Anda di halaman 1dari 19

EKSISTENSI ILMU KEPOLISIAN DALAM PENGUATAN PENEGAKAN

HUKUM POLRI GUNA MEMBERANTAS KEJAHATAN NARKOBA DI ERA


REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DALAM RANGKA PEWUJUDAN PROGRAM
NASIONAL MENUJU INDONESIA BERSINAR

Oleh:
……………………………………………

A. Pendahuluan
Pengalaman, pekerjaan, alam, permasalahan, berbagai fenomena
lainya akan terus mengalami perubahan dan perkembangan. Dalam proses
perkembangan dan perubahannya dapat menjadi ilmu pengetahuan, tatkala
dipikirkan rasional, terus dipertanyakan secara kritis bahkan radikal, secara
sistematis dan dikembangkan secara ilmiah (mengacu pada standar
ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat-syarat sebuah karya ilmiah) serta
terus dibangun menjadi konsep-konsep dan teori-teori yang menjadi
landasannya ilmu pengetahuan keberadaanya dapat ditunjukan adanya
epistimologinya, ontologi, metodologi serta aksiologinya 1. Menurut konvensi
umum yang berlaku secara tradisional, ilmu pengetahuan secara garis besar
dapat dibagi menjadi 3, yaitu ilmu-ilmu pengetahuan alamiah (natural
sciences), ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences), dan humaniora
(humanities) yang kesemuanya mencakup sejumlah bidang ilmu pengetahuan
(disciplinary). Sebuah bidang ilmu pengetahuan ditanda oleh adanya
paradigma yang membedakan dengan paradigma bidang-bidang ilmu
pengetahuan lainnya. Menurut Thomas Kuhn (1970) ilmu pengetahuan
berkembang karena adanya paradigma baru yang mengenyampingkan
paradigma-paradigma lama atau ilmu pengetahuan berkembang melalui
proses revolusi ilmiah bukan evolusi ilmiah. Sedangkan Karl Popper (1959)
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara bertahap
berdasarkan paradigma-paradigma yang ada sebelumnya.

1
Epistemologi, adalah sebuah kajian filsafat dan/ atau kajian itu sendiri, yaitu sebuah teori mengenai hakekat pengetahuan
dari sesuatu bidang ilmu pengetahuan
Ontologi, adalah kejelasan mengenai keberadaan sesuatu bidang ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan bidang atau
bidang-bidang ilmu penegtahuan lainnya.
Aksiologi, adalah penjelasan mengenai hakekat nilai-nilai dan penilaian mengenai sesuatu bidang ilmu pengetahuan
Metodologi, adalah sebuah sistem berisikan prinsip-prinsip, praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang dipunyai oleh sesuatu
bidang ilmu pengetahuan.
Pendapat di atas ditentang kebenarannya oleh Taylor (1985: 26-33,
dalam Suparlan 1998), yang menyatakan bahwa pada dasarnya perbedaan
yang ada dalam ilmu pengetahuan adalah antara ilmu pengetahuan alamiah
dan humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Ilmu pengetahuan alamiah tidak
diperlukan interpretasi dan oleh gejala yang dikaji, karena tujuan penelitiannya
untuk memecahkan masalah yang terwujud di dalam dan hubungan-hubungan
diantara gejala-gejala yang dikaji. Sedangkan humaniora bercorak
interpretative atau hermeneutic karena kebenaran itu sendiri ada dalam
interpretasi bukan pada fakta-fakta sosial. Penelitiannya bertujuan untuk
memahami kelakuan manusia dan ungkapan-ungkapannya, dengan landasan
paradigm bahwa manusia itu makhluk pemikir dan berperasaan maka maka
manusia itu sebenarnya menginterpretasi dirinya sendiri dan lingkungannya.
Dalam perkembangannya, ilmu-ilmu pengetahuan sosial berusaha
menjadi ilmiah dengan mengadopsi filsafat positivism yang merupakan
landasan paradigma bagi ilmu-ilmu pengetahuan alamiah. Aliran tersebut
ditantang oleh paradigma-paradigma baru yang interpretative, yaitu post
positivism atau constructivism. Perbedaan antara keduanya adalah pada
metodologi yang kuantitatif untuk positivism, berlaku pada ilmu pengetahuan
alamiah dan metodologi humaniora yang kualitatif untuk post positivism.
Metode kualitatif semula merupakan andalan dalam antropologi, saat ini telah
digunakan dalam semua bidang-bidang ilmu pengetahuan sosial. Yang patut
diperhatikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah adanya
perubahan paradigma, yang semula berlandaskan satu paradigma
berkembang menjadi beberapa paradigma, antara lain antropologi dan
sosiologi. Selain itu, muncul bidang-bidang ilmu pengetahuan yang semula
hanya bidang-bidang kajian saja, antara lain ilmu administrasi dan ilmu
komunikasi. Bidang-bidang kajian tersebut telah memenuhi persyatan untuk
menjadi ilmu pengetahuan, yaitu: 1. Adanya komuniti ilmiah, terdiri dari para
pakar dalam bidang-bidang yang tercakup dalam bidang kajian tersebut,
saling berkomunikasi dan merupakan pilar penegak bagi keberadaan bidang
kajian tersebut, 2. Adanya paradigma yang menjadi acuan dan bidang kajian
yang berbeda dengan paradigma yang dimiliki oleh bidang kajian lainnya, 3.
Adanya jurnal ilmiah, para ahli/alumni saling mengomunikasikan hasil-hasil
kajian ilmiahnya. Suatu kajian penting diselenggarakan disebuah perguruan
tinggi karena kajian tersebut penting bagi masyarakat yang bersangkutan
(seperti Kajian Amerika, Jepang, Australia, Wanita dan lain-lain), biasanya
bercorak antar bidang (interdisciplinary) sehingga hemat biaya dan hanya
menghasilkan tenaga-tenaga profesi. Jadi kajian antar bidang biasanya tidak
diselenggarakan di perguruan tinggi untuk tujuan menghasilkan tenaga ahli
intelektual atau akademik (seperti antropologi, sosiologi, biologi, dan lain-lain)
(Suparlan 1998).
Ilmu Kepolisian sebagai ilmu pengetahuan semestinya dalam
pengembanganya mampu mengikuti bahkan melampaui perubahan-
perubahan jaman dan dirasakan manfaatnya bagi hidup dan kehidupan
manusia. Pengakuan-pengakuan diberikan tatkala ada keunggulan dari : 1.
Dosen/ guru pengajarnya, 2. Hasil didik/ alumninya yang unggul dan mampu
mengimplementasikan ilmunya dalam masyarakat, 3. Program-program dan
produk-produk unggulan yang menjadi kebanggaan bagi institusi pengguna
dan masyarakat, 4. Konsep/ teori-teorinya mampu memperbaiki, cocok/ tepat
bagi masa kini dan mampu memprediksi/ menyiapkan bagi masa depan yang
lebih baik. Demikian halnya dengan kepolisian tadi untuk dapat tumbuh dan
berkembang diperlukan ilmu kepolisian. Banyak pakar yang mengeluarkan
pendapat tentang ilmu kepolisian. Ilmu kepolisian mengacu dari pemikiran
sebagai profesor Parsudi Suparlan dinyatakan sebagai ilmu antar bidang yang
mempelajari tentang :1. Masalah sosial dan penanganya, 2. Isu-isu penting
yang terjadi dalam masyarakat, 3. Keteraturan dan penataanya,
4.Penegakkan hukum dan keadilan, 5. Penyelidikan dan penyidikan
kriminalitas dan pencegahanya. Ilmu Kepolisian sebagai dasar profesi
Kepolisian dengan mempelajari apa yang dikerjakana/ yang menjadi
pekerjaan polisi.
Salah satu tantangan ilmu kepolisian adalah seiring dengan
peningkatan kejahatan yang terus mengalami perkembangan dalam modus
operandi dan sasarannya. Ilmu kepolisian diharapkan dapat hadir dalam
penguatan penegakan hukum Polri guna memberantas kejahatan narkoba di
era revolusi industri 4.0 dalam rangka pewujudan program nasional menuju
Indonesia bersinar.
Kondisi pada era revolusi industri-4.0 kejahatan Narkoba juga semakin
berkembang dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Perubahan pola
komunikasi dan transaksi elektronik antara pengedar dan pembeli, yang
semula pembayaran dilakukan secara langsung, berubah melalui media
internet. Komunikasi dan transaksi elektronik dilakukan secara lintas wilayah
hukum bahkan lintas negara. Berdasarkan perkembangan kejahatan Narkoba
di era revolusi industri-4.0 maka Polri harus segera menyiapkan strategi
penguatan penegakan hukum guna memberantas kejahatan Narkoba di era
revolusi industri-4.0 dalam rangka Pewujudan program nasional menuju
Indonesia Bersinar. Pemberantasan kejahatan Narkoba harus dilakukan
dengan inovasi baru dengan meninggalkan cara-cara lama yang kurang efektif
dan selama ini menjadi beban bagi organisasi Polri.
Berdasarkan ipemaparan ilatar ibelakang itersebut, ipenulis itertarik iuntuk
i membahas ilebih ilanjut imengenai i“EKSISTENSI ILMU KEPOLISIAN DALAM
PENGUATAN PENEGAKAN HUKUM POLRI GUNA MEMBERANTAS
KEJAHATAN NARKOBA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DALAM
RANGKA PEWUJUDAN PROGRAM NASIONAL MENUJU INDONESIA
BERSINAR”

B. Pembahasan
Narkotika sebagai Kejahatan Transnasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi), menjelaskan bahwa tindak pidana
transnasional yang terorganisasi merupakan kejahatan internasional yang
mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian
dunia. Indonesia, sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, turut
menandatangani United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi) pada tanggal 15 Desember 2000 di
Palermo, Italia, sebagai perwujudan komitmen memberantas tindak pidana
transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral,
regional, ataupun internasional. Konvensi menyatakan bahwa suatu tindak
pidana dikategorikan sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi
jika tindak pidana tersebut dilakukan:
a. di lebih dari satu wilayah Negara;
b. di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan atau
pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara lain;
c. di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok pelaku tindak
pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana di lebih dari satu
wilayah negara; atau
d. di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas tindak pidana
tersebut dirasakan di negara lain.
Raharjo menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik kejahatan
transnasional, yaitu:2
a. Hampir selalu berkaitan dengan kejahatan-kejahatan dengan motif finansial
yang membawa dampak terhadap kepentingan lebih dari satu negara.
b. Kejahatan ini meliputi perdagangan obat bius (drug trafficking), kegiatan
kejahatan terorganisir lintas batas negara (transborder organized
criminal activity), pencucian uang (money laundering), kejahatan
finansial (financial crimes), perusakan lingkungan secara sengaja (wilful
damage to the environment), dan lain-lain.
c. Dilakukan di lebih dari satu negara;
d. Dilakukan di satu negara tetapi sebagian besar dari persiapan,
perencanaan, pengarahan atau pengendaliannya berlangsung di negara
lain.
e. Dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan
terorganisir yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas kejahatan di lebih dari
satu negara; atau
f. dilakukan di satu negara tetapi mengakibatkan dampak luas di negara lain.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Koto, bahwa terdapat beberapa
karakteristik dari kejahatan transnasional, yaitu:3
a. Berada di bawah yurisdiksi nasional, bukan obyek yurisdiksi universal,
sesuai asas “au dedere au punere” (“au dedere au punere”: negara locus
delicti berkewajiban menuntut dan menghukum pelaku kejahatan yang
berada di dalam batas wilayah negaranya).

2
Ibid, Rahardjo… hlm. 3.
3
Koto, Zulkarnein,. Implikasi Kejahatan Transnasional/Internasional. Bahan Ajar Perkuliahan
STIK – PTIK, 2017
b. Pemberlakuan hukum nasional berdasarkan asas teritorial atas asas
nasional aktif/pasif.
c. Perlu syarat keterkaitan dengan yurisdiksi dua negara atau lebih, seperti
ada negara yang jadi korban (victim’s state). Hal ini tidak pengaruhi asas
‘kedaulatan negara’.
d. Semata-mata yurisdiksi peradilan nasional.
e. Pengaturan dalam instrumen internasional memunculkan international
obligation, berupa interternational cooperation: ekstradisi, MLAT, transfer of
proceedings, transfer of sentenced persoon, joint investigations, dll.
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tindak pidana Narkotika telah
bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi
yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas,
dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda
bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara.
Permasalahan peredaran narkotika sebagai kejahatan transnasional
yang semakin rumit dikarenakan dalam peta perdagangan narkoba dunia,
posisi Indonesia sudah bergeser dari ‘negara transit’ menjadi ‘negara tujuan’
perdagangan narkotika ilegal. Secara geografis, letak Indonesia sangat
mendukung karena berada di antara dua benua, Asia dan Australia serta dua
Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia. Sifat sebagai negara kepulauan
terbesar (17.508 pulau) dengan kepemilikan garis pantai dan perbatasan
terpanjang, sangat memungkinkan menjadi daerah target produsen opium
terbesar di Asia: Golden Triangle dari Laos, Thailand dan Myanmar; Golden
Crescent dari Iran, Afghanistan, Pakistan serta Amerika Latin terutama Peru,
Bolivia, Kolombia, meskipun pergeseran produksi narkoba berbasis kimia
diyakini menjadikan Tiongkok saat ini sebagai pemasok terbesar dan
pengendali bisnis narkotika di Indonesia.4
Jalur narkotika ilegal ke Indonesia secara konvensional adalah melalui
berbagai pelabuhan udara di berbagai kota di Indonesia. Peredaran gelap
narkotika melalui udara dari luar negeri ke Indonesia tercatat meliputi Amerika
4
Herindrasti, V.L. Sinta, Drug-free ASEAN 2025: Tantangan Indonesia dalam
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 7, No. 1 / April -
September 2018.
Serikat-Jakarta; Malaysia-Jakarta; Malaysia-Tangerang; Nairobi-Abu Dhabi-
Jakarta; Tiongkok-Jakarta; Belanda-Jakarta; Iran-Jakarta; Ghana-Jakarta-
Surabaya; Nigeria-Jakarta-Bekasi; Nairobi-Doha-Jakarta; Kuala Lumpur-
Jakarta-Surabaya; Malaysia-Jakarta-Bandung; Guangdong-Jakarta; Hong
Kong-Jakarta. Namun, seiring dengan semakin ketatnya pengawasan di
bandara, jalur laut formal maupun ilegal menjadi alternatif pengganti.5

Penanggulangan Perdaran Narkotika Internasional Dari dan Ke Indonesia


Peredaran narkoba di Indonesia kondisinya sudah mengkhawatirkan.
Maraknya peredaran narkoba di Indonesia dikarenakan banyaknya pelabuhan
tidak resmi atau biasa dikenal dengan pelabuhan tikus yang dijadikan sebagai
tempat favorit bagi pelaku pengedar narkoba. Terdapat beberapa cara yang
dilakukan oleh pelaku dalam melakukan transaksi narkoba, antara lain yaitu
face to face, transaksi melalui kurir, pembelian langsung ke lokasi peredaran
narkoba, sistem tempel (sistem tanam ranjau), serta sistem lempar lembing.
Sumber narkoba yang beredar di Indonesia kebanyakan berasal dari luar
negeri seperti Asia, Eropa, Afrika dan Amerika. Terdapat berbagai cara
bagaimana narkoba dapat masuk ke wilayah Indonesia. Ada yang masuk ke
Indonesia langsung dari negara asalnya, ada pula yang masuk ke Indonesia
dengan cara transit lebih dulu ke Malaysia, untuk kemudian dibawa ke
Indonesia. Jalur yang ditempuh dari negara transit ini juga bermacam-macam.
Bisa melalui jalur udara, jalur laut, sungai, maupun dari darat melalui wilayah
perbatasan. Jalur laut dan jalur sungai paling banyak dimanfaatkan oleh
pelaku untuk didistribusikan ke berbagai wilayah, dikarenakan banyaknya
pelabuhan kecil yang tersebar di berbagai provinsi (Kalimantan, Sumatera,
dan Papua) serta kurangnya pengawasan oleh aparat di daerah tersebut.
Kurangnya sumber daya manusia serta sarana prasarana yang kurang
memadai menjadi faktor lemahnya pengawasan terhadap jalur laut dan
sungai.
Pencegahan atau penanggulangan perdaran narkotika internasional
dari dan ke Indonesia merupakan suatu upaya yang ditempuh dalam rangka
penegakan baik terhadap pemakaian, produksi maupun peredaran gelap
narkotika yang dapat dilakukan oleh setiap orang baik individu, masyarakat

5
BNN, Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2015, BNN, Jakarta, 2015.
dan negara. Pola kebijakan kriminal sebagai upaya penanggulangan
kejahatan, dapat ditempuh melalui 3 (tiga) elemen pokok yaitu: penerapan
hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana
(prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat
mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of
society on crime). Untuk mengatasi peredaran narkoba di dalam negeri,
Pemerintah Indonesia telah mengaturnya melalui Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui Undang-Undang ini, pemerintah
bertujuan antara lain untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi; mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia
dari penyalahgunaan narkotika; memberantas peredaran gelap narkotika; dan
menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna
dan pecandu narkotika.
Selain menerapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, pemerintah juga memperkuat aturan hukum tersebut melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib
Lapor Pecandu Narkotika. Tidak hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan
Instruksi Presiden No 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba tahun 2011-2015 sebagai bentuk komitmen
bersama seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara. Terakhir adalah
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2013
tentang Fasilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkotika, yang
didalamnya melibatkan peran serta dari gubernur/bupati/walikota.
Dalam rangka melakukan upaya penanggulangan perdaran narkotika
internasional dari dan ke Indonesia, perlu digunakan pendekatan multi
dimensional dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari
penerapan teknologi. penanggulangan terhadap peredaran gelap dan
penyalahgunaan narkotika dapat di tempuh melalui berbagai strategi dan
kebijakan pemerintah yang kemudian dilaksanakan secara menyeluruh dan
simultan oleh aparat terkait bekerjasama dengan komponen masyarakat anti
narkoba. Adapun strategi penanggulangan terhadap peredaran gelap dan
penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut:
1. Strategi Pengurangan Permintaan (Demand Reduction) Narkoba Strategi
pengurangan permintaan meliputi pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Upaya ini meliputi:
a. Primer atau pencegahan dini.
Yaitu ditujukkan kepada individu, keluarga atau komunitas dan
masyarakat yang belum tersentuh oleh permasalahan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba, dengan tujuan membuat individu,
keluarga, dan kelompok untuk menolak dan melawan narkoba.
b. Pencegahan sekunder atau pencegahan kerawanan.
Yaitu ditujukan kepada kelompok atau komunitas yang rawan terhadap
penyalahgunaan narkoba. Pencegahan ini dilakukan melalui jalur
pendidikan, konseling, dan pelatihan agar mereka berhenti, kemudian
melakukan kegiatan positif dan menjaga agar mereka tetap lebih
mengutamakan kesehatan.
c. Pencegahan tertier
Yaitu pencegahan terhadap para pengguna/pecandu kambuhan yang
telah mengikuti program teraphi dan rehabilitas, agar tidak kambuh lagi.
2. Pengawasan Sediaan (Supply Control) Narkoba
a. Pengawasan Jalur Legal Narkoba Narkoba dan prekusor untuk
keperluan medis dan ilmu pengetahuan serta untuk keperluan industri
diawasi oleh pemerintah.Pengawasan jalur legal ini meliputi pengawasan
penanaman, produksi, importasi, eksportasi, transportasi penggudangan,
distribusi dan penyampaian oleh instansi terkait, dalam hal ini
departemen kehutanan.
b. Pengawasan Jalur Ilegal Narkoba Pengawasan jalur ilegal narkoba
meliputi pencegahan di darat, di laut dan di udara. Badan narkotika
nasional telah membentuk Airport dan seaport interdiction task force
(satuan tugas pencegahan pada kawasan pelabuhan udara dan
pelabuhan laut).
3. Pengurangan Dampak Buruk (Harm Reduction) Penyalahgunaan Narkoba.
Sampai saat ini pemerintah secara resmi hanya mengakui dan menjalankan
dua strategi yaitu pengurangan permintaan dan pengawasan sediaan
narkoba. Namun menghadapi tingginya prevalensi OHD (orang dengan
HIV/AIDS) dikalangan penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik
secara bergantian, maka pada 8 Desember 2003 BNN telah mengadakan
nota kesepahaman dengan KPA (komisi penanggulangan HIV/AIDS),
nomor 21 kep/menko/kesra/XII/BNN, yang bertujuan untuk membangin
kerjasama antara komisi penganggulangan AIDS (KPA) dengan BNN dalam
rangka pencegahan penyebaran HIV/AIDS dalam pemberantasan
penyalahgunaan narkotika.
Upaya penanggulangan perdaran narkotika internasional dari dan ke
Indonesia tercermin dari politik luar negeri Indonesia. Politik luar negeri
Indonesia pada dasarnya memiliki prinsip yang bebas aktif sebagaimana
diamanahkan UUD 45. Politik luar negeri Indonesia telah menunjukan
kesungguhannya karena politik bebas aktif sejak lahirnya sudah ditakdirkan
aktif. Indonesia telah menjadi bagian dari kolaborasi internasional untuk
menciptakan perdamain dunia. Indonesia turut aktif dan berpartisipasi dalam
membangun kerjasama baik secara regional maupun internasional. Fokus
masalah yang menjadi perhatian politik luar negeri salah satunya transnational
crime. Sehingga kebijakan politik luar negeri perlu mencerminkan nilai
kolektifitas dan kerjasama dalam menghadapi ancaman global. Masalah-
masalah HAM, kejahatan transational dan cooperative security akhirnya
menjadi fokus kebijakan PLN sebagai harapan menciptakan dunia damai dan
harmonis. Kebijakan politik luar negeri indonesia dalam menanggulani
narkoba dan membangun integrasi kerjasama di ASEAN dapat diamati
dengan beberapa indikator, misalnya adanya anggaran untuk memerangi
drugs trafficking yang terus meningkat. Pemerintah memberikan kebijakan
anggaran yang cukup besar untuk pemberantasan narkoba. Besaran
anggaran dapat digunakan dalam bentuk penguatan kerjasama internasional,
penguatan hukum indonesia, dan pemberdayaan sosial sebagai pengalihan
dari ketergantungan terhadap ekonomi.
Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai forum seperti
Commission on Narcotic Drugs, Special Session of the United Nations
General Assembly on the World Drug Problem yang akan diadakan pada 19-
21 April 2016, dan Head of National Drug Law Enforcement for Asia-Pacific
(kemlu.go.id). Dalam dua forum yang diikuti oleh Indonesia juga membuktikan
peranannya dalam mendukung lembaga-lembaga yang konsisten dalam
pemberantasan narkoba. Indonesia berkomitmen meningkatkan koordinasi
antara pemangku kepentingan pada tingkat regional dan internasional
khususnya ASEAN dalam upaya menanggulangi masalah narkotika. Indonesia
juga melakukan pendekatan alternativ development yang mengurangi
penanaman tumbuhan yang mengandung zat narkoba dengan menawarkan
langkah alternatif yang dapat mengalihkan penghasilan masyarakat dan
pertumbuhan pembangunan bebas dari narkoba.
Kordinasi dan kerjasama indonesia juga dilakukan dengan anggota
ASEAN seperti halnya Filipina. Kerjasama Indonesia dengan Filipina dalam
penguatan hukum masing-masing negara untuk menindak pengguna atau
pengedar narkoba. Kedua negara diharapkan tidak memberikan intervensi
terhadap tindakan hukum yang dilakukan terhadap masing-masing warganya.
Bahkan kedua negara juga berkometmen untuk menindak tegas hukuman
mati terhadap warga negara yang melanggar hukum drugs trafficking, dimana
kedua nehara berkomitmen tidak ada toleransi untuk pengedar narkoba. Dari
penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pemerintahan Indonesia
tidak memberikan ruang bagi peredaran narkotika internasional baik dari dan
ke Indonesia. Sanksi tegas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Narkotika siap menanti para pelaku kejahatan narkotika yang memaksakan
diri masuk ke Indonesia.
Keseriusan dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dari dan ke
Indonesia ditunjukkan Polri dengan berusaha untuk melakukan
penanggulangan terhadap kejahatan narkoba dan kejahatan terorisme. Salah
satunya ditunjukkan oleh Kapolda Bali Irjen. Pol Dr. Petrus R. Golose pada
Tahun 2017 dengan membentuk Satgas Counter Transnational and Organized
Crime (selanjutnya disebut CTOC) yang bertugas untuk memberantas segala
bentuk kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh sindikat Internasional,
khususnya yang menyangkut penyelundupan dan peredaran narkoba
diwilayah hukum Polda Bali. Yang lebih berfokus terhadap kejahatan yang
bersifat transnational dan kejahatan terorganisir terutama teroris, narkoba dan
premanisme. Dalam pembentukannya, Satgas CTOC memiliki visi yang jelas
yakni Penangkal Kejahatan Teorganisir dan Lintas-Negara khususnya di
wilayah Bali. Dari visi tersebut, salah satu misi utama Satgas CTOC yaitu Zero
Narkotik / bebas dari narkoba. Terbentuknya Satgas CTOC dalam upaya
penanggulangan peredaran narkoba sindikat internasional telah menunjukkan
bukti nyata. Pada bulan Agustus tahun 2017, Satgas CTOC Polda Bali
berhasil menjegal kurir narkoba. Dari tangan tersangka berhasil diamankan
narkoba jenis sabu-sabu seberat 282,53 gram. Bukti lain keberhasilan
pembentukan SatgasCTOC Polda Bali adalah berdasarkan data yang
dihimpun dari BNN Tahun 2016 prevalensi penyalahgunaan narkoba di Bali
menempati urutan ke-11, sedangkan pada Tahun 2017 setelah terbentuknya
CTOC Polda Bali, prevalensi narkoba turun menempati urutan ke 23dengan
jumlah penyalahguna 62.427 orang menjadi 50.937 orang. 6 Keberadaan
Satgas CTOC tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintah Indonesia
tidak akan memberikan sedikit ruang pun bagi para pelaku tindak pidana
narkotika internasional, baik dari dan ke Indonesia.

Eksistensi Ilmu Kepolisian Dalam Penguatan Penegakan Hukum Polri


Guna Memberantas Kejahatan Narkoba Di Era Revolusi Industri 4.0
Program Nasional yang tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 2
Tahun 2020 merupakan bentuk respon yang serius dari Presiden Republik
Indonesia Ir Joko Widodo agar upaya P4GN dapat dilakukan secara masif dan
bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa. Polri bersama BNN yang
didukung oleh Kementrian/Lembaga, Pemerintah Daerah, masyarakat serta
insan pers seluruh media untuk ikut berperan aktif dalam upaya P4GN
mewujudkan Indonesia Bersinar (Bersih Narkoba).
Kejahatan peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika
didefinisikan sebagai “setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika”. Pilar pencegahan dan
pemberantasan menekankan pada upaya bersama dalam mencegah,
membatasi, mempersempit ruang gerakperedaran, menindak, membasmi, dan
memberantas kejahatan peredaran gelap narkoba. Tema ataupun isu strategis
dalam pilar ini adalah berupa upaya integratif melakukan pencegahan dan
penangkapan dan penindakan jaringan sindikat peredaran narkoba,
penangkapan pengedar narkoba, pengungkapan sindikat jaringan, dan
penyitaan barang bukti narkoba. Narkoba adalah musuh bersama karena
6
Aldy, Polda Bali Bersama Satgas CTOC GagalkanPenyelundupanSabu ke Bali:
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/09/06/polda-bali-bersama-satgas-ctoc-gagalkan-
penyelundupan-sabu-ke-bali, 2017.
merusak masa depan generasi muda bangsa. Penanganan kejahatan
Narkoba memerlukan dukungan dari seluruh komponen bangsa. Kejahatan
Narkoba pada umumnya bersifat transnasional (cross border), merupakan
kejahatan extraordinary yang menjadi perhatian seluruh negara di dunia.
Posisi strategis negara Indonesia juga menjadi sasaran peredaran gelap
sindikat kejahatan Narkoba Internasional. Maraknya penyelundupan Narkoba
di Indonesia merupakan ancaman nyata yang membahayakan kehidupan.
Polri dan BNN selaku leading sector di bidang Penegakan Hukum kejahatan
Narkoba terus melakukan berbagai upaya nyata untuk memberantas
peredaran gelap Narkoba di Indonesia.
Berdasarkan data diolah bahwa sepanjang 2020, Polri telah berhasil
mengungkap ribuan kasus dengan barang bukti, diantaranya, 51 ton ganja
dan 5,53 ton sabu. Dalam kurun waktu tahun 2019 “Polri berhasil menyita
889.179 butir pil ekstasi; 1,99 kg Kokain; 59,76 ton ganja ; 23,5 kg Heroin
serta 4,07 ton sabu”. Sedangkan selama periode bulan Januari-Juni 2021,
Polri berhasil mengungkap 19.229 kasus penyalahgunaan Narkoba dengan
nilai total mencapai Rp.11,66 triliun. Jumlah barang bukti yang disita yaitu 7,6
ton sabu; 2,1 ton ganja; 7,3 kilogram heroin; 34,3 kilogram tembakau gorilla
dan 239.277 butir pil ekstasi. Salah satu modus operandi yang digunakan
adalah menyamarkan Narkoba dengan cara membungkusnya dengan
komoditas impor. Pengedar menggunakan jalur laut dengan metode
penyelundupan antar kapal. Metode penyelundupan antar kapal menjadi
metode yang efektif karena memanfaatkan akses masuk pelabuhan tradisional
yang berada di sepanjang pulau Sumatera yang masih lemah sistem
pengawasannya.

Gambar 1
Peta Jalur Penyelundupan Narkotika Masuk Ke Indonesia
Sumber : Dittipidnarkoba Bareskrim Polri, 2020
Kondisi di atas memperlihatkan bahwa “penyelundupan narkoba
menjadi ancaman serius bagi keamanan masyarakat Indonesia”. “Sindikat
narkoba internasional, sebagai aktor non-negarayang profesional, dengan
berbagai modus, dan juga dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, akan
selalu berupaya memasukkan narkoba secara ilegal ke Indonesia, sebuah
pasar narkoba yang menguntungkan dan potensial untuk digarap” (Victor
Muhammad, 2015:51).
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses Pewujudan ide-ide.
Penegakan hukum ialah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norama hukum nyata sebagai pedoman dalam hubungan-
hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan
Hukum terhadap para pelaku peredaran Narkoba menurut Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 ditambah lagi dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun
2020 tentang RAN P4GN 2020-2024 dapat digunakan sebagai sarana untuk
mendorong adanya komitmen semua pihak untuk bersama-sama memerangi
narkoba, sehingga undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak hanya
mengatur pemberantasan sanksi pidana bagi penyalahgunaan narkotika saja,
tetapi juga bagi penyalahgunaan prekursor narkotika untuk pembuatan
narkotika. “Penataan sanksi pidana ini diwujudkan dalam bentuk pidana
minimum khusus, pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup,
maupun pidana mati yang didasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan
jumlah narkotika, dengan harapan adanya pemberatan sanksi pidana ini maka
pemberantasan tindak pidana narkotika menjadi efektif serta mencapai hasil
maksimal”.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang penegakan hukum
atau law enforcement. Pada penanggulangan tindak pidana diperlukan 2
upaya yaitu dengan cara penal dan cara non-penal yang artinya penyelesaian
hukum tidak menggunakan hukum pidana (penal) (Hamzah & Surachman,
1994). Mengungkap suatu jaringan kejahatan tindak pidana narkotika tidaklah
mudah karena kejahatan mereka bisanya sangat terorganisir dan tersusun
rapi dengan modus operasi kejahatan yang selalu berubah-ubah. Kenyataan,
dalam setiap kasus penyelidikan dan penangkapan para pelaku kejahatan
hanya sebatas pada pihak pengguna dan paling maksimal hanya pada
penangkapan para pengedar. Dalam penggunaan teknik penyelidikan dan
penyidikan kejahatan Narkoba menyangkut masalah pengakuan Hak Asasi
Manusia maka moralitas penegak hukum perlu dikendalikan dengan sistem
pengawasan. Pengawasan dilakukan secara internal, yakni organisasi dan
pengawasan eksternal oleh masyarakat. Perlu dipahami bahwa aturan-aturan
hukum yang efektif berlaku di suatu negara, belum tentu nilai-nilai atau aturan-
aturan di Negara tersebut dapat dengan mudah diterapkan di Negara lain, hal
ini di karenakan sistem nilai dan moral masyarakat yang berbeda. Kewajiban
menggali dan memahami nilai hukum tersebut, diwujudkan dalam kegiatan
memberikan jaminan perlindungan hukum, melakukan teknik penyelidikan dan
penyidikan, serta penerapan sanksi pidana. Untuk itu kesadaran dari orang
tua dan pihak yang berwenang yang diharapkan mampu memberantas
menyelesaikan pengedaran obat-obatan terlarang.
Mengingat kondisi geografis dan demografis, Indonesia yang pada
mulanya sebagai negara transit perdagangan narkoba, kini sudah dijadikan
daerah tujuan dari para sindikat jaringan peredaran narkotika Internasional.
Indonesia telah menempatkan kejahatan narkoba sebagai high-risk crime dan
dalam penanganannya membutuhkan upaya yang luar biasa. Tingginya angka
penyalahgunaan narkoba tersebut juga disumbang oleh ulah pada sindikat
narkoba. Penegakan hukum harus tepat dengan mempertimbangkan aspek
sosial, ekonomi dan keamanan selain mempertimbangkan faktor hukum dalam
pelaksanaan tugasnya. Hal ini sesuai dengan Ilmu Kepolisian yang
mempedomani pelaksanaan tugas-tugas lembaga kepolisan, dimana Ilmu
Kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari
fungsi dan lembaga kepolisian dalam mengelola masalah-maslaah sosial guna
menwujudkan keteraturan sosial (Rycko Amelza Dahniel, et.al, 2015).
Salah satu eksistensi ilmu kepolisian dalam mendukung
pemberantasan tindak pidana narkoba di era digital 4.0 adalah melalui
pemanfaatan TIK oleh Polri. Pemanfaatan TIK dalam penyidikan tindak pidana
narkoba pada Direktorat Narkoba Mabes Polri merupakan perwujudan Ilmu
Kepolisian, sebagaimana pendapat yang diutarakan oleh Suparlan (dalam
Dahniel, 2015: 72) yang menyatakan bahwa ilmu kepolisian adalah ilmu yang
mempelajari masalah-masalah sosial dan penanganannya. Fungsi kepolisian
terdiri dari seperangkat kegiatan operasional kepolisian, dalam
pelaksanaannya dilakukan secara simultan untuk mengelola masalah-masalah
sosial. Seperangkat kegiatan operasional kepolisian itu dikelola dalam tiga
strategi yang dilaksanakan secara simultan dan dalam intensitas yang
berbeda-beda sesuai dengan tingkatan atau eskalasi masalah sosial yang
dihadapi (simultaeous strategy to social problem). Pemanfaatan TIK dalam
penyidikan tindak pidana narkoba pada Direktorat Narkoba Mabes Polri
merupakan penerapan dari strategi fungsi investigasi dan represif. Fungsi
investigatisi dan represif ini merupakan serangkaian upaya penegakan hukum
(represif), termasuk upaya-upaya penyelidikan dalam rangka pengumpulan
data dan informasi (investigatif) melalui self tracking. Globalisasi sebagai
suatu perubahan yang drastis dan merubah segala sesuatu, bukanlah hal
yang harus dihindari. Ilmu kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu
pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting
untuk pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, (dan juga)
mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan (serta) dan
mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak
kejahatan, termasuk tindak pidana kejahatan narkotika jaringan internasional.
Kepolisian harus meningkatkan kemampuan yang dimiliki dalam pemanfaatan
teknologi informasi komunikasi pada era globalisasi, sehingga upaya-upaya
pengungkapan tindak pidana narkotika jaringan internasional akan semakin
efektif.
Untuk mencapai Polisi yang preofesional dan yang efektif, maka
diperlukan pemolisian yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan yang dapat
menyesuaikan dengan corak masyarakat, kebudayaan, serta lingkungan yang
dihadapinya. Pemolisian merupakan cara pelaksanaan tugas polisi yang
mengacu pada hubungan antara polisi dengan pemerintahan maupun dengan
masyarakat yang didorong adanya kewenangan, kebutuhan, serta
kepentingan, baik dari pihak kepoilisian, masyarakat, maupun dari berbagai
organisasi lainnya. Dalam membangun pemolisian di era digital perlu
pemikiran-pemikiran secara konseptual dan bertindak pragmatis yang saling
melengkapi dan menjadi suatu sistem. Tatkala kita membangun sistem yang
perlu diperhatikan adalah masukan (input), proses (cara mencapainya)
maupun keluaranya (output), yang memerlukan adanya standar-standar baku
sebagai pedoman operasionalnya (SOP : a) job description dan job analysis,
b) standardisasi keberhasilan tugas, c) sistem penilaian kinerja, d) sistem
reward dan punishment, dan e) etika kerja).
Di era global sistem-sistem online merupakan kebutuhan untuk
memberikan pelayanan prima, sebagai program inisiatif anti korupsi, reformasi
birokrasi dan terobosan kreatif. Pemerintah akan membangun e government,
perbankan membangun e banking. Bagi kepolisian membangun model/ pola
pemolisianya melalui elektronik (electronic policing/ e-policing) 7. E-Policing
adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian
secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa
terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu
untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi. Bisa
juga dipahami membawa community policing pada sistem online. Selain
kontribusi dalam upaya penegakan hukum secara represif, ilmu kepolisian
juga diharapkan mampu mendukung upaya Polri dalam pencegahan bahaya
narkoba bagi generasi penerus bangsa melalui pemolisian digital.

C. Penutup
Ilmu Kepolisian sebagai ilmu pengetahuan semestinya dalam
pengembanganya mampu mengikuti bahkan melampaui perubahan-
perubahan jaman dan dirasakan manfaatnya bagi hidup dan kehidupan
manusia. Ilmu kepolisian terus tumbuh dan berkembang guna mengatasi
permasalahan sosial, termasuk permasalahan kejahatan narkoba yang terus

7
(http://halopolisi.com/2015/03/14/e-policing-membawa-model-pemolisian-pada-sistem-on-line/)
meningkat. Salah satu eksistensi ilmu kepolisian dalam mendukung
pemberantasan tindak pidana narkoba di era digital 4.0 adalah melalui
pemanfaatan TIK oleh Polri. Ilmu kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu
pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting
untuk pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, (dan juga)
mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan (serta) dan
mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak
kejahatan, termasuk tindak pidana kejahatan narkotika jaringan internasional.
Selain kontribusi dalam upaya penegakan hukum secara represif, ilmu
kepolisian juga diharapkan mampu mendukung upaya Polri dalam
pencegahan bahaya narkoba bagi generasi penerus bangsa melalui
pemolisian digital.

D. Daftar iiPustaka
Buku:
Bachtiar, iHarsja iW. i1994. iIlmu iKepolisian, iSuatu iCabang iIlmu iPengetahuan
iyang iBaru.

Bayley iDavid iH. iand iClifford iD. iShearing. i1995. i“the iNew iStructure iof
iPolicing”, iNational iInstitute iof iJustice, iWashington.

Chryshnanda, iiD.L. ii2016. iiDemokratisasi iiPemolisian iidan iiStrategi iiKeluar iidari


iiZona iiNyaman.Yayasan iiPengembangan iiKajian iiIlmu iiKepolisian

ii(YPIKIK). iiJakarta.

Dahniel, iRycko iAmelza, iet.al. i2015. iIlmu iKepolisian. iEdisi iPerdana iDies
iNatalis ike-69 iSTIK-PTIK. iJakarta: iPTIK iPress.

Golose, Petrus Reinhard. 2020. Illicit Drug: Kejahatan Lintas Negara. Jakarta:
Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.

Hadiwinata, Bob Sugeng. 2007. Transformasi dalam Studi hubungan


Internasional, Aktor, Isu dan Metodologi. Bandung: Graha Ilmu.

Hamzah & Surachman, 1994

Herindrasti, V.L. Sinta. (2018). Drug-free ASEAN 2025: Tantangan Indonesia


dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba. Jurnal Hubungan
Internasional. Vol. 7. No. 1 / April - September 2018.

Koto, Zulkarnein. (2017). Implikasi Kejahatan Transnasional/Internasional.


Bahan Ajar Perkuliahan STIK – PTIK.
Raharjo, Trisno. (2015). Tinjauan Teoritik terhadap Kejahatan Narkotika
sebagai Transnasional Organized Crime. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah.

Suparlan. iParsudi. I1998. iBunga iRampai iIlmu iKepolisian iIndonesia. iJakarta:


iYPKIK.

Peraturan Perundangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2020 tentang RAN P4GN 2020-2024

Anda mungkin juga menyukai