya jelas kurang jelas
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang
saraf
yang terkena

BTA Negatif Positif

Tipe Indeterminate (I), Lepromatosa (LL),


Tuberkuloid (T), Borderline
Borderline tuberkuloid lepromatous (BL),
(BT) Mid borderline
(BB)

14
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi :

a. Indeterminate leprosy (I) :


makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema. Kehilangan rasa
sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan spontan,
sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika
imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain.1,2
b. Tuberculoid leprosy (TT):
lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem dengan
bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa,
dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk
ini, lesi pada kulit sudah mengalami anestesi.1,2
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT):
lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi lebih kecil dan banyak.
Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya.
Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf
tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan
tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali
pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju bentuk .1,2
d. Borderline borderline leprosy (BB) :
tipe yang paling tidak stabil, disebut juga dimorfik dan jarang
dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi sangat
bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched outyaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi
menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati
regional .1,2
e. Borderline lepromatous leprosy (BL):
lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak dan nodul. Terdapat
lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi.1
f. Lepromatous leprosy (LL):
lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus dan simetris.
Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.
Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.1,2

15
TT BT I

LL BL BB

Gambar 2.1 Tipe Kusta

2.5 Patofisiologi
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. 6
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon
imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. 6 Oleh karena itu penyakit kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. 2,6 Meskipun cara masuk M.
leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. 2,6,7 Pengaruh, M leprae

16
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman
yang avirulens dan nontoksis.2,6
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. 2,6
Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor)
yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal
kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.2,6 Adanya
kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1
dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. 2,6
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1, CR3, CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B.6 Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+.6 Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari
penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi.6 Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag
akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel
epitelioid ini akan membentuk granuloma.2,6

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari


eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel
B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel
mast.2,6

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. 6 Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th1.6

17
2.6 Manifestasi Klinis1,2,4,5
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar
disajikan dalam tabel berikut:

PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)

Lesi kulit (macula yang 1-5 lesi >5 lesi


datar, papul yang meninggi,
Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih simetris
infiltrate, plak eritem,
nocus) Distribusi tidak simetris

Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang jelas Hilangnya sensasi kurang


(menyebabkan hilangnya jelas
sensasi/kelemahan otot yang Hanya satu cabang saraf
dipersarafi oleh saraf yang Banyak cabang saraf
terkena

BTA Negatif Positif

Indeterminate (I), Tuberkuloid Lepromatosa (LL),


(T), Borderline tuberkuloid (BT) Borderline lepromatous
Tipe
(BL), Mid borderline
(BB)

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar

Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate (I)


Tuberkuloid (BT)

Lesi

Bentuk Makula atau Makula dibatasi Hanya infiltrat


makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja

Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau


beberapa satelit beberapa

Distribusi Terlokasi dan Asimetris Bervariasi


asimetris

Permukaan Kering,skuama Kering,skuama Halus agak


berkilat

18
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau


tidak jelas

BTA

Pada lesi kulit Negative Negatif, atau 1+ Biasanya negatif

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif


lemah atau
negatif

Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar

Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline


(LL) Lepromatosa (BB)
(BL)

Lesi

Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk


difus, papul, papul kubah, lesi punched
nodus out

Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa, kulit


luas, praktis tidak sehat masih ada sehat (+)
ada kulit sehat

Distribusi Simetris Cenderung Asimetris


simetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,


beberapa lesi kering

Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

BTA

Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak


kulit

Sekret Banyak Biasanya tidak Tidak ada

19
hidung ada

Tes Negatif Negatif Biasanya negatif


Lepromin

2.7 Penegakan Diagnosis

Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi,


palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum,
kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan
sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan The
great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan
penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah:
dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika,
psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukemia
kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark.1,2

Secara inspeksi penyakit ini mirip dengan penyakit lain, ada tidaknya
anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas.
Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri,
kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin
dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang
dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi.1,2

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,


konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan
perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. 1,24

20
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh
granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-
tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,
umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan
saraf.1,2,5

Gejala-gejala kerusakan saraf:

1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.1
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,
ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.1
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.1
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,
kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.1
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik
kaki dan kolaps arkus pedis.1
6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).1
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. 1

21
2.8 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan


mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. 1,2 Pertama
– tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. 1,2 Untuk riset dapat diperiksa
10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif.1,2 Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya
lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M.
leprae.1,7

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).1

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan


jumlah solid dan non solid.1

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B
1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. 1

22
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdapat sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone )
yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. 1,2,
Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat
campuran unsur – unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.
leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1

Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang


yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.1,2

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez)
atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis. 1,2,5

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita.1,2,8,9
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri.1,2 Dapson merupakan antagonis kompetitif
dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis
folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik, skin rash,
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo. 1,2

Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi


kusta.1,2 Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K
ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu

23
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri
lambung.1,2

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan


cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik. 1,2

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus


untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita
kusta tipe PB I.1,2

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh


WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi 1,9:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.


Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat
pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman
kusta dalam jaringan.1,8,9

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI). PB dengan lesi


tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin).1,8,9 Pemberian obat
sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas.
Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di
Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn
pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).1,8,9

24
Tabel 2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI1,2,8,9

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg

(5-14 th)

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.1,2,8,9

Tabel 2.4 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)1,2,8,9

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di


rumah
Diminum di depan
petugas kesehatan

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di


rumah
(10-14 th) Diminum di depan
petugas kesehatan

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan
setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama
5 tahun.1,2,8,9

25
Tabel 2.5 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)1,2,8,9

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan diminum di 100 mg/hari diminum di 300 mg/bulan diminum di
depan petugas kesehatan rumah depan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50 mg/hari
diminum di rumah

Anak-anak 450 mg/bulan diminum di 50 mg/hari diminum di 150 mg/bulan diminum di


depan petugas rumah depan petugas kesehatan
(10-14 th) dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari diminum di
rumah

Pengobatan reaksi kusta.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur.
Untuk mengatasi hal- “Prinsip pengobatan Reaksi
Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat
anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. 1,2

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-
obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.1,2

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis
26
3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml
secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama pada wanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari. 1,2

Pemberian Kortikosteroid, dimulai dengan dosis tinggi atau sedang. Digunakan


prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.1,2

2.10 Prognosis

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.


Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang
pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien
menurun.1

27
BAB IV
KESIMPULAN

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya Mycobacterium


leprae, yang bersifat intraselular obligats. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan
30-50 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Berdasarkan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT, BT, BB, BL ,LL, dan
menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta
dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis.
Penatalaksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan
untuk mencegah kemungkinan timbul resistensi. Dengan pelaksanaan MDT, kusta
sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksi dini dan pengobatan penyakit,
reaksi, dan kekambuhan merupakan kunci untuk mencegah kecacatan dan
memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang relatif normal.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke enam. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. 2009.
2. Wolff K, Goldwell LA, Katz SI, Gilchrest BAPaller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s
Dermatology in general medicine 7th Edt. New York: McGraww-Hill:2008; 1786-96
3. Wijaya L, Melyawati. Kusta tipe Pausibasilar dengan gambaran klinis menyerupai Tinea
Corporis. Damianus Journal of Medicine. 2010:9(1):66-9.
4. Lewis F, Conologue T, Harrop E. Leprosy. 2008. Available from:
http://emedicine.medscape.com
5. Hartzell JD, Zapor M, Peng S, Straight T. Leprosy: a case series and review. Southern
Medical Journal. 2004;97(12). Available from: http://www.medscape.com
6. Murphy G. Kulit. Dalam: Kumar V, Cotran RS, Robbins Sl, editor. Buku Ajar Patologi.
Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2007.h.893-4.
7. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's Diseases of the skin: Clinical dermatology.
10th ed. Philadelphia:Saunders;2006:343-52.
8. Ishii N. Recent advances in the treatment of leprosy. Dermatology online journal.
2003;9(2):5. Available from: http://dermatology.cdlib.org/92/reviews/leprosy/ishii.html
9. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN
2014 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN PRIMER. 2014: 35-43

29

Anda mungkin juga menyukai