Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

Infertilitas e.c Kista Endometrosis

Oleh:
Liana Alviah Saputri, S.Ked. 04054821618046
Rahmat Darmawantoro, S.Ked. 04054821618070
Elzan Zulqad Maulana, S.Ked. 04054821618170
Lola Meristi, S.Ked. 04084821719205
Nadya Aviodita, S.Ked. 04084821719200
Sisca, S.Ked 04084821719197

Pembimbing:
dr. R.M. Aerul Cakra Alibasyah, SpOG(K)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

1
2

HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Infertilitas e.c Kista Endometrosis

Oleh:
Liana Alviah Saputri, S.Ked. 04054821618046
Rahmat Darmawantoro, S.Ked. 04054821618070
Elzan Zulqad Maulana, S.Ked. 04054821618170
Lola Meristi, S.Ked. 04084821719205
Nadya Aviodita, S.Ked. 04084821719200
Sisca, S.Ked 04084821719197

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
periode 10 April 17 Juni 2017

Palembang, Mei 2017

dr. R.M. Aerul Cakra Alibasyah, SpOG(K)


3

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami ucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT karena
atas rahmat dan anugerah-Nya laporan kasus yang berjudul Infertilitas e.c. Kista
Endometrosis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun sebagai syarat ujian di bagian Ilmu Obstetri dan
Ginekologi. Tujuan disusunnya laporan kasus ini agar dapat mengetahui mengenai
Infertiltas ec Kisat Endometrosis. Penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada dr. R.M. Aerul Cakra Alibasyah, SpOG(K) yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat dan teman-teman sejawat
di bagian ilmu obstetri dan ginekologi yang telah membantu dan memberi
dukungan kepada penulis.
Akhir kata, laporan kasus ini hanyalah sebentuk kecil tulisan yang masih
mengharapkan banyak kritik dan saran sehingga dalam perkembangannya dapat
menjadi lebih baik lagi. Semoga bermanfaat.

Palembang, Mei 2017

Penulis
4

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN ....................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi..................................................................................................10
3.2. Epidemiologi.........................................................................................10
3.3. Etiologi..................................................................................................11
3.4. Faktor Risiko.........................................................................................12
3.5. Patofisiologi..........................................................................................14
3.6. Klasifikiasi............................................................................................15
3.7. Gejala Klinis.........................................................................................18
3.8. Diagnosiss.............................................................................................18
3.9. Diagnosis Banding................................................................................21
3.10. Tatalaksana..........................................................................................22
3.11. Komplikasi..........................................................................................25
3.12. Prognosis.............................................................................................27
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30

BAB I
5

PENDAHULUAN

Infertilitas yang didefinisikan sebagai kegagalan untuk hamil setelah satu


tahun mencoba kehamilan dengan melakukan hubungan seksual secara teratur
tanpa kontrasepsi, dianggap sebagai masalah di hampir semua budaya dan
masyarakat (Lewis, 2007). Infertilitas dibagi menjadi 2 bagian, yaitu primer
dan sekunder. Infertilitas primer terjadi ketika keadaan istri belum pernah
hamil sama sekali, sedangkan infertilitas sekunder terjadi pada istri yang
pernah hamil (Easley, 2013).
Infertilitas terjadi pada banyak pasangan di seluruh dunia, yaitu
sebanyak 50 juta hingga 80 juta pasangan dengan usia wanita yang masih
subur (WHO, 2011). The World Health Organization (WHO) memperkirakan
sekitar 8-10% pasangan usia subur mengalami masalah kesuburan. Di
Indonesia, pada tahun 2007, dari sekitar 30 juta pasangan usia subur terdapat 3-
4,5 juta atau sekitar 10-15 % pasangan yang memiliki problem kesuburan.
Penelitian yang dilakukan Arsyad terhadap 246 pasangan infertil di Palembang
menunjukkan infertilitas yang disebabkan faktor pria sebesar 48,4%.
Pasangan yang mengalami infertilitas sekitar 15% disebabkan oleh
subfertilitas atau kemandulan (yang memiliki ketidakmampuan bawaan untuk
hamil) di salah satu pasangan atau keduanya (Easley, 2013). Pada kasus
infertilitas, perempuan memiliki peran sebesar 40% -50% kasus sedangkan laki-
laki sebesar 30% dan penyebab lain sekitar 20% -30% dari pasangan (Easley,
2013). Infertilitas sebagian besar disebabkan oleh perempuan, oleh karena itu
dampak dari infertilitas memiliki pengaruh lebih besar bagi perempuan.
Infertilitas yang disebabkan oleh faktor perempuan antara lain anovulasi,
kerusakan tuba, endometriosis dan kegagalan ovarium. Faktor laki-laki antara
lain disebabkan oleh jumlah sperma yang sedikit, sperma tidak motil dalam
ejakulasi, dan disfungsi ereksi. Faktor lain penyebab infertil antara lain stres,
pengguna tembakau dan alkohol, kelebihan dan kekurangan berat badan, serta
intensitas olahraga yang berlebihan (Tai, 2013).
6

Salah satu penyebab infertilitas adalah endometriosis. Endometriosis


secara konvensional didefinisikan sebagai keberadaan lesi jaringan atau nodul
yang secara histologis mirio dengan endometrium, tetapi berda diluar uterus.
Endometriosis mempengaruhi 6-10% dari wanita usia reproduksi , 50 sampai 60%
wanita dan gadis-gadis remaja dengan nyeri panggul, dan sampai 50% dari wanita
dengan infertilitas.
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai pasien yang mengalami
infertilitas dengan penyebab kista endometriosis.
7

BAB II
STATUS PASIEN

1.1. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. DA
b. Umur : 25 tahun
c. Alamat : Dusun II, Spring Alam, Tanjung Raja Kec. Ogan
.................................Ilir, Palembang
d. Suku : Sumatera
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Islam
g. Pendidikan : SLTA
h. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
i. MRS : 25 April 2017 (Poli)
j. No. RM : 985839

1.2. ANAMNESIS (Tanggal 25 April 2017)


Keluhan Utama
Belum mempunyai anak setelah 1 tahun 6 bulan menikah

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 10 tahun yang lalu pasien mengeluh nyeri saat haid sejak
pertama menstruasi, nyeri mulai terasa setiap hari pertama dan kedua
menstruasi, pasien mengonsumsi obat penghilang nyeri untuk
menghilangkan nyeri menstruasi. Riwayat benjolan pada perut bawah (-),
nyeri pada perut bawah (-), riwayat perdarahan diluar siklus menstruasi (-).
Os sempat berobat ke SpOG dan dikatakan kista dermoid dan dirujuk ke
RSMH untuk operasi.
4 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri haid semakin berat
dan pasien juga mengeluhkan belum mempunyai keturunan setelah 1
tahun 6 bulan menikah, dengan berhubungan suami istri secara teratur
kemudian pasien berobat ke RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


8

R/ hipertensi (-)
R/ diabetes mellitus (-)
R/ asma (-)
R/ alergi (-)
R/ mengkonsumsi obat-obatan jangka waktu lama (-)
R/ keganasan (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


R/ hipertensi (-)
R/ kencing manis (-)
R/ asma (-)
R/ alergi (-)
R/ keganasan (-)

Status Sosial Ekonomi dan Gizi : sedang


Status Perkawinan : sudah menikah, satu kali sejak
tahun 2015
Status Reproduksi : menarche usia 13 tahun, siklus haid
28 hari, teratur, lamanya 7-8 hari
HPHT 20/1/2017, 2-3x ganti
pembalut
Status Persalinan : tidak ada

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/ menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
BB : 50 kg
TB : 158 cm

PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA DAN LEHER
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema
9

palpebra (-), pupil isokor (3 mm/3 mm), refleks


cahaya (+/+)
Hidung : Sekret (-), perdarahan (-)
Mulut : Pucat (-), perdarahan di gusi (-), sianosis (-),
mukosa mulut dan bibir kering (-), fisura (-),
cheilitis (-)
Lidah : Atropi papil (-)
Faring/Tonsil : Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1-
T1, tonsil hiperemis (-), detritus (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)

THORAKS
PARU
Inspeksi : Simetris dalam statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)

PERUT DAN PINGGANG


PL : Abdomen datar, lemas, simetris, FUT tidak teraba
, massa (-), nyeri tekan (-), cairan bebas (-)

EKSTREMITAS
Pucat (-), edema pretibial (-)

GENITALIA DAN ANUS


10

a. Inspekulo : Portio tidak livide, OUE tertutup, fluor (-),


fluxus (-), E/L/P (-)
b. Vaginal touche : Portio kenyal, OUE tertutup, AP
kanan/kiri lemas, CD tidak menonjol
c. Rectal touche : TSA baik, Mukosa licin,
MIL (-), CD tidak menonjol

1.4. PEMERIKSAAN TAMBAHAN


Hasil
Jenis pemeriksaan Nilai Normal
(16 01 2017)
HEMATOLOGI
Hemoglobin (Hb) 13.7 11.40 15.00 g/dL
Eritrosit (RBC) 4.71 4.00 5.70 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 4.7 4.73 10.89 x 103/mm3
Hematokrit 41 35 45 %
Trombosit (PLT) 214 189 436 x 103/L
Hitung jenis leukosit 0/2/35/59/4
Pembekuan Darah
Fibrinogen Pasien: 336 Kontrol: 297
D-dimer 0.50 < 0.5

Pemeriksaan USG transvaginal (pemeriksaan genitalia interna)

1.5. DIAGNOSIS KERJA


Abortus incomplete

1.6. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
1.7. TATALAKSANA
a. TERAPI
IVFD RL gtt xx/menit
Kuretase
Persiapan tindakan
11

b. MONITORING
Observasi tanda vital ibu dan perdarahan
1.8. FOLLOW UP
Tanggal (Jam) S O A P
13-08-2016 Habis Status present Post kuretase ai abortus Observasi TVI, perdarahan
(06.30) kuretase Kes: CM, TD: 110/70 incomplete Cefadroxil 2 x 500 mg
Neurodex 1 x 1
mmHg, N: 80 x/m, RR: 20
Asam mefenamat 3 x 500 mg
x/m, T: 36,50C

Status ginekologi
PL: Abdomen datar, lemas,
simetris, NT (-), TCB (-)
14-08-2016 Keluhan (-) St present: Post kuretase ai abortus Observasi TVI, perdarahan
(07.00) Kes: CM, TD: 110/70 incomplete Cefadroxil 2 x 500 mg
Neurodex 1 x 1
mmHg, N: 88 x/m, RR: 20
Asam mefenamat 3 x 500 mg
x/m, T: 36,50c Os direncanakan pulang
1.9. LAPORAN HASIL OPERASI
Hari/Tanggal: Jumat/ 12 Agustus 2016
Operator: dr. Febrie Wardana
Diagnosa Pre-Bedah: Abortus incomplete
Diagnosa Pasca Bedah: Post kuretase ai abortus incomplete
Jenis Operasi: Kuretase

Pukul 05.20 WIB tindakan dimulai


Pasien dalam kondisi litotomi dan narkose
Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada vulva dan sekitarnya
Kandung kemih dikosongkan dengan kateter
Dilakukan pemasangan sims atas dan bawah
Portio ditampakkana secara avoe
Dilakukan penjepitan portio di arah jam 11.00
Dilakukan sondase, didapatkan uterus AF 11 cm
Dilakukan kuretase pada endometrium dan didapatkan darah dan jaringan 50
cc
Jaringan di PA kan
Setelah diyakini bersih, tidak ada jaringan dan perdarahan, tenakulum
dilepaskan, portio dibersihkan dengan kassa betadine

Pukul 05.45 WIB tindakan selesai

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10

3.1. Definisi Abortus


Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan
kurang dari (ACOG memberi batasan 20 minggu 1, FIGO memberi batasan 22
minggu2, Hanretty memberikan batasan 24 minggu 3, WHO memberi batasan 28
minggu)4.

3.2. Epidemiologi
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi
menyatakan kejadian abortus spontan antara 1520% dari semua kehamilan.
Kalau dikaji lebih jauh abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini
dikarenakan tingginya angka chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui
pada 24 minggu setelah konsepsi (Prawirohardjo, 2008).
WHO memperkirakan di seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun
terdapat 20 juta kejadian abortus. Sekitar 13% dari jumlah total kematian ibu di
seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya
meninggal karena komplikasi abortus dan sekurangnya 95% (19 dari setiap 20
abortus) di antaranya terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat angka
kejadian abortus spontan berkisar antara 10-20% dari kehamilan. Di Rumah Sakit
Umum Daerah RSUD Banyumas Unit II Purwokerto, angka kejadian abortus pada
tahun 2007 sebesar 23,70% pada tahun 2008 meningkat menjadi 30,70%.
Sedangkan di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung, prevalensi abortus tercatat
sebesar 8-12% (Dwilaksana, 2010).5
Di Indonesia setiap tahun selalu dilakukan pencatatan distribusi penyakit
oleh Departemen Kesehatan RI yang salah satunya adalah penyakit kehamilan.
Jumlah keguguran yang terjadi diketahui akan menurun dengan meningkatnya
usia gestasional, dari 25% pada 5 hingga 6 minggu pertama kehamilan menjadi
2% selepas 14 minggu kehamilan.
3.3. Etiologi
11

Aborsi memiliki banyak faktor penyebab, tetapi beberapa studi


menunjukkan 60% disebabkan oleh kelainan kromosom. 6 Berikut adalah
penyebab yang umum didapatkan dalam kasus aborsi: 7
1. Faktor janin
a. Aborsi aneuploidi
95% dari kelainan kromosom yang berkaitan dengan aborsi disebabkan
oleh kesalahan gametogenesis. Trisomi autosomal paling sering ditemukan
berkaitan dengan kelainan kromosom pada aborsi pada trimester pertama.
Sedangkan monosomy X adalah kelainan kromosom tunggal spesifik yang
paling sering ditemukan
b. Aborsi eupliodi
Janin dengan kromosom normal cenderung untuk aborsi lebih jauh di
kemudian hari dibandingkan dengan aborsi aneuploidi. Angka kejadian
dari aborsi euploidi berkurang dramatis setelah umur ibu lebih dari 35
tahun.

2. Faktor ibu
a. Infeksi
Infeksi tidak umum menyebabkan aborsi. Studi yang dilakukan Simpson
dan teman-teman (1996) tidak menemukan bukti aborsi akibat infeksi.
Studi lain yang dilakukan Oakshet dan teman-teman (2002) menunjukkan
hubungan antara aborsi pada trimester kedua dengan bakterial vaginosis
b. Hipotiroid
Defisiensi tiroid yang berat mungkin berkaitan dengan aborsi. Efek dari
hipotiroid sendiri terhadap aborsi belum banyak diteliti namun
peningkatan autoantibodi terhadap tiroid berkaitan dengan peningkatan
angka kejadian dari aborsi.
c. Diabetes Mellitus
Kadar gula darah yang tidak terkontrol meningkatakan angka kejadian
aborsi
d. Merokok
12

Kebiasaan merokok berkaitan dengan meningkatnya resiko dari aborsi


euploidi. Resiko ini meningkata sesuai dengan peningkatan frekuensi dan
dosis dari merokok itu sendiri.
e. Alkohol
Konsumsi alkohol pada 8 minggu pertama kehamilan berkaitan erat
dengan peningkata angka kejadian aborsi
f. Kafein
Peningkatan resiko aborsi baru terjadi pada mereka yang mengkonsumsi
kafein lebih dari 500 mg per hari.
g. Defek uterus
Resiko aborsi meningkat pada sindrom Asherman
h. Servix inkompeten
Servix inkompeten adalah terjadinya dilatasi servix yang tidak sakit pada
trimester kedua. Kejadian tersebut bisa diikuti oleh prolap dan
penggembungan dari membran ke vagina sehingga terjadi expulsi dari
janin prematur.

3.4. Faktor Risiko


Faktor risiko abortus adalah sebagai berikut
1. Usia Ibu
Usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan usia resiko
untuk hamil dan melahirkan (Mulyati, 2003). Menurut Manuaba (1998) kurun
waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran dapat terjadi pada
usia yang masih muda, karena pada saat remaja alat reproduksi belum matang
dan belum siap untuk hamil. Menurut Cunningham (2005) bahwa frekuensi
abortus bertambah dari 12% pada wanita 20 tahun, menjadi 26 % pada wanita
yang berusia diatas 40 tahun. Menurut Prawirohardjo (2008) risiko ibu terkena
aneuploidi adalah 1 : 80 pada usia diatas 35 tahun, karena angka kejadian
kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.
Abortus meningkat dengan pertambahan umur, OR 2,3 setelah usia 30
tahun. Risiko berkisar 13,3% pada usia 12-19 tahun; 11,1% pada usia 20-24
13

tahun; 11,9% pada usia 25-29 tahun; 15% pada usia 30-34 tahun; 24,6% pada
usia 35-39%; 51% usia 40-44 tahun; 93,4% pada usia 45 tahun ke atas. Baru-
baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko terjadinya
abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan bahwa risiko
abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita 35 tahun dan
pria 40 tahun.6

2. Paritas Ibu
Semain banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang ibu semakin
tinggi resikonya untuk mengalami komplikasi kehamilan, persalinan dan
nifas. Sejalan dengan pendapat Cunningham (2005) bahwa resiko abortus
spontan semakin meningkat dengan bertambahnya paritas. Persalinan kedua
dan ketiga merupakan persalinan yang aman, sedangkan risiko terjadinya
komplikasi meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang
ketiga dan seterusnya. Demikian juga dengan paritas 0 dan lebih dari 4
merupakan kehamilan risiko tinggi (Mulyati, 2003).

3. Riwayat Abortus Sebelumnya


Resiko pasien dengan riwayat abortus untuk kehamilan berikutnya
ditentukan dari frekuensi riwayatnya. Pada pasien yang baru mengalami
riwayat 1 kali berisiko 19%, 2 kali berisiko 24%, 3 kali berisiko 30%, dan 4
kali berrisiko 40%. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya
abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah
73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton dan Fraser memberikan prognosis yang
lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.8

4. Pemeriksaan Antenatal
Pemeriksaan antenatal yang baik adalah minimal 1 kali pada trimester
pertama, 1 kali pada trimester kedua dan 2 kali pada trimester ketiga.
Keuntungan yang diperoleh dengan melakukan pemeriksaan antenatal dengan
baik adalah kelainan yang mungkin ada atau akan timbul pada kehamilan
14

tersebut cepat diketahui dan segera dapat diatasi sebelum berpengaruh tidak
baik pada kehamilannya (Prawirohardjo, 2008). Ibu dengan pemeriksaan
antenatal yang tidak baik akan meningkatkan risiko kehamilan (risiko
kesakitan dan kematian), karena akan sulit untuk mendeteksi kelainan dan
kebutuhan yang diperlukan ibu dalam mempersiapkan kehamilan dan
kelahiran secara optimal.

5. Pendidikan
Umumnya ibu yang mengalami abortus mempunyai pendidikan 1-9
tahun dan memungkinkan abortus pada pendidikan rendah lebih besar
dibandingkan dengan kelompok yang berpendidikan lebih tinggi.

6. Kebiasaan orang tua


a. Merokok
b. Konsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan. Tingkat aborsi
spontan dua kali lebih tinggi pada wanita yang minum alkohol 2x/minggu
dan tiga kali lebih tinggi pada wanita yang mengkonsumsi alkohol setiap
hari. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa risiko abortus meningkat
1,3 kali untuk setiap gelas alkohol yang dikonsumsi setiap hari.
c. Radiasi juga dapat menyebabkan abortus pada dosis yang cukup. Akan
tetapi, jumlah dosis yang dapat menyebabkan abortus pada manusia tidak
diketahui secara pasti.
d. Alat kontrasepsi dalam rahim yang gagal mencegah kehamilan
menyebabkan risiko abortus, khususnya abortus septik meningkat.
e. Psikologis seperti ansietas dan depresi.

3.5. Patofisologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing
15

dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan


isinya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya
dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara
mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus
desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tida dilepaskan sempurna yang
dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu ke atas
umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa
waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas
dengan lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk
miniature.9
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa
bentuk yang jelas (blighted ovum); mungkin pula janin telah mati lama (missed
abortion).
Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka
ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Isi uterus dinamakan mola kruenta.
Bentuk inui menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dan dalam
sisanya terjadi organisasi, sehingga semuanya tampa seperti daging. Bentuk lain
adalah mola tuberose; dalam hal ini amnion tampa berbenjol-benjol karena terjadi
hematoma antara amnion dan korion.

3.6. Klasifikasi Abortus10


Menurut cara terjadinya abortus dibedakan atas:
a. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa
disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medicinalis,
semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
b. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa
indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.

Abortus ini terbagi lagi menjadi:


16

1) Abortus medicinalis (abortus therapeutica) yaitu abortus karena


tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat
persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
2) Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-
tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan
biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional.

Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut:


a. Abortus Iminens
Merupakan abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya
abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.

b. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih
dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.

c. Abortus Inkompletus
17

Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang
tertinggal.

d. Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

e. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam
kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya
masih tertahan dalam kandungan.

f. Abortus Habitualis
18

Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
berturut-turut.

3.7. Gejala Klinis


Gejala klinis pada abortus pada umumnya sama, antara lain:11
a. Perdarahan atau bercak darah dari jalan lahir pada trimester pertama
b. Jumlah darah umumnya sedikit
c. Warna darah bervariasi dari kecoklatan hingga merah segar
d. Perdarahan bisa berlangsung hingga beberapa hari
e. Biasa didahului oleh mulas-mulas atau sakit pinggang

3.8. Diagnosis
3.8.1.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik6
a. Abortus iminens:
- Anamnesis:
Perdarahan pada trimester pertama kehamilan
Biasa berupa bercak-bercak
Bisa atau tidak disertai dengan mulas atau nyeri pinggang
Tidak ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir

- Pemeriksaan Fisik:
Inspekulo: ditemukan bercak darah di sekitar dinding vagina,
portio tertutup, tidak ditemukan jaringan

b. Abortus insipiens:
- Anamnesis:
Perdarahan pada trimester pertama kehamilan
Biasa berupa darah segar yang mengalir
Disertai dengan mulas atau nyeri pinggang
Tidak ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir
19

- Pemeriksaan Fisik:
Inspekulo: ditemukan darah segar di sekitar dinding vagina, portio
terbuka, tidak ditemukan jaringan

c. Abortus inkomplit:
- Anamnesis:
Perdarahan pada trimester pertama kehamilan
Biasa berupa darah segar yang mengalir
Disertai dengan mulas atau nyeri pinggang
Ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir

- Pemeriksaan Fisik:
Inspekulo: ditemukan darah segar di sekitar dinding vagina,
portio terbuka, bisa ditemukan jaringan di jalan lahir

d. Abortus komplit:
- Anamnesis:
Perdarahan pada trimester pertama kehamilan
Darah biasa berupa bercak-bercak
Disertai dengan mulas atau nyeri pinggang
Ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir

- Pemeriksaan Fisik:
Inspekulo: ditemukan bercak darah di sekitar dinding vagina,
portio tertutup, tidak ditemukan jaringan

e. Abortus tertunda:
- Anamnesis:
Uterus yang berkembang lebih rendah dibandingkan usia
kehamilannya
Bisa tidak ditemukan perdarahan atau hanya bercak-bercak
20

Tidak ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir

- Pemeriksaan Fisik:
Inspekulo: bisa ditemukan bercak darah di sekitar dinding
vagina, portio tertutup, tidak ditemukan jaringan

f. Abortus septik:
- Anamnesis:
Ditemukan satu atau lebih tanda-tanda abortus di atas
Riwayat sedang menggunakan IUD
Riwayat percobaan aborsi sendiri

- Pemeriksaan Fisik:
Demam > 38 C
Inspekulo: ditemukan salah satu tanda abortus seperti di atas

3.8.2.
Pemeriksaan Penunjang
- Serum -hCG
Serum -hCG > 2500 IU per mL disertai dengan USG transvaginal
merefleksikan 90% kehamilan intrauterine
Serum -hCG > 6500 IU per mL disertai dengan USG abdomen
merefleksikan 90% kehamilan intrauterine
- USG
Gerakan jantung janin harusnya sudah bisa dilihat sejak masa gestasi
6-7 minggu

3.9. Diagnosis Banding


21
3.10. Tatalaksana
3.10.1.
Aborsi
Secara umum tatalaksana aborsi dibagi 2, yaitu:12
a. Terapi medikasi
Terapi medikasi menggunakan mifepristone yang disusul
dengan penggunaan misoprostol atau mungkin hanya misoprostol saja.
Terapi medikasi ini digunakan pada aborsi dengan masa gestasi 4-9
minggu dan lebih dari 14 minggu. Terapi bedah cenderung digunakan
pada masa gestasi 9-14 minggu. Regimen lain seperti methotrexate
disusul dengan misroprostol juga sering digunakan.

22
23

Indikasi penggunaan terapi medikasi:


- Pilihan pasien
- Masa gestasi yang kecil
- Obesitas (BMI > 30) tanpa kelainan kardiovaskular
- Fibroma uterus
- Malformasi uterus
- Riwayat bedah sevik sebelumnya Kontraindikasi terapi medikasi;
- Riwayat alergi mifepristone, misoprostol atau obat terapi medikasi
lainnya
- Mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang
- Gagal ginjal kronik
- Kelainan pembekuan darah
- IUD yang masih terpasang
- Infeksi daerah panggul yang berat

Rekomendasi WHO dan IPPF:


- Mifeprostone 200mg oral diikuti misprostol 800g 36-48 jam
setelahnya (oral, sublingual, bukal atau intravaginal) dalam satu
dosis atau dibagi menjadi dua dosis 400g yang diberikan selang 2
jam

Rekomendasi FDA Amerika Serikat:


- Hari pertama: Mifepristone 600mg per oral dalam satu kali minum
- Hari kedua: Rh-imunoglobin 50g tidak lebih dari 48 jam sesudah
terjadinya tanda-tanda aborsi pada pasien dengan Rh
- Hari ketiga: bila proses aborsi belum selesai dan dikonfirmasi
dengan USG, berikan misoprostol 400g
- Hari keempat belas: cek kembali keadaan aborsi pasien dengan
USG atau serum -hCG. Serum -hCG seharusnya berada di
bawah 1.000IU/L setelah 2 minggu pemberian mifepristone. Bila
proses aborsi belum selesai, dilanjutkan dengan aspirasi vakum.
24

b. Terapi bedah
Indikasi terapi bedah:
- Pilihan pasien
- Sterilisasi
- Terdapat kontraindikasi pada pemakaian terapi medikasi
- Pasien tidak mampu datang untuk kontrol setelah terapi
medikasi

Pendekatan terapi bedah yang umum dilakukan yaitu:


1. Aspirasi Vakum
Aspirasi vakum adalah prosedur yang aman dan efektif dan
menjadi terapi pilihan sebelum teknik dilatasi dan kuretase. Teknik
ini bisa digunakan hingga masa gestasi 12 minggu dan 99,5%
efektif. Komplikasi teknik ini lebih rendah dibandingkan teknik
dilatasi dan kuretase, dilatasi servik yang dibutuhkan lebih kecil,
harga yang lebih murah, tidak diperlukan anastesi umum.

2. Dilatasi dan Kuretase


Teknik ini lebih berbahaya dan lebih sakit dibandingkan teknik
aspirasi vakum sehingga pemilihan teknik ini umumnya dibatasi
bila aspirasi dan terapi medikasi tidak bisa diberikan. Teknik ini
bisa digunakan hingga masa gestasi 12 minggu 99% efektif.

3.10.2.
Pasca-Aborsi
Pasien yang mendapat terapi medikasi sebaiknya diobservasi
selama 4-6 jam telebih dahulu. Pada pasien dengan terapi medikasi yang
ingin segera pulang, minum obat di rumah, atau yang proses abortusnya
belum selesai sebaiknya kembali kontrol ke dokter 10-15 hari setelah
mendapat terapi untuk mengkonfirmasi status aborsinya.12
25

Setelah terapi bedah, pasien idealnya kembali kontrol ke dokter 7-


10 hari setelah mendapat terapi. Pasien sebaiknya diberi informasi bahwa
mungkin terdapat tanda-tanda perdarahan dari bercak hingga sebanyak
darah menstruasi untuk beberapa minggu ke depan. Pasien juga sebaiknya
mendapat informasi tentang gejala-gejala klinis yang memerlukan
intervensi medis segera dan sebaiknya segera kembali ke rumah sakit
seperti perdarahan yang banyak, demam lebih dari satu hari disertai nyeri
panggul.
Selain kontrol berkaitan dengan aborsinya, semua pasien sebaiknya
mendapat informasi mengenai kontrasepsi. Secara umum, semua jenis
kontrasepsi aman digunakan pada wanita post abortus. Penelitian
menunjukkan bahwa kesuburan akan kembali normal dalam 2 minggu dan
75% wanita akan mengalami ovulasi dalam 6 minggu, setiap pasien
sebaiknya diberi informasi bahwa ia bisa melahirkan kembali sebelum
menstruasi berikutnya.12

3.11. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal,
diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca
tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan.
2. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila
setelah seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat
kemungkinan adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik
harus dilakukan dengan teliti.
3. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus.
Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung
udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di
endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya
26

tidak menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan


sudah dapat memastikan dengan segera.
4. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat
terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan
cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
5. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal
seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat
mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan
seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan
histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
6. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi
memerlukan waktu.

Abortus inkomplit yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan


syok akibat perdarahan hebat dan terjadinya infeksi akibat retensi sisa hasil
konsepsi yang lama didalam uterus6. Sinekia intrauterine dan infertilitas juga
merupakan komplikasi dari abortus.
Berbagai kemungkinan komplikasi tindakan kuretase dapat terjadi, seperti
perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, evakuasi jaringan sisa yang tidak
lengkap, dan infeksi. Komplikasi ini meningkat pada umur kehamilan setelah
trimester pertama. Komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan kuretase antara
lain:
1. Dapat terjadi refleks vagal yang menimbulkan muntah-muntah, bradikardi
dan cardiac arrest.
2. Perforasi uterus yang dapat disebabkan oleh sonde atau dilatator.
3. Serviks robek yang biasanya disebabkan oleh tenakulum. Bila pendarahan
sedikit dan berhenti, tidak perlu dijahit.
4. Perdarahan yang biasanya disebabkan sisa jaringan konsepsi.
Pengobatannya adalah pembersihan sisa jaringan konsepsi.
27

5. Infeksi dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi. Pengobatannya berupa


pemberian antibiotika yang sensitif terhadap kuman aerobik maupun
anaerobik. Bila ditemukan sisa jaringan konsepsi, dilakukan pembersihan
kavum uteri setelah pemberian antibiotika profilaksis minimal satu hari.

3.12. Prognosis
Risiko dari kematian atau komplikasi medis yang serius lebih banyak
terjadi pada wanita dengan kehamilan cukup bulan dibandingkan aborsi,
kesehatan secara umum lebih baik pada pasien abortus dibandingkan kelahiran
cukup bulan. Resiko kematian yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran
berkisar 7-8 per 100.000 kelahiran sedangkan bila dikaitkan dengan abortus,
berkisar kurang dari 1 per 100.000 kelahiran. Beberapa studi tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan antara aborsi dengan penurunan kesuburan atau resiko
terjadinya kehamilan ektopik. Sebuah studi di Cina berkaitan dengan pemakaian
mifepristone dan misoprostol menunjukkan tidak adanya hubungan antara
pemakaian obat tersebut dengan peningkatan resiko kehamilan prematur.1

BAB IV
28

ANALISIS KASUS

Pasien Ny. SR, G4P3A0, hamil kurang lebih 12 minggu, datang ke IGD
RSMH Palembang dengan keluhan perdarahan dari kemaluan sejak kurang lebih 4
hari SMRS. Berdasarkan anamnesis darah berwarna merah segar dan adanya
riwayat keluar jaringan seperti hati ayam. Pasien juga mengaku sedang hamil tiga
bulan. Pasien sudah pernah melahirkan tiga kali dan janin hidup. Pasien mengaku
tidak pernah mengalami gejala serupa pada kehamilan sebelumnya. Pasien
mengaku tidak berhubungan seksual sebelumnya. Riwayat hipertensi, DM, asma,
alergi, mengkonsumsi obat-obatan jangka waktu lama, dan keganasan disangkal
oleh pasien. Pada pemeriksaan luar ditemukan tinggi fundus 3 jari di atas simpisis.
Hal ini menunjukkan kemungkinan pasien sedang hamil 12 minggu. Pada
pemeriksaan inspekulo genitalia dan anus ditemukan portio livide, OUE terbuka 1
cm, tampak jaringan di muara OUE, fluxus ada, dan darah tidak aktif. Pada
pemeriksaan vaginal touche ditemukan portio lunak, OUE terbuka 1 cm, dan
teraba massa di muara OUE. Pada pemeriksaan tes kehamilan didapatkan hasil
yang positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien tersebut benar sedang
hamil.
Pada pasien ini penegakkan diagnosis abortus inkomplit dapat diambil
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ginekologi. Abortus
adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan, dimana sebagai batasan adalah jika kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram. Pada kasus ini perlu ditegakkan diagnosis
kehamilan terlebih dahulu. Pasien dinyatakan positif hamil melalui pemeriksaan
serologi.
Pada kasus ini ditemukan gejala abortus inkomplit yaitu perdarahan dari
kemaluan. Selain itu, pada pemeriksaan inspekulo didapatkan OUE terbuka,
tampak jaringan di muara OUE, fluxus ada, dan darah tidak aktif. Pada
pemeriksaan vaginal touche ditemukan OUE terbuka 1 cm, dan teraba massa di
muara OUE.
29

Diagnosis banding pada kasus ini adalah jenis perdarahan pada kehamilan
muda lainnya, yaitu jenis abortus lainnya, mola hidatidosa, dan KET. Diagnosis
kehamilan ektopik dan mola hidatidosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
USG. Pada kehamilan ektopik terdapat gambaran janin ekstrauterine, dan pada
mola hidatidosa terdapat gambaran snow flake pattern. Selain itu dari anamnesis
juga dapat disingkirkan kehamilan ektopik, karena tidak terdapat nyeri tekan pada
pasien ini.
Tatalaksana pada kasus ini adalah kuretase. Kuretase dilakukan pada
abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 13 minggu dan bertujuan untuk
mengevaluasi sisa jaringan uterus pada kasus ini.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam dengan alasan tidak
terdapat tanda-tanda infeksi ataupun syok pada ibu, begitu pula tanda-tanda
komplikasi lain yang berbahaya.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo Sarwono. 2010. Abortus. Ilmu Kebidanan Edisi IV. Jakarta: FK


UI.
2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. 2011. Ilmu Kebidanan Edisi
ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka.
3. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. 2005. Obstetri Williams Edisi 21.
Jakarta: EGC.
4. Hadijanto B. 2010. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH (editor), In: Ilmu Kebidanan, Edisi
Keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
5. Hanretty KP. 2003. Vaginal Bleeding in Pregnancy. Smith H (editor), In:
Obstetrics Illustrated, 6th Edition. London: Churchill-Livingstone.
6. Evans, Arthur T. 2007. Manual of Obstetric 7th ed. Lippincot Williams and
Willkins.
7. Norman F. Gant MD, Kenneth J., Md Leveno, Larry C., Iii, Md Gilstrap, John
C., Md Hauth, Katharine D., Md Wenstrom, John C. Hauth, J. Whitridge
Obstetrics Williams (Editor), Steven L. Clark, Katharine D. Wenstrom.
Williams Obstetrics 23rd Ed: McGraw-Hill Professional
8. POGI. 2006. Standar Pelayanan Medik. Jakarta: POGI.
9. The Allan Guttmacher Institute. 1999. Sharing responsibility: women, society
and abortion worldwide. New York, The Allan Guttmacher Institute.
10. Greenwold N, Jauniaux E. 2002. Collection of villous tissue under ultrasound
guidance to improve the cytogenetic study of early pregnancy failure. Human
Reproduction. 17: 45256.
11. R. James. Scoot, Md. S. Ronald et al. 2003. Danforths Obstetric and
Gynecology 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
12. World Health Organization. 2003. Safe Abortion: Technical and Policy
Guidance for Health Systems. World Health Organization.

13. Hatcher, Robert A. Trussell, James. Nelson, Anita L. 2008. Contraceptice


Technology. Ardent Media.
31

14. Kuntari T, Wilopo SA, dan Emilia O. 2010. Detgerminan Abortus di


Indonesia. Yogyakarta: Departemen Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional 4 (5): 223 229.

Anda mungkin juga menyukai