218-228
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6893 (online)
Muzakkir Abubakar
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Abstrak - Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menentukan bahwa “kekuatan
pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan
serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan
aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya. ”Mahkamah Agung juga telah
memberikan penegasan atas bukti berupa fotokopi dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan
sebagai surat bukti.”(Putusan MA No. : 3609K/Pdt/1985). Namun dalam putusan Pengadilan Negeri Calang No.
02/Pdt.G/2015/PN.CAG, telah menerima fotocopy sebagai alat bukti yang sah. Penulisan studi kasus ini
bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap alat bukti fotocopy sebagai alat bukti yang sah
dan memperoleh pemahaman terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Calang Nomor:
02/Pdt.G/2015/PN.CAG dalam kaitannya dengan tujuan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis
normatif melalui penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mempelajari buku-buku dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini. Pengolahan data dan analisis data
menggunakan pendekatan metode kualitatif. Hasil analisis putusan Pengadilan Negeri Calang mengenai alat
bukti fotokopi sebagai alat bukti yang sah, di mana hakim menerima alat bukti fotokopi sebagai alat bukti yang
sah karena Penggugat mengajukan alat bukti berupa Akta Autentik dan pihak Tergugat tidak bisa membuktikan
bantahannya. Sebaliknya bukti-bukti surat yang telah diajukan oleh Tergugat berupa Akta dibawah tangan dan
dibantah keabsahannya oleh pihak Penggugat. Dari sisi tujuan hukum, asas keadilan dalam putusan tersebut
tidak terpenuhi. Putusan hakim pada dasarnya telah memberikan kepastian hukum kepada para pihak walaupun
disisi lain terkesan hukum positifnya diabaikan. Dalam asas kemanfaatan hukum, putusan hakim yang menerima
alat bukti fotokopi sebagai alat bukti yang sah memberikan kebaikan bagi Penggugat dan Tergugat terhadap
objek sengketa agar bisa dimiliki bersama kembali dan tidak dikuasai secara pribadi oleh Tergugat. Disarankan
kepada Penggugat dalam mengajukan gugatan haruslah lebih teliti dalam melihat unsur-unsur yang terpenuhi
terhadap perkara yang dihadapi. Selanjutnya diharapkan kepada hakim dalam memberikan putusan dapat
mewujudkan tujuan hukum dan mencerminkan nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Kata Kunci : Studi Kasus, Alat Bukti yang sah, Alat Bukti Fotokopi.
Abstract - Article 1888 of the Civil Code specifies that the strength of written evidence is it’s original deed. If
it’s original deed exist, then copies and summaries are credible only if they are in accordance with the original
form. The Supreme Court has also confirmed the photocopying evidence in the form of letter/document, with the
rule of law as follow: Photocopying evidence which has never submitted or never existed it’s original letter,
should be dismissed as a proof. (Supreme Court Verdict Number 3609K/Pdt/1985). However, in the Verdict of
Calang District Court received photocopy as a valid proof. This case study aims to determine the basic
consideration of judges towards Photocopying evidence as a valid proof and to gain an understanding the
Verdict of Calang District Court Number 02/Pdt.G/2015/PN.CAG in relation to the purpose of law. This is a
normative research through library research. Library research conducted by studying books and legislation
relating to this case. The data is processed and analysed by qualitative approach. The result analysis of the
Verdict of Calang District Court regarding Photocopying evedence as a valid proof, in which the judge received
Photocopying evidence as a valid proof because Plaintiffs presented evidence in the form of Authentic Act and
the Defendant can not prove his denial. Instead the documentary evidence which had been submitted by the
Defendant was in the form of made deed/privately deed and denied it’s legitimacy by the applicant party. In
terms of the purpose of law, the principle of justice was not fulfilled. The judges’ Verdict had basically been
giving legal certainty to the parties even if the other side was impressed how the law was ignored. In the
218
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 219
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
principle of legal benefit , the judge’s decision that accepted the photocopying evidence as a valid evidence give
to the Plaintiff a favor and the Defendant to the dispute objects to be owned together again and not personally
controlled by the defendant. It is suggested to the Plaintiff in the lawsuit filed to be more careful in looking at
the elements fulfilled in the case he/she faced. Furthermore, it is expected that the judge in giving judgment can
realize the purpose of law and reflect the values of justice, certainty and legal expediency.
Keywords : Study Case, Evidence, Photocopying.
PENDAHULUAN
Tanah memiliki hubungan yang erat dengan manusia, hubungan tersebut terjadi
karena tanah memberi penghidupan bagi manusia dalam hal tempat tinggal, mata pencaharian
seperti pertanian, perkebunan, perumahan, perkantoran bahkan industri yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Tanah juga sering menimbulkan persengketaan dalam
masyarakat. Oleh karenanya,dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria menentukan bahwa Hukum Agraria sebagai unsur
hukum yang menentukan atas pelaksanaan pembangunan di bidang keagrarian dan di
dalamnya hukum pertanahan.1
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Calang Nomor 02/PDT.G/2015/PN.CAG, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Calang telah mengakui alat bukti fotokopi sebagai alat bukti yang
sah dan mengikat.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa bukti surat fotokopi akta
jual beli Nomor : 594.4/102/JY/1987, tertanggal 13 November 1987 (P.1-1) yang tidak
pernah ditunjukkan surat aslinya sebagai alat bukti yang sah karena Penggugat dalam hal ini
mengajukan bukti surat fotokopi salinan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Aceh Nomor :428/HM/DA/1988, tertanggal 07 Mei 1988 (asli,P-2) dan Surat Tanda
Penerimaan Laporan dari Kepala Kepolisian Sektor Jaya, Nomor :
STPL/41/III/2015,tertanggal 21 Maret 2015 tentang Laporan Kehilangan Akta Jual Beli
Nomor : 594.4/102/JY/1987 (P-7). Hakim menyatakan bahwa alat bukti surat bertanda P-1.1
sebagai alat bukti yang sah. Bukti surat bertanda (bukti P-1-2) yang asli oleh penggugat tidak
pernah sekalipun dapat dihadirkan atau diperlihatkan secara jelas dan terang di muka
persidangan, melainkan hanya surat fotokopi saja.
Dalam Pasal 1888 KUHPerdata sudah memberikan pengaturan mengenai
salinan/fotokopi dari sebuah surat/dokumen, yaitu : “Kekuatan pembuktian suatu bukti
tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta
1
Soekamto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar untuk mempelajari Hukum Adat
Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 91.
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 220
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian digunakan adalah melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan
dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder, yaitu melalui serangkaian kegiatan
membaca, mengutip, menelaah peraturan perundang-undangan yang digunakan, sedangkan
studi dokumen merupakan penelitian dari dokumen-dokumen hukum berupa putusan
pengadilan yang berkaitan dengan kasus yang diteliti.
1. Penelusuran Bahan-bahan Hukum
Jenis data yang digunakan adalah mencakup :
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat, terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan.
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
3) Putusan Mahkamah Agung No. 3609 KUHPdt/ 1985 tentang Surat Bukti Fotokopi
4) Putusan Mahkamah Agung No. 112 KUHPdt/1996 tentang Keabsahan Alat Bukti
Fotokopi.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar ahli hukum2, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
berkaitan dengan masalah yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun sekunder seperti ensiklopedia, kamus-kamus
hukum dan seterusnya.3
2. Cara Menganalisis Data
Analisis data merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian, yaitu memberikan
jawaban terhadap masalah yang diteliti. Analisis data yang dipergunakan adalah analisis data
kualitatif dengan menggunakan analisis isi (content of analysis), yaitu proses memilih,
2
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana, Surabaya, 2005, hal 141.
3
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, UI Press, Jakarta, 1984, hal 52.
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 222
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
bukti oleh tergugat, penggugat juga tidak memiliki saksi yang menguatkan terkait adanya alat
bukti surat tertanda P.1-1 dan P.1-2. Namun dalam praktik ketentuan mengenai pembuktian
dalam perkara perdata tersebut dapat berkembang, misalnya dalam hal keberadaan fotokopi
alat bukti surat baik akta autentik maupun perjanjian di bawah tangan ternyata diakui dan
tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di
muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna atau apakah ada persangkaan
(kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh
para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Sekiranya di dalam persidangan
hakim menemukan fakta yang didukung oleh alat bukti yang telah mencapai batas minimal
pembuktian, keterbuktian fakta atau peristiwa tersebut, tidak bisa langsung dikonkretisasi
tanpa mempergunakan persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksi
kesimpulan tentang kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti
fisik yang bersifat langsung tersebut.
Dalam ketentuan tersebut di atas undang-undang menyerahkan kepada pendapat dan
pertimbangan hakim untuk mengkonstruksi alat bukti persangkaan yang bertitik tolak atau
bersumber dari alat bukti yang telah ada dalam persidangan. Data yang terbukti itu diambil
adalah bebas, artinya boleh diambil dari data yang dikemukakan Penggugat, boleh juga dari
data yang berasal dari Tergugat.
Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan
praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan
lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung
diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya
untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui.4 Paling tidak persangkaan
tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi merupakan
kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut.
Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantaraan
alat bukti atau fakta lain, sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor
kepada alat bukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil berdiri sendiri tanpa
bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian secara teoritis, persangkaan
menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat bukti. Oleh karena itu ada yang
berpendapat bahwa persangkaan merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, karena
4
R. Subekti, Hukum Pembuktian, cetakan ke-3, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hal 37
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 224
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
membutuhkan alat bukti yang lain terlebih dahulu di dalam penggunaannya, sehingga
pencantumannya di dalam Pasal 1886 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBG
dianggap kurang tepat.5
Bukti tulisan yang disampaikan kepada pengadilan harus diberi materai, kecuali sudah
berada di atas kertas segel, kalau tidak, maka bukti tersebut akan dikesampingkan oleh hakim
( Putusan Mahkamah Agung, 28 Agustus 1975 No. 983 K/Sip/1972 ).6
Dalam perkara ini, dasar hakim menerima alat bukti fotokopi sebagai alat bukti yang
sah adalah menurut Pasal 1866 salah satu alat bukti adalah surat, fotokopi itu berbentuk surat
walau bukan berupa akta aslinya, dalam hasil musyawarah majelis hakim itu dapat diterima
sebagai alat bukti yang sah.
5
M. Yahya Harahap, Loc.Cit.
6
Ibid.
7
Ibid.
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 225
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
8
Supriadhy dan Budi Ruhiatudin, Op.Cit., hal144
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 226
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
KESIMPULAN
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Calang Nomor: 02/Pdt.G/PN.CAG, dalam
kaitannya dengan alat bukti fotokopi yang sah, dimana hakim menerima alat bukti tersebut
dengan alasan hakim berpendapat bahwa alat bukti yang diajukan oleh Penggugat sesuai
dengan Pasal 285 Rbg., Jo. Pasal 1868 Jo. Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa Akte (Akte Jual-
beli Nomor: 594.4/102/JYXI/1987, tertanggal 13 November 1987) yang diajukan oleh
Penggugat tersebut merupakan suatu Akte Autentik hal mana Akte Jual-beli tersebut telah
dibuat di hadapan serta ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Sebaliknya
berdasarkan ketentuan dari Pasal 286 RB.g., Jo Pasal 1869 Jo. Pasal 1874 KUHPerdata bukti-
bukti surat yang telah diajukan oleh Tergugat berupa Akta di bawah tangan dan dibantah
keabsahannya oleh pihak Penggugat. Majelis hakim juga menimbang sebagaimana uraian dan
pertimbangan hukum tersebut di atas Tergugat tidak dapat membuktikan bantahan atas
keabsahan bukti-bukti surat yang telah diajukan oleh Penggugat.
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 227
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000.
Dedhi Supriady dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara, Fakultas Syari’ah Press, UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cetakan ke-8, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989.
Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam Kajian Komprehensif
Islam dan Ketatanegaraan, LKiS Printing Cemerlang, Yogyakarta, 2010.
Muhammad Rusli, Potret Lembaga Peradilan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana, Surabaya, 2005.
JIM Bidang Hukum Keperdataan : Vol. 1(1) Agustus 2017 228
Yuli Angriani, Muzakkir Abubakar
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Samudera Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2004.
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, UI Press, Jakarta, 1984.
Soekamto, Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum
Adat Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1984.
Taufik Makarao, Moh, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Wantjik Saleh, K, Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata, Cetakan pertama, Ichtiar Baru,
Jakarta, 1973.
Zainuddin Ali, H, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Cetakan
ke-37, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.p
Putusan Mahkamah Agung No. 3609 KUHPdt/ 1985 tentang Surat Bukti Fotokopi.
Putusan Mahkamah Agung No. 112 KUHPdt/ 1996 tentang Keabsahan Alat Bukti Fotokopi.
Putusan Peradilan
Sumber Internet