Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Pembimbing :
dr. Bima Mandraguna Sp,THT-KL
dr. Aditya Arifianto Sp,THT-KL

Disusun oleh :
Elfa Satri - 030.13.221

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 FEBRUARI – 23 MARET 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah referat yang berjudul:

“Abses Leher Dalam”

Yang disusun oleh

Elfa Satri

030.13.221

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:

dr. M. Bima Mandraguna, Sp.THT-KL

dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT

Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

Periode 19 Februari 2018 s/d 24 Maret 2018

Karawang, 19 Maret 2018

Pembimbing I Pembimbing II

dr. M. Bima Mandraguna, Sp.THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat ini yang berjudul ”Abses Leher Dalam”. Referat ini disusun untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik departemen ilmu telinga hidung tenggorok Studi Pendidikan
Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.
Dengan selesainya referat ini penulis mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu meyelesaikan referat ini
terutama kepada:
1. dr. Aditya Arifianto Sp,THT-KL dan dr. Bima Mandraguna Sp,THT-KL
selaku pembimbing yang telah memberi masukan dan saran dalam
penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian referat ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu
penulis.
Karena keterbatasan yang ada, penulis menyadari bahwa referat ini masih
belum sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangatlah penulis harapkan untuk menyempurnakan referat ini di kemudian hari,
Terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis berharap semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya.

Jakarta, Maret 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar belakang ........................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3


2.1 Anatomi ...................................................................................... 3
2.2 Abses Peritonsilar ...................................................................... 10
2.3 Abses Retrofaring ...................................................................... 15
2.4 Abses Parafaring ........................................................................ 17
2.5 Abses Submandibula .................................................................. 21
2.6 Angina Ludovici ........................................................................ 23
.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Abses leher dalam didefinisikan sebagai terkumpulnya nanah (pus) di dalam


ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam yang terkena.1

Abses leher dalam tergolong sebagai kedaruratan THT karena merupakan


suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasinya yang serius
seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinis dan kompresi
hingga ruptur arteri karotis interna. Etiologi infeksi di daerah leher dalam sapat
bermacam macam. Etiologi tersering adalah infeksi gigi (45%) dan Penyalahgunaan
narkoba suntik (12%).2 Angka morbiditas dan mortalitas tentunya tergantung pada
komplikasi yang terjadi. Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari
campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Organisme aerob yang
sering dijumpai antara lain : Streptococcus viridans, Streptococcus ß-haemoliticus,
Staphylococcus, Klebsiella pneumoniae, sedangkan untuk bakteri anaerob adalah
Bacteriodes dan Peptostreptococcus. Menurut Asmar yang dikutip Murray,
mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90% mengandung kuman aerob dan 50%
pasien ditemukan kuman anaerob.3

Secara anatomi daerah potensial leher dalam merupakan daerah yang sangat
kompleks. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik,
serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan
perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan.1

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yang et al pada tahun 2008,


melaporkan dari 100 kasus abses leher dalam yang diteliti mulai April 2001 hingga
Oktober 2006 didapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2, dengan
lokasi abses lebih dari satu ruang potensial sebanyak 29%, ruang submandibula
sebanyak 35%, ruang parafaring 20%, ruang mastikator 13%, ruang peritonsil 9%,

1
ruang sublingual 7%, ruang parotis 3%, ruang infrahioid 26%, ruang retrofaring 13%
dan ruang parotis 11%.4

Penatalaksanaan bisa diawali dengan medikamentosa yaitu dengan pemberian


antibiotik intravena, bila jalan nafas berada dalam keadaan berbahaya diperlukan
tindakan trakeostomi. Trakeostomi atau krikotirotomi dapat dilakukan untuk
mengatasi obstruksi jalan nafas. Dimana 24 jam setelah dilakukan krikotirotomi,
dilakukan persiapan untuk tindakan trakeostomi untuk mencegah komplikasi lebih
lanjut pada daerah laring. Pada saat jalan nafas telah diamankan, kultur dan tes
resistensi dari abses harus dilakukan. Terapi empiric harus diberikan untuk eradikasi
kuman pathogen. Biasanya infeksi dari kuman pathogen polimikrobial (gram positif,
gram negatif, aerob, anaerob dan kuman yang memproduksi beta laktamase). Untuk
itu antibiotik dari golongan ampicillin-sulbactam atau clindamycin dengan golongan
ke III sefalosforin seperti contohnya ceftazidin dapat diberikan.5

Setelah terjadi pembentukan abses, biasanya terapi medikamentosa saja tidak


cukup, apabila dengan terapi medikamentosa yang adekuat selama 48 jam tidak ada
perubahan, diperlukan tindakan pembedahan seperti insisi dan drainase abses.
Pemberian cairan yang adekuat, monitor output-input, observasi status sirkulasi dan
pulmonology dari pasien harus terus dilakukan untuk mencegah komplikasi ari infeksi
ruang leher.6 Insisi dan drainase atau pembedahan harus dilakukan, pada kasus-kasus
infeksi ruang leher yang telah terjadi komplikasi, atau yang belum terjadi komplikasi
sebagai tujuan pencegahan keadaan yang lebih buruk.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan
ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini
mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga setinggi
vertebrata servikalis ke-6.7
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian
inimerupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
selaput lendir, fasiafaringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.7
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior,
media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas
dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di
sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada
jaringan ikat yang disebut “rafe faring” (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor
untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafai oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot itu penting sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh
n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
m.palatoglosus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
1. M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot
ini dipersarafi oleh n.X.

3
2. M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
3. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan
ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4. M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
5. M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang


tidak beraturan, yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang
palatine superior.7
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari Nervus Vagus, cabang dari n.
glossopharyngeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari Nervus Vagus berisi
serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang -cabang
untuk otot-otot faring kecuali M.Stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang
Nervus Glossopharyngeus.7
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media
dan inferior. Saluran limfa superior mengaalir ke kelenjar getah bening retrofaring
dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke
kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan
saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah. 7
Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring
dan laringofaring (hipofaring).

4
Gambar 1. Anatomi faring

Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari


nasofaring ini antara lain:7
- batas atas : Basis Kranii
- batas bawah : Palatum mole
- batas depan : rongga hidung
- batas belakang : vertebra servikal
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesusfaring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n. glossopharyngeus, n. vagus dan Nervus Asesorius spinal
saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen
laserum dan muara tuba Eustachius.7
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu:7
- batas atas : palatum mole
- batas bawah : tepi atas epiglottis
- batas depan : rongga mulut

5
- batas belakang : vertebra servikalis
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, ton
sil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual
dan foramensekum. Secara klinis dinding posterior faring penting karena ikut terlibat
pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofiring, serta gangguan otot-otot
di bagian tersebut.7
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring.
Dengan batas-batasdari laringofaring antara lain, yaitu:7
- batas atas : epiglotis- batas bawah : kartilago krikodea
- batas depan : laring- batas belakang : vertebra servikalis

Gambar 2. Pembagian faring

Fascia servikalis
Fascia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fascia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis
dan fasia servikalis profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke
arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia
servikalis superfisialis dan fascia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial,
saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.

6
Fascia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 8,9
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan
melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius,
m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan
eksternal, investing layer , lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian
superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat
pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian
posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago
tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea
dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian
dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m.
konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang
berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi
viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian
posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan
dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari
danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis
profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar
tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks.

7
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di
ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi menjadi
2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiap – tiap bagian
mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah
berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan
tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang
ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.
Fossa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang

8
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.

Gambar 3. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan parafaring.9

Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :


- danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra
pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus
vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang ini berjalan
sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam
ke daerah koksigeus.

9
Gambar 4. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan
prevertebral space.9

Ruang submandibula
Ruang ini terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual
dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila selanjutnya
dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus
anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan
mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament
stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus
mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal
fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular
lymphanodes.

2.2 Abses Peritonsil (Quinsy)


Peritonsillar abscess merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

10
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri
penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil
tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring5.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih
sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda2.

Gambar 5. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya.

Etiologi
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun
yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob
yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,
dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik6.

Patofisiologi
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama

11
menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya
(frank abscess formation).
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat
terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan
jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis
kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu
gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).

Gejala klinis dan diagnosis


Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia),
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher
(limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan
otot tengkuk (cervical muscle inflammation)1.
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).
Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan
jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibiakkan.

12
Gambar 6. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan7:


1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function
tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views)
dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan
“peripheral rim enhancement”.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah2:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.

13
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA


diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.
Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik
yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4
x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses,
biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal
di ganglion sfenopalatum.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera10.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan
Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone
pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname
di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

14
2.3 Abses Retrofaring

Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian
dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring
berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang
menyebar ke kelenjar limfe retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun.
Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa,
masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran
limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga
tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.10

Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1)
infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma
dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis,
seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra
servikalis bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised
atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko
yang meningkat terhadap abses retrofaringeal.10

Gejala dan tanda


Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak
kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena
sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai
laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi
suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau
pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi yang kurang disertai letargi.

15
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa
terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat
membengkak.10
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium

 Darah perifer lengkap


 Kultur darah diindikasikan sebelum pemberian antibiotik, tapi hasil kultur
mungkin negatif pada sekitar 82% kasus abses retrofaringeal.
 Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat
menumbuhkan satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.
 Protein C-reaktif (CRP)

2. Pemeriksaan radiologi

 Foto x-ray jaringan lunak leher lateral


o Pelebaran jaringan lunak retrofaringeal diamati pada 88% pasien dengan
abses retrofaringeal menunjukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7
mm pada C2 dan lebih dari 14 mm pada C6. Studi lain menemukan
pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pad C2 dan lebih dari 22 mm
pada C6; jadi, radiografi leher lateral bisa kurang sensitif untuk mendeteksi
abses retrofaringeal daripada studi ini.
o Selain pembengkakan jaringan lunak, radiografi leher lateral kadang-kadang
tetapi jarang dapat menunjukan air fluid level, gas di jaringan, atau benda
asing.

 CT scan leher
 Foto thoraks diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan mediastinitis.
 MRI10

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas


bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto
Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran

16
ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal
lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga
dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.

Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob
dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses
melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang
keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda
infeksi reda.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:
1. penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
2. mediastinitis
3. obstruksi jalan napas sampai asfiksia
4. abses epidural
5. sepsis
6. erosi vertebra servikal 2 dan 3
7. defisit nervus kranialis (nervus IX-XII ada di dalam faisa servikalis)
8. trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid
9. kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna10

2.4 Abses Parafaring


Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan
saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.

Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:

17
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dan fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber
infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.

Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan
membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring.
Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang
sublingual dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat
dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di
bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi anterior dan M1
berada diatas garis perlekatan tersebut.

Gambar 7. Jalur infeksi dari gigi.11

18
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral
faring, sehingga menonjol ke arah medial.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman
dan pemberian antibiotika yang sesuai.

2. Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua
posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis,
cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan
antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan
untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau
pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu
menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas
rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak
disekitar abses.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik.
Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen
jaringan lunak AP atau CT scan.

Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada
perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.
Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.

19
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula.
Secara tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke
arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di
dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal
ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Gambar 8. Insisi Mosher pada abses parafaring11


Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem
arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam
ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi
tambahan terhadap insisi eksternal.

Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung
(per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai
mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi
perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis atau septikemia.

20
2.5 Abses Submandibula
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.10

Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.2
Sebanyak 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi.7,10

Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula,
jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid.4 infeksi dari
gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara
langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui
ruang mastikor.3

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,
baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus
Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang
sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif,
seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.6

Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak, trismus
akibat keterlibatan musculus pterygoid, disfagia dan sesak nafas akibat
sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibular
(gambar 5), fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah
atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba. Lidah terangkat
ke atas dan terdorong ke belakang.7,8

21
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik
Radiologis
Rontgen jaringan lunak kepala AP, Rontgen panoramic, Dilakukan apabila penyebab abses
submandibuka berasal dari gigi. Rontgen thoraks perlu dilakukan untuk evaluasi
mediastinum, empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat
aspirasi abses. CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada
abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan
klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu
rendah pada 70% pasien.
Terapi
Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah :
1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya
diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi
(mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah
pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman.
Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik.
Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat
disesuaikan.
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone,
yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih
tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan
selama lebih kurang 10 hari.

2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi
atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas
abses.11

22
Bila abses belum terbentuk, dilakukan panatalaksaan secara konservatif
dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam) maka
evakuasi abses dapat dilakukan.11

3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan


trakeostomi perlu dipertimbangkan.

Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering
meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.Perluasan ini
dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus pterygoid
medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah
potensial lainnya.7,9

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah


menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses
juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis
mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.9

2.6 Angina Ludovici (Ludwig’S Angina)


Definisi
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
(peradangan jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang
submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula.
Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri
berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter
spesifik yang membedakan angina Ludovici dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini
harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral). 12

23
Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob
dan anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh
odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene
yang kurang. Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular
bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang
seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari
terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan
infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini
mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga
pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau
adanya bengkak di sudut rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke
ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat
menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa
ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus
yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh
manipulasi instrumen saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis
kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan
mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat
intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal,
laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada
dasar mulut. 12
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig
melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri
anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan
peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,
Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies
Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,

24
Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies
Klebsiella. 12

Gejala dan tanda


Gejala klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi,
dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas.
Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti
papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang
submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema
pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan
peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam
artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular
yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien
tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat
penanganan segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi
karena kurangnya asupan makanan dan minuman.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaang radiologi
 Foto x-ray
 USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari abses.
USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif dan
non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk
menentukan letak abses.
 CT-scan
 MRI

25
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang ditambah adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut
gigi.

Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
 kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
membatasi penyebaran infeksi.
 ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.12

Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan


adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih
baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung
dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam
posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau
trakheotomi dengan anestesi lokal.
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan
operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang
lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta
mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti
dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam.
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-
clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan
regimen terapi.12
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat
pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam

26
tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi
dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam
sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas
os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi
dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan.
Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.12

Komplikasi
Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui celah
buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat
menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara
mudah ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga mediastinum
dan ruang subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba,
komplikasi dari angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari
sekret yang terinfeksi, dan pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut
yang telah dilaporkan meliputi sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura,
empiema, infeksi dari carotid sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan
thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis interna.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Infection of the facial space of neck and floor of the mouth. In:
Ballenger JJ editors. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 15 Ed.
Philadelphia, London: Lea and Febiger. 1991:p.234- 41
2. Andrina YMR. Abses retrofiring. Fakultas Kedokteran ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Universitas Indonesia. Jakarta. FKUI. 2013.
3. Murray AD, McClay JF, Booth T. Intravenous antibiotic therapy for deep neck
abscesses defined by computed tomography. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg. 2003; 129:1207-12
4. Yang SW, Lee MH. Analysis of life threatening complications of deep neck
abscess and the impact of empiric antibiotics. Journal Oto-thino-laryngology,
2008;70(4)
5. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a
transnasal approach; a case report. Journal of medical case report. 2009;
3:7317.
6. Marioni G, Stafferi A, Parisi S, et al. Rational diagnostic and therapeutic
management of deep neck infections: analysis 0f 233 consecutive cases. Ann
Oto-Rhino-Laryngology.2010;119(3):181:73.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:2014
8. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Dalam: USU Digital Library. Diakses: 8
Desember 2011
9. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed.
Head and neck surgery – otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott
Company , 2006 . h.738-49.
10. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in
children: the emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South
Med J. Sep 2006;99(9):927-31.
11. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
12. Hartmann RW. Ludwig’s Angina in Children. Am Fam
Physician. 1999 Jul 1;60(1):109-112. Diakses: 8 Desember 2011.

28

Anda mungkin juga menyukai