Anda di halaman 1dari 3

HKUM4103

JAWABAN PERTANYAAN NO 1

Kerangka Cita Hukum (recht idee) Bangsa Sebagai Dasar Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu). Sebagai Penjaga Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar (UUD). Dalam prakteknya, bukan hanya undangundang, MK juga melakukan
pengujian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang sebenarnya
tidak secara eksplisit diatur dalam UUD. Perppu merupakan peraturan yang dibuat Presiden yang
bersifat sementara untuk menjawab masalah yang bersifat genting dan memaksa. Tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji tentang kewenangan MK menguji Perppu terkait dengan sistem
ketatanegaraan menurut UUD 1945 yang menjadi dasar kontitusi negara Indonesia, dikaitkan
dengan kerangka cita hukum (recht ide) bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila.
Krisbayudi dituduh melakukan pembunuhan berencana pada 2011. Polisi lalu menciduk Kris di
parkiran pabrik di Jakarta Utara dan dijebloskan ke sel Polda Metro Jaya. Ia disiksa dan disuruh
mengaku ikut membunuh. Tidak tahan disiksa, Kris mengaku sesuai arahan polisi.
Di pengadilan semua terbukti sebaliknya. Ternyata tuduhan polisi hanyalah bualan semata. Sebab
pembunuh sebenarnya dilakukan seorang diri oleh orang lain makan dari pada itu krisbayudi bisa
mengajukan praperadilan ke pengadilan tinggi negeri untuk Ganti rugi berdasarkan aturan yang
sudah berlaku sejak 32 tahun yaitu pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27 tahun 1983 yang berbunyi:
Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95
KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000 dan setinggi-tingginya Rp
1.000.000.

Jawaban pertanyaan no 2
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum (rechts staat) artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
kekuasaan belaka (machtstaat). Menurut International Commition of Jurice ada tiga ciri penting
suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum, yaitu: Supremasi hukum, Persamaan di depan
hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah sebagai hak yang mendasar dan
fundamental sehingga harus dilindungi dan terbebas dari segala bentuk ancaman maupun
penyiksaan. HAM yang dijunjung tinggi oleh setiap negara termasuk Indonesia, harus memiliki
landasan yang kuat baik dalam ideologi maupun konstitusi. Hal ini karena permasalahan tentang hak
asasi manusia sangat rentan terjadi, seperti kasus salah tangkap yang disertai dengan penyiksaan
dan paksaan yang jelas melanggar HAM mengenai hak manusia untuk mendapat perlakuan yang
sama di depan hukum dan bebas dari ancaman maupun penyiksaan. Ancaman dan penyiksaan
sendiri sering dijumpai dalam beberapa kasus salah tangkap di Indonesia, di mana pelakunya adalah
aparatur negara yang dalam hal ini adalah anggota kepolisian. Dalam hal terjadinya suatu tindak
pidana, kepolisian merupakan lembaga pertama yang langsung berhadapan dengan masyarakat,
baik sebagai korban kejahatan, saksi, maupun tersangka. Hal tersebut yang menimbulkan pemikiran
dari penulis untuk menyarankan agar Negara Indonesia lebih responsif dalam memberikan bantuan
kepada korban salah tangkap, karena anggota kepolisian sendiri merupakan salah satu organ negara
dan sudah seharusnya Negara yang berinisiatif membayar ganti rugi atau rehabilitasi tanpa harus
menunggu korban mengajukan gugatan. Hal ini di dukung oleh kultur budaya di Indonesia,
khususnya masyarakat ekonomi ke bawah sangat takut untuk berurusan dengan hukum, sebagian
dari mereka enggan untuk menuntut balik dan meminta ganti rugi. Bagi mereka terbebas dari
penjara saja sudah sangat bersyukur dan cenderung trauma untuk kembali berurusan dengan hukum
dan para aparaturnya, karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-
larut yang mengakibatkan pada timbulnya penderitaan dan rasa malu yang berkepanjangan.
Tanggung jawab negara terhadap korban salah tangkap di wujudkan dalam bentuk pemberian ganti
rugi dan rehabilitasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih menimbulkan ketidakadilan bagi
korban. Hal ini disebabkan karena dalam pengaturan pasal 95 dan 97 KUHAP menyatakan bahwa
korban “berhak” menuntut ganti rugi maupun rehabilitasi karena salah tangkap atau salah dakwaan,
di mana jika kita memaknai kata “berhak” maka pengertiannya menjadi jika tidak menuntut ganti
rugi maka diperbolehkan. Padahal jelas-jelas bahwa korban salah tangkap telah mengalami
pelanggaran HAM dengan dirampas kemerdekaannya secara sewenang-wenang oleh oknum
kepolisian yang notabene sebagai aparat negara yang mempunyai tugas sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat.

Jawaban pertanyaan no 3

Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu
sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verfassungswessen, “konstitusi
sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”,
melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara”13 Pendapat Lassalle ini
memandang konstitusi dari sudut kekuasaan. Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang
tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat
dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara.
Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubunganhubungan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Struktur kekuasaan menurut UUD 1945 menempatkan
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di
bawah MPR adalah kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, yaitu presiden, DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung) dan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan). UUD 1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan pusat dan daerah. Di
samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga tertinggi negara dengan
kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi
negara, dan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Hakekat hukum dalam konteks
kekuasaan menurut Karl Olivecrona tak lain daripada “kekuatan yang terorgansasi”, dimana hukum
adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”, kekerasan fisik atau pemaksaan yang
dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari kekerasan yang dilakukan pencuri-pencuri dan
pembunuh-pembunuh Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik
dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan,
akan tetapi ini tidak berarti bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah
kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right,” pencuri berkuasa
atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu. Esensi
kekuasaan yang sama dengan hukum tersebut menurut Lassalle adalah kekuasaan fisik, khususnya
kekuasaan tentara dan polisi. Namun menurut Van Apeldorn, kekuasaan fisik (materiil) itu bukanlah
anasir yang hakiki dari hukum, apalagi anasir yang esensial daripadanya. Kekuasaan fisik itu biasanya
hanya menjadi unsur tambahan: sesuatu accesoir, bukan bagian dari hukum. Sebaliknya kekuasaan
susila adalah anasir yang esensial dari hukum, yakni kekuasaan yang diperoleh kaidahkaidah hukum
dari nilai yang diberikan oleh masyarakat padanya, dan berdasarkan hal mana biasanya kaidah-
kaidah itu dapat mengharapkan pentaatan dengan sukarela oleh anggota-anggota
masyarakat.Kekuasaan fisik adalah kekuasaan yang mengandalkan diri pada kekerasan atau paksaan
untuk memaksa ketaatan masyarakat kepada aturan hukum yang berlaku dan bila melanggar akan
dikenakan sanksi hukum. Kepatuhan masyarakat kepada hukum sangat ditentukan oleh kualitas
aparatur pemaksa (polisi dan jaksa) dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan kesusilaan adalah
kekuasaan batin yang bersumber kepada kesadaran diri manusia mengenai kebaikan, kepatutan dan
rasa keadilan. Kepatuhan masyarakat kepada aturan hukum bukan karena ada paksaan dari aparat
penegak hukum, tapi berdasarkan kesadaran diri anggota masyarakat yang dengan sukarela
mematuhi aturan-aturan hukum. Kekuasaan dalam lingkup kebijakan publik, khususnya kebijakan
hukum (legal policy) menetapkan batasan-batasan tindakan bagi seseorang atau sekelompok orang
berkaitan dengan yang dilarang maupun yang dianjurkan, yang disertai dengan sanksi hukum
tertentu. Hal ini bertujuan untuk menjamin terselenggaranya ketertiban dan ketentraman bagi
hubungan sosial kemasyarakatan

Anda mungkin juga menyukai