Anda di halaman 1dari 28

POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NO.

14 TAHUN 2002
TENTANG PENGADILAN PAJAK

ABSTRAK
Secara politik dilihat dari jangka waktu proses pengesahan Rancangan Undang Undang
Pengadilan Pajak menjadi Undang Undang Pengadilan Pajak, ternyata tidak menjamin
Undang Undang pengadilan pajak bebas dari kekurangan, kelemahan dan
ketidaksempurnaan. Bahkan ada pasal-Pasal yang semula dalam Undang Undang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak sudah jelas menjadi tidak jelas. Status putusn Pengadilan
Pajak, merupakan keputusan Tata Usaha Negara atau putusan lembaga peradilan yang
lain dan bagaimana jika banding tidak diputus dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Tulisan ini mencoba mengkritisi beberapa perubahan mendasar dalam Undang Undang
Pengadilan Pajak. Keberadaan lembaga Pengadilan Pajak, secara yuridis formal tidak
mempunyai landasan hukum yang tegas, sehingga sering menimbulkan masalah,
terutama yang berkaitan dengan produk-produk keputusannya, meskipun secara informal
antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah sepakat bahwa lembaga
pengadilan pajak masuk dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Pembinaan pengadilan
pajak dalam Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tidak sinkron dengan pembinaan yang
dilakukan atau diatur dalam Undang Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman dengan perubahannya Undang Undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur bahwa pembinaan semua
lembaga peradilan dibawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.

Kata Kunci : Politik Hukum, Pengadilan Pajak

ABSTRACT
In the political views of the approval process for a period of the Draft Act into Law Tax
Court Tax Court , the Law did not ensure that the tax court is free of shortcomings ,
weaknesses and imperfections . There is even a section - Article originally in Law Tax
Dispute Settlement Board had clearly become unclear. Status putusn Tax Court , a state
administrative decision or judicial ruling others and how if appeal is not decided within a
predetermined time period . This paper attempts to criticize some fundamental changes in
the Tax Court of Law . The existence of institutions Tax Court , has no formal judicial
law firm foundation , so often cause problems , especially with regard to the products his
decision , although informally between the government and the House of Representatives
have agreed that the entry tax courts in the State Administrative . Tax court coaching in
Law No. . 14 of 2002 is not in sync with the coaching conducted or regulated in Law
No. . 14 Year 1970 on Basic Provisions on Judicial power with Law No. amendments . 4
of 2004 on Judicial Power , which provides that the judiciary coaching all under one
roof , namely the Supreme Court .

Keywords : Political, Legal , Tax Court


A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini
termuat dalam konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan
lebih lanjut dijelaskan dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (Machtstaat). Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai
yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (Achmad Ali, 2002: 2). Itu berarti, muatan hukum yang
berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan
berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan
dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.

Menurut Galang Asmara yang mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja,


pengertian negara hukum adalah negara yang yang berdasarkan hukum, dimana
kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.(Galang
Asmara, 2006: 1)

Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu


kekuasaan dimana setiap orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada
hukum. Selain itu segala kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara harus didasarkan pada ketentuan hukum. Apabila ada perilaku atau
kegiatan yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum, harus dipandang sebagai
pelanggaran terhadap konsep hukum itu sendiri.

Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting


karena dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/
pemerintahan maupun rakyat yang melanggar ketentuan hukum.(Galang Asmara,
2006: 3). Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan
merupakan salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada
proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum.( Sjachran
Basah, 1989: 2^).
Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam
pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia
didirikan adalah “…..memajukan kesejahteraan umum…”. Ksejahteraan rakyat dapat
terwujud jika perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber
keuangan negara yang sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Di
sebagian besar negara Eropa sendiri pajak merupakan sumber utama keuangan
Negara. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar kecilnya pajak yang
dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun di Negara-
negara Eropa sangat besar tarif pajak yang dibebankan kepada rakyatnya namun
pajak tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-
fasilitas umum yang pembangunannya menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.

Dalam perkembangannya, dana yang dibutuhkan dalam pembiayaan


pembangunan makin meningkat, dan oleh karena itu pajak sebagai sumber utama
penerimaan Negara perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat
dilaksanakan dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip mandiri.

Peningkatan kesadaran masyarakat di bidang perpajakan harus ditunjang


dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat untuk memenuhi
kewajiban kenegaraannya di bidnag perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.

Sesuai dengan fungsi dan karakteristik pajak sebagai sumber utama


penerimaan Negara dan kewajiban kenegaraan bagi warga masyarakat pembayar
pajak dan meningkatkan jumlah pembayaran pembayar pajak, serta pemahaman akan
hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan
perpajakan, membawa dampak makin meningkatnya potensi sengketa pajak.
Sedangkan Pajak menurut R. Santoso Brotodihardjo dalam Achmad Tjahjono,
(1997: 3) Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public serving
yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan S.I Djajadiningrat dalam Achmad Tjahjono (1997: 3)
mendefinisikan Pajak tentang Pajak.

Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas


Negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan
kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang
ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbale balik
dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.

Sejalan dengan perkembangan perekonomian sebagai hasil pembangunan


nasional dan untuk lebih memberikan pelayanan kepada warga masyarakat sebagai
pembayar pajak, maka diperlukan lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih
komprehensif yang dibentuk dengan Undang-Undang Perpajakan dan dapat
memberikan putusan hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat
dan murah.
Putusan lembaga peradilan pajak dimaksud dapat menjadi pedoman dan
acuan dalam melaksanakan Undang-Undang Perpajakan, sehingga Undang-
Undang Perpajakan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua
pihak.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1984, memuat ketentuan-ketentuan pokok mengenai Badan Peradilan
Pajak, mengamanatkan penyusunan undang-undang yang memuat susunan,
kekuasaan dan acara Badan Peradilan Pajak.
Dengan berpedang teguh pada ketentuan-ketentuan pokok yang telah
digariskan dalam Undang-Undang dimaksud di atas, untuk memperoleh kepastian
hukum dan keadilan serta untuk mewujudkan peradilan pajak dengan proses yang
sederhana, cepat dan murah, maka kemudian dibentuk UU No. 17 Tahun 1997
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak adalah badan peradilan pajak yang mempunyai tugas memeriksa
dan memutus sengketa pajak.
Setelah Undang-Undang tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
berjalan beberapa tahun dan setelah diterapkan dalam masyarakat ternyata dalam
pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak, melalui BPSP masih terdapat
ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Kelemahan dan
kekurangan dari Undang Undang No. 17 Tahun 1997 akan diulas dalam uraian
pembahasan makalah ini.
Agar lembaga peradilan pajak dapat memberikan kepastian hukum dan
keadilan seperti yang diharapkan, maka pemerintah kemudian berusaha untuk
mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang PEngadilan Pajak yang
baru kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah melalui proses yang
panjang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat setuju untuk mengesahkan
Rancangan Undang Undang Pengadilan Pajak menjadi Undang-Undang
Pengadilan Pajak. Pembahasan Rancangan Undang Undang Pengadilan Pajak,
proses pembahasaannya memerlukan waktu yang cukup panjang, sampai tiga
tahap jabatan Menteri Keuangan dalam Departemen Keuangan Republik
Indonesia. Pengesahan Rancangan Undang Undang Pengadilan Pajak, disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui persidangan pleno, menjadi Undang-
Undang Pengadilan Pajak, diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 12 April
2002.
Diberlakukannya Undang-Undang Pengadilan Pajak, yaitu Undang
Undang No. 14 Tahun 2002 adalah sebagai upaya untuk menyempurnakan
Undang-Undang Badan Penyelesaian Sengketa pajak (BPSP), yang dinilai masih
banyak kekurangannya, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian bagi para
wajib pajak.
Dalam penjelasan umum Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, dapat ditemukan beberapa penyempurnaan yang dijanjikan
dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak yang baru, yaitu antara lain:
1. Penyelesaian sengketa pajak dilakukan dengan jenjang pemeriksaan ulang
vertical yang lebih ringkas.
2. penyelesaian sengketa pajak dilakukan dengan lebih adil melalui prosedur dan
proses yang cepat, mudah dan sederhana.
B. Permasalahan
Pokok Permasalahan yang menjadi pokok kajian dalam makalah ini adalah :
Bagaimanakan Politik Hukum Lahirnya Undang Undang No. 14 Tahun 2002
dikaji dari sisi politik hukum?

C. Pembahasan
1. Politik Hukum Pengadilan pajak
Politik Hukum Undang-undang ini adalah dalam upaya untuk
mewujudkan suatu Pengadilan Pajak yang mampu menciptakan keadilan dan
kepastian hukum, yang tidak menyimpang atau menentang dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, pemerintah
telah mengeluarkan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak. Yaitu Undang
Undang No. 14 Tahun 2002 dan disahkan dan dinyatakan berlaku sejak 14
April 2002.
Seperti kita ketahui, bahwa sebelum lahirnya Undang Undang No.
13 Tahun 2002, yang bertindak sebagai lembaga Pengadilan Pajak adalah apa
yang dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, yang lebih dikenal
dengan istilah BPSP, yang lahir melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1997.
setelah sekian tahun Badan Penyelesdaian Sengketa Pajak melaksanakan
fungsinya sebagai Lembaga Pengadilan Sengketa Pajak, rupanya dapat
dievaluasi atas kekurangan-kekurangannya, sehingga dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum maupun pertentangan dalam arti fungsi yurisdiksinya.
Untuk itu, maka pemerintah menganggap perlu segera dibentuk undang-
undang baru yang tentang Pengadilan Pajak. Dengan terbentuknya Lembaga
Pengadilan Pajak yang baru ini diharapkan dapat mengurangi atau
menghindari terjadinya konflik yuridis dengan peraturan perundang-undangan
yang lain, dan dapat mewujudkan pengadilan pajak yang adil dan memiliki
kepastian hukum yang kuat dan benar.
Selanjutnya menurut Galang Asmara, kebutuhan adanya suatu lembaga
Peradilan Pajak didasarkan pada dua hal sebagai berikut: (Galang Asmara,
2006, 6-8).

1. Lembaga Peradilan Pajak dan Konsep Negara Hukum

Keberadaan lembaga peradilan pajak bila dikaitkan dengan konsep Negara


Hukum adalah untuk menegakkan konsep Negara Hukum itu sendiri yang
menghendaki adanya penegakkan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum
yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait
dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka
pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk negara.

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu


kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada
tingkat kualitas yang dianggap baik atau paling baik.[19] Pembangunan yang
dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang
jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek
fisik (pertumbuhan) dan non- fisik.

2. Perlindungan Pajak dan Perlindungan Hukum Bagi Rakyat

Lembaga Peradilan Pajak sebagai salah satu lembaga perlindungan hukum


terutama berfungsi di dalam memberikan perlindungan terhadap Wajib Pajak
dan penanggung pajak dari tindakan pemerintah di dalam memungut pajak
terhadap rakyat.

Lembaga peradilan pajak disini berperan di dalam menyelesaikan sengketa


pajak, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak dan penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang.

Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan


oleh perubahan, bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan
apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan.
Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.( Mochtar
Kusumaatmadja, 1986: 1)

Munculnya Pengadilan Pajak tidak terlepas suatu proses legal reform


(pembaharuan hukum) dalam hukum perpajakan yang sebelum dirasakan
tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sebagai wajib pajak. Legal
reform (pembaharuan hukum)sebenarnya mengandung makna yang luas
mencakup sistem hukum.

Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure),


substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).
( Lawrence M. Friedman, 1930: 3-6) Sehingga, ketika bicara pembaharuan
hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem
hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan
budaya hukum. Karena luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam tulisan
ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen sistem hukum yakni
substansi/materi hukum. Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah
“pembaharuan hukum” tetap dipertahankan yang sebenarnya mengandung
makna lebih khusus atau sepadan dengan istilah “pembentukan hukum”.

Banyak teori yang mencoba menemukan skema atau ide dasar pembentukan
atau pembaharuan hukum. Masing-masing teori berupaya mengemukakan
argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan sisi keunggulan masing-
masing. Biasanya teori yang disusun tersebut dipengaruhi oleh teori-teori
lama atau bisa juga sebagai bentuk kritik (penyempurnaan) dan dukungan
terhadap teori-teori sebelumnya. Aspek waktu, kondisi psikologis
masyarakat/negara maupun tempat memiliki peran yang signifikan bagi
perumusan bentuk/materi dari teori tersebut. Sehingga sering terjadi bahwa
teori-teori itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing manakala
teori itu dihadapkan pada kondisi atau situasi masyarakat yang berbeda.
Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui
terlebih dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak.
Maka dikaitkan dengan landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak,
khususnya pada Konsideran bagian Mengingat angka 2, yang menegaskan
sebagai berikut:

“Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879).”

Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada UU


Kekuasaan Kehakiman, yang saat ini melalui Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009. Dimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan
Kehakiman 2009, sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan


anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak
pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan
yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang
berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.”

Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa


Pengadilan Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Sehingga Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai
berikut: (Muhammad Djafar Saidi, 2007: 6-7)

1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif
badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif
Pengadilan Pajak mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.

2. Kompetensi Absolut

Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa


dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan
oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk memperoleh keadilan,
kemanfaatan, atau kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum.
Kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh
dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk pengadilan dalam
lingkungan peradilan tata usaha negara.

Eksistensi Pengadilan Pajak yang mejalankan kekuasaan kehakiman


berdasarkan lex specialist dengan predikat sebagai pengadilan banding.
Seperti diketahui, bahwa pengadilan banding merupakan tahapan peradilan
setelah adanya putusan pengadilan di bawahnya yang bersifat final.

Sebenarnya peradilan yang berkaitan dengan pajak sudah eksis jauh sebelum
dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebut sebagai Majelis
Pertimbangan Pajak yang dibentuk pemerintah sebagai badan peradilan dan
menjalankan fungsi sebagai peradilan administrasi khusus menangani
masalah perselisihan pajak. Dalam prakteknya perkara sengketa yang
penyelesaiannya dilakukan di Majelis Pertimbangan Pajak adalah perkara
perselisihan yang timbul sebagai akibat perbuatan hukum berupa penetapan
atau keputusan dari pejabat pajak yang tidak disetujui oleh pembayar pajak.
Pertimbangan pembentukan undang-undang untuk memasukkan pengadilan
pajak sebagai badan penyelesaian sengketa perpajakan dalam lingkup
Peradilan Tata Usaha Negara. Dipandang dari perjalanan dan perkembangan
Majelis Pertimbangan Pajak institusi ini sudah dapat memberikan saluran
bagi ketidakpuasan dan ketidak setujuan wajib pajak melalui sengketa pajak.
Eksistensi Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding
sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal setiap badan
pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi
para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman.
Keberadaan Pengadilan Pajak dalam hukum Pajak dikenal adanya penafsiran
historis yaitu penafsiran yang didasarkan atas sejarah dibuatnya suatu
undang-undang. Seperti diketahui bahwa sebelum undang-undang tentang
Pengadilan Pajak lahir, Majelis Pengadilan Pajak mendasarkan penyelesaian
sengketa pajak atas undang-undang yang khusus dibentuk untuk itu.
Demikian juga halnya dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,
keberadaannya didasarkan kepada suatu undang-undang sehingga kedua-
duanya sah dan dapat menjalankan fungsi yudikatif meskipun belum
menjalankan kekuasaan kehakiman. (Ali Purwito & Rukiah Komariah, 2007:
107-108).

Penyelesaian melalui sengketa pajak dapat dilakukan dengan adil melalui


prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Oleh karena itu proses
pencapaian kepastian hukum dan keadilan akan dijamin dan dipertanggung
jawabkan berdasarkan Undang-Undang. Putusan Pengadilan Pajak
merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dengan meningkatnya jumlah wajib pajak dan pemahaman akan hak dan
kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan
perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak yang
memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat,
murah dan sederhana. Karenanya diperlukan suatu pengadilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak.

Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari
2 (dua) sudut tolak ukur sebagai berikut:
1. Tolak Ukur Subyek

Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi :

“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan


antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang
sebagai akibat dikeluarkan keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”

Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang


bersengketa dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan
pemerintah (pemungut pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa
manakala sengketa itu terjadi antara rakyat dengan pemerintah, maka hal
tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata Usaha Negara.
(Sjachran Basah , 1989: 37)

2. Tolak Ukur Obyek

Yang menjadi obyek dalam sengketa pajak berdasarkan ketentuan Pasal 1


butir 5 UU Pengadilan Pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan
menurut Pasal 1 butir 4 UU Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis
di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka
pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diamandemen pertama dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004
dam amandemen kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009,
berbunyi sebagai berikut :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikelurkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak


merupakanSengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi
bagian dari Sistem Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang


Pengadilan Pajak, maka proses penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan
melalui Pengadilan Pajak.( Wiratni Ahmadi, 2006: 43)

Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14


Tahun 2004, merupakan badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
dalam hal terjadi sengketa pajak dengan fiscus.( Dewi Kania Sugiharti, 2005:
72).

Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus


sengketa pajak, yakni berupa Banding atas keputusan keberatan dan Gugatan
atas pelaksanaan penagihan pajak atas keputusan pembetulan.( Dewi Kania
Sugiharti, 2005: 72).

Konsep dasar pembentukan Pengadilan Pajak yang pada awalnya bernama


Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) kemudian diubah menjadi Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) adalah dalam rangka memberikan
kepastian hukum kepada para pihak yang bersengketa dibidang perpajakan,
karena dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih
terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan
(Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, 2007: 78-79).
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah berbagai aturan yang termuat
dalam UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan semangat konstitusi dan
ketundukkan pada integrated justice system. UU Pengadilan Pajak
menjadikan institusi Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan
tersendiri di luar MA. Hal ini dapat ditelisik dari beberapa ketentuan berikut.

Pertama, Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir


dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33
dan diperkuat oleh Pasal 77 yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan
Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80
ayat 2 menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir
pemeriksaan atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak.
Terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi.
Dengan kewenangan sebagai pemutus kata akhir dalam sengketa pajak, maka
praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.

Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK).


Dimana MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang
putusannya bersifat final dan mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut
diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan
kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak tidak.

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa UU memposisikan pengadilan ini


sebagai badan peradilan yang berdiri sendiri. MA sebagai lembaga peradilan
tertinggi dinegeri ini tidak dilibatkan. MA hanya dilibatkan di mekanisme
Peninjauan Kembali (PK) yang merupakan upaya hukum luar biasa, bukan
upaya hukum biasa dan itupun dengan syarat yang sangat limitatif. Sehingga
dengan kata lain, sebenarnya UU ini ingin mengesampingkan peran MA
dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kedua, hal yang mencerminkan pengadilan ini sebagai institusi yang berdiri
sendiri adalah adanya hukum acara yang khusus. Hukum acaranya sebagian
besar tidak mengacu pada sistem hukum acara yang ada (KUHAP atau
KUHAPerdata). Hal ini berbeda dengan pengadilan khusus lainnya dimana
hukum acaranya masih mengacu pada sistem hukum acara yang ada kecuali
hanya beberapa ketentuan khusus saja.

Mengutip penelitian Komisi Hukum Nasional tahun 2007 bahwa diantara


beberapa pengadilan khusus yang ada, yakni pengadilan anak, hak asasi
manuasia, perikanan, hubungan industrial, tindak pidana korupsi dan
pengadilan niaga, hanya pengadilan pajak yang menggunakan hukum acara
sendiri.

Ketiga, rekrutmen hakim pengadilan pajak sangat berbeda dari pengadilan


lain. Menteri Keuangan mempunyai peran yang sangat besar. Mayoritas
hakim juga berasal dari mantan pejabat Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Sehingga
rawan menimbulkan konflik kepentingan dan merusak independensi hakim.

Keempat,Pengadilan Pajak tidak memadai untuk memutus perkara karena


tempat dan ruangan sidang yang kurang baik. Selain itu, tiap majelis masing-
masing memeriksa 25 berkas yang membuat perkara menjadi tidak fokus
hingga putusan pun menjadi terlambat. Belum lagi, Pengadilan Pajak
kekurangan tenaga kerja dibidang disiplin ilmu lainnya seperti akuntansi,
hukum dagang, perdata, HAKI, tata usaha negara dan lainnya.

Kelima, proses penanganan perkara sengketa pajak di Indonesia berjalan


lamban karena setiap perkara harus diselesaikan di pusat. Hal itu, katanya,
memperlambat kerja pengadilan pajak.

Beberapa ketentuan diatas mengindikasikan bahwa pengadilan pajak seperti


pengadilan yang berdiri sendiri dan berada diluar sistem peradilan terpadu.
Hal itu bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana amanat Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2. Keputusan Pengadilan Pajak


Apabila dipahami secara seksama, ternyata Undang-Undang
Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2002), maupun Undang-Undang tentang
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (UU No. 17 Tahun 1997), menyatakan
bahwa putusan Pengadilan Pajak maupu putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak, merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
tetap. Terapi ada sedikit ketidakpastian yang menyangkut status putusan
pengadilan pajak, sebab Pasal 77 Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tentang
pengadilan pajak, hanya menyebutkan bahwa putusan Pengadilan Pajak
merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan tidak
menyatakan secara tegas apakah putusan tersebut merupakan keputusan Tata
Usaha Negara. Sebaliknya dalam Undang Undang No. 17 Tahun 1997 Pasal
76, secara tegas dinyatakan bahwa putusan BPSP bukan merupakan keputusan
Tata Usaha Negara, sehingga terhadap putusan dimaksud tidak dapat diajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Meskipun Undang Undang No.
14 Tahun 2002 tidak menyebutkan secara tegas tentang putusan pengadilan
pajak, tetapi tempo interaktif, 13 Maret 2002 mengungkapkan bahwa antara
pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyepakati beberapa
substantive pokok pengadilan pajak ini. Di antaranya, pengadilan khusus ini
berada di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara. Administrasi, organisasi
dan keuangan berada di Departemen Keuangan dan pembinaan teknis
peradilan berada di Mahkamah Agung.
` Apabila hal tersebut benar, bahwa pengadilan pajak masuk dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, tentunya kasus ini akan
bertentangan dengan :
a. Penjelasan Pasal 80 ayat (2) Undang Undang Pengadilan pajak, yang
menyatakan sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
maka konsekuensinya, putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan
gugatan ke pengadilan umum, Pengadilan Tata Usaha Negara atau badan
peradilan lain, kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang
menyangkut kesewenangan/kompetensi.
b. Pasal 27 ayat (2) UU KUP : Putusan Badan Peradilan Pajak bukan putusan
Tata Usaha Negara.

3. Keberadaan Pengadilan Pajak dalam Lingkup Lembaga Peradilan.


Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman perubahan atas UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman secara tegas dinyatakan bahwa,
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
(a) Peradilan umum,
(b) Peradilan Militer,
(c) Peradilan Agama,
(d) Peradilan Tata Usaha negara.
Di dalam penjelasannya Pasal 10 ayat (1) Undang Undang No. 14 Tahun
1970 antara lain disebutkan bahwa perbedaan dalam empat lingkungan
peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya kekhususan berupa
Pengadilan Lalu Lintas yang ditetapkan dengan undang-undang. Jadi apabila
akan diadakan pengadilan baru, sifatnya hanya pengkhususan dan harus
merupakan bagian dari jenis empat merupakan peradilan yang sudah tidak
ada. Pengadilan Pajak yang tidak merupakan bagian dari salah satu dari empat
badan peradilan yang ada, jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Undang
Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman Perubahan atas
Undang-undang No. 14 Tahun 1970.
Undang Undang Dasar 1945 dalam amandemen III, Pasal 24 ayat
(2) juga menyatakan bahwa hanya ada empat badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung yang menyelenggarakan kekuasaan Kehakiman, yaitu :
a. Peradilan Umum,
b. Peradilan Agama,
c. Peradilan Militer dan
d. Peradilan Tata usaha Negara, serta
e. Mahkamah Konstitusi.
Dengan tidak adanya ketegasan bahwa Pengadilan Pajak masuk
dalam salah satu badan peradilan yang disebutkan oleh Undang Undang No.
14 Tahun 1970, dapat diartikan bahwa pengadilan pajak merupakan badan
peradilan baru, diluar keempat badan peradilan yang telah dikenal selama ini.
Keadaan demikian inilah yang menyebabkan lahirnya kontroversi tentang
eksistensi/keberadaan pengadilan pajak. Undang-undang pengadilan pajak
dianggap sebagai produk hukum yang melanggar hukum/inkonstitusional.
Sungguh sulit untuk dapat dimengerti, apa yang menjadi dasar
pemikiran para pembentuk undang-undang, sehingga Undang Undang No. 14
Tahun 2002 menutup kemungkinan dilakukannya banding atau kasasi
terhadap putusan pengadilan pajak. Hal demikian jelas merupakan
penyimpangan hukum yang serius dari system hukum acara, baik pidana
maupun perdata.

4. Peluang Pengajuan Peninjauan Kembali


Putusan pengadilan Pajak dinyatakan dengan tegas, bahwa
keputusan ditetapkan oleh Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan seperti itu, berarti sudah tidak ada
lagi upaya hukum bagi wajib pajak yang menolak atas putusan Pengadilan
pajak, tetapi kenyatannya tidak demikian, misalnya melalui Pasal 77 ayat (3),
disana terbuka pintu, kemungkinan bagi wajib pajak atau pihak-pihak yang
bersengketa untuk mengajukan penijauan kembali atas putusan pengadilan
pajak kepada Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali hanya
dapat satu kali kepada Mahkamah Agung, melalui Pengadilan Pajak.
Berdasarkan Pasal 91 Undang Undang Pengadilan Pajak,
permohonan penijauan kembalinya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan
yang telah ditentukan. Pintu menuju proses peninjauan kembali tersebut,
memang dalam Undang-Undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak
ada, karena putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak benar-benar
merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari sisi lain, pemakaian istilah “peninjauan kembali” dalam
Undang Undang No. 14 Tahun 2002, hendaknya direnungkan secara dalam.
Sebab dalam teori hukum, istilah peninjauan kembali diartikan seabgai suatu
upaya hukum terakhir kepada Mahkamah Agung untuk meninjau kembali
suatu keputusan hukum lembaga peradilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang bersifat tetap (inkracht). Yang disebabkan oleh karena adanya
data atau bukti yang baru yang belum pernah diajukan dalam proses
persidangan sebelumnya. Istilah peninjauan kembali tersbut karena secara
hukum dan terminology sudah mengandung makna seperti dikemukakan
untuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Pajak.
Penggunaan istilah hukum yang tidak benar sebagaimana
dimaksudkan oleh Michael Bigent, akan dapat menciptakan suatu kondisi
yang disebut : lawepisterminologism crisism, yaitu suatu keadaan masyarakat
tidak lagi percaya kepada hukum, karena pembuat dan para penegak hukum
tidak lagi mempunyai kualitas pengetahuan hukum dan moralitas yang baik.
(Prajudi Atmosudirdjo, 1981: 47)

5.Pembinaan Pengadilan Pajak


Selain apa yang telah diuraikan di atas, masih ada lagi pasal-Pasal
yang memuat ketentuan-ketentuan yang dapat menimbulkan kontroversi
dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Mmisalnya Pasal 5 yang
menentukan tentang pembinaan bagi pengadilan pajak, Pasal 5 ayat (1)
Undang Undang No. 14 Tahun 2002, menyebutkan bahwa : pembinaan teknis
peradilan bagi pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sedangkan Pasal 5 ayat (2) tersebut, menunjukkan sikap setengah hati bagi
pembentuk Undang-Undang Pengadilan Pajak, untuk menjadikan Pengadilan
Pajak sungguh-sungguh menjadi badan peradilan yang dilaksanakan
kekuasaan kehakiman. Pembentuk undang-undang telah mengabaikan prinsip
peradilan dalam satu atap, sebagaimana ditegaskan oleh Undang Undang No.
35 Tahun 1999, tentang perubahan Undang Undang No. 14 Tahun 1970.
Pasal 11 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 menyatakan bahwa
keempat badan peradilan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1), secara
organisatoris. Administrative, dan financial, berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
Dari kenyataan-kenyataan yang telah diuraikan di atas, secara
tegas dapat disimpulkan bahwa Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, adalah produk hukum yang mengandung cacat hukum.
Selain itu juga bertentangan dengan Undang Undang No. 14 Tahun 1970 dan
Undang Undang No. 35 Tahun 1999.
Sungguh sangat disesalkan bahwa lembaga legislative, telah begitu
musah meloloskan produk hukum yang masih banyak mengandung cacat baik
cacat secara substantive maupun cacat secara prosedur dan prosesnya.
Seharusnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang notabene terdiri dari para
tokoh di bidang hukum, mengusulkan penundaan atas persetujuan dan
pengesahannya menjadi undang-undang yang ligitimid, dan tidak
emnimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Dengan adanya penundaan atas
RUU tentang pengadilan pajak tersebut, maka akan ada waktu yang cukup
untuk melakukan revisi substantive rancangan undang-undang dimaksud,
sehingga tidak akan menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan.
Formulasi awal dalam pembentukan suatu undang-undang, sangat
menentukan bagi tahap aplikasinya. Kesalahan dan kelemahan dalam
formulasi undang-undang akan menjadikan pelaksanaan undang-undang
tersebut tidak dapat berjalan sebagiamana mestinya.
Karena Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan telah disahkan oleh
Presiden, maka secara yuridis formal adalah sah keberadaannya dan harus
dilaksanakan. Akan tetapi mengingat secara substantive masih ada cacat
hukumnya, maka perlu dilakukan langkah suatu langkah recovery, dalam arti
memperbaiki produk hukum tersebut. Salah satu langkah yang dapat
dilakukan adalah melalui Judicial Review oleh Mahkamah Agung atau
melakukan revisi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama
dengan Eksekutif.

6.Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Proses Banding.


Undang-undang Pengadilan Pajak menjanjikan penyelesaian
sengketa pajak yang lebih adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah
dan sederhana. Untuk keperluan tersebut, dalam Undang Undang pengadilan
Pajak diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik di tingkat pengadilan
Pajak, maupun di tingkat Mahkamah Agung. Ketentuan mengenai batasan
waktu penyelesaian banding, Pasal 81 Undang Undang Pengadilan Pajak
menyubutkan sebagai berikut:
c. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa dan banding diambil dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding di terima.
d. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu di atas diperpanjang paling lama 3
(tiga) bulan.
Dengan ketentuan tersebut diatas, permasalahan akan timbul
apabila sampai batas waktu yang telah ditetapkan, pengadilan Pajak belum
juga membuat putusan banding. Bagian delapan Undang Undang pengadilan
pajak tentang putusan tidak mengatur mekanisme penyelesaian lebih lanjut
mengenai kepastian hukum penyelesaian banding tersebut.
Hal tersebut sangat berbeda dengan Undang-Undang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP). Pasal 80 Undang Undang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak memuat ketentuan sebagai berikut:
a. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa diambil dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan sejak banding atau gugatan diterima.
b. Apabila banding atau gugatan tidak diputus dalam jangka waktu tersebut
diatas, Badan Penyelesaian Sengketa Pajak mengambil keputusan berupa
mengabulkan seluruh banding atau gugatan melalui pemeriksaan dengan
jangka waktu 12 (dua belas) bulan dimaksud di lampaui.
Dengan ketentuan yang diatur oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak tersebut, maka disini Wajib Pajak (WP) diberi kepastian hukum, bahwa
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan banding
diterima oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, banding akan sudah
diputus. Jika tidak diputus, bandingnya akan dikabulkan seluruhnya.
Kepastian hukum semacam ini seharusnya ada di setiap undang-undang,
termasuk dalam Undang Undang Pengadilan Pajak. Tetapi kenyataannya
dalam Undang Undang Pengadilan Pajak hal ini tidak diatuar secara tegas.
Dengan tidak diaturnya hal tersebut, akan menunjuk adanya kekurangan atau
kelemahan dalam Uundang Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, yang merupakan perubahan dan penyempurnaan Undang Undang No.
35 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa pajak (BPSP).

7.Sistem Sidang Pengadilan Pajak


Sidang pengadilan pajak menggunakan system sidang terbuka.
Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak mengatur
bahwa sidang pengadilan pajak adalah sidang terbuka untuk umum. System
persidangan terbuka ini merupakan perubahan total dari Undang-Undang
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang mengatur bahwa persidangan
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bersifat tertutup untuk umum. Ketentuan
ini diatur pada Pasal 49 ayat (1) Undang Undang No,. 17 Tahun 1997. dengan
adanya perubahan ini diharapkan persengketaan antara pemerintah dengan
wajib pajak akan berlangsung lebih transparan dan terbuka. Selain itu
siapapun akan dapat menyaksikan proses persidangan, sehingga keputusannya
akan lebih mudah diawasi dan dikontrol oleh masyarakat, sehingga praktek
kolusi tidak akan terjadi.
Bagi para pengamat perpajakan, praktisi perpajakan maupun para
akademisi yang ingin mengetahui permasalahan pepajakan khususnya yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa pajak, ketentuan baru ini membuka
peluang bagi mereka untuk belajar secara langsung di Pengadilan Pajak, yang
sebelumnya merupakan kesempatan yang sangat langka untuk dapat
diketahuinya. Perubahan semacam ini merupakan salah satu keunggulan dan
kelebihan dari Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Pasal 50 ini mengandung konsekuensi bahwa proses pengadilan pajak harus
dilaksanakan dengan lebih jujur dan benar, baik itu hakim, wajib pajak, fiskus
termasuk juga panitera. Sikap terbuka (openbaarheid) ini juga menuntut para
pihak dalam proses tersebut bersikap lebih professional. Public akan
menyaksikan bagaimana mereka bertindak di Pengadilan,apakah hakimnya
dapat bersikap adil atau tidak, wajib pajak dan fiskus mampu menyajikan data
atau bukti yang akurat atau tidak.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan maka ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Secara politik dilihat dari jangka waktu proses pengesahan Rancangan
Undang Undang Pengadilan Pajak menjadi Undang Undang Pengadilan
Pajak, ternyata tidak menjamin Undang Undang pengadilan pajak bebas
dari kekurangan, kelemahan dan ketidaksempurnaan. Bahkan ada pasal-
Pasal yang semula dalam Undang Undang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak sudah jelas menjadi tidak jelas. Status putusn Pengadilan Pajak,
merupakan keputusan Tata Usaha Negara atau putusan lembaga peradilan
yang lain dan bagaimana jika banding tidak diputus dalam jangka waktu
yang telah ditentukan.
b. Ada beberapa perubahan mendasar dalam Undang Undang Pengadilan
Pajak. Dalam hal-hal tertentu, kesempatan untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, meskipun banyak pengamat
yang meragukan hal tersebut, di lihat dari prosedur pengajuan peninjauan
kembali yang selama ini berlangsung. Disamping itu, persidangan
pengadilan pajak yang semula tertutup (Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak/BPPS) sekarang berubah menjadi persidangan yang terbuka untuk
umum. Lembaga upaya hukum yang oleh Undang Undang Pengadilan
perpajakan, menggunakan istilah peninjauan kembali, tidak sesuai dengan
istilah peninjauan kembali dalam hukum yang sudah mempunyai makna
yang tetap dan melekat. Keberadaan lembaga Pengadilan Pajak, secara
yuridis formal tidak mempunyai landasan hukum yang tegas, sehingga
sering menimbulkan masalah, terutama yang berkaitan dengan produk-
produk keputusannya, meskipun secara informal antara pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat telah sepakat bahwa lembaga pengadilan pajak
masuk dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Pembinaan pengadilan pajak
dalam Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tidak sinkron dengan
pembinaan yang dilakukan atau diatur dalam Undang Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman
dengan perubahannya Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur bahwa pembinaan semua lembaga
peradilan dibawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.
2. Saran
Terhadap beberapa permasalahan tersebut dapat disampaikan saran
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Pengadilan Pajak sudah menyediakan mekanisme
penijauan kembali (meski perlu diperbaiki), mungkin akan lebih sederhana
dan lebih memberikan kepastian hukum, apabila mekanisme peninjauan
kembali tersebut cukup hanya ditangani satu atap/institusi yaitu
Mahkamah Agung.
b. Penggunaan istilah peninjauan kembali dalam pengadilan pajak, sebaiknya
diganti dengan istilah lain yang tidak menimbulkan kontroversi dengan
istilah peninjauan kembali dalam ilmu hukum yang sudah mempunyai
makna khusus dan makna yuridis.
c. Undang-undang No,. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak telah
disetujui dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah,
maka secara yuridis formal adalah sah keberadaannya dan harus
dilaksanakan. Berlakunya pengadilan pajak dengan segala kekurangannya,
bagaimanapun harus disambut gembira, karena berlakunya undang-
undang ini mengandung makna bahwa semua pihak, baik yang langsung
maupun tidak langsung terlihat perpajakan semua mempunyai visi,
semangat dan keinginan untuk menciptakan keadilan yang seadil-adilnya
di bidang perpajakan.
Kekurangan yang ada dalam Undang Undang pengadilan Pajak
bukan berarti harus segera diubah atau dibekukan, tetapi sebaiknya
Undang Undang tersebut dilaksanakan terlebih dahulu. Mengingat secara
substansial masih ada cacat hukumnya, maka perlu dilakukan langkah
untuk memperbaiki produk hukum yang cacat hukum tersebut. Langkah
dimaksud bisa berupa yudicial review oleh Mahkamah Agung atau revisi
yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilna
Rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Tjahjono, 1997, Perpajakan, Yogyakarta: Akademi Manajemen dan


Perusahaan YKPN

Daniel S. Lev, 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Jakrta: LP3ES

Padmo Wahjono. 1984. Undang-Undang Perpajakan beserta Penjelasan dan


peraturan Pelaksanaan. Jakarta : Chalia Indonesia.

Prajudi Atmosudirdjo. 1981. Hukum Administrasi Negara. Chalia Indonesia.

Rochmat Soemitro. 1984. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan.


Bandung : PT. Eresco-Jakarta.

Sunaryati hartono, 1982, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung

Santoso Brotodiharjo. 1979. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT. Eresco-
Jakarta.

Sri Soemantri M.,2004, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta. Raja Grafindo Persada

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Perubahan atas


Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, tentang Pokok-Pokok kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 Perubahan atas UU No. 6/1988, Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang No. 17 Tahun 1997, Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 Perubahan atas UU No. 14/1970, tentang


Kekuasaan pokok-pokok Kehakiman.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, tentang Pengadilan Pajak.

[1] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta:
Toko Agung , 2002), hlm. 2

[2] Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam
Hukum Pajak di Indonesia, (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006), hlm. 1.

[3] Ibid., hlm. 3.

[4] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 26.

[5] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika
Aditama. Halm.8.

[6] Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung:


Refika Aditama, 2005), hlm. 72

[7] Galang Asmara, Op.cit., hlm. 1.

[8] Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (ed.), Pembangunan Hukum: Sebuah
Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di
Idonesia, (Bandung : Penerbit Alumni, 1980), hlm. 2.

[9] R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama,
1998), hlm. 2.

[10] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia,


1981), hlm. 127

[11] R. Santoso Brotodihardjo, Op.cit, hlm.2


[12] Ibid., hlm. 4

[13] Rochmat Soemitro, Op.cit., hlm. 62.

[14] Ibid, hlm. 101.

[15] MaPPI FHUI, “Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak,” Sumber:
http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=205&tipe=kolom, diakses tanggal
23 Desember 2012.

[16] Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak.


Masyarakat Pemantau Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret 2005.
http://www.pemantauperadilan.com/detil (3 Maret 2008)

[17] Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau


Peradilan Indonesia. Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil (3 Maret 2008)

[18] Galang Asmara, Op.cit., hlm. 8-12

[19] Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,


(Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 36

[20] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan


Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 1

[21] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company,
1930), hlm. 5-6

[22] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 60-62

[23] Ali Purwito & Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak: Proses Keberatan dan
Banding. Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Fiskal Fh-UI, 2007), hlm. 107-
108.

[24] Sjachran Basah, Op.cit., hlm. 37

[25] Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 43.
[26] Dewi Kania Sugiarti, Op.cit., hlm. 72

[27] Ibid

[28] Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2007),
hlm. 78-79

[29] “Proses Penyelesaian Sengketa Berjalan Lamban”, Sumber:


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd8c35ad7be7/proses-penyelesaian-
sengketa-pajak-lamban, diakses tanggal 23 Desember 2012.

Share this:

 Facebook1
 Email
 Print
 Twitter

Anda mungkin juga menyukai