Anda di halaman 1dari 8

Papahit 1

Han’s Itta Papahit


Ilmu Kepolisian / S2 STIK
Prof. Adrianus Meliala, M.Sc, PhD
11 Agustus 2015

FILSAFAT ILMU KEPOLISIAN : ADAKAH ILMU KEPOLISIAN?


Sebagai bagian dari proses memperoleh pengetahuan, selain belajar secara formal melalui
tatap muka di kelas, maka diperlukan semangat dan hasrat untuk mencari tahu lebih dalam
mengenai kebenaran dan ilmu pengetahuan yang ingin dipelajari.
Dilandasi dengan sikap skeptis untuk mengetahui apakah ilmu kepolisian sudah dapat
disebut sebagai ilmu pengetahuan (science), diluar kegiatan belajar di kelas, maka diperlukan
”perenungan” lebih lanjut dengan mengacu kepada referensi dan literatur yang berkaitan dengan
filsafat ilmu dan ilmu kepolisian itu sendiri.
Tulisan ini akan berusaha untuk mengungkap kebenaran dibalik ilmu kepolisian, dan
secara argumentatif akan berusaha mengkonstruksikan dan mengkritisi ilmu kepolisian sebagai
ilmu pengetahuan.
Untuk dapat menjawab pertanyaan “adakah ilmu kepolisian?”, dalam tulisan ini akan
dibahas filsafat ilmu kepolisian dari konsep ontologi, epistemologi, aksiologi, dan metodologi,
serta syarat-syarat suatu disiplin ilmu, dalam hal ini ilmu kepolisian, dapat disebut sebagai ilmu
pengetahuan.
Secara ontologi, maka hakikat keberadaan ilmu kepolisian dapat digali melalui
pertanyaan prinsip "What can be said to exist?“. untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka
terlebih dahulu harus dapat terjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : "What is it?", "Into what
categories, if any, can we sort it?, "What are the meanings of it?“ dan "What are the various
modes of being of it?“.
Di STIK, mahasiswa diajarkan bahwa ilmu kepolisian adalah disiplin ilmu yang bersifat
inter disciplinaire, yang mempelajari permasalahan sosial dan penangannya untuk mencapai
keteraturan sosial. Bersifat inter disciplinaire atrinya dalam mempelajari ilmu kepolisian,
disiplin ilmu kepolisian dikedepankan dan disiplin ilmu lainnya sebagai pendukung yang
mengikuti perspektif ilmu kepolisian. Obyek yang dipelajari adalah permasalahan-permasalahan
sosial yang menjadi bagian dari masalah kepolisian dan pencegahan munculnya permasalahan
Papahit 2

sosial yang merupakan masalah kepolisian. Manfaat dari mempelajari ilmu kepolisian adalah
untuk mencapai keteraturan sosial.
Sebagaimana terdapat dalam wikipedia : “Police science is the study and research which
deals with police work. Studies and research in criminology, forensic science, psychology,
jurisprudence, community policing, criminal justice, correctional administration and penology,
all come under this umbrella term 'police science'. It thus includes physical and social sciences.”
Maka obyek ilmu kepolisian bukanlah masalah sosial dan penangannya, tetapi lebih difokuskan
kepada hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian, serta melibatkan bidang ilmu yang
lain yang tergolong kedalam ilmu alam dan ilmu sosial.
Dari berbagai referensi yang ada di internet, dengan kata kunci “police science”, maka
pada halaman pertama akan banyak dimunculkan lembaga pendidikan police science bergelar di
seluruh dunia yang mencantumkan teknik-teknik kepolisian (patroli, investigasi, pembuatan
laporan) sebagai mata kuliah yang diajarkan. Hal ini menunjukan bahwa obyek yang diajarkan
justru bukan masalah sosial, tetapi lebih menjurus kepada tugas kepolisian yang bersifat teknis
dan cenderung vokasional. Jika demikian, maka pondasi kedudukan ilmu kepolisian sebagai ilmu
pengetahuan (science) akan melemah.
Dengan banyaknya aspek yang berkaitan dengan “masalah sosial” dan “tugas
kepolisian”, serta senantiasa berkembangnya permasalahan sosial dari waktu-kewaktu, maka
pendekatan konstruktivis lebih memberikan gambaran mengenai apa itu ilmu kepolisian.
Berdasarkan pengalaman saya pribadi selama mengikuti pendidikan di Akademi Kepolisian
(2001-2004), Program Sarjana STIK (2010-2012), Program Pasca Sarjana STIK (2015-
sekarang) , maupun saat saya menjadi tenaga pendidik di Sekolah Polisi Negara Jayapura (2009-
2010) dan Sekolah Polisi Negara Mandalawangi-Banten (2012-2013), dalam bidang sosial tidak
hanya dipelajari masalahnya saja, tetapi juga ilmu-ilmu sosialnya (yang justru lebih diutamakan
untuk dipahami terlebih dahulu). Saya juga mempelajari berbagai ilmu terapan yang bersifat
praksis seperti identifikasi sidik jari, kedokteran forensik, balistik forensik, dan berbagai ilmu
terapan lainnya. Ilmu pengetahuan yang bersifat terapan, saya juga mempelajari bela diri polri
yang dirancang dan dikombinasikan dari berbagai jenis bela diri dan diformulasikan secara
khusus untuk “melumpuhkan” dan bukan melukai.
Kategori ilmu yang dipelajari pada masing-masing tingkatan juga berbeda dari segi
kemanfaatan. Di SPN, yang dipelajari adalah hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan
Papahit 3

tugas-tugas fungsi kepolisian, hukum, bela diri polri, menembak, pengantar ilmu hukum, dan
aturan perundang-undangan. Di AKPOL, yang dipelajari adalah fungsi teknis kepolisian,
manajemen operasional kepolisian, ilmu terapan di bidang forensik, mengetik, ilmu-ilmu sosial,
dan KUHP/KUHAP. Di STIK, yang dipelajari adalah ilmu kepolisian, administrasi kepolisian,
manajemen sumber daya kepolisian, teknologi informasi kepolisian, pencegahan kejahatan,
manajemen kepolisian, teori hukum, dan lain-lain.
Melalui pendekatan konstruktif, secara disiplin ilmu, ilmu kepolisian belum menemukan
formulasi disiplin yang tepat dalam berbagai disiplin yang sudah kita kenal (disiplin, inter
disiplin, multi disiplin, cross disiplin). Secara disiplin ilmu, saya sependapat bahwa ilmu
kepolisian adalah ilmu yang besifat inter disciplinair, namun dikarenakan ilmu yang diajarkan
bertahap sesuai tingkatan pengemban tugas kepolisian, vokasional bersifat teknis pada SPN dan
Akpol, quasi vokasional bersifat taktis pada STIK strata 1 dan Sespimma, ilmiah pada STIK
strata 2, KIK, dan STIK Strata 3, serta bersifat strategis pada Sespimmen dan Sespimti, maka
ilmu kepolisian adalah ilmu yang luas dan kompleks yang bersifat multi stage inter-disciplinair.
Obyek yang dipelajari dalam ilmu kepolisian ternyata lebih luas dari sekadar masalah
sosial dan penanganannya. Dengan menggunakan metode “The Kyrios Dialogue” yang
dikembangkan Socrates, banyak pengetahuan yang diajarkan tidak secara spesifik dan langsung
berkaitan dengan masalah sosial. “Apakah kedokteran forensik, identifikasi sidik jari, atau
mengetik mempelajari masalah sosial atau penanganan masalah sosial?” Jawabnya “Tidak”.
“Apakah ilmu hukum, antropologi budaya, hubungan antar suku bangsa, manajemen operasional
kepolisian, psikologi, teori hukum, KUHP, administrasi kepolisian, kriminologi, dll mempelajari
hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian?” jawabannya adalah “Ya, sampai dengan
saat ini”. Dari pembahasan diatas, maka obyek yang dipelajari ilmu kepolisian adalah ilmu
pengetahuan dan ketrampilan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian.
Tugas kepolisian oleh berbagai organisasi kepolisian di dunia yang bersifat unik dan
memiliki kekhasan masing-masing sesuai konteksnya, sebagimana dijelaskan oleh Charles Reith
: “that these principles constituted an approach to policing "unique in history and throughout the
world, because it derived, not from fear, but almost exclusively from public co-operation with the
police, induced by them designedly by behaviour which secures and maintains for them the
approval, respect and affection of the public" New Study of Police History (1956).”
Papahit 4

Terlepas dari sifat yang unik dan ciri khas tersebut, secara universal, tugas kepolisian di
seluruh dunia adalah “to maintain public order” melalui kegiatan pre emtif (seek and preserve
public favour, recognize public approval and willing of cooperation, maintain a relationship
with the public), preventif (prevent crime and disorder, using of necessary physical force, dan
“law enforcement(recognize the absence of crime)” sebagaimana intisari dari Peel’s Principles.
Peels Principle
1. To prevent crime and disorder, as an alternative to their repression by military force and severity of
legal punishment.
2. To recognise always that the power of the police to fulfil their functions and duties is dependent on
public approval of their existence, actions and behaviour, and on their ability to secure and maintain
public respect.
3. To recognise always that to secure and maintain the respect and approval of the public means also
the securing of the willing co-operation of the public in the task of securing observance of laws.
4. To recognise always that the extent to which the co-operation of the public can be secured
diminishes proportionately the necessity of the use of physical force and compulsion for achieving
police objectives.
5. To seek and preserve public favour, not by pandering to public opinion, but by constantly
demonstrating absolutely impartial service to law, in complete independence of policy, and without
regard to the justice or injustice of the substance of individual laws, by ready offering of individual
service and friendship to all members of the public without regard to their wealth or social standing,
by ready exercise of courtesy and friendly good humour, and by ready offering of individual
sacrifice in protecting and preserving life.
6. To use physical force only when the exercise of persuasion, advice and warning is found to be
insufficient to obtain public co-operation to an extent necessary to secure observance of law or to
restore order, and to use only the minimum degree of physical force which is necessary on any
particular occasion for achieving a police objective.
7. To maintain at all times a relationship with the public that gives reality to the historic tradition that
the police are the public and that the public are the police, the police being only members of the
public who are paid to give full-time attention to duties which are incumbent on every citizen in the
interests of community welfare and existence.
8. To recognise always the need for strict adherence to police-executive functions, and to refrain from
even seeming to usurp the powers of the judiciary of avenging individuals or the State, and of
authoritatively judging guilt and punishing the guilty.
9. To recognise always that the test of police efficiency is the absence of crime and disorder, and not
the visible evidence of police action in dealing with them.
Papahit 5

Dari penjelasan tersebut, berbagai ilmu dan keterampilan yang diajarkan oleh ilmu
kepolisian pada tataran idealnya adalah untuk memelihara kamtibmas (public security and public
order) dan mewujudkan tegaknya hukum (law enforcement) secara kontekstual.
Dengan demikian, ilmu kepolisian adalah ilmu kontekstual yang bersifat multi stage
inter disciplinair, yang mempelajari tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian untuk memwujudkan kamtibmas dan tegaknya
hukum.
Secara epistemologi, kelahiran ilmu kepolisian dapat dilihat dari sisi sejarahnya yang
unik dan berbeda-beda di setiap negara. Maka pendekatan terbaik untuk memahami lahirnya
ilmu kepolisian adalah melalui pendekatan inter-subyektif (konstruktivisme). Konstruktivisme
merupakan cara pandang dalam filosofi dimana “ilmu pengetahuan adalah kompilasi yang
merupakan konstruksi buatan manusia”, "bukan penemuan yang bersifat netral dari kebenaran
obyektif”.
Jika obyektivisme menekankan pada “obyek ilmu pengetahuan”, maka konstruktivisme
mengambarkan “bagaimana kita mengkonstruksikan ilmu pengetahuan”. Konstruktivisme
memberikan peluang untuk me-redefinisikan ilmu pengetahuan dan kebenaran melalui
paradigma yang lain berdasarkan inter-subyektivitas alih-alih obyektivitas, dan berdasarkan
kelangsungan hidup alih-alih kebenaran.
Vico mengatakan : "The norm of the truth is to have made it." Nilai dari suatu kebenaran
adalah telah menjalaninya. Pendekatan inter-subyektivitas ini tentunya masih perlu didalami
lebih lanjut melalui penelitian, karena pendapat saya sendiri secara subyektif terhadap ilmu
kepolisian yang ada di indonesia masih belum dapat disebut inter-subyektivitas (konstruktif)
sebelum diuji dengan subyektivitas collegiate lainnya dari seluruh organisasi kepolisian di dunia.
Inter-subyektivitas yang ada masih pada tataran collegiator di Indonesia.
Secara aksiologi, kemanfaatan mempelajari ilmu kepolisian telah dijelaskan dalam
pembahasan sebelumnya dari sisi ontologi yaitu untuk memelihara kamtibmas dan mewujudkan
tegaknya hukum secara kontekstual. Penekanan secara khusus saya berikan pada kata
“kontekstual” dikarenakan ilmu kepolisian juga mempelajari ilmu sosial yang bersifat dinamis
dan dipengaruhi budaya, demografi, dan kebijakan tiap negara, bahkan wilayah.
Kemanfaatan ini tentunya dilandaskan pada etika moral (ethics), yaitu mengenai apa yang
benar atau salah, baik atau buruk. Berbagai disiplin ilmu dan keterampilan yang dipelajari oleh
Papahit 6

ilmu kepolisian sampai saat ini masih dianggap sebagai nilai yang baik dalam tataran ideal
dengan mengedepankan manfaat bagi khalayak (public), menjunjung tinggi HAM, dan demi
melindungi hak privat setiap individu. Kebaruan dan perbaikan senantiasa terjadi, baik dari sisi
tugas kepolisian (penyidikan dengan penyiksaan di masa lalu menjadi semakin humanis),
manajemen organisasi (reformasi birokrasi), maupun dari etika pelaksanaan tugas-tugas
kepolisian itu sendiri (kode etik profesi). Apalah artinya ilmu tanpa menghadirkan kebaruan?
Sebagaimana halnya setiap ilmu pengetahuan (science), metode ilmu kepolisian harus
pula dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berangkat pada nilai yang terkandung dalam
ontologi, bahwa ilmu kepolisian adalah ilmu yang mempelajari ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian, maka dalam
mempelajari ilmu kepolisian metode yang digunakan adalah melalui metode yang digunakan
oleh masing-masing ilmu pengetahuan yang dipelajari tersebut. Tentunya adalah hal yang aneh
jika kita mencoba meneliti fenomena “fixing broken window” (penyebab) dengan menggunakan
komparasi semata seperti pada penelitian alur peluru dalam balistik forensik (dampak).
Pertanggungjawaban metode ilmu kepolisian adalah dengan menggunakan masing-
masing metode sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dipelajari.
Syarat lain suatu disiplin (apapun formanya) diakui sebagai science adalah adanya
collegium/ kolese / college, yaitu tempat pendidikan / tempat belajar bersama, adanya
collegiator/ schollar/ expert / peer / rekan sejawat, adanya media / sarana komunikasi
pembelajaran / bertukar informasi / jurnal, adanya tempat berinteraksi / scientific meeting
(kongres, conference, seminar, simposium, workshop). Hampir diseluruh negara didunia kita
menemukan organisasi yang bernama kepolisian, dan setiap organisasi kepolisian memiliki
lembaga pendidikan sendiri, setidaknya vokasional. Di Indonesia, terdapat berbagai collegium,
diantaranya SPN, AKPOL, STIK, UI, dan UNDIP.
Schollar (sarjana) ilmu kepolisian selain di Indonesia, dapat ditemukan di berbagai
negara lainnya seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, dan masih banyak lagi dengan
berbagai gelar kesarjanaan (Bsc, Msc, Doctor, dll). Di Indonesia sendiri sudah terdapat
organisasi ikatan alumni sarjana ilmu kepolisian yang berdiri sejak 1991.
Sarana pembelajaran dan berkomunikasi antar sesama collegiator ilmu kepolisian banyak
ditemukan di internet. Beberapa diantaranya Australian Police Journal, The Police Journal
(1928-2015), Indian police Journal, Emerald Insight, dan masih banyak lagi. Di indonesia,
Papahit 7

lembaga pendidikan STIK secara rutin menerbitkan Jurnal Studi Kepolisian sebagai media
komunikasi antar sesama collegiator.
Interaksi antar sesama collegiator ilmu kepolisian sudah lazim dilaksanakan diseluruh
dunia, baik pada tingkat internasional (interpol), regional (benua), maupun pada tingkatan lokal.
Yang terbaru adalah konferensi ASEANAPOL di Jakarta, meskipun konferensi masih bias
makna antara scientific meeting dan coordination meeting. Yang rutin menyelenggarakan
scientific meeting di Indonesia adalah STIK melalui seminar yang diselenggarakan setiap tahun
(terkadang lebih dari sekali), simposium, bedah buku, dll.
Dari pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu kepolisian telah memenuhi
syarat sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu kepolisian adalah ilmu kontekstual yang bersifat multi
stage inter disciplinair, yang mempelajari tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian untuk memwujudkan kamtibmas dan
tegaknya hukum. Ilmu kepolisian juga telah memenuhi syarat sebagai suatu disiplin ilmu (multi
stage inter-disciplinary) dengan terpenuhinya unsur collegium, collegiator, Media komunikasi,
dan scientific meeting. Jadi, jika ada yang bertanya kepada saya, “Apakah menurut filsafat ilmu,
ada yang namanya ilmu kepolisian?”, jawaban saya adalah “Ada, namun masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk menemukan universalitas dari ilmu kepolisian karena pada dasarnya
setiap organisasi dan sejarah kepolisian di dunia bersifat unik. Ilmu kepolisian adalah ilmu
pengetahuan yang ilmiah, setidaknya di Indonesia.”

Referensi:
Emsley, Clive.(2014) Brown, Jennifer M : The future of Policing - PEEL’S PRINCIPLES,
POLICE PRINCIPLES.New York : Routledge. p-11
Abdussalam, H.R. (2014) ILMU KEPOLISIAN Sebagai Ilmu Pengetahuan. Jakarta : PTIK Press.
Walker, Samuel (1977). A Critical History of Police Reform: The Emergence of Professionalism.
Lexington, MT: Lexington Books. p. 143 (https://en.wikipedia.org/wiki/Police#cite_note-2)
Neocleous, Mark (2004). Fabricating Social Order: A Critical History of Police Power. Pluto
Press. pp. 93–94. (https://en.wikipedia.org/wiki/Police#cite_note-3)
Papahit 8

Raskin, J. D. (2002). Constructivism in psychology: Personal construct psychology, radical


constructivism, and social constructivism. In J. D. Raskin & S. K. Bridges (Eds.), Studies in
meaning: Exploring constructivist psychology (pp. 1-25). New York , NY: Pace University
Press. p. 4 (https://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology#cite note-25)
Castello M., & Botella,L. (2006). Constructivism and educational psychology. In J. L. Kincheloe
& R. A. Horn (Eds.), The Praeger handbook of education and psychology (Vol. 2, pp. 263-
270). Westport, CT: Praeger. p. 263 (https://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology#cite note-
26)
Jonassen, D. H. (1991). Objectivism versus constructivism, Do we need a new philosophical
paradigm? Educational technology research and development, 39(3), 5-14. p. 10
(https://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology#cite note-27)
For an example, see Weber, Eric Thomas. 2010. Rawls, Dewey, and Constructivism: On the
Epistemology of Justice (London: Continuum)
(https://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology#cite note-28)
https://en.wikipedia.org/wiki/Ontology
https://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology
https://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles
http://www.socraticmethod.net
https://en.wikipedia.org/wiki/Applied_science
https://en.wikipedia.org/wiki/Police_science
https://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi

Anda mungkin juga menyukai