Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh:
Muhammad Muhammad Emir Amaro Syailendra Syailendra, S. Ked
04084821719232 04084821719232

Pembimbing:
dr. Yusmala Helmy, Sp.A(K)

Oponen:
Muhammad Ihsan, S.Ked 04084821719231
Alia Salvira M., S.Ked 04084821719233
Khairunnisa, S.Ked 04084821719177
Jason Liando, S.Ked 04084821719178
Dhanty Mukhlisa, S.Ked 04084821719179
Ghiena Inayati A., S.Ked 04084821719180
Albaroka, S.Ked 04084821719181
Endy Averossely, S.Ked 04084821719182
Anindya Ayu P., S.Ked 04084821719201
Muhammad Tasrif, S.Ked 04084821719202
Sandy Prasaja, S.Ked 04084821719203
Christi Giovani AH, S.Ked 04084821719204
Lola Meristi, S.Ked 04084821719205
Monica Trifitriana, S.Ked 04084821719206

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus

JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh:
Muhammad Emir Amaro Syailendra, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang periode 11 Desember 2017– 19 Februari 2018.

Palembang, Desember 2017


Pembimbing

dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Juvenile
Rheumatoid Arthritis” sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Yusmala Helmy,
Sp.A(K) selaku pembimbing laporan kasus ini yang telah memberikan bimbingan
dan nasihat dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar laporan kasus ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga
laporan kasus ini bisa membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan
dengan sebaik-baiknya.

Palembang, Desember 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
BAB II. STATUS PEDIATRI.................................................................................... 3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 14
BAB IV. ANALISIS KASUS ................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 48
LAMPIRAN ............................................................................................................. 49

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang


merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Penyakit ini ditandai dengan
artritis sendi yang mempunyai penampilan klinis dan penyebab yang berbeda, dan
berhubungan dengan respon spesifik tubuh yang didasari oleh patogenesis
imunoinflamatorius, yang kemungkinan diaktifkan oleh kontak dengan antigen.
Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang merupakan respon normal dari
sistem kekebalan tubuh. Peradangan pada sendi menyebabkan nyeri, kekakuan,
dan bengkak serta gejala lainnya. Selain itu, peradangan sering mempengaruhi
organ lain dari sistem tubuh. Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan,
akhirnya akan menghancurkan sendi yang terkena dan jaringan lainnya.1
Etiologi artritis reumatoid juvenil belum diketahui. Manifestasi yang
seringkali mendasari adalah sinovitis kronik, atau inflamasi pada sinovium sendi.
Sinovium menjadi menebal dan mengalami hipervaskularisasi dengan infiltrasi
limfosit, yang juga dapat ditemukan pada cairan sinovial dengan disertai sitokin
inflamasi. Inflamasi juga menyebabkan pelepasan protease jaringan dan
kolagenase. Jika dibiarkan tanpa diobati, hal ini akan menyebabkan destruksi
jaringan, khususnya kartilago sendi dan akhirnya mengenai struktur tulang di
bawahnya. 1
Artritis reumatoid juvenil merupakan penyakit reumatologik kronik pada
masa anak, insiden JRA diperkirakan 2-20 kasus per 100.000 anak dengan
prevalensi 16-150 kasus per 100.000 anak diseluruh dunia. Juvenil Rheumatoid
Arthritis (JRA) biasanya muncul sebelum usia 16 tahun. Penyakit ini mempunyai
dua puncak, yang pertama pada usia 1-3 tahun dan yang kedua pada usia 8-12
tahun, namun pada dasarnya dapat timbul pada usia berapapun. Perempuan lebih
sering terkena dibandingkan laki-laki, khususnya pada bentuk penyakit
oligoartritis.2
Tipe JRA yang paling umum pada anak usia kurang dari 8 tahun adalah
pausiartikular. Tipe ini hanya mempengaruhi beberapa sendi, yakni kurang dari

1
lima sendi seperti sendi bahu, siku, pinggul, dan lutut. Gejala lain yang dapat
timbul adalah demam tinggi, ruam pada kulit, dan masalah lain yang disebabkan
oleh peradangan pada organ dalam seperti jantung, limpa, hati, dan saluran
pencernaan. Tipe ini merupakan 30% dari seluruh kasus JRA. 1
Angka kematian pada penderita JRA sedikit lebih tinggi dari pada anak
normal. Angka kematian tertinggi terjadi pada JRA sistemik. Juvenile Rheumatoid
Arthritis (JRA) juga dapat berkembang menjadi penyakit lain, seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) atau skleroderma, yang memiliki angka kematian
yang lebih tinggi dari pada JRA pausiartikular atau poliartikular.2

2
BAB II
STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. NA
Umur : 7 tahun/ 17 Juni 2010
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. A (35 tahun)
Nama Ibu : Ny. M (27 tahun)
Agama : Islam
Bangsa : Sumatera
Alamat : Desa Sebokor KM 21, Kab. Banyuasin
No. Rekam Medik : 1035179
MRS : 26 November 2017 (15:00 WIB)
Kontrol Poli : 20 Desember 2017 (13.00 WIB)

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 20 Desember 2017 pukul 13.00 WIB
(kontrol ke poliklinik), diberikan oleh ibu dan bapak kandung pasien.
Keluhan utama : Kontrol untuk fisioterapi
Keluhan tambahan : Sendi kaku
Riwayat Perjalanan Penyakit
± 2 minggu SMRS penderita demam tinggi, demam tidak timbul
mendadak, tidak bertambah tinggi, turun bila dikompres atau minum obat
penurun panas, sesak (-) pilek (-) keringat malam (-) bertambah kurus (-).
Penderita tidak nafsu makan dan minum, muntah (-), BAB dan BAK normal.
Penderita mengeluh bahwa sendinya kaku, nyeri, dan tampak radang, terutama
saat sedang demam. Penderita kemudian dibawa ke dokter terdekat dan diberi
obat sirup, dan demamnya membaik.
Sejak ± 5 hari SMRS demam berulang, demam tinggi, turun bila
dikompres atau minum obat penurun panas, batuk (-), pilek (-), mencret (-).

3
Muncul ruam bila sedang demam, ruam kemerahan, ukuran ± 1x1 cm, di dada
dan punggung. Penderita mengeluh sendinya semakin nyeri.
Pasien kemudian dibawa ke IGD RS Muhammadiyah, pasien dirawat
inap. Pasien dirawat selama 5 hari. Pasien dirujuk ke RSMH untuk
pemeriksaan lebih lanjut dan dirawat selama 2 minggu.
Riwayat pengobatan selama dirawat:
 IVFD D5 1⁄4 NS 15 gtt/ menit
 Ibuprofen 3 x 200 mg PO selama 8 hari  Naproxen 2 x 170 mg
sampai selesai perawatan
 Inj Cefotaxime 3 x 400 mg IV selama 12 hari
 Cetirizine 2 x 3,5 ml syr

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat sendi dan kaku sejak ± 2 tahun SMRS
o Riwayat ruam kemerahan pada wajah bila terkena sinar matahari
disangkal
o Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


o Riwayat alergi disangkal
o Riwayat keluarga menderita nyeri dan kaku sendi disangkal.
o Riwayat keluarga menderita penyakit SLE disangkal.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


- Masa kehamilan : aterm
- Partus : spontan
- Ditolong oleh : bidan
- Tanggal : 17 Juni 2010
- BB : 3250 gram
- PB : Ibu lupa
- Lingkar Kepala : Ibu lupa

4
- Kondisi saat lahir : langsung menangis
- Riwayat ibu demam : tidak ada
- Riwayat KPSW : tidak ada
- Riwayat ketuban hijau,kental, dan bau : tidak ada
Pasien adalah anak tunggal. Selama hamil, ibu tidak rutin kontrol kehamilan
ke bidan. Penyakit yang diderita selama kehamilan disangkal.
Kesan: Riwayat kehamilan dan kelahiran normal.

Riwayat Makanan dan Nutrisi


Pasien mendapat ASI sejak lahir hingga usia 2 tahun sebanyak 8-
10x/hari. Pasien minum susu formula sejak lahir bersamaan dengan ASI sejak
lahir hingga usia 2 tahun, 2-3x per hari 1 porsi. Pasien makan bubur nasi
dengan lauk pauk diganti secara bertahap sejak usia 8 bulan. Pasien teratur
makan siang dan malam. Pasien makan makanan sesuai menu keluarga.
Biasanya pasien makan bubur nasi 1 porsi piring sedang dengan lauk pauk,
seperti ayam, telur, atau tempe dan sayur-mayur. Pasien jarang makan buah.
Sejak sakit nafsu makan pasien berkurang.
Kesan: Asupan makanan cukup secara kuantitas dan kualitas.

Riwayat Vaksinasi
Vaksin I II III IV V
BCG √ Skar (-)
(2 bulan)
DPT √ (2 bulan) √ (6 bulan) - - -
POLIO √ (2 bulan) √ (6 bulan) - - -
HEPATITIS B √ (2 bulan) √ (6 bulan) -
HiB √ (2 bulan) √ (6 bulan) -
CAMPAK -

Tidak ada KMS atau buku catatan imunisasi penderita. Menurut keluarga
pasien, pasien mendapat semua imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah.

5
Pasien pernah diimunisasi Hepatitis B 0 saat lahir, BCG (skar -), DPT-HepB-
HiB, Polio saat usia 2 bulan. Serta DPT-HepB-HiB dan Polio saat usia 6
bulan.
Kesan: Imunisasi dasar PPI lengkap.

Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan
Berat Badan : 17 kg
Tinggi Badan : 105 cm
Lingkar Kepala : 50 cm
BB/U : < P5
PB/U : < P5
LK/U : -2 < LK < 0
BB/TB : 100%
Kesan : Gizi baik
Perkembangan
Usia 1,5 bulan : Pasien dapat miring ke kanan dan kiri
Usia 3 bulan : Pasien dapat tengkurap sendiri
Usia 7 bulan : Pasien dapat duduk
Usia 9 bulan : Pasien dapat berdiri dan berbicara 1 kata
Usia 12 bulan : Pasien dapat berjalan dan berbicara >1 kata
Kesan : Perkembangan sesuai usia

Riwayat Keluarga
AYAH IBU
Nama Tn. A Ny. M
Agama Islam Islam
Pendidikan terakhir SMP SD
Pekerjaan Buruh Ibu Rumah Tangga
Penghasilan Rp 1.000.000 -
Pernikahan ke- 1 1
R/ tranfusi (-) R/ tranfusi (-)
Riwayat
R/ sakit berat (-) R/ sakit berat (-)

6
Pasien merupakan anak tunggal dari perkawinan kedua orang tuanya.
Ayah dan ibu pasien masih hidup. Ibu pasien mengatakan ayah pasien adalah
perokok berat. Ayah dan ibu pasien memiliki perawakan baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK (20 Desember 2017, 13.30 WIB, kontrol


poliklinik)
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan Darah : 90/50 mmHg
Nadi : 98 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 22 kali/menit
Suhu : 36,1oC
Berat badan : 17 kg
Tinggi badan : 105 cm

Keadaan Spesifik
Kepala : Normocephali, malar rash (-)
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah rontok
Mata : Mata cekung (-), konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-),
refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ø 3 mm/3 mm
Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-)
Telinga : CAE lapang, sekret (-)
Mulut : Cheilitis (-), thyphoid tongue (-), oral thrush (-)
Tenggorok : Dinding faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, tenang
Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

7
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis dan thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR=120 kali/menit, irama reguler, bunyi jantung I dan II
normal murmur dan gallop tidak ada

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba, ballotement (-)
Perkusi : Timpani

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Superior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), ptechie (-), CRT
<3 detik
Inferior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), ptechie (-), CRT
<3 detik
Kontraktur pada : Phalanges II-V manus dx et sin, cubiti dx et sin, genu dx
et Sin, pedis dx et sin

8
Status neurologis
Pemeriksaan Superior Inferior
Motorik Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - Tidak ada Tidak ada
Refleks fisiologi Normal Normal Normal Normal
Refleks patologi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tanda rangsang meningeal tidak ada
Sensorik : uji sentuhan (+), uji rasa nyeri (+)
Otonom : disfungsi sfingter urine dan retensio alvi tidak ada
Kesan: pemeriksaan neurologis dalam batas normal

IV. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium RSMH (7 Desember 2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 9,2 gr/dL 11,1-14,4 gr/dL
Eritrosit 3,84 juta/uL 3,71–4,75 juta/ul
Leukosit 6000/ul 6000-17500/ul
Trombosit 233.000 217000-497000/ul
Hematokrit 29% 35-41%
LED 65 mm/jam <15 mm/jam
Hitung jenis leukosit
- Basofil 0 0-1
- Eosinofil 2 1-6
- Netrofil 53 50-70
- Limfosit 43 20-40
- Monosit 2 2-8

9
Laboratorium RSMH (28 November 2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 10,3 11,1-14,4 gr/dL
RBC 4.15 3,71–4,75 juta/ul
WBC 15.1 6000-17500/ul
Trombosit 573 217000-497000/ul
Ht 32 35-41%
MCV 77,6 82-100
MCH 25 24-30
MCHC 32 28-32
RDW-CV 13,6 11-15
LED 87 mm/jam <15 mm/jam
Hitung jenis leukosit
- Basofil 0 0-1
- Eosinofil 1 1-6
- Netrofil 68 50-70
- Limfosit 25 20-40
- Monosit 6 2-8
SI 15
TIBC 247
Sat. transferrin 6
Ferritin 1055

Laboratorium RSMH (26 November 2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
AST/SGOT 28 0-38
ALT/SGPT 10 0-41
CRP 107 <5
Ureum 7 16,6-48,5
Creatinine 0,14 0,53-0,79
ASTO -
RF -

10
Radiologi RSMH (30 November 2017)

Kesan:
Manus: Joint ankylosing pada PIP-DIP digiti 2, 3, 4, 5 manus kanan kiri disertai
tulang tampak osteoporosis, gambaran juvenile rheumatoid arthritis
Genu: Gambaran juvenile rheumatoid arthritis disertai osteoporosis
Cubiti: Struktur tulang tampang osteoporosis

11
V. RESUME
An. NA, laki-laki, 7 tahun, dibawa ke RS Muhammadiyah dengan
keluhan utama demam, dan keluhan tambahan sendi yang nyeri dan kaku. ± 2
minggu SMRS penderita batuk berdahak, demam tinggi, demam tidak timbul
mendadak, tidak bertambah tinggi, turun bila dikompres atau minum obat
penurun panas, sesak (-), pilek (-). BAB dan BAK normal. Penderita
mengeluh bahwa sendinya kaku, nyeri, dan tampak radang, terutama saat
sedang demam. Penderita kemudian dibawa ke dokter terdekat dan diberi obat
sirup, dan demamnya membaik. Sejak ± 5 hari SMRS demam berulang,
demam tinggi, turun bila dikompres atau minum obat penurun panas, batuk (-),
pilek (-), mencret (-). Muncul ruam bila sedang demam, ruam kemerahan,
ukuran ± 1x1 cm, di dada dan punggung. Penderita mengeluh sendinya
semakin nyeri. Pasien kemudian dibawa ke IGD RS Muhammadiyah, pasien
dirawat inap. Pasien dirawat selama 5 hari. Pasien dirujuk ke RSMH untuk
pemeriksaan lebih lanjut dan dirawat selama dua minggu.
Pemeriksaan fisik didapatkan kontraktur pada sendi di regio manus
phalanx II-V dx et sin, regio cubiti dx et sin, regio genu dx et sin, dan regio
pedis dx et sin.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan penurunan
jumlah hb, peningkatan jumlah leukosit, LED, dan CRP, dan RF negatif (-).
Gambaran pada pemeriksaan radiologis menunjang diagnosis juvenile
rheumatoid arthritis.

VI. DAFTAR MASALAH (Per 26 November 2017)


1. Kontraktur pada sendi

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Juvenile Rheumatoid Arthritis
- Systemic Lupus Erythematosus
- Purpura Henoch-Schonlein

2
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Juvenile Rheumatoid Arthritis tipe Poliarthritis

IX. RENCANA PEMERIKSAAN


 Pemeriksaan Laboratorium
 Rontgen Thorax, Manus, dan Pedis

PEMERIKSAAN ANJURAN
 ANA Test
 Anti-DsDNA

X. PENATALAKSANAAN
 Becombion Syr 1x5 ml PO
 Calnic Plus 1x1 tab PO
 Ferry Syr 2x5 ml PO
 Konsul Fisioterapi
 IRR
 Hand exercise bilateral
 Gentle stretching hamstring

XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Klasifikasi Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) oleh International
League of Associations for Rheumatology (ILAR) menggantikan istilah
sebelumnya yaitu Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) dan Juvenile
Chronic Arthritis (JCA). JIA adalah penyakit autoimun yang didefinisikan
sebagai semua bentuk arthritis yang dimulai sebelum usia 16 tahun,
bertahan lebih dari 6 minggu, dan penyebabnya tidak diketahui. Bahkan
saat mereka memasuki masa dewasa, mereka tetap didiagnosis JIA, tidak
berubah menjadi rheumatoid arthritis. JIA terdiri dari kelompok penyakit
yang heterogen, semuanya memiliki gejala peradangan sendi, namun
dengan fenotip klinis yang berbeda, pola penyakit, hasil akhir, dan mungkin
latar belakang genetik dan patofisiologi.2

3.2. Epidemiologi
JIA adalah salah satu penyakit rematik kronis yang paling umum
terjadi pada anak-anak, yang berpotensi menyebabkan cacat fisik jangka
pendek dan jangka panjang. Kejadian dan prevalensinya sangat bervariasi.
Tingkat kejadian tahunan yang dilaporkan di Jepang mencapai lebih dari 20
per 100.000. Studi di negara-negara berpenghasilan tinggi telah melaporkan
prevalensi yang bervariasi antara 16 dan 150 per 100.000, dengan kejadian
yang lebih tinggi di Eropa Utara. Di luar Eropa, prevalensi 400 per 100.000
pada warga Australia. Perbedaan karena latar belakang genetik atau faktor
lingkungan potensial, serta masalah metodologis sapat menjelaskan hasil
variabel epidemiologi studi. 2,3
Frekuensi relatif dari berbagai kategori JIA sangat bervariasi
menurut perbedaan geografis dan etnis. Tipe oligoarthritis, sejauh ini

4
kategori paling umum di negara-negara Barat, oligoarthritis sebenarnya
cukup langka di negara-negara seperti Kosta Rika, Selandia Baru, dan
Afrika Selatan, di mana poliarthritis nampaknya dominan, juga di India
poliarthritis melebihi oligoarthritis dan onset sistemik. Meskipun JIA lebih
sering mempengaruhi perempuan, rasio antara perempuan terhadap laki-laki
sangat berbeda menurut kategori onset JIA dan kelompok geografis atau ras
dominasi laki-laki telah dilaporkan dari beberapa bagian di Asia.3

Tabel 1. Frekuensi, usia saat onset, dan distribusi jenis kelamin dari International
League of Associations for Rheumatology dari Juvenile Idiopathic Arthritis. 3

3.3. Etiopatogenesis
Etiopathogenesis penyakit ini masih belum jelas. Teori yang paling
dapat diterima adalah mekanisme yang dipengaruhi proses imunogenik
akibat faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Infeksi, bersamaan
dengan stres dan trauma, dianggap sebagai faktor etiologi yang paling
bertanggung jawab. Mikrobiota usus muncul sebagai faktor yang relevan
untuk penyakit autoimun, termasuk JIA, menurut penelitian terbaru.
Peningkatan frekuensi penyakit autoimun di antara pasien JIA
menunjukkan dasar genetik penyakit ini. Human leukocyte antigen (HLA)
B27 dan jenis jaringan HLA lainnya adalah faktor genetik yang paling

5
sering disebutkan. Autoantibodi umum ditemukan pada oligoarthritis
(ANA) dan pada poliarthritis RF-positif (faktor rhumatoid IgM dan antibodi
protein anti-citrullinated), hal ini menunjukkan peran sistem kekebalan
humoral pada patofisiologi JIA. Subtipe lain dikaitkan dengan polimorfisme
pada lokus histokompatibilitas, namun radang sendi familial jarang terjadi.
JIA sistemik tidak terkait dengan antibodi atau sinyal genetik yang kuat dan
telah dianggap sebagai penyakit autoinflammatory. Berbagai infeksi
dianggap bertanggung jawab atas patogenesis JIA, yaitu infeksi enterik,
parvovirus B19, rubella, mumps, hepatitis B, Epstein-Barr, mycoplasma dan
klamidia. 2

Gambar 1. Patogenesis dari Juvenile Rheumatoid Arthritis.5

6
3.4 Patofisiologi
Pada semua subtipe, sel T dan makrofag terlibat dalam patogenesis
dan menyebabkan peradangan synovial. Limfosit T dan sitokin yang
disekresi menyebabkan kerusakan sendi. Makrofag, yang disebabkan oleh
mediator yang disekresikan, menghasilkan sitokin pro-inflamasi, yaitu
interleukin (IL) 1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF) -α. Dengan demikian,
penanda fase akut C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (ESR)
meningkat dan radang sendi akut terjadi dengan peningkatan cairan
sinovial. Proses patologis utama di JIA adalah peradangan sinovial kronis,
di mana sistem kekebalan tubuh memainkan peran penting. Peradangan
sinovial (sinovitis) ditandai dengan hipertrofi vili dan hiperemia pada
jaringan subnetovial. Sinovitis sinovial dan sinovitis sekunder akibat
peradangan kronis dikenal sebagai "panni". Persentase limfosit T dalam
cairan sinovial bervariasi antara subtipe JIA yang berbeda, yang mungkin
menjelaskan perbedaan respons pengobatan di antara subkelompok JIA. Hal
ini berhubungan dengan fungsi Regulatory T cells (Tregs), yang
mengekspresikan faktor transkripsi FoxP3, sangat penting untuk menjaga
toleransi kekebalan tubuh karena kapasitas mereka untuk menekan sel
kekebalan lainnya. 5
Respons imun autoreaktif di JIA diperkirakan dipicu oleh respons
adaptif (sel T atau sel B) terhadap auto-antigen. Sejalan dengan aktivasi
respons imun adaptif, aktivasi imunitas bawaan berkontribusi pada
peradangan sinovial di JIA. Ini termasuk peran neutrofil, yang secara tidak
biasa hadir dalam cairan sinovial yang meradang dan memiliki profil
ekspresi gen yang menyimpang. Berbagai penelitian telah menunjukkan
bahwa pada plasma pasien JIA, tingkat sitokin dan kinetin meningkat
dibandingkan dengan kontrol sehat, menunjukkan profil proinflamasi yang
dominan, terutama pada cairan sinovial dan selama penyakit aktif.5

7
l

Gambar 2. Patofisiologi Juvenile Rheumatoid Arthritis.

3.5 Manifestasi Klinis


Pengenalan pola arthritis adalah kunci diagnosis JIA. Permulaan
radang sendi di JIA lebih sering mendadak kemudian menetap, dan
biasanya pembengkakan lebih dominan dibandingkan rasa sakit. Sendi kaku
di pagi hari atau setelah istirahat lama sering terjadi pada fase aktif penyakit
ini. Keterlibatan sendi-sendi dapat terjadi secara monoartikular,
oligoartikular, poliartikular, simetris atau asimetri tergantung pada kategori
JIA yang spesifik.2

3.5.1 Sistemik

Subtipe penyakit ini, yang ditandai terutama oleh gejala sistemik,


mempengaruhi perempuan dan laki-laki dengan frekuensi yang sama dan
dapat terjadi kapan saja selama masa kanak-kanak. Adanya radang sendi
dan demam intermiten paling sedikit 2 minggu ditambah salah satu dari
berikut ini mendefinisikan penyakit ini: ruam khas, limfadenopati
generalisata, hepatosplenomegali, atau serositis. Meskipun frekuensinya

8
berbeda di antara wilayah geografis yang berbeda, JIA sistemik
menyumbang 10-20% dari total JIA. Suhu naik hingga 39,5°C sekali atau
dua kali dalam sehari. Demam intermiten umumnya disertai ruam berwarna
salmon pink, yang biasa terjadi pada trunkus tubuh dan ekstremitas
proksimal dan menghilang seiring dengan turunnya demam (Gambar 1).
Kadang-kadang, arthritis poliartikular, termasuk sendi besar dan kecil,
dapat muncul selama perjalanan penyakit. Secara umum, gejala sistemik
demam dan ruam sembuh setelah kemunculan poliarthritis, yang
membedakannya dari tantangan JIA poliuradik reguler. Demam dan gejala
sistemik lainnya bisa bertahan selama berbulan-bulan tapi jarang lebih lama
dari 6 bulan. Hepatosplenomegali dan limfadenopati terlihat pada sekitar
sepertiga pasien. Serositis, termasuk perikarditis dan pleuritis, dapat dilihat,
disertai dengan nyeri dada yang ditandai. Nyeri perut dan mialgia dapat
terjadi pada puncak demam. Leukositosis, anemia mikrositik hipokromik,
trombositosis, elevasi reaktan fase akut dan peningkatan tingkat
transaminase dapat dijumpai. Peningkatan kadar feritin adalah masalah
yang relevan untuk sJIA. Auto-antibodi, ANA dan faktor rheumatoid (RF)
negatif. Kemungkinan komplikasi sJIA meliputi osteopenia, osteoporosis,
retardasi pertumbuhan, radang sendi erosif dan amyloidosis. Sindrom
aktivasi makrofag (MAS), komplikasi sJIA yang parah dan mengancam
jiwa, terlihat pada 5-8% kasus. Hal ini terkait dengan morbiditas dan
mortalitas yang serius. Gangguan koagulasi intravaskuler (trombositopenia,
peningkatan produk degradasi fibrin, peningkatan kadar D-dimer yang
nyata, waktu protrombin yang lama dan waktu tromboplastin parsial) ada.
ESR turun tajam terkait dengan hypofibrinogenaemia. Biasanya, enzim hati,
laktat dehidrogenase (LDH), trigliserida dan kadar feritin meningkat,
kadang-kadang dengan hiperferritinemia ekstrem, hipoalbumemia dan
hiponatremia. Diagnosis sJIA mungkin sulit, terutama pada fase awal
penyakit ini tanpa radang sendi. Banyak kondisi yang harus

9
dipertimbangkan dalam diagnosis banding sJIA: infeksi (septikemia,
endokarditis bakteri, brucellosis, demam tifoid, leishmaniasis, infeksi
virus), keganasan (leukemia, limfoma, neuroblastoma), demam rematik,
penyakit jaringan ikat, penyakit Kawasaki, penyakit Castleman dan
penyakit autoinflammatori.2

Gambar 3. Ruam khas pada JIA Sistemik. 2

3.5.2 Oligoartikular

JIA Oligoartikular adalah subtipe JIA yang paling umum di negara


maju, dan umumnya terlihat di antara pasien wanita berusia di bawah enam
tahun. Selanjutnya dibagi lagi menjadi dua subkelompok: persisten (tidak
lebih dari empat sendi yang terkena selama perjalanan penyakit) dan
diperpanjang (setelah periode 6 bulan pertama, jumlah sendi yang terkena
melebihi empat). RF negatif tapi ANA positif pada 70-80% pasien. Risiko
Uveitis ditemukan lebih tinggi pada pasien ANA-positif. Uveitis, bukan
arthritis, adalah faktor kecacatan utama pada kelompok pasien tersebut.
Oligoartikular JIA terutama melibatkan sendi ekstremitas bawah, seperti

10
sendi lutut dan pergelangan kaki. Sendi panggul jarang terpengaruh.
Keterlibatan sendi kecil sangat jarang terjadi pada jenis ini. Karena
keterlibatan sendi kecil bisa menjadi tanda awal pada tipe psoriasis, riwayat
keluarga khususnya harus dinilai dalam kelompok ini. Biasanya, penyakit
ini hadir dengan monoarthritis dengan prognosis yang sangat baik dan tanpa
cacat fungsional. Permulaan gejala bisa mendadak dan tampak berbahaya.
Kekakuan pagi bisa terjadi pada saat timbulnya penyakit dan jika tidak
diobati menjadi lebih menonjol dalam perjalanan penyakit lebih lanjut dan
bahkan terpincang-pincang pun bisa terlihat. Sendi yang terkena bengkak
dan sering hangat, tapi biasanya tidak terlalu menyakitkan. Indikator
laboratorium peradangan mungkin normal, meskipun elevasi ringan sampai
sedang tingkat ESR dan CRP dapat terjadi selama fase akut penyakit ini.
Peningkatan ESR dan artritis ekstremitas atas lebih sering terjadi pada
pasien dengan JIA oligoartikular. Anemia ringan dan leukositosis dapat
terlihat pada pasien dengan artritis akut. Penyakit ini ditandai dengan
keadaan klinis jinak, secara umum. Namun, erosi akibat perluasan
poliarthritis dan uveitis adalah dua dari komplikasi berat yang mungkin
terjadi. Retardasi pertumbuhan jarang terjadi. Meskipun remisi sering
terjadi, flare penyakit bisa terjadi bertahun-tahun kemudian; Dengan
demikian, tindak lanjut reguler minimal 4-5 tahun adalah wajib. 2

3.5.3 Poliartikular

Poliartikular JIA didefinisikan sebagai arthritis dari lima persendian


atau lebih selama 6 bulan pertama penyakit ini. Penyakit ini terbagi menjadi
dua subkelompok, menurut RF positif. Frekuensi penyakit bervariasi di
wilayah geografis yang berbeda dengan perkiraan frekuensi JIA poliokrinik
RF-negatif 11-30% dan frekuensi RF-positif 2-10. Kedua-sub kelompok
penyakit ini lebih sering terjadi pada anak perempuan. Jumlah poliartikular

11
RF-negatif menampilkan tren biphasic dengan puncak onset antara 2-4
tahun dan 6-12 tahun. Sub-kelompok RF-positif lebih sering terjadi pada
masa kanak-kanak dan remaja. Demam ringan, penurunan berat badan dan
anemia terlihat pada kedua sub-kelompok penyakit. Hepatosplenomegali
dan retardasi pertumbuhan ringan bisa terjadi. Penyakit ini dapat muncul
dengan keterlibatan oligoartikular yang menyebar ke poliarthritis. Artritis
sendi kecil ekstremitas atas, sendi metakarpal-phalangeal, dan pergelangan
tangan biasanya simetris. Artritis sendi kecil ekstremitas bawah bisa
terlihat, meski jarang. Keterlibatan pinggul, tulang belakang leher dan bahu
bisa dilihat juga. Artritis temporomandibular hadir pada sebagian besar
pasien, menghasilkan mikroretrognathia sekunder. Subtipe penyakit ini
berhubungan dengan tingginya tingkat kerusakan, terutama keterlibatan
sendi panggul, yang terkait dengan intervensi bedah yang tinggi. Meski
keterlibatan sendi besar bisa dilihat, gambaran keterlibatan secara simetris
sendi-sendi kecil lebih khas. Tampilan klinis JIA poliartikular RF-positif
mengingatkan kita pada RA dewasa. Nodul subkutan, secara histologis
mirip nodul yang terlihat pada RA, juga dapat dilihat pada pasien RF-
positif. RF dan anti-PKC adalah prediktor yang paling relevan untuk
kerusakan sendi yang signifikan. Anemia sedang dapat ditemukan karena
peradangan kronis pada pasien JIA. Limfadenopati dan hepatosplenomegali
juga dapat dijumpai. Retardasi pertumbuhan dan perkembangan bisa
menyulitkan penyakit ini, tergantung pada aktivitas penyakit. Tingkat
transaminase dapat meningkat akibat aktivitas penyakit atau sekunder
akibat terapi yang hepatotoksisitas. Tingkat transaminase menurun sejajar
dengan remisi penyakit. 2

12
Gambar 4. Keterlibatan sendi-sendi yang luas pada tipe Poliartikular. 2

3.5.4 Enthesitis-Related Arthritis

Manifestasi pada jenis ini menunjukkan karakteristik JIA dan


spondyloarthropathies juvenil. Istilah ERA didefinisikan oleh klasifikasi Durban.
Penyakit ini biasanya terjadi pada laki-laki, setelah usia enam tahun. Karakteristik
utama pasien adalah negatif RF dan ANA dengan temuan enthesopathy dan
artritis asimetris ekstremitas bawah. Enthesopathy merupakan peradangan dari
tempat masuknya tendon ke tulang. Tendon Achilles adalah situs yang paling
sering terkena dampak. Penyisipan tendon paha depan Patellar, dan sisipan
patronal dan metatarsal pada fascia plantar juga bisa terpengaruh. Situs yang
terkena ditandai dengan rasa sakit dan sensitivitas. Namun, enthesopathy dapat
dilihat pada kondisi yang berbeda, seperti demam Mediterania familial, penyakit
Behçet, sindrom Osgood-Schlatter dan fibromyalgia. Diperkirakan bahwa
berbagai infeksi atau trauma dapat memicu penyakit ini. Perbedaan paling
signifikan dari oligoartikular JIA adalah keterlibatan sendi pinggul. Fase penyakit
ini berbeda dengan tidak ditemukannya keterlibatan kerangka aksial. Respon
terhadap obat antiinflamasi non steroid sangat baik dengan remisi total atau
parsial. Risiko sekuele rendah. Namun, data dari literatur menunjukkan bahwa
pengobatan yang tidak efektif di masa kanak-kanak menyebabkan perkembangan

13
penyakit dan perkembangan ankylosing spondylitis. Akibatnya, diagnosis dini dan
penanganan tepat waktu merupakan salah satu topik yang paling relevan dalam
rheumatologi anak-anak. 2

3.5.5 Juvenile Psoriatic Arthritis

Menurut kriteria ILAR, penyakit ini didefinisikan oleh arthritis


bersamaan dengan ruam psoriatis atau dua dari berikut ini: dactylitis, pitting
pada kuku atau onycholysis, dan psoriasis yang jarang terjadi pada awal
penyakit. Karena keterlibatan artikular umumnya terjadi beberapa tahun
sebelum perkembangan manifestasi kulit, diagnosisnya bisa menjadi
tantangan. Keterlibatan artikular bervariasi dari artritis sendi simetris
hingga artritis sendi-sendi ekstremitas bawah yang asimetris dan akhirnya
dapat berkembang menjadi poliarthritis. Keterlibatan sendi interphalangeal
distal biasanya menunjukkan radang sendi psoriatis. Secara umum, artritis
pada sendi metacarpophalangeal, interphalangeal proksimal, dan sendi
interphalangeal distal dari satu atau lebih jari membentuk jari sausage-like
yang dikenal sebagai dactylitis. Biasanya, plak psoriasis terlihat pada sisi
ekstensor sendi, kulit berambut, umbilikus dan perineum. Perubahan kuku,
termasuk dystrophy kuku, hiperkeratosis subungual, dan onycholysis sering
terjadi pada pasien dengan psoriasis, walaupun jarang terjadi pada pasien
tanpa artritis. Penanda fase akut yang meningkat, anemia penyakit kronis,
dan trombositosis dapat dilihat. ANA ditemukan pada titer rendah atau
sedang pada proporsi pasien yang signifikan. Sekitar 30% pasien memiliki
HLA B27 positif. 2

3.5.6 Juvenile Idiopathic Arthritis dan Uveitis

Karena uveitis merupakan salah satu manifestasi ekstra-artikular yang


paling parah dari JIA, skrining reguler oleh dokter mata yang berpengalaman
sangat penting. Frekuensi uveitis anterior non-granulomatosa anterior

14
(iridocyclitis) dilaporkan 15-67% di berbagai wilayah Eropa (34). Perhatian lebih
harus diberikan pada pasien wanita JIA oligoartikular ANA-positif dengan onset
penyakit awal. Karena pasien ini berisiko tinggi terkena uveitis, pemeriksaan
oftalmologis harus dilakukan setiap tiga bulan. Di antara 1081 kasus JIA,
persentase uveitis dilaporkan sebagai 13,1%. Permulaan uveitis pada pasien JIA
oligoartikular seringkali berbahaya dan biasanya asimtomatik, walaupun setengah
dari anak-anak dapat memiliki beberapa gejala yang berhubungan dengan uveitis
(nyeri, kemerahan, sakit kepala, fotofobia, perubahan penglihatan). Pasien dengan
poliartikular JIA tidak menunjukkan tanda-tanda keterlibatan okular pada onset
penyakit tetapi 5-10% di antaranya mengembangkan uveitis selama perjalanan
penyakit. Uveitis akut dan simtomatik terlihat pada 10-20% pasien ERA. Uveitis
ditandai dengan serangan iritis unilateral atau bilateral akut, menyakitkan, dan
hiperemia pada sklera dan konjungtiva. Pasien dengan HLA B27 positif lebih
rentan terhadap perkembangan uveitis anterior akut. Diagnosis dan pengobatan
yang terlambat menyebabkan komplikasi parah termasuk keratopati band, katarak,
glaukoma atau kebutaan. Pendekatan pengobatan awal terdiri dari glukokortikoid
lokal atau sistemik. Untuk menghindari efek samping glukokortikoid atau, pada
pasien yang tidak responsif, agen yang berbeda harus ditambahkan ke terapi,
seperti metotreksat, azatioprin, mycophenolate mofetil dan siklosporin A.2

15
Tabel 2. Kriteria diagnosis Juvenile Rheumatoid Arthritis. 1

3.6 Diagnosis
Juvenile Rheumatoid Arthritis didefinisikan sebagai artritis, yaitu
pembengkakan sendi atau nyeri sendi dan keterbatasan gerak yang
berlangsung paling sedikit selama 6 minggu, yang tidak diketahui asal-
usulnya, dan awitannya sebelum usia 16 tahun. Oleh karena itu JIA
merupakan diagnosis eksklusional berdasarkan pengambilan riwayat yang
hati-hati, pemeriksaan fisik menyeluruh, dan tes laboratorium yang
dimaksudkan untuk menyingkirkan penyebab arthritis lain yang diketahui
di masa kanak-kanak.1

1
Kriteria diagnosis Juvenile Rheumatoid Arthritis menurut American College
of Rheumatology (ACR):
a. Usia penderita <16 tahun
b. Artritis (bengkak atau efusi, adanya dua atau lebih tanda: keterbatasan
gerak, nyeri saat gerak, dan panas ada sendi) pada satu sendi atau lebih
c. Lama sakit lebih dari 6 minggu
d. Tipe onset penyakit (dalam 6 bulan pertama):
- Poliartritis (≥ 5 sendi)
- Oligoartritis (<5 sendi)
- Sistemik (artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin
terdapat ruam atau keterlibatan ekstra-artikular, seperti
limfadenopati, hepatosplenomegali, atau perikarditis)
e. Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan

Kriteria diagnosis Juvenile Chronic Arthritis menurut European League


Against Rheumatism (EULAR) :

1. Usia penderita < 16 tahun


2. Artritis pada satu sendi atau lebih
3. Lama sakit > 3 bulan
4. Tipe onset penyakit :
a. Poliartritis : > 4 sendi, faktor reumatoid negatif
b. Pausiartikular: < 5 sendi
c. Sistemik : artritis dengan demam
d. Artritis rheumatoid juvenil : > 4 sendi, faktor reumatoid positif
e. Spondilitis ankilosing juvenil
f. Artritis psoriasis juvenil

2
Kriteria diagnosis Juvenile Idiopatic Arthritis menurut International
League of Associations for Rheumatology (ILAR) :

1. Sistemik
2. Oligoartritis
a. Persisten
b. Extended
3. Poliartritis ( faktor reumatoid negatif )
4. Poliartritis ( faktor reumatoid positif )
5. Artritis psoriasis
6. Artritis terkait entesitis
7. Artritis Lain
a. Tidak memenuhi kategori
b. Memenuhi lebih dari satu kategori

3.6.1 Pencitraan

Radiografi polos memiliki sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi


artritis aktif dan jarang menunjukkan perubahan erosif pada sendi. Dalam dekade
terakhir, minat terhadap ultrasonografi muskuloskeletal dan magnetic resonance
imaging (MRI) telah meningkat tajam. Ini modalitas pencitraan yang lebih baru
memungkinkan penilaian yang lebih baik dan lebih awal dari kelainan sinovial,
tulang rawan, dan tulang daripada radiografi konvensional. Saat berhadapan
dengan pencitraan di JIA, penting untuk menekankan bahwa evaluasi sendi anak
sangat menantang karena ciri khas kerangka yang sedang tumbuh, yang mencakup
variasi terkait usia pada ketebalan kartilago artikular dan pengerasan yang tidak
sempurna. Selanjutnya, anak-anak dengan arthritis kronis dapat mengalami
kelainan khas, seperti gangguan pertumbuhan dan pematangan tulang. Meskipun
pada umumnya dikatakan bahwa JIA memiliki potensi yang kurang merusak
daripada rheumatoid arthritis (RA), beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
banyak anak-anak dengan arthritis kronis mengalami kerusakan sendi yang cukup
besar. Ditemukan memiliki penyempitan dan erupsi pada ruang sendi sejak dini
pada sekitar 60% pasien.5

3
MRI adalah satu-satunya alat pencitraan yang memiliki kemampuan untuk
secara simultan menilai semua struktur yang relevan dalam penyakit sendi
inflamasi. Selain itu, lebih unggul dari metode lain dalam menilai aktivitas
penyakit pada sendi temporomandibular, pinggul, sakroiliaka, dan vertebra. 5

Gambar 5. Antero posterior radiografi sendi pergelangan tangan pasien dengan sinovitis pergelangan tangan
5
unilateral menunjukkan usia tulang dipercepat di sisi kiri.

4
3.6.2 Biomarker
Sejumlah biomarker telah diuji atau sedang dikembangkan untuk digunakan
dalam menentukan subtipe JIA, mengukur aktivitas penyakit, dan memperkirakan
penyakit, respons terhadap terapi, atau risiko komplikasi (Tabel 3).5

Tabel 3. Biomarker untuk menentukan tipe JIA.5

5
3.6.3 Penilaian dalam Praktek Klinis
Setiap anak dengan JIA harus dinilai secara obyektif dan teratur dengan
memasukkan kriteria utama pada setiap kunjungan. Dengan demikian, setiap anak
harus memiliki penilaian objektif terhadap sendi, parameter inflamasi, penilaian
penyakit klinis pasien dan dokter terhadap penyakit dan kemampuan fungsional
yang diukur pada kunjungan klinik. Ada beberapa definisi yang telah diajukan dan
disebut sebagai 'kriteria Wallace'.
Penyakit tidak aktif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
status klinis anak dengan JIA yang tidak memiliki sendi dengan artritis aktif; tidak
ada demam, ruam, serosiosis, splenomegali atau limfadenopati generalisata yang
disebabkan oleh JIA, tidak ada uveitis aktif, ESR normal atau CRP dan bila
penilaian global terhadap aktivitas penyakit diindeks menunjukkan tidak ada
aktivitas ringan (skor terbaik yang dapat dicapai pada skala yang digunakan).
1. Clinical remission on medication (CRM).
Kriteria untuk penyakit tidak aktif harus dipenuhi selama minimal enam bulan
berturut-turut sementara pasien sedang menjalani pengobatan.
2. Clinical remission off medication.
Kriteria untuk penyakit tidak aktif harus dipenuhi selama minimal 12 bulan
berturut-turut sementara mematikan semua obat anti-arthritis. Idealnya setiap anak
dengan JIA harus mencapai CRM, yaitu target aktivitas penyakit dan semua obat.

3.6.4 Skor Kegiatan Penyakit Arthritis Juvenile (JADAS)


Selain kriteria yang ditetapkan oleh Wallace dkk. Di atas, skor aktivitas
penyakit komposit untuk JIA, JADAS baru-baru ini dikembangkan dan sekarang
didefinisikan untuk tingkat aktivitas penyakit juga. JADAS mencakup empat
tindakan: penilaian global terhadap aktivitas penyakit oleh dokter, penilaian
umum orang tua/ pasien terhadap kesejahteraan, jumlah sendi aktif, dan tingkat
sedimentasi eritrosit. Skor 0-57 diberikan untuk menghitung 27 sendi. Ini telah
menunjukkan respon yang kuat terhadap perubahan klinis yang tidak benar untuk
CHAQ dan karenanya dapat digunakan sebagai alat standar di klinik selama
beberapa tahun ke depan. Baru-baru ini, nilai cutoff telah diusulkan agar sesuai

6
dengan penyakit tidak aktif. Sebuah cutoff dari 1 menyamakan penyakit tidak
aktif. JADAS juga merupakan alat yang dapat digunakan untuk menilai secara
obyektif JIA dalam praktik klinis sehari-hari untuk memastikan bahwa terapi
dimodifikasi menjadi skor target <1.

3.7 Diagnosis Banding

Beberapa hal harus dipertimbangkan dan disingkirkan sebelum


menegakkan diagnosis JRA dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, yakni:

3.6.1 Artritis pada Penyakit Infeksi

Beberapa proses infeksi seperti artritis septik, artritis reaktif dan


osteomielitis dapat menunjukkan manifestasi artritis. Pada artritis septik, jaringan
sinovial terinfeksi secara langsung oleh bakteri, virus ataupun agen infeksi lain.
Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan kultur dari cairan sinovial,
kultur darah dan pemeriksaan serologis. Pasien yang menderita artritis septik
dapat melibatkan lebih dari satu sendi namun tidak harus menunjukkan adanya
tanda sepsis ataupun tanda penyakit sistemik. Beberapa anak yang menderita
onset akut harus dicurigai menderita artritis septik.

Infeksi oleh Borrelia burgdorferi pada penyakit Lyme dapat menyebabkan


artritis yakni pausiartikular baik pada anak maupun pada dewasa. Artritis Lyme
biasanya selalu respon terhadap terapi antibiotik. Beberapa agen non-bakterial
seperti rubella, mumps, varisella, adenovirus, hepatitis B, and Mycoplasma dapat
diduga sebagai penyebab artritis. Artritis seperti ini biasanya terjadi pada akhir
dari perjalanan infeksi, meskipun kadang-kadang mendahului manifestasi klinis.
Parvovirus telah diketahui dapat menyebabkan artritis transien pada anak dengan
atau tanpa manifestasi klinis yang menyertainya.

Artritis reaktif adalah artritis steril yang menyertai infeksi gastrointestinal


dengan patogen seperti Shigella, Salmonella, Yersinia, atau Campylobacter sp
pada pejamu yang dicurigai. Beberapa anak dengan artritis akut dengan
manifestasi gastroenteritis harus dievaluasi lebih lanjut. Anak umumnya memiliki
histokompatibilitas antigen HLA B27.

7
Manifestasi anak dengan osteomielitis kadang mirip dengan penyakit
reumatik. Sendi yang berdekatan dengan area metafisis yang terinfeksi dari tulang
panjang dapat membengkak, namun dengan cairan sendi yang jernih. Pada
osteomielitis nyeri dan pembengkakan pada daerah metafisis lebih menyolok
daripada nyeri sendi. Perubahan gambaran radiografi pada osteomielitis terjadi
setelah sakit minimal hari ke-7. Ultrasonografi atau scanning tulang dapat
menjadi alat untuk diagnosis pada saat awal penyakit.

3.6.2 Artritis pada Keganasan

Beberapa keganasan anak seperti pada leukemia, neuroblastoma, limfoma,


penyakit hodgkin dan rabdomiosarkoma, seperti halnya pada tumor tulang primer
seperti osteogenik sarkoma dan ewing sarkoma, dapat menyebabkan keluhan
muskuloskeletal yang sangat mirip dengan penyakit reumatik. Artritis pada
leukemia dan keganasan lainnya secara umum lebih disebabkan oleh infiltrasi sel
ganas pada struktur di sekitar sendi, dibandingkan dengan keterlibatan langsung
dari sinovial. Anak biasanya terlihat lebih menderita dibandingkan pada JRA, dan
nyeri sendi yang terjadi biasanya lebih parah, sehingga anak tidak mau
mengerakkan lengan dan tungkainya.

Diagnosis terhadap kemungkinan keganasan, dengan didapatkannya


gambaran hematologi abnormal (leukopenia, anemia berat, trombositopenia),
abnormalitas jaringan lunak atau jaringan tulang serta pemeriksaan yang tepat
seperti pemeriksaan sumsum tulang atau biopsi. Pemeriksaan radiologi sendi yang
terlibat dapat menggambarkan infiltrasi langsung ke tulang atau temuan
nonspesifik seperti penipisan metafisis atau periostitis. Namun, pemeriksaan
radiologi dapat juga menunjukkan tampilan normal yang kadang tidak membantu
dalam menegakkan diagnosis.

3.6.3 Artritis pada Kondisi Non-Inflamasi

Beberapa kondisi non-inflamasi dapat menyebabkan nyeri sendi yang kadang


diduga sebagai JRA. Diantaranya yaitu nyeri tungkai idiopatik pada anak dan

8
sindrom nyeri lainnya seperti pada fibromialgia serta trauma muskuloskeletal.
Nyeri pada tumit setelah aktivitas berat merupakan penyebab tersering dari nyeri
tumit pada anak yang lebih besar dan remaja. Kondisi ini dapat menunjukkan
efusi pada lutut yang kadang-kadang mirip dengan artritis. Beberapa sindrom
genetik dan kongenital yang mempengaruhi sistem muskuloskeletal mirip dengan
artritis, seperti pada dislokasi panggul kongenital, dan displasia epifisis serta
metafisis. Diagnosis dari berbagai kondisi non-inflamasi tersebut dapat dibedakan
dari artritis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, riwayat keluarga lengkap
dan pemeriksaan radiologi sendi dan tulang.

3.6.4 Artritis pada Penyakit Reumatik Lain

Penyakit reumatik anak lainnya dapat mirip dengan artritis. Diagnosis pada
kondisi ini biasanya didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Semuanya
biasanya menunjukkan gejala dan tanda yang berbeda.

Demam rematik adalah penyakit post infeksi streptokokus yang dikaitkan


dengan artritis berpindah. Karditis adalah temuan utamanya. Temuan lain
termasuk rash, nodul subkutan dan korea. Demam rematik jarang menyebabkan
artritis kronik, jadi untuk membedakanya dengan JRA tidaklah sulit.

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem


yang dimulai dengan artritis. Artritis pada penyakit ini jarang menjadi kronik
seperti halnya JRA dan manifestasi klinisnya sangat berbeda. Anti Nuclear
Antibody (ANA) dapat ada pada hampir semua kasus lupus, umumnya dengan
titer yang tinggi. Nefritis adalah temuan yang sering pada lupus anak, dimana
kadar komplemen hemolitik serum menurun dan terjadi peningkatan dari kadar
autoantibodi DNA, temuan yang biasanya tidak ditemukan pada JRA.
Dermatomiositis biasanya dihubungkan dengan artritis namun dengan manifestasi
miositis dan rash.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang tepat serta


pemeriksaan laboratorium yang sesuai dapat secara efektif membantu

9
menyingkirkan diagnosis banding dari JRA. Penting untuk menyingkirkan
penyakit yang dapat diterapi secara pasti, seperti penyakit infeksi dan keganasan,
beberapa kondisi non-inflamasi dari tulang dan sendi, serta penyakit reumatoid
yang fatal seperti lupus dermatomiositis maupun demam reumatik sebelum
menetapkan diagnosis dari JRA.

3.8 Tatalaksana
Sebuah prinsip manajemen sederhana dan meliputi:
(a) Diagnosis dini.
(b) Cepatnya pengurangan beban penyakit dan pencegahan kelainan bentuk.
(c) Pengendalian ketat penyakit dan ikuti prinsip pengobatan yang ditargetkan,
dengan target disini adalah pengampunan dan bukan penilaian subjektif terhadap
status penyakit.
(d) Minimalkan efek samping dari penyakit dan obat-obatan dan kurangi penyakit
psikologis pada anak dan keluarga.
(e) Mengelola anak secara holistik dan memastikan tindak lanjutnya ketat.
Pertumbuhan, masalah pubertas, kesehatan tulang dan panggilan harus ditangani.
(f) Dengan penyakit aktif saat anak memasuki fase genap, transisi yang mulus ke
perawatan orang dewasa.

3.8.1 Obat anti-inflamasi non steroid (AINS)


AINS digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi inisial. Sebagian
besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons
baik terhadap pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.
Ibuprofen merupakan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai toleransi yang
baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis dan diberikan bersama
makanan.

10
Maximum dose
Chemical class/drug Dose (mg/kg/day) Doses per day
(mg/day)

Salicylate

80–100 (<25 kg) 2500 mg/m2 (>25


Acetylsalicylic acid 4900 2–4
kg)

Propionic acid derivatives

Naproxen 10–20 1000 2

Ibuprofen 30–40 2400 3–4

Ketoprofen 2–4 300 3–4

Flurbiprofen 3–4 300 2–4

Oxaprozin 10–20 1200 1

Acetic acid derivatives

Indomethacin 1.5–3 200 2–3

Tolmetin 20–30 1800 3–4

Sulindac 4–6 400 2

Diclofenac 2–3 150 3

Etodolac 10–20 1000 1

Oxicams

Meloxicam 0.25 15 1

Piroxicam 0.2–0.3 20 1

Nabumetone 30 2000 1

Pyrazole derivative

>2 yr old, 10–25 kg: 100 >2 yr old,


Celecoxib 200 2
25–50 kg: 200

Tabel 4. OAINS yang biasa digunakan pada JIA

11
3.8.2 Kortikosteroid intra-artikular
Suntikan intra-artikular kortikosteroid (IAC) banyak digunakan dalam
pengelolaan anak-anak dengan JIA untuk menginduksi pemulihan gejala
peradangan yang cepat dan untuk perbaikan fungsional serta menghindarkan
kebutuhan akan terapi sistemik reguler [7-9]. Terapi IAC dapat mencegah
beberapa kelainan muskuloskeletal yang penting pada JIA, seperti kontraktur,
kelainan valgus, dan perbedaan panjang kaki. Selanjutnya, terapi IAC telah
terbukti memfasilitasi penghentian pengobatan oral, mengatasi kista Baker, dan
memperbaiki tenosinovitis.
Suntikan IAC dapat digunakan untuk menginduksi remisi segera sinovitis,
sekaligus memulai terapi dengan obat antirematik modifikasi penyakit
(DMARDs) dan/ atau agen biologis. Pendekatan ini dianggap sebagai alternatif
kortikosteroid sistemik untuk mengejar apa yang disebut efek 'jembatan', yang
berarti mencapai kontrol cepat terhadap gejala inflamasi sambil menunggu efek
terapeutik lengkap dari DMARDs atau obat biologis.
Triamcinolone hexacetonide (TH), agen yang paling tidak larut, adalah
obat pilihan untuk pemberian intra-artikular di JIA. Pada periode pasca-injeksi,
direkomendasikan untuk menghindari bantalan berat untuk 24 jam pertama (72
jam jika terjadi injeksi di pinggul) dan untuk menghindari dampak aktivitas fisik
yang tinggi dalam 24-72 jam setelah injeks. Dalam kasus kambuhan sinovitis,
reinjeksi biasanya dilakukan. Meskipun tidak ada pedoman yang ditetapkan untuk
praktik ini, sebagian besar rheumatologists akan membatasi frekuensi penyuntikan
sampai tiga kali per tahun, dengan prosedur berulang yang dilakukan sekurangnya
3 bulan.
Efek samping injeksi IAC yang paling umum adalah perubahan kulit atrofi
subkutan pada tempat suntikan, terutama sendi kecil seperti pergelangan tangan
dan pergelangan kaki pada anak kecil. Hal ini disebabkan oleh ekstravasasi obat
yang disuntikkan dari ruang sendi. Atrofi subkutan dapat diatasi dengan waktu
pada kebanyakan pasien, namun berlanjut pada beberapa pasien. Komplikasi lain
yang diketahui dari suntikan IAC adalah perkembangan kalsifikasi periartikular.
Mayoritas kelainan ini tidak bergejala dan terdeteksi bersamaan pada follow up

12
radiologis. Sebuah laporan tentang artritis septik dari pergelangan kaki 48 jam
setelah suntikan IAC pada lutut pada anak dengan infeksi pernapasan
menunjukkan bahwa prosedur tersebut harus ditunda jika anak tersebut memiliki
tanda-tanda infeksi akut.
Joint Corticosteroid Dose

Shoulder TH 1 mg/kg (max 40 mg)

Elbow TH 0.75 mg/kg (max 30 mg)

Wrist TH 0.25-0.5 mg/kg§ (max 20 mg)

Hand metacarpophalangeal
MP 5-10 mg§
and interphalangeal

Hip TH 1 mg/kg (max 40 mg)

Knee TH 1 mg/kg (max 40 mg)

Ankle TH 0.75 mg/kg (max 30 mg)

Subtalar and intertarsal MP 20–40 mg§

Foot metatarsophalangeal
MP 5–10 mg§
and interphalangeal

Tendon sheats MP 20–40 mg§

Tabel 5. Jenis dan dosis kortikosteroid yang digunakan untik injeksi intra-artikular. MP,
methylprednisolone acetate; TH,triamcinolone hexacetonide.

13
Gambar 7. Atrofi subkutaneus dan hipopigmentasi setelah dilakukan injeksi kortikosteroid intra-artikular.

3.8.3 Kortikosteroid sistemik


Penggunaan kortikosteroid sistemik terutama terbatas pada pengelolaan
manifestasi ekstra-artikular dari arthritis sistemik. Ini termasuk demam tinggi
yang tidak responsif terhadap NSAID, anemia berat, miokarditis atau perikarditis,
dan sindrom aktivasi makrofag (MAS). Dosis tinggi 'pulse' intravena
methylprednisolone 10-30 mg/ kg/ hari sampai maksimum 1 g/ hari pada 1-3 hari
berturut-turut efektif dalam mengendalikan hal ini, namun pengaruhnya seringkali
tidak lama. Oleh karena itu, terapi kortikosteroid lanjutan dengan prednison oral
1-2 mg/ kg/ hari sampai maksimum 60 mg/ hari dalam dosis harian tunggal atau
terbagi sering diperlukan.Pada subtipe JIA selain artritis sistemik, kortikosteroid
harus digunakan secara selektif karena potensi efek toksiknya, termasuk
penangkapan atau retardasi pertumbuhan, mungkin lebih besar daripada manfaat
penyakit artikular. Prednisone dosis rendah misalnya 0,5 mg/kg/hari dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi rasa sakit dan kekakuan sambil menunggu
efek terapeutik penuh dari garis kedua yang baru saja dimulai atau agen biologis.
Beberapa penelitian terbuka menunjukkan bahwa anak-anak dengan
penyakit rematik yang menerima kortikosteroid jangka panjang dapat memperoleh

14
manfaat dari suplemen kalsium dan vitamin D untuk pencegahan osteoporosis
akibat kortikosteroid.

3.8.4 Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs (DMARDs)


3.8.4.1 Methotrexate
Metotreksat adalah antagonis folat, terbukti obat yang cukup efektif dan aman
dengan aktivitas jangka panjang. Dosis pengobatan yang dianjurkan adalah 10-15
mg/m2/minggu atau 0,5-1 mg/kg/minggu. Sebagian besar pasien menunjukkan
respons dalam 2-3 minggu pengobatan pertama. Terkadang, diperlukan beberapa
saat untuk mencapai respons pengobatan. Asam folat atau asam folinat dengan
dosis 1 mg/kg/hari digunakan untuk mengurangi efek samping termasuk
penekanan sumsum tulang, mual, ulserasi mulut dan rambut rontok, akan tetapi
asam folinat dapat menurunkan aktivitas metotreksat.

3.8.4.2 Sulphasalazine
Penelitian yang berbeda telah melaporkan efisiensi sulphasalazine pada pasien
JIA, terutama pada bentuk penyakit oligoartikular dan enthesitis. Respon
pengobatan dicapai dalam 6-8 minggu pengobatan. Sakit kepala, ruam, toksisitas
gastrointestinal, myelosupresi, hypogammaglobulinaemia dan reaksi alergi adalah
beberapa efek samping yang mungkin terjadi. Dosis awal adalah 10-20
mg/kg/hari, secara bertahap meningkat menjadi 50 mg/kg/hari dalam beberapa
minggu ke depan.

3.8.4.3 DMARDs lain yang digunakan di JIA


Leflunomide adalah inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan pada kasus
intoleransi metotreksat. Penelitian sebelumnya menunjukkan leflunomide setara
dengan metotreksat dalam pengobatan JIA. Cyclosporine-A adalah inhibitor
kalsineurin yang umum digunakan pada pasien dengan MASIA terkait sistemik.

15
3.8.5 Analgesik
Pemberian asetaminofen dalam 2-3 kali dapat bermanfaat untuk mengontrol nyeri
atau demam terutama pada penyakit sistemik. Obat ini tidak boleh diberikan untuk
waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.

3.8.6 Nutrisi dan fisioterapi


Nutrisi dan suplemen (vitamin D dan asam folat) menjadi aspek penting dalam
penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan dan
kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid.
Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisasi nyeri, menjaga dan mengembalikan
fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak-anak dengan artritis
aktif dianjurkan untuk beristirahat setelah pulang sekolah dan meningkatkan
waktu tidur saat malam hari.

16
3.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat JRA. Namun dengan tetap
memantau keadaan anak dan pemberian pengobatan dapat menurunkan resiko dari
komplikasi-komplikasi berikut:

3.9.1 Sindrom Aktivasi Makrofag


Sindrom aktivasi makrofag (MAS) adalah komplikasi fatal yang paling sering
dikaitkan dengan JIA sistemik, namun juga dapat dilihat pada bentuk penyakit
autoimun lainnya. Hal ini disebabkan oleh hemophagocytosis oleh makrofag,

17
yang bisa terjadi di sumsum tulang dan hati. Hal ini bisa dipicu oleh infeksi
seperti mononucleosis. Pasien tampak tidak sehat dan demam. Serologi virus
harus diperiksa. Laboratorium menunjukkan sitopeni, enzim hati yang meningkat,
tingkat sedimentasi eritrosit rendah (ESR), hiperferritinemia, trigliserida tinggi,
D-dimer berenergi, dan tingkat fibrinogen serum rendah. Pasien bisa mengalami
disfungsi hepar, kejang, dan bisa memburuk dengan cepat. MAS merupakan
indikasi rawat inap.

3.9.2 Kontraktur sendi dan deformitas tulang


Inflamasi sinovitis dan efek destruksinya pada sendi dapat menyebabkan
berbagai komplikasi neurologis pada pasien rheumatoid arthritis. Kompresi yang
berlokasi pada saraf median di pergelangan tangan merupakan neuropati yang
paling banyak dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis dewasa. Dalam suatu
penelitian didapatkan bahwa saraf median tidak terpengaruh pada pasien dengan
JRA. Namun, perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar sehingga
dapat mengevaluasi struktur pada carpal tunnel. JRA dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan tulang anak. Beberapa obat yang digunakan
untuk mengobati JRA, terutama kortikosteroid, juga dapat menghambat
pertumbuhan, menyebabkan diskrepensi panjang tungkai, kaki tidak sama
panjang, dan deformitas tulang.
Pada lutut, dapat terjadi kekakuan lutut, deformitas sendi dan kerusakan
sendi. Komplikasi pada tulang leher mengakibatkan anak mengalami kesulitan
menekukkan kepala ke depan. Komplikasi pada tulang punggung berupa
keterbatasan gerakan punggung.

3.9.3 Penyakit kardiovaskular


Seperti pada RA dewasa, ada bukti bahwa pasien dengan JIA berisiko tinggi
mengalami aterosklerosis dini atau penyakit kardiovaskular yang dipercepat. Studi
lain menunjukkan tidak ada peningkatan kejadian kardiovaskular pada pasien
dengan JIA bila dibandingkan dengan populasi umum. Satu studi melaporkan
bahwa 18% pasien dengan JIA mengalami obesitas. Obesitas tidak terkait dengan

18
aktivitas penyakit. Pasien dengan sistemik JIA dengan kontak jangka panjang
dengan kortikosteroid mungkin memiliki dislipidemia, hipertensi, dan diabetes.
Risiko jangka panjang penyakit kardiovaskular untuk individu dengan JIA tetap
tidak jelas dan tidak ada pedoman untuk menurunkan kolesterol pada pasien JIA
yang saat ini ada. Publikasi terakhir telah menunjukkan peningkatan risiko
kematian pada kelompok ini dapat meningkat, terutama jika terdapat riwayat
keluarga penderita penyakit vaskular. Oleh karena itu, mungkin dapat
dipertimbangkan pengelolaan kolesterol tinggi secara agresif pada pasien.

3.9.4 Rasa sakit


Beberapa pasien mungkin terus mengalami rasa sakit meski mengalami perbaikan
pada artritis. Nyeri radang sendi biasanya terkait dengan peningkatan aktivitas
pada pagi hari. Jika terdapat peningkatan rasa sakit dengan aktivitas, osteoartritis,
cedera, atau penyebab mekanis lainnya harus dipertimbangkan. Sindrom nyeri
harus dipertimbangkan jika gejala yang dilaporkan pasien tidak sesuai dengan
temuan pemeriksaan fisik mereka. Jika sindrom nyeri didiagnosis, pengobatan
utama adalah terapi fisik, psikoterapi, dan memastikan tidur yang cukup. Ada
peran terbatas untuk analgesia opiat dalam pengobatan sindroma JIA atau nyeri
dan harus digunakan dengan hemat karena berisiko ketergantungan dan
kecanduan.

3.9.5 Kesehatan mulut


Ada laporan langka sindrom Sjögren sekunder yang terjadi bertahun-tahun setelah
diagnosis JIA. Kebersihan mulut yang baik penting terutama bagi mereka yang
menjalani pengobatan imunosupresif atau dengan gejala Sjögren.

3.9.6 Fungsi Psikososial


Ada beberapa penelitian yang menyelidiki hasil sosial jangka panjang pasien JIA.
Orang dewasa muda dengan penyakit rematik melaporkan hilangnya produktivitas.
Sebuah meta-analisis menemukan bahwa secara umum, orang dewasa muda
dengan riwayat JIA cenderung tidak bekerja bila dibandingkan dengan teman

19
sebaya. Hal ini terkait dengan penyakit yang lebih buruk, kurang pencapaian
pendidikan, dan jenis kelamin perempuan. Orang dewasa dengan JIA mungkin
memiliki lebih banyak rasa sakit, depresi, dan kecemasan daripada teman
sebayanya.

3.9 Prognosis
Terapi biologis baru, pengobatan agresif dini dan pemberian steroid
intra-artikular yang efektif telah menyebabkan perbaikan dalam prognosis
JIA. Meski mengalami kemajuan ini, beberapa pasien masih memiliki
penyakit aktif dengan program klinis progresif. Meskipun sebagian besar
pasien JIA oligoartikular mencapai remisi, beberapa di antaranya masih
belum sembuh total. Risiko uveitis, erosi sendi dengan perkembangan
sekuele parah, dan perluasan penyakit pada penyakit polinoktik membuat
JIA oligoartikular memerlukan pemantauan hati-hati dengan kebutuhan
untuk penanganan dini yang agresif dalam kasus risiko yang lebih tinggi.
Riwayat keluarga penyakit, keterlibatan pergelangan kaki dan
pinggul, dan jumlah sendi yang terkena dampak pada onset penyakit adalah
indikator prognosis buruk pada pasien ERA. JIA sistemik memiliki
berbagai prognosis dengan mayoritas pasien yang memiliki penyakit
monosiklik. Namun, keterlibatan artikular pada pasien sJIA biasanya
berlanjut. Tingkat remisi meningkat secara nyata dan tingkat kerusakan
sendi menurun bersamaan dengan perawatan biologis. Respon terhadap
pengobatan biologis lebih rendah pada pasien dengan artritis psoriatis
dibandingkan dengan subtipe JIA lainnya. Persentase status remisi yang
dicapai di antara pasien dengan JIA polinomatik RF-positif dan RF-negatif
dan JIA oligoartikular diperluas ditemukan serupa pada pasien yang
menjalani perawatan biologis, terutama etanercept. Agen biologis terbukti
efektif dan aman pada pasien JIA, meskipun ada laporan tentang
peningkatan frekuensi infeksi yang kadang-kadang memerlukan rawat inap

20
dan laporan sporadis mengenai penyakit autoimun. Namun, hubungan
kausal yang jelas belum terbentuk karena penyakit yang mendasari dan
penggunaan imunosupresan bersamaan memiliki risiko keganasan juga.
Depresi, gangguan tidur, kecemasan dan kelelahan dilaporkan lebih
sering terjadi pada pasien JIA daripada kontrol sehat. Oleh karena itu,
pemantauan psikososial dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan.
Pasien JIA lebih rentan terhadap penyakit kardiovaskular daripada kontrol
sehat. Skrining ekokardiografi rutin memperbaiki prognosis penyakit.

21
BAB IV
ANALISIS KASUS

An. NA, laki-laki, 7 tahun, ± 2 minggu SMRS penderita demam tinggi,


demam tidak timbul mendadak, tidak bertambah tinggi, turun bila dikompres
atau minum obat penurun panas, sesak (-) pilek (-) keringat malam (-)
bertambah kurus (-). Penderita tidak nafsu makan dan minum, muntah (-),
BAB dan BAK normal. Penderita mengeluh bahwa sendinya kaku, nyeri, dan
tampak radang, terutama saat sedang demam. Penderita kemudian dibawa ke
dokter terdekat dan diberi obat sirup, dan demamnya membaik.
Sejak ± 5 hari SMRS demam berulang, demam tinggi, turun bila
dikompres atau minum obat penurun panas, batuk (-), pilek (-), mencret (-).
Muncul ruam bila sedang demam, ruam kemerahan, ukuran ± 1x1 cm, di dada
dan punggung. Penderita mengeluh sendinya semakin nyeri.
Pasien kemudian dibawa ke IGD RS Muhammadiyah, pasien dirawat
inap. Pasien dirawat selama 5 hari. Pasien dirujuk ke RSMH untuk
pemeriksaan lebih lanjut dan dirawat selama 2 minggu. Pasien usia <16 tahun
mengalami demam dan nyeri pada >1 sendi yang berulang >2 tahun telah
memenuhi kriteria diagnosis Juvenile Rheumatoid Arthritis.
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga yang
mengarah ke SLE, infeksi, atau adanya keganasan disangkal. Riwayat demam
dan nyeri sendi sebelumnya pada pasien ada sejak usia 5 tahun. Riwayat
kehamilan dan kelahiran didapatkan kesan yang normal.
Dari riwayat imunisasi pasien memiliki riwayat imunisasi dasar PPI
tidak lengkap. Jika pasien mendapat terapi yang menyebabkan imunosupresif
maka vaksin hidup (varicella, zoster, MMR, influenza) merupakan kontra-
indikasi.
Pada pemeriksaan status gizi didapatkan pasien memiliki kesan
pertumbuhan baik dengan riwayat nutrisi cukup secara kuantitas dan kualitas
walaupun terdapat kontraktur pada sendi-sendi pasien. Gagal tumbuh dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, non-organik maupun organik. Gagal tumbuh

22
karena faktor non-organik umumnya terjadi akibat faktor lingkungan dan
psikososial dan sering dihubungkan dengan interaksi yang buruk antara ibu
dan bayi, baik selama dalam kandungan maupun setelah lahir. Keadaan ini
menyebabkan asupan makanan yang tidak adekuat. Gagal tumbuh akibat
faktor organik umumnya disebabkan oleh masalah medis seperti pada pasien
ini yaitu adanya deformitas pada sendi dan tulang. Dari riwayat orang tua
kandung, ibu dan bapak memiliki perawakan yang baik dan tidak pernah
menderita sakit yang berat.
Pemeriksaan fisik didapatkan Pemeriksaan fisik didapatkan kontraktur
pada sendi di regio manus phalanx II-V dx et sin, regio cubiti dx et sin, regio
genu dx et sin, dan regio pedis dx et sin. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan penurunan jumlah hb, peningkatan jumlah leukosit,
LED, dan CRP, dan RF negatif (-).
Diagnosis dari pasien ini ditegakkan dari dasar diagnosis anamnesis,
yaitu usia anak <16 tahun, nyeri sendi yang dialami sejak usia 5 tahun,
terutama saat sedang demam, nyeri sendi >6 minggu. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan kontraktur pada >1 sendi. Hasil pemeriksaan penunjang
menunjukkan adanya proses inflamasi akut dan RF yang negatif menunjukkan
subtipe Juvenile Rheumatoid Arthritis subtipe RF negatif. Diagnosis banding
dari pasien ini adanya demam lama, ruam merah yang muncul saat demam,
dan juga adanya peningkatan leukosit yang signifikan. Kemungkinan adanya
infeksi atau penyakit autoimun lain seperti SLE masih dapat terjadi. Pada
pasien ini diberikan terapi NSAID dan anti-histamin untuk menekan proses
inflamasi dan menghilangkan nyeri pada sendi. Antibiotik diberikan karena
adanya kecurigaan infeksi pada pasien dengan manifestasi klinis demam lama.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Malattia, C. and Martini, A., 2017. Overview of Juvenile Idiopathic Arthritis.


In Pediatric Rheumatology (pp. 201-218). Springer Singapore.
2. Barut, K., Adrovic, A., Şahin, S. and Kasapçopur, Ö., 2017. Juvenile
Idiopathic Arthritis. Balkan medical journal, 34(2), p.90.
3. Ronis, T. and White, P.H., 2016. Juvenile Idiopathic Arthritis. In Care of
Adults with Chronic Childhood Conditions (pp. 221-233). Springer
International Publishing.
4. Oen, K., Guzman, J., Dufault, B., Tucker, L.B., Shiff, N.J., Watanabe Duffy,
K., Lee, J.J., Feldman, B.M., Berard, R.A., Dancey, P. and Huber, A.M.,
2017. Health‐related quality of life in an inception cohort of children with
Juvenile Idiopathic Arthritis: A longitudinal analysis. Arthritis Care &
Research.
5. Ravelli, A., 2016. Management of patients with juvenile idiopathic arthritis.
In Handbook of Juvenile Idiopathic Arthritis(pp. 87-114). Springer
International Publishing.
6. Ravelli, A., Davì, S., Bracciolini, G., Pistorio, A., Consolaro, A., van
Dijkhuizen, E.H.P., Lattanzi, B., Filocamo, G., Verazza, S., Gerloni, V. and
Gattinara, M., 2017. Intra-articular corticosteroids versus intra-articular
corticosteroids plus methotrexate in oligoarticular juvenile idiopathic arthritis:
a multicentre, prospective, randomised, open-label trial. The
Lancet, 389(10072), pp.909-916.
7. Ringold, S. Weiss, P.F., et al. 2013. 2013 Update of the 2011 American

College of Rheumatology Recommendations for the Treatment of
 Juvenile

Idiopathic Arthritis. American College of Rheumatology

24
25
LAMPIRAN
Foto Pasien

26
Foto Fisioterapi

Anda mungkin juga menyukai