14 TAHUN 2002
TENTANG PENGADILAN PAJAK
ABSTRAK
Secara politik dilihat dari jangka waktu proses pengesahan Rancangan Undang Undang
Pengadilan Pajak menjadi Undang Undang Pengadilan Pajak, ternyata tidak menjamin
Undang Undang pengadilan pajak bebas dari kekurangan, kelemahan dan
ketidaksempurnaan. Bahkan ada pasal-Pasal yang semula dalam Undang Undang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak sudah jelas menjadi tidak jelas. Status putusn Pengadilan
Pajak, merupakan keputusan Tata Usaha Negara atau putusan lembaga peradilan yang
lain dan bagaimana jika banding tidak diputus dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Tulisan ini mencoba mengkritisi beberapa perubahan mendasar dalam Undang Undang
Pengadilan Pajak. Keberadaan lembaga Pengadilan Pajak, secara yuridis formal tidak
mempunyai landasan hukum yang tegas, sehingga sering menimbulkan masalah,
terutama yang berkaitan dengan produk-produk keputusannya, meskipun secara informal
antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah sepakat bahwa lembaga
pengadilan pajak masuk dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Pembinaan pengadilan
pajak dalam Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tidak sinkron dengan pembinaan yang
dilakukan atau diatur dalam Undang Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman dengan perubahannya Undang Undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur bahwa pembinaan semua
lembaga peradilan dibawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.
ABSTRACT
In the political views of the approval process for a period of the Draft Act into Law Tax
Court Tax Court , the Law did not ensure that the tax court is free of shortcomings ,
weaknesses and imperfections . There is even a section - Article originally in Law Tax
Dispute Settlement Board had clearly become unclear. Status putusn Tax Court , a state
administrative decision or judicial ruling others and how if appeal is not decided within a
predetermined time period . This paper attempts to criticize some fundamental changes in
the Tax Court of Law . The existence of institutions Tax Court , has no formal judicial
law firm foundation , so often cause problems , especially with regard to the products his
decision , although informally between the government and the House of Representatives
have agreed that the entry tax courts in the State Administrative . Tax court coaching in
Law No. . 14 of 2002 is not in sync with the coaching conducted or regulated in Law
No. . 14 Year 1970 on Basic Provisions on Judicial power with Law No. amendments . 4
of 2004 on Judicial Power , which provides that the judiciary coaching all under one
roof , namely the Supreme Court .
Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini
termuat dalam konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan
lebih lanjut dijelaskan dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (Machtstaat). Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai
yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (Achmad Ali, 2002: 2). Itu berarti, muatan hukum yang
berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan
berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan
dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
C. Pembahasan
1. Politik Hukum Pengadilan pajak
Politik Hukum Undang-undang ini adalah dalam upaya untuk
mewujudkan suatu Pengadilan Pajak yang mampu menciptakan keadilan dan
kepastian hukum, yang tidak menyimpang atau menentang dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, pemerintah
telah mengeluarkan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak. Yaitu Undang
Undang No. 14 Tahun 2002 dan disahkan dan dinyatakan berlaku sejak 14
April 2002.
Seperti kita ketahui, bahwa sebelum lahirnya Undang Undang No.
13 Tahun 2002, yang bertindak sebagai lembaga Pengadilan Pajak adalah apa
yang dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, yang lebih dikenal
dengan istilah BPSP, yang lahir melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1997.
setelah sekian tahun Badan Penyelesdaian Sengketa Pajak melaksanakan
fungsinya sebagai Lembaga Pengadilan Sengketa Pajak, rupanya dapat
dievaluasi atas kekurangan-kekurangannya, sehingga dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum maupun pertentangan dalam arti fungsi yurisdiksinya.
Untuk itu, maka pemerintah menganggap perlu segera dibentuk undang-
undang baru yang tentang Pengadilan Pajak. Dengan terbentuknya Lembaga
Pengadilan Pajak yang baru ini diharapkan dapat mengurangi atau
menghindari terjadinya konflik yuridis dengan peraturan perundang-undangan
yang lain, dan dapat mewujudkan pengadilan pajak yang adil dan memiliki
kepastian hukum yang kuat dan benar.
Selanjutnya menurut Galang Asmara, kebutuhan adanya suatu lembaga
Peradilan Pajak didasarkan pada dua hal sebagai berikut: (Galang Asmara,
2006, 6-8).
Banyak teori yang mencoba menemukan skema atau ide dasar pembentukan
atau pembaharuan hukum. Masing-masing teori berupaya mengemukakan
argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan sisi keunggulan masing-
masing. Biasanya teori yang disusun tersebut dipengaruhi oleh teori-teori
lama atau bisa juga sebagai bentuk kritik (penyempurnaan) dan dukungan
terhadap teori-teori sebelumnya. Aspek waktu, kondisi psikologis
masyarakat/negara maupun tempat memiliki peran yang signifikan bagi
perumusan bentuk/materi dari teori tersebut. Sehingga sering terjadi bahwa
teori-teori itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing manakala
teori itu dihadapkan pada kondisi atau situasi masyarakat yang berbeda.
Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui
terlebih dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak.
Maka dikaitkan dengan landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak,
khususnya pada Konsideran bagian Mengingat angka 2, yang menegaskan
sebagai berikut:
1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif
badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif
Pengadilan Pajak mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.
2. Kompetensi Absolut
Sebenarnya peradilan yang berkaitan dengan pajak sudah eksis jauh sebelum
dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebut sebagai Majelis
Pertimbangan Pajak yang dibentuk pemerintah sebagai badan peradilan dan
menjalankan fungsi sebagai peradilan administrasi khusus menangani
masalah perselisihan pajak. Dalam prakteknya perkara sengketa yang
penyelesaiannya dilakukan di Majelis Pertimbangan Pajak adalah perkara
perselisihan yang timbul sebagai akibat perbuatan hukum berupa penetapan
atau keputusan dari pejabat pajak yang tidak disetujui oleh pembayar pajak.
Pertimbangan pembentukan undang-undang untuk memasukkan pengadilan
pajak sebagai badan penyelesaian sengketa perpajakan dalam lingkup
Peradilan Tata Usaha Negara. Dipandang dari perjalanan dan perkembangan
Majelis Pertimbangan Pajak institusi ini sudah dapat memberikan saluran
bagi ketidakpuasan dan ketidak setujuan wajib pajak melalui sengketa pajak.
Eksistensi Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding
sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal setiap badan
pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi
para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman.
Keberadaan Pengadilan Pajak dalam hukum Pajak dikenal adanya penafsiran
historis yaitu penafsiran yang didasarkan atas sejarah dibuatnya suatu
undang-undang. Seperti diketahui bahwa sebelum undang-undang tentang
Pengadilan Pajak lahir, Majelis Pengadilan Pajak mendasarkan penyelesaian
sengketa pajak atas undang-undang yang khusus dibentuk untuk itu.
Demikian juga halnya dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,
keberadaannya didasarkan kepada suatu undang-undang sehingga kedua-
duanya sah dan dapat menjalankan fungsi yudikatif meskipun belum
menjalankan kekuasaan kehakiman. (Ali Purwito & Rukiah Komariah, 2007:
107-108).
Dengan meningkatnya jumlah wajib pajak dan pemahaman akan hak dan
kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan
perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak yang
memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat,
murah dan sederhana. Karenanya diperlukan suatu pengadilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak.
Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari
2 (dua) sudut tolak ukur sebagai berikut:
1. Tolak Ukur Subyek
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80
ayat 2 menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir
pemeriksaan atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak.
Terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi.
Dengan kewenangan sebagai pemutus kata akhir dalam sengketa pajak, maka
praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan maka ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Secara politik dilihat dari jangka waktu proses pengesahan Rancangan
Undang Undang Pengadilan Pajak menjadi Undang Undang Pengadilan
Pajak, ternyata tidak menjamin Undang Undang pengadilan pajak bebas
dari kekurangan, kelemahan dan ketidaksempurnaan. Bahkan ada pasal-
Pasal yang semula dalam Undang Undang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak sudah jelas menjadi tidak jelas. Status putusn Pengadilan Pajak,
merupakan keputusan Tata Usaha Negara atau putusan lembaga peradilan
yang lain dan bagaimana jika banding tidak diputus dalam jangka waktu
yang telah ditentukan.
b. Ada beberapa perubahan mendasar dalam Undang Undang Pengadilan
Pajak. Dalam hal-hal tertentu, kesempatan untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, meskipun banyak pengamat
yang meragukan hal tersebut, di lihat dari prosedur pengajuan peninjauan
kembali yang selama ini berlangsung. Disamping itu, persidangan
pengadilan pajak yang semula tertutup (Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak/BPPS) sekarang berubah menjadi persidangan yang terbuka untuk
umum. Lembaga upaya hukum yang oleh Undang Undang Pengadilan
perpajakan, menggunakan istilah peninjauan kembali, tidak sesuai dengan
istilah peninjauan kembali dalam hukum yang sudah mempunyai makna
yang tetap dan melekat. Keberadaan lembaga Pengadilan Pajak, secara
yuridis formal tidak mempunyai landasan hukum yang tegas, sehingga
sering menimbulkan masalah, terutama yang berkaitan dengan produk-
produk keputusannya, meskipun secara informal antara pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat telah sepakat bahwa lembaga pengadilan pajak
masuk dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Pembinaan pengadilan pajak
dalam Undang Undang No. 14 Tahun 2002 tidak sinkron dengan
pembinaan yang dilakukan atau diatur dalam Undang Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman
dengan perubahannya Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur bahwa pembinaan semua lembaga
peradilan dibawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.
2. Saran
Terhadap beberapa permasalahan tersebut dapat disampaikan saran
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Pengadilan Pajak sudah menyediakan mekanisme
penijauan kembali (meski perlu diperbaiki), mungkin akan lebih sederhana
dan lebih memberikan kepastian hukum, apabila mekanisme peninjauan
kembali tersebut cukup hanya ditangani satu atap/institusi yaitu
Mahkamah Agung.
b. Penggunaan istilah peninjauan kembali dalam pengadilan pajak, sebaiknya
diganti dengan istilah lain yang tidak menimbulkan kontroversi dengan
istilah peninjauan kembali dalam ilmu hukum yang sudah mempunyai
makna khusus dan makna yuridis.
c. Undang-undang No,. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak telah
disetujui dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah,
maka secara yuridis formal adalah sah keberadaannya dan harus
dilaksanakan. Berlakunya pengadilan pajak dengan segala kekurangannya,
bagaimanapun harus disambut gembira, karena berlakunya undang-
undang ini mengandung makna bahwa semua pihak, baik yang langsung
maupun tidak langsung terlihat perpajakan semua mempunyai visi,
semangat dan keinginan untuk menciptakan keadilan yang seadil-adilnya
di bidang perpajakan.
Kekurangan yang ada dalam Undang Undang pengadilan Pajak
bukan berarti harus segera diubah atau dibekukan, tetapi sebaiknya
Undang Undang tersebut dilaksanakan terlebih dahulu. Mengingat secara
substansial masih ada cacat hukumnya, maka perlu dilakukan langkah
untuk memperbaiki produk hukum yang cacat hukum tersebut. Langkah
dimaksud bisa berupa yudicial review oleh Mahkamah Agung atau revisi
yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilna
Rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Sunaryati hartono, 1982, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung
Santoso Brotodiharjo. 1979. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT. Eresco-
Jakarta.
Sri Soemantri M.,2004, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta. Raja Grafindo Persada
[1] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta:
Toko Agung , 2002), hlm. 2
[2] Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam
Hukum Pajak di Indonesia, (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006), hlm. 1.
[4] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 26.
[5] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika
Aditama. Halm.8.
[8] Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (ed.), Pembangunan Hukum: Sebuah
Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di
Idonesia, (Bandung : Penerbit Alumni, 1980), hlm. 2.
[9] R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama,
1998), hlm. 2.
[15] MaPPI FHUI, “Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak,” Sumber:
http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=205&tipe=kolom, diakses tanggal
23 Desember 2012.
[21] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company,
1930), hlm. 5-6
[22] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 60-62
[23] Ali Purwito & Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak: Proses Keberatan dan
Banding. Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Fiskal Fh-UI, 2007), hlm. 107-
108.
[25] Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 43.
[26] Dewi Kania Sugiarti, Op.cit., hlm. 72
[27] Ibid
[28] Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2007),
hlm. 78-79
Share this:
Facebook1
Email
Print
Twitter