Anda di halaman 1dari 6

BAB I

Pendahuluan

I. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya Naturalisasi adalah pemerolehan kewarganegaraan bagi
penduduk negara asing, hal menjadikan warga negara, pewarganegaraan yang
diperoleh setelah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditetapkan di
perundang-undangan. Misalnya seorang warga negara asing menikah dengan
warga negara indonesia dan ia mengajukan permohonan untuk melakukan
perpindahan kewarganegaraan. Namun proses ini harus terlebih dahulu memenuhi
beberapa persyaratan yang ditentukan dalam peraturan kewarganegaraan negara
yang bersangkutan, karena melakukan sebuah perpindahan tersebut tidak semudah
yang di bayangkan dan ada proses hukum dalam masing-masing negara.
Hukum naturalisasi di setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia, masalah
kewarganegaraan saat ini diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun
2006. Sehingga tidak semua warga negara dapat melakukan perpindahan status
kewarganegaraan sebelum mereka mengajukan permohonan yang resmi dalam
suatu negara tersebut.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan dan beberapa persyaratan
dalam naturalisasi ini, dalam makalah ini akan mencoba membahas lebih detail
beberapa hal yang terkait dengan naturalisasi serta beberapa undang-undang yang
mengaturnya.

II. RUMUSAN MASALAH


Dari pokok-pokok permasalahan diatas penyusun merumuskan beberapa
masalah yaitu:
1. Pengertian Naturalisasi
2. Dasar Naturalisasi
3. Syarat Naturalisasi
4. Dampak baik dan buruk Naturalisasi
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Naturalisasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Naturalisasi adalah pemerolehan
kewarganegaraan bagi penduduk negara asing, hal menjadikan warga negara,
pewarganegaraan yang diperoleh setelah memenuhi syarat sebagaimana yang telah
ditetapkan di perundang-undangan
Naturalisasi adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menyebabkan
seseorang memperoleh status kewarganegaraan, Misal : seseorang memperoleh
status kewarganegaraan akibat dari pernikahan, mengajukan permohonan,
memilih/menolak status kewarganegaraan.

2. Dasar Naturalisasi
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Undang-Undang tentang
Kewarganegaran yang berlaku saat ini di Indonesia, perjalanan sejarah tentang
Kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia penting untuk diketahui.
Berawal dari jaman penjajahan Hindia Belanda bukanlah suatu negara, maka
diwilayah Nusantara pada jaman ini tidak mempunyai warga negara, akan tetapi
disebut sebagai penduduk. Regerings reglement tahun 1854 membagi penduduk
Hindia Belanda menjadi 3 golongan yaitu Europeanen, Inlanders dan Vreemde
Oosterlingen (Timur Jauh termasuk Arab, India, Tionghoa dll kecuali Jepang).
Menurut peraturan Hindia Belanda penghuni atau penduduk di wilayah
Nusantara, yang bukan orang asing, disebut kaula negara Belanda yang dapat
dibagi sebagai berikut :
a) Kaula negara Belanda orang Belanda;
b) Kaula negara Belanda bukan orang Belanda tetapi yang termasuk Bumiputera;
c) Kaula negara Belanda bukan orang Belanda tetapi juga bukan Bumiputra,
misalnya : orang-orang Timur Asing (China, India, Arab dan lain-lain).

Pemerintah Belanda tetap memberlakukan sistem pemisahan penduduk


berdasarkan kategori rasial saat Indische Staatsinrichting menggantikan Regerings
Reglement. Pasal 163 I.S. mengkategorisasi penduduk menjadi golongan
Nederlanders/Europeanen (termasuk Jepang),Inheemsen (pengganti istilah
Inlander), Uitheemsen (Vreemdeoosterlingen atau Timur Asing). Menurut Mr.
Schrieke pembagian ituberdasarkan perbedaan "nationalieit", bukan berdasarkan
`rascriterium'. Tetapi pada kenyataannya, kriteria `ras' tetap digunakan. Peraturan
mengenai penggolongan penduduk oleh pemerintah Hindia Belanda ini berdampak
pada pemberlakuan sistem hukum pada masa itu. Salah satu hal menunjukkan
dampak tersebut yaitu dengan penggolongan penduduk yang diatur dalam
ketentuan Pasal 131 jo pasal 163 Indische Straatsregeling.
Berdasarkan pasal 131 jo pasal 163 IS, maka Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (B.W) berlaku bagi:
1. Orang-orang Belanda;
2. Orang-orang Eropa lain;
3. Orang Jepang dan orang-orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok satu
atau dia yang tunduk pada hukum yang mempunyai asas-asas hukum keluarga
yang sama;
4. Orang-orang yang lahir di Indonesia, yang sah ataupun diakui secara sah dan
keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk kelompok 2 dan 3.

Pembagian kekawulaan Belanda berdasarkan penggolongan ras tidak


memuaskan banyak pihak. Karena dinilai tidak memupuk rasa bersatu sebagai
sesama putera satu negara. Hingga di tahun 1936 muncul petitie Roep, tokoh PEB,
bersama dengan Yo Heng Kam dan Prawoto yang menuntut sebuah Undang-
Undang Kewarganegaraan di Indonesia dengan menghapus pembagian penduduk
berdasarkan `ras'. Kelemahan petisi Roepini adalah penggunaan kategori
perbedaan strata sosial dan intelektual sebagai pengganti kategori rasial.”
Gagasan sistem 1 jenis kewarga-negaraan tanpa diskriminasi kembali.
muncul dalam Volksraad dengan diajukannya petisi Soetardjo. Isi petisi Soetardjo
antara lain menyatakan bahwa syarat untuk diakui sebagai warga-negara dapat
ditentukan a.l: lahir di Indonesia, asal keturunan, orientasi hidup kemudian hari. Jadi
semua orang Indonesia dan semua golongan Indo, yang dilahirkan di Indonesia dan
orang asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai tanah airnya, bersedia
memikul segala konsekuensi dari pengakuan ini, dinyatakan sebagai warga negara.
Pewadahan dalam hukum naskah asli UUD 1945, masalah kewarganegaraan
diatur di dalam Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Yang menjadi
warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan Undang-undang.”
Selanjutnya ayat (2) menyatakan: “syarat-syarat mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan Undang-Undang”. Ketentuan semacam ini memberikan
penegasan bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli secara otomatis
merupakan warga negara, sedangkan bagi orang bangsa lain untuk menjadi warga
negara Indonesia harus disahkan terlebih dahulu dengan undang-undang.
Dalam sejarah perjalanannya, Pasal 26 UUD 1945 telah menimbulkan dua
persoalan sosilogis di bidang hukum kewarganegaraan yaitu:
(a) pemahaman “orang-orang bangsa Indonesia asli”, yang dalam dataran hukum
sulit untuk dilacak atau dibuktikan, karena yang disebut “bangsa asli” sering hanya
dikaitkan dengan aspek fisiologis manusia seperti warna kulit dan bentuk wajah; dan
(b) konsep tersebut mengindikasikan adanya 2 (dua) kelompok warganegara, yaitu
warga negara kelompok pribumi dan non pribumi yang pada akhirnya berakibat pula
pada pembedaan perlakuaan pada warga negara (Samuel Nitisapoetra, 2002: 40).
Kedua persoalan tersebut dalam tingkat pelaksanaan lebih melanjut melalui
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya telah menimbulkan
penegakan hukum kewarganegaraan yang diskriminatif. Bagi golongan pertama
(pribumi) secara otomatis sudah menjadi warga negara Indonesia tanpa melalui
upaya hukum apapun. Sementara bagi golongan kedua (nonpribumi) untuk disebut
sebagai warga negara Indonesia harus melakukan upaya-upaya hukum yang
tertentu yang memakan waktu, biaya, dan tenaga yang relatif besar sebagai akibat
birokrasi yang berbelit-belit.
Oleh karena itu, Pasal 26 UUD 1945 tersebut harus diamandemen. Menurut
Samuel Nitisapotera amandemen itu merupakan salah satu langkah untuk
meluruskan makna dalam pikiran yang tertuang pada Pasal 26 UUD 1945 tentang
kata “orang Indonesia asli”. Pelurusan saat ini menjadi penting karena penafsiran
pasal ini telah bergeser ke arah diskriminasi rasial dengan menempatkan yang
disebut“orang-orang bangsa lain” sebagai bangsa asing yang layak ditempatkan di
kelas dua. Amandemen ini lebih diarahkan untuk menyempurnakan bahasa yang
dipakai dalam penulisan pemikiran tentang warga negara. Kalau dalam UUD 1945
memakai kata “orang Indonesia asli”,maka diusulkan dalam amandemen untuk
dipakai kalimat dengan perspektif hukum, yaitu Original Born Citizen, keaslian
berdasarkan tempat kelahiran (Samuel Nitisapoetra, 2000: 41).

3. Syarat Naturalisasi biasa


Ada dua jenis naturalisasi yang diterapkan, yaitu naturalisasi biasa dan
naturalisasi khusus. Syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan naturalisasi biasa
diantaranya:
1. Bertempat tinggal terakhir di Indonesia minimal 5 tahun
2. Seseorang pemain atau atlit bisa di naturalisasi secara biasa jika dia sudah
menetap di Indonesia minimal 5 tahun. Dan dalam kurun waktu lima tahun tersebut
dia tidak keluar dalam waktu yang lama ke Negara lain.
3. Pada usia 21 tahun seseorang berhak untuk menentukan status
kewarganegaraannya.
4. Sudah menikah dan mendapatkan persetujuan dari pasangannya
5. Seseorang yang sudah menikah jika ingin berpindah kewarganegaraan harus
terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pasangannya yang sah.
6. Sehat jasmani dan rohani .
7. Harus dalam keadaan sehat baik jasmaninya maupun rohaninya sebelum
masuk menjadi warga Negara Indonesia, hal tersebut ditunjukkan oleh surat
keterangan dari pihak dokter.
8. Mampu berbahasa Indonesia secara lancer
9. Berbahasa Indonesia menjadi syarat pendukung seseorang dalam
mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
10. Tidak mempunyai kewarganegaraan lain selain Indonesia
11. Jika ingin mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, seorang pemain atau atlit
harus terlebih dahulu melepas kewarganegaraannya yang lama. Karena tidak
memungkinkan seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda.
Sedangkan Naturalisasi khusus diberikan kepada pemain atau individu yang
telah menunjukkan jasanya kepada Indonesia. Mereka dapat mengajukan diri atau
atas permintaan pemerintah untuk menjadi WNI.

4. Dampak Baik dan Buruk Naturalisasi


Dampak Baik :
a. Khususnya dalam bidang olahraga, para pemain naturalisasi bisa berbagi
pengalaman yang mereka dapatkan dari club mereka di negara asing
b. Bisa menjadi acuan untuk warga negara dalam negeri contohnya dalam hal
kedisiplinan, semangat, dan kerja keras.
Namun bangsa kita ini terkesan prakmatis, maunya cepat-cepat
menyelesaikan masalah tanpa memandang dampak dari tindakan yang di lakukan
terhadap moral dan kelanjutan dari masalah tersebut. Sebut saja masalah
naturalisasi dalam persepakbolaan kita. Sepak bola adalah olahraga yang tentunya
sangat identik dengan feer-ply, seperti saat kita melakukan potong kompas, ibarat
mau makan buah-buahan tanpa mau susah-susah menanam.

Dampak Buruk :
a. Pertama masalah moral.
b. Pembibitan yang berhenti karena negara kita sepertinya hanya akan terkena
efeknya. Sementara potensi-potensi dari 200 juta jiwa penduduk kita dibiarkan
dibungkam tanpa ada tindakan nyata.
c. Rasa percaya diri yang dimana sangat jelas sekali bahwa negara kita belum
yakin sepenuhnya seperti negara Korea yang percaya kepada kekuatan sendiri.

Anda mungkin juga menyukai