Anda di halaman 1dari 8

PROFESIONALISME PENGEMBAN FUNGSI UTAMA

KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Rivana Wahdi
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Terbuka
E-mail : rivanawahdi8@gmail.com

ABSTRACT
Police in general as stated in Article 13 of Law no. 2 of 2002 concerning the State Police of
the Republic of Indonesia, states that the main duties of the State Police of the Republic of
Indonesia are to provide security and public order, enforce the law, provide protection,
protection and service to the community. What is also important is that a police officer is
required to have a commitment to public service, as agreed by all members of the profession
on an ongoing basis. In this case, the public's demand for increased professionalism of those
carrying out the main functions of the police, namely Investigation, Intelligence and Security,
Traffic, Sabhara and Binmas, is the main thing. Professionalism is related to moral issues that
are standardized into a code of ethics, and violations of the code of ethics indicate that there
are moral problems within the police. There needs to be moral improvement in investigators
so that investigations can proceed well and correctly according to expectations.

Keywords : Professionalism, Police, Principle Functional Role, Law Enforcement, code of


conduct

ABSTRAK
Polisi secara umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Memberikan keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Yang juga penting adalah, seorang polisi dituntut untuk mempunyai
komitmen terhadap pelayanan publik, sebagai hal yang disepakati oleh seluruh anggota
profesi tersebut secara terus- menerus. Dalam hal ini, permintaan masyarakat terhadap
peningkatan profesionalisme pengemban fungsi utama kepolisian, yaitu Reserse, Intelkam,
Lalu Lintas, Sabhara, dan Binmas, adalah hal utama. Profesionalitas berkaitan dengan
masalah moral yang dibakukan menjadi kode etik, dan adanya pelanggaran kode etik
menunjukkan adanya masalah moral dalam tubuh polisi. Perlu ada perbaikan moral pada
penyidik agar penyidikan dapat berlangsung dengan baik dan benar sesuai harapan.

Kata Kunci : Profesionalisme, Polisi, Pengemban Fungsi Utama, Penegakan Hukum, Kode
Etik

PENDEHULUAN
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Sedangkan profesionalisme
merupakan komitmen para profesional terhadap profesinya, sekaligus merupakan 'ruh'
atau semangat, cara pandang, metoda, dan/atau praktek yang menelusupi sekaligus
dijabarkan dari serangkaian karakteristik profesi yang bersangkutan. Komitmen tersebut
ditunjukkan dengan kebanggaan dirinya sebagai tenaga profesional, usaha terus-menerus
untuk mengembangkan kemampuan profesional. Terdapat banyak pendapat mengenai
unsur-unsur
yang dapat dianggap sebagai bagian dari karakteristik yang membangun
profesionalisme sebuah profesi. Salah satu pendapat menyatakan bahwa suatu profesi
dicirikan antara lain oleh adanya spesifikasi tertentu yang berkenaan dengan: pendidikan
dan pelatihan, kepakaran/kompetensi intelektual atau teoretikal sekaligus teknis,
organisasi, disiplin dan kode etik, serta komitmen terhadap pelayanan yang bersifat
altruistik (pelayanan publik). Polisi, dalam segala maknanya, dengan demikian adalah
sebuah profesi. Dikatakan demikian karena untuk menjadi atau untuk dapat disebut sebagai
polisi, seseorang dituntut untuk menjalani pelatihan dan pendidikan, memiliki kepakaran
intelektual/teoretikal sekaligus teknis, tergabung dalam suatu organisasi, serta hidup
dengan disiplin dan kode etik, tertentu sebagaimana telah disepakati dan digariskan oleh
profesi polisi itu sendiri. Yang juga penting adalah, seorang polisi dituntut untuk
mempunyai komitmen terhadap pelayanan publik.
Sementara itu, fungsi kepolisian pada dasarnya adalah salah satu fungsi pemerintahan negara
di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Secara umum fungsi
kepolisian dibedakan diantaranya ke dalam apa yang disebut sebagai: fungsi utama, fungsi
organik, dan fungsi pendukung. Khusus fungsi utama kepolisian lebih lanjut dijabarkan ke
dalam: Reserse, Intelkam, Lalu-lintas, Sabhara, dan Binmas . Sehubungan dengan paparan di
atas, di satu sisi diakui adanya tuntutan masyarakat terhadap peningkatan profesionalisme
Polri dalam penegakan hukum, utamanya berkenaan dengan penanggulangan kejahatan dan
ketidak-tertiban, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Di sisi lain, ada pula
permasalahan sistem pembinaan karier yang belum sepenuhnya berbasis kompetensi [baca :
kepakaran] sehingga bermuara pada belum konsistennya pola penempatan anggota Polri yang
sesuai dengan penggolongan fungsi kepolisian, termasuk jenjang karier dan spesialisasi.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat terhadap peningkatan profesionalisme Polri dalam
konteks penegakan hukum, maka diselenggarakanlah penelitian mengenai 'Profesionalisme
Pengemban penelitian ini bermuara pada pemberian rekomendasi berkenaan dengan upaya
peningkatan profesionalisme pengemban fungsi utama kepolisian dalam penegakan hukum.
Di antara sekalian satuan wilayah Polri, tantangan tugas di Polresta dan polres Provinsi
Riau begitu bervariasi. Karenanya, kajian tentang profesionalisme Polri khususnya
profesionalisme para pengemban fungsi utama kepolisian di Polresta dan Polda Kepulauan
Riau diharapkan dapat menggali, menemukan, dan mengungkap temuan yang luas, demi
tercapainya tujuan Polri itu sendiri. Daerah penelitian yang menjadi fokus dalam
penelitian ini meliputi: Polresta Pekanbaru, mewakili wilayah perkotaan yang kosmopolitan
yang terbuka di daerah Provinsi Riau ; dan Polres Dumai, mewakili wilayah perdesaan yang
telatif insular dan tertutup di daerah Riau.

PERMASALAHAN
Ada dua permasalahan yang hendak diba- has pada artikel ini. Pertama, mengenai bentuk-
bentuk kekerasan yang dilakukan oleh penyidik dalam penyidikan; dan kedua mengenai
penilai- an profesionalisme polisi (penyidik) berdasarkan pada kinerja penyidik dalam
penyidikan di Polresta Pekanbaru dan Polres Dumai Provinsi Riau.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum sebagai law in action yang bersifat empiris.
Spesifikasi penelitian adalah kualitatif dengan sumber datanya berupa data primer dan data
sekunder. Lokasi penelitian di Provinsi Riau yang meliputi beberapa kabupaten/kota yang
ditentukan secara purposive. Informan penelitian terdiri dari penyidik, tersangka, terdakwa,
narapidana, mantan narapidana, advokat atau penasehat hukum, dan akademisi. Data primer
dan sekunder dikumpulkan melalui metode interaktif dan non interaktif. Data yang diperoleh
dianalisis ini dengan menggunakan analisis interaktif dan analisis mengalir.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kekerasan Polisi Sebagai Perilaku Menyimpang
Dalam hubungan antara kekerasan personal dan kekerasan struktural, Nasikun dengan
mengikuti konsep Galtung, menyatakan bahwa kendati kedua bentuk kekerasan itu secara
empiris dapat berdiri sendiri-sendiri tanpa mengandaikan satu sama lain, tumbuh melalui
pengalaman historis sosiologis yang panjang. Dapat dikatakan bahwa kekerasan yang
dilakukan oleh polisi itu merupakan perilaku menyimpang yang terkait erat dengan
kekuasaan dan wewenang yang ada padanya. Penyimpangan pekerjaan polisi adalah perilaku
menyimpang kriminal dan non kriminal yang dilakukan selama serangkaian kegiatan normal
atau dilakukan dengan memanfaatkan wewenang petugas polisi. Unsur-unsur yang sama
dalam semua tindakan ini adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang normal
selama kegiatan pekerjaan mereka dan perilaku tersebut merupakan hasil kekuasaan yang
melekat dalam pekerjaan mereka. Penyalahgunaan wewenang dapat didefinisikan sebagai
segala bentuk tindakan yang dilakukan polisi tanpa mengindahkan motif, maksud atau rasa
dendam yang cenderung untuk melukai, menghina, menginjak-injak martabat manusia,
menunjukkan perasaan merendahkan, dan/ atau melanggar hak-hak hukum seorang penduduk
dalam pelaksanaan “pekerjaan polisi”. Barker dan Carter menyoroti adanya tiga bidang
penyimpangan perilaku polisi ini, yaitu: pertama, penyiksaan fisik, terjadi jika seorang polisi
menggunakan kekuatan lebih dari yang dibutuhkan untuk melakukan penangkapan atau
penggeledahan resmi, dan/atau penggunaan kekuatan fisik yang berlebihan oleh petugas
polisi terhadap orang lain tanpa alasan dengan menyalahgunakan wewenang; kedua,
penyiksaan psikologis, terjadi jika petugas polisi secara lisan menyerang, mengolok-olok,
memperlakukan secara terbuka atau melecehkan seseorang dan/atau menempatkan seseorang
yang berada di bawah kekuasaan polisi dalam situasi di mana penghargaan atau citra orang
tersebut terhina dan tidak berdaya; dan ketiga, penyiksaan hukum, berupa pelanggaran
terhadap hak-hak konstitusional seseorang, hak yang dilindungi oleh hukum, oleh seorang
petugas polisi. Kekerasan psikologis banyak dilakukan penyidik dengan maksud untuk
mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka. Bentuk kekerasan psikologis yang
lain adalah pemeriksaan dilakukan pada malam hari, di mana secara psikologis tersangka
dalam keadaan lelah secara fisik, dan secara psikis tidak dapat berkonsentrasi menjalani
pemeriksaan. Meski demikian, ada juga tersangka yang menolak didamping penasehat hukum
yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di
Kepolisian, dan pendampingan baru dilakukan setelah berkas dilimpahkan ke kejaksaan atau
pun ketika di persidangan. Akan tetapi hal ini tak lepas pula dari kecepatan dan kecekatan
tersangka dalam mewujudkan hak-haknya untuk segera didampingi penasehat hukum dalam
penyidikan, serta sorotan media massa yang cukup besar dalam pemberitaan kasus tersebut.
Beberapa informan advokat/penasehat hukum mengemukakan bahwa pada umumnya hak-
hak tersangka dihormati oleh penyidik meski belum tentu dilaksanakan atau segera
dilaksanakan.

Profesionalisme Polisi Dalam Penegakan Hukum


Cerminan Profesional Dalam Diri Aparat Kepolisian hal ini menyebabkan Kecenderungan
pada tugas polisi yang lekat dengan penggunaan kekerasan sebagai salah satu cara untuk
mengatasi hambatan dalam proses penyidikan untuk memperolah pengakuan atau keterangan
terdakwa mengenai suatu tindak pidana. Pemeriksaan tersangka oleh penyidik (reserse)
dalam proses penyidikan berdasarkan pada berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa
budaya kekerasan di kalangan polisi masih ada, bahkan menjadi kelaziman untuk
memperoleh pengakuan tersangka. James Welsh, anggota Amnesty International dari
Australia, dalam sebuah seminar pernah menyatakan bahwa di mana pun, penyiksaan dan
perlakuan tidak wajar dialami para kriminal saat diperiksa polisi, termasuk di negara yang
menjunjung tinggi HAM. Bila tidak ada lembaga khusus yang dapat menampung keluhan
atas penganiayaan dan kekerasan yang banyak terjadi dalam initial phases investigation, baik
pada tahap penanganan di lapangan maupun penyidikan. Dikatakan oleh Luhut Pangaribuan
bahwa asas yang melekat pada konvensi itu adalah non derogable human right (hak asasi
manusia yang tak boleh dikurangi), artinya kekerasan maupun penyiksaan dalam bentuk
apapun (fisik maupun psikis) tidak mempunyai sikap eksepsional sehingga setiap percobaan
penyiksaan atau penyiksaan tanpa kecuali dan dalam keadaan bagaimanapun (dalam keadan
perang, instabilitas politik dalam negeri) tidaklah dibenarkan dan sebagai pelanggaran berat
hukum pidana. Kekerasan yang dilakukan oleh penyidik dalam penyidikan bermuara pada
moralitas polisi. Akan tetapi tidak semua okupasi dapat dikatakan sebagai profesi yang
berhak dan layak memiliki kode etik tersendiri. Mereka juga membentuk suatu profesi
disatukan karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian
yang tertutup bagi orang lain. Oleh karena memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu,
selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu kalangan yang
sukar ditembut. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitas atas putih
niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki, yang tidak pernah
dipaksakan dari luar. Polisi sebagai suatu profesi memiliki kode etik sebagai pedoman
tingkah laku dalam pelaksanaan tugas.

SIMPULAN
Ada dua simpulan yang dapat diberikan berdasar pada permasalahan, hasil dan pembahasan
penelitian sebagaimana tersebut di atas. Pertama, Polisi masih menggunakan kekerasan untuk
mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka dalam penyidikan. Bentuk kekerasan
yang dilakukan oleh penyidik adala kekerasan fisik, psikis, maupun hukum. Negara telah
gagal memberi perlindungan hukum kepada tersangka yang disebabkan oleh ketiadaan
peraturan yang dapat digunakan oleh tersangka untuk memperjuangkan hak-hak yang telah
dilanggar oleh penyidik; kinerja lembaga pengawas dalam penyidikan tidak bekerja secara
optimal; dan adanya perlindungan dari institusi kepolisian terhadap penyidik yang melakukan
kekerasan.
Kedua, semua fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa polisi dalam melakukan penyidikan
belum professional, sehingga upaya untuk menjadikan polisi yang profesional menjadi tugas
berat bagi institusi kepolisian. Upaya untuk membangun atau menciptakan polisi yang
profesional harus dimulai dari awal, yaitu pada taraf seleksi dan pendidikan, bahkan upaya ini
mesti harus terus dipupuk karena pelaksanaan tugas-tugas kepolisian memiliki standar
keahlian dan standar etika yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Frans Hendra Winarta. 2012. Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum.
Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Juli 2012.
Koesparmono, I. (2000). Polri Mandiri dan Kebudayaannya. Jakarta: Jurnal Polisi Indonesia.
Kunarto. (2004). Perilaku Organisasi Polri. Jakarta: Citra Manunggal.
L, J., & Sulivan. (1992). Pengantar Ilmu Kepolisian. Jakarta: PPTIK.
Nuh, M. (2011). Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pustaka Setia.
Sadjijono. (2010). Memahami Hukum Kepolisian. Jakarta: Laksbang Pressindo.
Suhrawardi K. Lubis, S. (2006). Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Suparlan, & Parsudi. (2007). Kode Etik Polri Guna Menunjang Profesionalisme Kepolisian.
Jakarta: Jurnal Polisi Indonesia.
Utomo, W. H. (2008). Hukum Kepolisian di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tabun 2006 Tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang
Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Website / Jurnal :
Arcidiacono, G. and Nuzzi, S. (2017). A Review of the Fundamentals on Process Capability,
Process Performance, and Process Sigma, and an Introduction to Process Sigma Split.
International Journal of Applied Engineering Research. 12(14): 4556-4570.

ArtikelHukumPidanadanPelanggaranKodeEtik,dikutipdari:
https://www.researchgate.net/publication/42353598Artikel-hukum
pidanapelanggaran-kode.
Dikutip dari:https://nasional.sindonews.com/read/1182000/13/kasus-bunuh-diri-
anggota-polisi-meningkat-117-1487670569.
http://e31.blogspot.com/2011/10/makalah- kode-etik-profesi.html.
http://www.polri.go.idTentangPolri,6 september 2011
www.suarapembaruan.com/News/2011/08/07/E ditor/edit01
www.kamusbahasaindonesiaonline.com/11/11/ 2011
http://www.propam.polri.go.id/?mnu=2

Anda mungkin juga menyukai