Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

BATU SALURAN KEMIH

DISUSUN OLEH
Merry Kartika
NIM 030.13.237

PEMBIMBING
dr. Achmad Rizky Herda Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 15 JANUARI – 16 MARET 2018

1
REFERAT

BATU SALURAN KEMIH

Telah disetujui oleh :


dr. Achmad Rizky Herda, SpU

Pada tanggal, 22 Januari 2018


Dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Bedah RSUD Karawang
periode 15 Januari – 16 Maret 2018

Karawang, Januari 2018

Pembimbing,

(dr. Achmad Rizky Herda, SpU)

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ”Batu Saluran Kemih”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Achmad Rizky Herda, SpU selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Tujuan
dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga
ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bedah RSUD Karawang.
Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai batu saluran
kemih yang dimana penulis berharap bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan
mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan keadaan tersebut.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, 22 Januari 2018

Merry Kartika

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………….. …… 1


Lembar Pengesahan ….………………………………………………………….. 2
Kata Pengantar …………………………………………………………….. …… 3
Daftar isi …………………………………………………………………………. 4
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………… 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 7
2.1 Anatomi sistem urinarius …………………………………………………… 7

2.2 Fisiologi sistem urinarius …………………………………………………… 11

2.3 Faktor predisposisi pembentukan batu ……………………………………. 12

2.4 Teori pembentukan batu ……………………………………………………. 13

2.5 Komposisi batu ………………………………………………………………. 14

2.6 Jenis-jenis batu ………………………………………………………………. 15


2.6.1 Batu ginjal ………………………………..…………………….……… 15
2.6.2 Batu ureter …………………………………..…..………………….…. 16
2.6.3 Batu buli ………………………………………….……………………. 17
2.6.4 Batu ureter …………………………………………………………….. 18
2.7 Pemeriksaan penunjang ……………………………………………………… 18
2.8 Diagnosis banding …………………………………………………………… 21
2.9 Komplikasi …………………………………………………………….…….. 21
2.10 Tatalaksana …………………………………………………………………. 22
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………… 32
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 33

4
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Batu saluran kemih ( urolitiasis ) adalah adanya batu dalam saluran kemih, mula
dari ginjal hingga uretra. Komposisi batu yang terbentuk dapat terdiri atas salah satu atau
campuran dari asam urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, sistin, struvit atau santin.
Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia dan tidak terkecuali penduduk di
Indonesia. Penyakit ini merupakan salah satu dari tiga penyakit terbanyak di bidang urologi
disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.1
Tergantung lokasi batu, urolithiasis dapat dibagi atas empat lokasi dalam saluran
kemih, nephrolithiasis, ureterolithiasis, cystolithiasis dan urethrolithiasis. Terdapat dua
mekanisme pembentukan batu yaitu infektif dan non infektif. Batu non infektif merupakan
batu yang paling sering terjadi yang mencakup batu yang bahan dasarnya kalsium hingga
asam urat. Batu infektif dapat terjadi karena adanya mikroorganisme yang dapat memebah
urea menjadi suasana basa yang akhirnya dapat memudahkan garam-garam magnesium,
ammonium dan fosfat untuk beragregasi dan membentuk batu MAP. Di Indonesia penyakit
batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi.
Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan
secara pasti.1 Angka kejadian urolithiasis berbeda pada setiap negara. Di negara-negara
berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak
dijumpai batu saluran kemih atas. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh status gizi
dan aktivitas pasien sehari-hari. Tercatat 5-10% penduduk Amerika Serikat mengidap
penyakit ini. Urolithiasis merupakan penyakit tersering ketiga di bidang urologi di samping
infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.(2)

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan


aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan keadaan
lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa

5
faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu
adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor
ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.
Untuk menegakan diagnosis, perlu anamnesis yang teliti seperti faktor resiko
terjadinya batu riwayat penyakit dahulu seperti gout atau pernahkan kencing mengeluarkan
batu juga. Selain itu, diperlukan juga pemeriksaan tambahan seperti radiologis dan
laboratorium, karena pemeriksaan fisik pada umumnya tidak banyak membantu untuk
menegakan diagnosis.
Terapi batu terdiri dari pembedahan dan konservatif. Namun, metode operasi
terbuka sudah nyaris ditinggalkan dalam penatalaksanaan batu saluran kemih dikarenakan
sudah adanya metode-metode lain yang lebih minimal invasif. Batu yang dikeluarkan perlu
dianalisa untuk menentukan pengobatan dan pencegahan untuk menghindari pembentukan
batu secara residif.
Semakin berubahnya pola makan hingga pola hidup yang diterapkan masyarakat di
Indonesia maka semakin tinggi angka kejadian urolithiasis. Berikut akan dibahas

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi sistem urinarius

Saluran kemih dibagi dua berdasarkan anatomi, bagian atas dan bawah. Saluran
kemih bagian atas meliputi ginjal dan ureter. Batas antara saluran kemih bagian bawah dan
atas adalah ureteroesikular junction yang merupakan peralihan ureter terhadap vesika
urinaria. Saluran kemih bagian bawah meliputi vesika urinaria dan uretra.
Selain fungsi ekskresi, fungsi sistem urinaria melainkan menyimpan urin, regulasi
volume darah dan regulasi pembentukan eritrosit. Sistem saluran kemih adalah suatu sistem
dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat
yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).
Sistem saluran kemih terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan uretra. 3

7
1. Ginjal
Setiap individu memiliki 2 buah ginjal, kanan dan kiri. Ginjal memiliki dua
bagian penting yaitu korteks dan medula. Bagian paling superfisial adalah korteks
renal, yang tampak bergranula. Di sebelah dalamnya terdapat bagian lebih gelap,
yaitu medula renal, yang berbentuk seperti kerucut disebut piramid renal, dengan
dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut apeks atau papilla renal. Pelvis
renalis terbentuk dari 2 – 3 cabang kaliks mayor yang terbentuk dari 14 – 15 cabang
kaliks minor.

Ginjal merupakan organ retroperitoneal. Ginjal terletak antara T12 – L3 dengan


letak ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri. Arteri renalis merupakan perdarahan
satu-satunya ke ginjal. Berikut adalah sirkulasi darah ginjal :
Ao.Abdominalis → a.renalis → a.interlobaris → a.arkuata → a.interlobularis →
glomerulus → v.interlobularis → v.arkuata → v.interlobaris → v.renalis →
v.cava inferior

8
Untuk persarafannya ginjal memiliki persarafan autonom simpatik dan parasimpatik.
Persarafan simpatik berasal dari T10 – L3, aktivasi dari saraf simpatik ini
menyebabkan vasokonstriksi. Sedangkan persarafan parasimpatik berasal dari
N.Vagus, aktivasi dari saraf parasimpatik menyebabkan vasodilatasi.

Ginjal memiliki beberapa fungsi penting bagi tubuh manusia, antara lain:

Filtrasi dan ekskresi sisa metabolik (ureum dan kreatinin),

Regulasi elektrolit, cairan, dan keseimbangan asam basa,

Stimulasi pembentukan sel darah merah,

Regulasi tekanan darah melalui sistem renin angiotensin,

Aktivasi vitamin D. 3

2. Ureter
Ureter terdiri dari dua saluran pipa yang masing-masing menyambung dari ginjal
ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya kira-kira 25 – 30 cm, dengan
penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian
terletak dalam rongga pelvis. Secara fisiologis ureter memiliki 3 tempat penyempitan,
yaitu pada ureter pelvic junction, pada persilangan ureter dengan fossa iliaka, dan pada
masuknya ureter ke dalam vesika urinaria.
Ureter dalam sistem saluran kemih hanya berfungsi sebagai saluran untuk
menyalurkan urin dari ginjal ke vesika urinaria. Perdarahan ureter dibagi menjadi 3,
bagian superior diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, bagian media diperdarahi oleh
cabang dari a.iliaka komunis, dan bagian inferior diperdarahi oleh cabang dari a.iliaka
komunis dan cabang a. iliaka interna. 4,5

3. Vesika urinaria (kandung kemih)


Vesika urinaria adalah sebuah kantung berdinding otot yang berfungsi untuk
menampung urin. Vesika urinaria terletak di dalam rongga pelvis di belakang simfisis
pubis. Secara garis besar, vesika urinaria terdiri atas dinding yang membentuk kantung
dan leher. Dinding ini terbentuk dari lapisan otot-otot yang tersusun sedemikian rupa
sehingga memungkinkan vesika urinaria untuk mengecil dan membesar. Kantung ini

9
dapat menampung urin 300 – 600 ml, namun biasanya persarafan dari vesika urinaria
sudah memberikan sinyal ke otak untuk miksi saat volume urin sudah mencapai
400ml. Sedangkan lehernya dibentuk oleh otot m.sfingter uretra internus yang
berfungsi untuk menjaga agar urin tidak keluar dari vesika urinarius.
Vesika urianaria mendapat vaskularisasi utama dari a.hipogastrika. Pada pria, vesika
urinaria juga mendapatkan suplai dari a.obturator dan a.glutea inferior, sedangkan
pada wanita mendapatkan suplai dari a.uterina dan a.vaginalis.

Untuk persarafannya, vesika urinaria memiliki persarafan autonom volunter dan


involunter. Persarafan volunter berasal dari segmen S2 – S4 yang mengatur m.sfingter
uretra eksternus untuk berkontraksi dan relaksasi saat miksi. Persarafan involunter
simpatik berasal dari T10 – L3 yang bila teraktivasi maka akan menginhibisi proses
miksi. Sedangkan persarafan parasimpatik beraasal dari S2 – S4 yang bila teraktivasi
maka akan terjadi proses miksi. 6

4. Uretra
Uretra terletak di bagian distal dari leher vesika urinaria. Uretra pada pria dan
wanita memiliki bentuk yang berbeda. Pada wanita, panjang uretra sekitar 2,5 sampai
4 cm dan terletak di antara klitoris dan pembukaan vagina. Pria memiliki uretra yang
lebih panjang dari wanita. Pada pria, panjang uretra sekitar 20 cm dan berakhir pada
akhir penis. Uretra pada pria secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian:

10
 Pars prostatica, terletak di prostat, Terdapat pembukaan kecil, dimana terletak
muara vas deferens.
 Pars membranosa, sekitar 1,5 cm dan di lateral terdapat kelenjar bulbouretralis.
 Pars spongiosa/cavernosa, sekitar 15 cm dan melintas di corpus spongiosum
penis.

Masuknya urin ke uretra dari vesika urinaria juga diatur oleh m.sfingter uretra
eksternus yang dipersarafi oleh saraf volunter. Pada ujung uretra pria terdapat bagian
yang melebar disebut fosa navikulare. 8

2.2 Fisiologi sistem urinarius


Fungsi dari sistem urinarius adalah untuk membuang sisa-sisa metabolisme dari dalam
tubuh. Sisa metabolisme tersebut dibuang dalam bentuk urin. Pembentukan urin terjadi di
dalam komponen terkecil ginjal yaitu nefron.

Pembentukan urin dalam nefron melalui beberapa tahapan:


1. Filtrasi
Darah yang mengalir masuk ke dalam glomerulus mengalami filtrasi sehingga
molekul-molekul besar dalam darah tidak masuk ke dalam tubulus ginjal, misal
protein, eritrosit, dan leukosit.

11
2. Rebsorbsi
Proses reabsorbsi terjadi di tubulus. Proses ini mencegah agar zat-zat yang masih
dibutuhkan tubuh namun ikut terfiltrasi dari glomerulus tidak terbuang bersama urin.
3. Sekresi
Pada proses sekresi terjadi perpindahan zat-zat metabolik yang masih berada di
dalam darah ke dalam tubulus ginjal untuk dibuang bersama urin.

4. Ekskresi
Ekskresi merupakan tahapan akhir pembentukan urin dimana pada proses ini terjadi
penambahan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh ke urin. 8

Setelah terbentuknya urin di ginjal, maka urin akan melalui ureter dari ginjal di tampung
dalam vesika urinaria. Setelah vesika urinaria penuh maka sensor di vesika urinaria akan
mengirim sinyal ke otak untuk membuang urin dalam vesika urinaria (miksi).
Pada saat proses miksi yang terjadi adalah otak memerintah otot dinding vesika urinaria
untuk berkontraksi dan m.sfingter uretra internum untuk relaksasi. Sedangkan dalam proses
bladder filling terjadi hal yang sebaliknya. 8

12
2.3 Batu Saluran Kemih (Urolithiasis) adalah adanya batu dalam saluran kemih, mulai dari
ginjal hingga uretra. Komposisi batu yang terbentuk dapat terdiri atas salah satu atau campuran
dari asam urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, sistin, struvit atau santin.(1)

Faktor predisposisi terbentukya batu


 Idiopatik
 Infeksi saluran kemih (mikroorganisme berdaya membuat urease (Proteus Mirabilis))
 Benda asing (fragmen kateter, telur skistosoma)
 jaringan abnormal atau mati (nefrosis papilla di ginjal) dapat menjadi nidus dan inti batu
 multifaktor (penderita multitrauma)
 Dehidrasi
 Statis/ gangguan aliran air kemih
 Fimosis
 Striktur meatus
 BPH
 Refluks vesiko-ureteral
 Ureterokele
 Konstriksi hubungan ureteropelvik

Atau pada beberapa orang terdapat kelainan kausal berupa kelebihan bahan dasar batu :
a. Hiperkalsiuria
1. Hiperkalsiuria absortif : gangguan metabolisme yang menyebabkan penyerapan Ca di
usus meningkat. Ini juga dipengaruhi oleh vitamin D dan pada pasien hiperparatiroid.
2. Hiperkalsiuria renal : kebocoran pada ginjal yang mengakibatkan Ca positif di urin.
b. Hiperoksaluria
Akibat konsumsi vitamin C dosis tinggi dalam waktu lama, penggunaan methoxyflurane
enterik
c. Hiperurikusuria

Makanan yang banyak mengandung purin

Pemberian sitostatika pada pengobatan neoplasma

13

Dehidrasi kronis

Obat obatan (thiazide, salisilat)1

Teori terbentuknya batu


1. Teori inti (nucleus)
Kristal dan benda asing merupakan faktor pembentukan batu.
2. Teori matriks
Matriks organik dari serum atau protein protein urin, memberikan kemungkinan
pengendapan kristal.
3. Teori inhibitor kristalisasi
Beberapa substansi dari urin memberikan hambatan untuk kristalisasi. Konsentrasi yang
rendah terhadap substansi ini, memungkinkan terjadinya kristalisasi. 1

Komposisi Batu
Analisis batu harus dilakukan untuk menentukan etiologi penyakit batu. Analisa dapat
dikerjakan secara kimiawi dengan cara kualitatif dan kuantitatif yakni kristalografi dan
autoanalisis. Cara lain dengan diseksi mikroskopis binokuler dengan mikroskop petrografik.
Juga ada cara instrumental melalui kristalografi radiografik, spektroskopi inframerah,
termoanalitik, mikroskopi elektron. Dari semua cara, kristalografi radiografik dianggap
paling baik ditinjau dari kesederhanaan dan ketepatannya.

14
Jenis komposisi batu :
 Batu oxalate kalsium, batu campuran oxalate kalsium dan fosfat
Kebanyakan merupakan batu idiopatik, berkaitan dengan sindroma alkali atau
kelebihan vit D. Faktor lain yang memegang peranan pada batu idiopatik adalah
dehidrasi, gastroenteritis, imobilisasi lama.
 Batu fosfat dan kalsium (hidroksiapatit)
Kadang disebabkan oleh hiperkalsiuria (tanpa hiperkalsemia).
 Batu fosfat ammonium magnesium
Didapatkan dari infeksi kronik oleh bakteri yang menghasilkan urease sehingga urin
menjadi alkali karena pemecahan ureum.
 Batu asam urat
Disebabkan hiperurisemia pada arthritis urika.
 Batu urat
Pada anak terbentuk karena pH urin rendah.
 Batu xantin
 Batu sistiin

15
JENIS-JENIS BATU

1) Batu Ginjal (Nefrolithiasis)

Epidemiologi
Batu bisa menempati bagian pelvis ginjal, bagian kaliks ginjal atau di pelviokaliks sehingga
bercabang menyerupai tanduk rusa. 2
Etiologi
Umumnya karena infeksi dan akibat obstruksi aliran kemih.2
Gejala subjektif
Asimptomatik – simptomatik.

Rasa sakit (pegal) di CVA yang mendadak ketika aliran urin mengenai batu,
atau berupa nyeri kolik akibat hiperperistaltik otot polos yang menjalar ke perut bagian bawah
sesuai dengan lokasi batu dalam ureter. namun rasa sakit tak sebanding dengan bendungan.


Gejala traktus digestivus yang menyerati nyeri kolik: nausea, vomitus, distensi abdomen yang
disebabkan oleh ileus paralitik.


Hematuria mikroskopis dan makroskopis


Infeksi, terjadi jika ada infeksi sekunder pada batu. penderita akan demam, menggigil, apatis 1

Gejala objektif
Bervariasi dari tidak ada kelainan (terutama batu di kaliks) sampai ada kelainan
Status generalisata :
16

Peningkatan suhu tubuh jika infeksi terjadi


Tanda anemia bisa terjadi jika hematuria hebat

Status lokalis :


Bisa teraba massa, jika terjadi hidronefrosis.


Ada nyeri di tempat terbentuknya batu, atau pada CVA 1

2) Batu Ureter (Ureterolithiasis)

Epidemiologi
Biasanya terjadi di tempat penyempitan ureter yakni di uretero pelvica junction, persimpangan
dengan fossa iliaca dan saat hendak memasuki pelvis.
Gejala subjektif

Rasa sakit (pegal) di CVA yang mendadak ketika aliran urin mengenai batu, atau berupa
nyeri kolik akibat hiperperistaltik otot polos yang menjalar ke perut bagian bawah sesuai
dengan lokasi batu dalam ureter disertai gejala tr digestivus dan nyeri alih yang khas. Pada
pria rasa sakit sampai ke testis/ scrotum. pada wanita sakit sampai ke vulva.


Gejala traktus digestivus : nausea, vomitus, distensi abdomen yang disebabkan oleh ileus
paralitik.

17

Namun jika batu sudah menetap di ureter, hanya ditemukan pegal pada sudut CVA karena
bendungan. 1,2

Gejala objektif
Status generalisata :


Peningkatan suhu tubuh jika infeksi terjadi


Tanda anemia bisa terjadi jika hematuria hebat

Status lokalis :


Bisa teraba massa, jika terjadi hidronefrosis.


Ada nyeri di tempat terbentuknya batu, atau pada CVA 1

3) Batu Buli-Buli (Vesikolithiasis / Cystolithiasis)

Epidemiologi
Batu buli bisa terjadi nidus dan inti batu di kandung kemih, atau berasal dari batu ureter yang
kemudian menetap di kandung kemih. 2

Gejala subjektif
 Kencing yang lancar, tiba tiba berhenti. Namun bila pasien mengubah posisi, aliran kencing
dapat lancar kembali. Pada anak anak, sering menarik penis.

18
 Disertai rasa nyeri hebat (yang menjalar sampai ke penis), pada anak anak sering menangis
dan berguling guling.

 Kadang terjadi hematuria.

 Kalau terjadi sistitis, ditemukan tanda infeksi.

Gejala objektif
Status generalisata :

Peningkatan suhu tubuh jika infeksi terjadi


Tanda anemia bisa terjadi jika hematuria hebat


Pada lokalis : Ada nyeri di suprapubik. 1

4) Batu Uretra (Uretrolitiasis)

Epidemiologi
Bisa berasal dari ureter, atau batu buli, atau terjadi pembentukan di uretra secara mandiri.

19
Biasanya batu dari ureter atau buli yang ikut aliran urin akan menyangkut di tempat yang agak
lebar (pars prostatika, permulaan pars bulbosa, fosa navikular). 2

Gejala subjektif

Kencing yang lancar, tiba tiba berhenti


Disertai rasa nyeri hebat (pada glans penis, batang penis, perineum dan rectum)


Retensi urin (total atau parsial) 1

Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
1. Darah

Anemia : pada gangguan ginjal kronis


Leukositosis : pada infeksi


Ur Cr : untuk menilai fungsi ginjal


Ca, P, asam urat : untuk menilai adanya hipersekresi 1

2. Urin
 Ph > 7,6 : dapat menyebabkan pengendapan batu anorganik.

 Ph < 7,35 : dapat menyebabkan pengendapan batu asam urat (organic)

 Sedimen + : bila terjadi hematuria (sel darah merah meningkat di urin)

Bila terjadi leukosituria (Sel darah putih meningkat di urin)


Biakan urin


CCT : untuk menilai fungsi ginjal

20

Ca, P, asam urat : untuk melihat adanya hipersekresi dalam urin 24 jam. 1

b. Radiologis

Foto BNO IVP

-Fungsi utamanya adalah untuk menilai anatomi ginjal serta menilai apakah ada batu atau
tidak.sepanjang tr urinarius bila tidak tampak pada pemeriksaan BNO.
-Persiapan BNO IVP :
pasien dipuasakan terlebih dulu untuk mengosongkan isi usus dari feces
berikan 2 tablet dulcolax pada malam hari sebelum pemeriksaan
pasien dipuasakan pada malam hari sebelum pemeriksaan.
BNO rutin dilakukan sebelum IVP
Kadar ureum <60 dan kreatinin <2
Skin test zat kontras

-Hal hal yang dinilai :


5 menit pertama :
Untuk menilai fungsi sekresi dan ekskresi ginjal. Fungsi sekresi dikatakan baik, jika kontur
ginjal terlihat dengan jelas karena nefron nefron terisi kontras dengan baik.
Fungsi ekskresi dikatakan baik apabila kontras telah mengisi system pelviocalices.
15 menit pertama :
Untuk menilai drainase ureter. Apakah kedua ureter telah trisi kontras dan sebagian vesika
urinaria juga telah terisi kontras. Kemudia dinilai juga adakah pelebaran kalises.
Derajat pembesaran kalises :

21
Grade 1 : mendatar
Grade 2 : tumpul/ blunting
Grade 3 : bulging
Grade 4 : ballooning
30 menit pertama :
untuk melihat apakah sleuruh vesika urinaria telah terisi kontras. Dan nilai apakah ada filling
drefect(pada masa buli). Additional shadow (pada diverticulosis) dan indentasi (masa diluar
buli)
Post miksi :
untuk menilai residu urin. Normalnya minimal.

Retrograde pielografi atau antegrad pielografi

Digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal


dimana IVP tidak dapat dilakukan. Pelaksanaanya,
dapat dibantu dengan ultrasonografi untuk menuntun
pengerjaan.

Caranya dimasukan kateter ureter melalui sitoskop pada


ureter ginjal yang tidak berfungsi untuk memasukan
kontras. Untuk melihat lokasi, besarnya batu serta
apakah sudah terjadi bendungan (hidronefrosis)
c. USG
Bisa untuk melihat jenis batu, baik radiolucent atau opak, serta menentukan luas lumen buli. 2

22
Diagnosis banding

Kolik ginjal dan ureter khususnya sebelah kanan


Kolik saluran cerna
Kolik kandung empedu
Apendisitis akuta
Adneksitis (pada perempuan)
Hematuria
Keganasan (tak ada nyeri).
Selain itu, batu yang bertahun tahun dapat menjadi tumor, umumnya karsinoma epidermoid
akibat rangsangan dan inflamasi.
Hidronefrosis
Tumor ginjal polikistik hingga tumor grawitz. 2

Komplikasi
Komplikasi batu saluran kemih :

Obstruksi yang bisa menyebabkan hidronefrosis dan berlanjut dengan atau tanpa pielonefritis
yang berakhir dengan penurunan faal ginjal. Jika terjadi pada kedua ginjal, dapat terjadi
uremia.


Infeksi sekunder

23

Iritasi berkepanjangan pada urotelium yang dapat menyebabkan terjadinya keganasan


Khusus untuk batu uretra, bisa terjadi divertikulum uretra. Bila obstruksi berlangsung lama,
dapat terjadi ekstravasasi kemih dan terbentuk fistula yang letaknya di proksimal batu ureter.

Tatalaksana
Penatalaksanaan batu saluran kemih dapat dibagi menjadi:
a. Mengatasi gejala

b. Pengambilan batu

c. Pencegahan

a. Mengatasi gejala

Batu saluran kencing dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu turun dalam sistem
kolektikus dan dapat menyebabkan kelainan sebagai kolik ginjal atau infeksi di dalam
sumbatan saluran kemih. Nyeri yang terjadi dapat terjadi akibat dilatasi sistem sumbatan
dengan peregangan reseptor sakit dan iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis ginjal
disertai edema dan pelepasan mediator sakit.
Tindakan emergensi ditujukan kepada pasien dengan kolik ginjal. Pasien dianjurkan untuk
tirah baring dan dicari penyebab lain. Berikan spasme analgetik atau inhibitor sistesis
prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria).

b. Pengambilan batu
Keluhan pada penderita batu saluran kencing karena terbentuknya batu di dalamnya, sehingga
dengan keluarnya batu tersebut akan menghilangkan keluhan pada penderita. Batu dalam
saluran kencing dapat keluar dengan spontan maupun dengan alat:
 Keluar dengan spontan

Bila masalah akut dapat diatasi, gambaran radiologis yang ditemukan adalah merupakan
basis penanganan selanjunya. Berdasarkan ukuran, bentuk, dan posisi batu dapat
diestimasi batu akan keluar spontan atau harus diambil. Batu yang keluar spontan 60 –
70% cenderung mengalami kekambuhan, sehingga perlu diberikan terapi pencegahan
kolik dijaga pembuangan tinja tetap baik, antiedema, diuresis, dan dianjurkan untuk
24
berolahraga. Batu tidak diharapkan keluar spontan bila batu berukuran besar atau melebihi
6 mm, disertai dilatasi hebat pelvis, infeksi atau sumbatan sistem kolektikus.
 Keluar dengan pengambilan batu

Indikasi pengambilan batu dengan teknik operasi antara lain:


 Ukuran batu > 7mm, karena kemungkinan untuk keluar secra spontan sangat kecil

 Pemberian anti nyeri tidak mengurangi keluhan

 Disertai dengn proses infeksi

 Adanya resiko pionefrosis atau urosepsis

 Disertai sumbatan ginjal baik unilateral maupun bilateral.

Pengambilan batu dapat dilakukan dengan beberapa metode mulai dari yang non
invasive berupa gelombang kejutan litotrips ekstrakorporeal (ESWL), minimal invasive
berupa prekutaneous nefrolitomi, uteroscopy (URS) dan operasi terbuka.

1. ESWL
Extracoporeal Shock-Wave Lithotripsy adalah terapi yang menggunakan gelombang kejut
(shock wave), yang ditembakkan dari luar tubuh ke arah batu ginjal sampai batu ginjal
tersebut hancur berkeping keeping dengan beberapa kali (bahkan ribu) tembakan sampai
ukuran serpihannya cukup kecil hingga dapat dikeluarkan secara natural dengan urinasi.
Proses hancurnya batu ginjal diprediksi merupakan hasil kombinasi dari efek langsung
maupun tidak langsung dari shock waves. Untuk dapat menjelaskan proses hancurnya batu
ginjal, terlebih dahulu kita perlu mengetahui profil dari shock wave yang dihasilkan di titik
fokus penembakan. Secara umum, shock wave ditandai dan diawali oleh high positive
pressure (compressive wave) dengan durasi singkat sekitar satu mikrodetik, kemudian
diikuti oleh negative pressure (tensile wave) dengan durasi sekitar tiga mikrodetik. High
positive pressure di dalam batu ginjal akan mengalami refraksi dan refleksi, dan akhirnya
membangkitkan tensile dan shear stress di dalam batu ginjal. Selanjutnya retak akan
terjadi dan merambat hingga menyebabkan batu pecah menjadi dua atau

25
beberapa fragment besar. Pada saat yang sama, tingginya compression stress dapat
menyebabkan erosi pada permukaan batu ginjal. Proses di atas dikatakan sebagai efek
langsungdari shockwave. Sedangkan negative pressure, akan mengakibatkan
munculnya cavitation bubbles pada fluida di sekitar batu ginjal dan ini dikatakan sebagai
efek tidak langsung dari shock wave. Cavitation bubbles ini kemudian
akan collapse menghujam permukaan batu ginjal dan menyebabkan erosi.
Dikatakan sebagai terapi non-invasive, karena tidak memerlukan pembedahan atau
memasukkan alat kedalam tubuh pasien
Ini merupakan metode yang sering dipakai pada 90% pengambilan batu saluran kemih
dikarenakan memiliki kontraindikasi yang minimal pada pasien dikarenakan keamanan,
keefektifan serta kefleksibelannya terhadap posisi batu ginjal. Sebagai perbandingan,
terapi PNL hanya efektif untuk penanganan batu ginjal yang masih berada dalam ginjal
atau atau yang berada pada ureter bagian atas. Sedangkan terapi URS efektif pada batu
ginjal yang berada pada ureter bagian bawah atau pada kandung kemih. Kemudian dari
segi keamanan dan kenyamanan, pasien yang diterapi dengan ESWL pada umumnya tidak
memerlukan obat bius atau penahan sakit saat terapi dilakukan, dan sudah dapat
melakukan aktifitas seperti biasa dalam satu atau dua hari setelah terapi. Sedangkan untuk
PNL dan URS diperlukan waktu pemulihan sekitar satu sampai dua minggu, dan waktu
pemulihan yang lebih panjang dibutuhkan lagi bagi pasien yang menjalani operasi
terbuka, yaitu sekitar enam minggu
Kontra indikasi dari metode ini adalah hamil, pasien yang memiliki masalah perkemihan,
pasien memiliki infeksi saluran urinarius, kanker ginjal.
Metode ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi pada batu yang berukuran ≤ 20 mm.
Keberhasilan dari metode ini tergantung dari letak batu, jumlah batu, fungsi ginjal, dan
komponen pembentuk batu. Pada batu yang letaknya di pelvis renalis cenderung memiliki
angka keberhasilan lebih tinggi dari pada batu di ureter. Batu dengan komponen
pembentuk kalsium atau sitrat struvit lebih mudah dihancurkan dengan metode ini
dibandingkn dengan batu komponen sistin.
Komplikasi dari ESWL adalah rasa nyeri, blok pada pancaran urin, infeksi saluran
kemih,hematuria.

26
2. PNL
Precutaneous Nepholithotomy adalah metode pengambilan batu yang invasif minimal
karena memasukan instrument kecil ke tubuh penderita. Dalam terapi PNL, guide
wire dimasukkan melalui kulit dekat pinggang kemudian dengan membuat lubang kecil
menembus masuk ke dalam ginjal sampai menemukan posisi batu ginjal. Sejenis tabung
kecil kemudian dimasukkan sepanjang guide wire untuk membuat tunnel, dimana
nantinya lewattunnel ini dimasukkan instrumen kecil untuk menghancurkan batu ginjal
dan mengeluarkan serpihannya. Bila metode ESWL tersedia maka metode PNL hanya
digunakan apabila angka keberhasilan dari ESWL kecil. Walaupun metode ini invasif
minimal, namun tetap merupakan metodde operasi sehingga perlu memperhatikan variasi
anatomi ginjal pada pasien. Meskipun nefroskop yang digunakan memiliki ukuran 24 –
30 Fr, namun sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih kecil mencapai 12 – 20 Fr.
Dimensi alat yang sangat kecil ini memperkecil kemungkinan komplikasi perdarahan dan
trauma ginjal. Prosedur ini biasnaya dilakukan melalui kaliks dorsal dari kutub terbawah

27
ginjal. PNL adalah teknik minimal invasif namun tetap memiliki potensi risiko
komplikasi: infeksi, perdarahan, fistula kemih dan perforasi organ yang berdekatan.
Terjadinya komplikasi ini dapat dicegah dengan berhati-hati dan memperhatikan prosedur
operasi dengan seksama.

3. URS
Sedangkan URS prinsip kerjanya mirip dengan PNL, namun dalam URS digunakan alat
yang dinamakan ureteroscopes, dimana alat ini dimasukkan melalui urethra (saluran
kencing), kemudian melalui bladder (kandung kemih) dan ureter (saluran kemih), sampai
menemui posisi batu ginjal.
Kemajuan ureteroskop dan instrumen pengambilan batu memungkinkan prosedur
ureteroskopik dilakukan hanya dengan menggunakan sedatif tanpa perlu anestesi umum.
Ureteroskop yang kaku dan fleksibel meminimalisir pelebaran ureter intramural.
Pengambilan batu saluran kncing secara ureteroskopik dengan keranjang atau forceps
relatif cepat dan memiliki morbiditas lebih rendah dari lithotripsy.
Komplikasi pada ureteroskopi sangat jarang terjadi, kalaupun terjadi kemungkinan
komlikasi yang dapat ditimbulkan antara lain sepsis, striktur, cidera ureter, dan infeksi
saluran kencing. Di tangan spesialis yang handal, penggunaan ureteroskop tidak hanya
dapat menjangkau batu pada saluran kencing bagian bawah namun juga batu pada saluran
kencing bagian atas

5. Open Surgery

28
Open surgery atau operasi terbuka merupakan metode yang invasif. Namun seiring
dengan berkembangnya teknologi dan ditemukannya teknik-teknik pengambilan batu
yang minimal invasif, maka operasi ini hanya digunakan dengan indikasi tertentu:
 Komposisi batu yang kompleks

 Kegagagal terapi ESWL, PNL, maupun ureteroskopik

 Kelainan anatomi intrarenal

 Obesitas

 Deformitas tulang

 Memiliki kondisi medis tertentu yang berbahaya

 Riwayat operasi terbuka berulang

 Gangguan fungsi ginjal

 Atas permintaan pasien sendiri

 Batu berada di luar ginjal

 Batu vesika urinaria yang sangat besar

 Batu pada anak-anak


Metode operasi terbuka sudah nyaris ditinggalkan dalam penatalaksanaan batu saluran kencing
dikarenakan sudah adanya metode-metode lain yang lebih minimal invasif.

c. Pencegahan
Analisis batu untuk mengetahui jenis batu dapat membantu dalam langkah pencegahan
terjadinya rekurensi. Dengan menghilangnya faktor-faktor yang mempengaruhi kalikulogenesis
serta pengaturan jenis makanan dan minuman terhadap penderita-penderita yang telah diketahui
jenis batunya, terjadinya batu saluran kencing dan kemungkinan terjadinya rekurensi akan dapat
dicegah.
Bentuk pencegahan terjadinya batu saluran kencing lainnya adalah dengan mengkonsumsi obat-
obatan tertentu tergantung dari komponen pembentuk batu:
 Hiperkalsiuria idiopatik

29
Batasi pemasukan garam dan diberikan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid 25 – 50 mg
untuk menurunkan ekskresi kalsium. Dapat juga diberikan ortofosfat untuk mengurangi
ekskresi kalsium dan meningkatkan ekskresi inhibitor kristalisasi seperti pirofosfat.
 Hiperurikosuria

Berikan allopurinol 100 – 300 mg/hari untuk menurunkan kadar asam urat.
 Hipositraturia

Berikan kalium sitrat. Hal ini berdasarkan penelitian dimana pemberian minuman air jeruk
nipis yang diberikan sesudah makan malam pada pasien batu ginjal kalsium dengan
hipostraturia dilaporkan dapat meningkatkan eksresi asam sitrat dan pH urin di atas 6 secara
bermakna.
 Hiperoksalouria

Usahakan pengurangan absorbsi oksalat intestinal, berikan banyak asupan cairan, kalium
sitrat (untuk mengkoreksi asidosi metanolik bila ada), kalsium karbonat (1 – 4 g/hari untuk
mengikat oksalat lumen intestinal).
 Batu kalsium fosfat

Seperti pada pasien kalsium oksalat dapat diberikan kalium sitrat.

30
BAB III
KESIMPULAN

Urolithiasis adalah proses terbentuknya batu di saluran kemih. Proses pembentukan batu
ini dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari internal maupun eksternal. Penyakit ini dapat
meyerang segala usia dan prevalensinya hampir sama antara pada pria maupun wanita. Tidak
semua penderita dengan batu saluran kemih memberikan keluhan yang sama, karena keluhan
ditentukan oleh letak, besarnya dan morfologi batu. Untuk mendiagnosa batu saluran kemih
maka memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang baik.
Penatalaksanaan dari penyakit batu saluran kemih ini secara garis besar adalah dengan
terapi simptomatik, pengambilan batu, dan pencegahan. Batu saluran kemih dapat keluar dengan
spontan bila ukurannya cukup kecil, namun harus diambil secara langsung bila batu berukuran
cukup besar. Metode seperti ESWL, PNL, dan URS adalah metode-metode yang sering dipakai
dalam pengambilan batu yang tidak bisa keluar secara spontan. Sedangkan metode open surgery
sudah jarang dilakukan kecuali atas indikasi-indikasi tertentu.
Pencegahan terjadinya batu saluran kemih kembali adalah dengan mengetahui terlebih
dahulu jenis batunya. Lalu setelah itu hilangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terbentuknya batu kembali. Secara garis besar pencegahan ini dilakukan dengan menurunkan
konsentrasi reaktan, meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu, pengaturan diet,
serta pemberian obat-obatan tertentu bilamana perlu.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Staf pengajar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta, Penerbit.Binarupa Aksara Publisher. Hal: 145-
192.
2. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Satu, 2014. Hal : 87-
101.
3. Kidney Anatomy. Avilable at: http://emedicine.medscape.com/article/1948775-
overview#showall . Accessed on: 24th Jan 2017.
4. Widjaja, A R. Diktat Urologi Umum. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti, Jakarta: 2006; 1.
5. Ureter Anatomy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1949127-
overview#showall . Accessed on: 24th Jan 2017.
6. Bladder Anatomy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1949017-
overview#showall . Accessed on: 24th Jan 2017.
7. Autonomic Regulation of the Bladder. Available at:
th
http://www.ncbi.nlm.gov/books/NBK10886/ . Accessed on: 24 Jan 2017.
8. Sja'bani M. Batu Saluran Kemih. In: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. ed.V. Editor:
Aru W S, Bambang S, Idrus A, dkk. Jakarta. InternaPublishing. 2009. 1030-1.
9. Preminger GM, Tiselius HG, Assimos DG, Alken P, Buck AC, Gallucci M, Knoll T,
Lingeman JE, Nakada SY, Pearle MS, Sarica K, Türk C, Wolf Js Jr. American
Urological Association Education and Research, Inc; European Association of Urology.
2007 Guideline for the management of ureteral calculi. Eur Urol. 2007
Dec;52(6):1610–31.
10. Rassweiler JJ, Renner C, Chaussy C, Thüroff S. Treatment of renal stones by
extracorporeal shockwave lithotripsy: an update. Eur Urol. 2001 Feb;39(2):187–99.
11. Katz G, Lencovsky Z, Pode D, Shapiro A, Caine M. Place of extracorporeal shock-
wave lithotripsy (ESWL) in management of cystine calculi. Urology. 1990
Aug;36(2):124–8.
12. Doré B. Complications of percutaneous nephrolithotomy: risk factors and management.
Ann Urol (Paris) 2006 Jun;40(3):149–60.
13. Monga M. Accessory instrumentation for ureteroscopy. Curr Opin. Urol. 2004
Mar;14(2):107–9.
14. Wolf JS Jr. Treatment selection and outcomes: ureteral calculi. Urol Clin North Am.
2007 Aug;34(3):421–30.
15. Abreu SC, Gill IS. Advanced renal laparoscopy. BJU Int. 2005 Mar;95(2):114–9.

32
16. Raharjo J P, Tessy A. Batu Saluran Kencing. In: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 1999; 340.

33

Anda mungkin juga menyukai