Kerja sama dan peran serta masyarakat nampaknya sangat berarti bagi
penanggulangan kejahatan di berbagai lingkungan masyarakat. Di Indonesia,
penerapan konsep pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang menitikberatkan
pada keterlibatan dan peran serta masyarakat telah dituangkan dalam konsep
keamanan swakarsa. Sistem keamanan swakarsa adalah suatu sistem keamanan yang
mengupayakan hidupnya peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam pembinaan
keamanan, menyeimbangkan dan menyesuaikan hubungan satu sama lain, yang
tumbuh dan berkembang atas kehendak dan kemampuan masyarakat sendiri, untuk
mewujudkan daya tangkal, daya cegah dan daya penanggulangan masyarakat
terhadap setiap kemungkinan gangguan keamanan serta daya tanggap dan
penyesuaian masyarakat terhadap setiap perubahan dan dinamika sosial yang
membudaya dalam bentuk pola sikap kebiasaan dan perilaku masyarakat, sehingga
gangguan keamanan dapat dicegah sedini mungkin sejak dari sumber dasarnya dan
kekuatan fisik aparatur keamanan digunakan seminimal mungkin dan secara selektif.
1
Teknologi industrial security dan manajemen security telah berkembang pesat
sekali di negara-negara maju. Mulanya industrial security hanya terbatas pada usaha
pengamanan langsung, tetapi kemudian berkembang dengan hubungan industrial,
community development dan coorporate social responsibility. Untuk mengikuti
perkembangan industrial security yang begitu pesat ini dibutuhkan peran serta aktif
Polisi dalam rangka memanage industri-industri pengamanan swakarsa sehingga dapat
tercipta keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Dalam rangka pembinaan
pengamanan swakarsa ini tentunya Polri bertindak berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukumnya. Di Indonesia sejak zaman kemerdekaan
telah diadakan tiga kali perubahan undang-undang kepolisian mulai Undang-Undang
No 13 Tahun 1961, Undang-Undang No 28 Tahun 1997 dan terakhir sekarang Undang-
Undang No 2 Tahun 2002.
2
Konsepsi Keamanan
Bahwa salah satu tujuan negara adalah memberikan perlindungan kepada
warganya sebagaimana disebutkan dalam teori perjanjian sosial (due contra social)
oleh Thomas Hobbes bahwa masyarakat telah menyerahkan hak-hak alaminya kepada
negara yang dibentuk atas kekuatan perjanjian, oleh karena itu negara wajib menjamin
hak-hak setiap warga negara antara lain termasuk hak untuk hidup aman dan tenteram
dari gangguan atau serangan sesama, sebab sasaran pertama negara adalah
menjamin keamanan. Agar keamanan dapat dijamin, negara harus kuat, dan negara
memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi
rakyatnya. Tujuannya adalah agar keadaan tidak menjadi kacau, harus ada lembaga
yang kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat.
Menyikapi teori yang dikemukan oleh Thomas Hobbes, maka setiap umat
manusia di dunia ini pasti memerlukan rasa aman, aman dari berbagai gangguan yang
dapat mengganggu seseorang dalam melaksanakan eksistensinya, atau dengan kata
lain aman bagi setiap manusia atau masyarakat dalam melaksanakan daya dan
usahanya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Pada saat terjadi gangguan atau
ancaman terhadap kehidupan seseorang atau kelompok, secara individu atau dalam
ikatan kelompok manusia selalu berusaha untuk melindungi dirinya agar terhindar dari
berbagai ancaman yang mengganggu bahkan yang lebih ekstrim terhindar dari acaman
yang dapat meniadakan eksistensi seseorang.
3
kondusif bagi kelancaran pembangunan. Adapun pengertian dari masing-masing istilah
tersebut adalah sebagai berikut:
a. tata: yaitu dilaksanakan melalui penegakan aturan hukum di dalam masyarakat
akan terwujud tatanan kehidupan yang teratur dan tertib;
b. tentram: terpeliharanya tata tertib dalam kehidupan masyarakat akan
menimbulkan rasa tentram warga masyarakat;
c. kerta: suasana yang tentram dan damai menjamin kelancaran kegiatan
meningkatkan gairah kerja;
d. raharja: meningkatkan gairah kerja akan meningkatkan produktivitas, sehingga
tercapailah kesejahteraan rakyat.
4
Konsitusional UUD RI 1945 sebagai norma dasar telah memandang bahwa
masalah keamanan begitu penting dalam kelangsungan eksistensi suatu negara, oleh
karena itu tanpa keamanan, tujuan negara yang telah ditetapkan dalam Konstitusi UUD
RI 1945 tidak akan tercapai. Selanjutnya di dalam mewujudkan keamanan tidak akan
dapat dilaksanakan sendiri oleh negara secara formal (supra struktur) melalui alat-alat
perlengkapannya. Oleh karena itu harus dibantu oleh masyarakat, dengan kata lain
partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan negara merupakan prinsip yang
sangat mendasar sebagaimana ditentukan dalam pasal Pasal 30 ayat (2) UUD 1945
telah dimuat mengenai: ”Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan
utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
5
Eksistensi Satpam
Eksistensi Satpam adalah menyangkut keberadaannya, baik dilihat dari tugas,
fungsi, wewenang dan perannya membantu Polri dalam melaksanakan tugas-tugas
kepolisian secara terbatas, artinya hanya terkait dengan tugas-tugas kepolisian di
bidang penegakan hukum bersifat pencegahan (preventif) dilingkungannya bertugas
sebagai Satpam, bukan melakukan penegakkan hukum (law enforcement) yang
bersifat penindakan atau repressif, kecuali dalam hal tertangkap tangan, semua orang
berhak melakukan penangkapan dan segera setelah melakukan penangkapan segera
menyerahkan tersangka beserta barang bukti ke kantor Polri yang terdekat.
Dalam Pasal 3 ayat (1) hruf c UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri disebutkan:
“Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” adalah suatu bentuk
pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat
sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara RI., seperti
satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan.”
”Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas
dalam “lingkup kuasa tempat” (teritorial gebied atau ruimte gebied) meliputi lingkungan
pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan
pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada satuan pada
pertokoan. Pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan
Kapolri.” Dalam pasal 14 ayat (1) huruf f yang berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Polri bertugas melakukan koordinasi,
pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik PPNS
dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.”
6
e. melaporkan kepada Polri dan atasan Satpam kalau ada peristiwa pidana yang
terjadi dilingkungan kerjanya;
f. menangkap seseorang yang sedang berbuat pidana (kejahatan atau
pelanggaan);
g. mengamankan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang terjadi dilingkungan
kerjanya;
h. segera menolong korban.
Satpam disebut sebagai unsur pembantu Polri dalam melaksanakan tupoksi dan
perannya, maka dalam ini bukan berarti satpam berkedudukan sebagai sub ordinasi
dari Polri melainkan hanya membantu secara fungsional tugas-tugas kepolisian secara
terbatas. Atas kedudukan Satpam tersebut ada pihak-pihak tertentu yang kurang
mengerti ketentuan dimaksud dan bahkan walaupun telah mengerti, karena alasan
“komersial” dapat dijadikan sebagai suatu alasan untuk merekayasa agar pembinaan
satpam tidak hanya berada di tangan Polri, namun intansi pemerintah lainnya juga
dapat melakukan pembinaan. Dalam kesisteman baik mulai dari pendidikan, pembinaan
teknis-teknis dan taktis pelaksanaan tugas-tugas kepolisian secara terbatas
dilingkungan tempat tinggal satpam bertugas, kalau tidak berada di bawah pengawasan
dan pembinaan Polri selaku Stakeholder dan yang dikedepankan dalam meujudkan
Kamtimas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan melanggar hukum.
7
DAFTAR PUSTAKA
1. Anak Agung Bayu Perwita, Sistem Pertahnan dan Keamanan Negara, Propatria,
Jakarta, 2006, cet. 1.
2. Artidjo Alkostar, Tuntutan Polisi Dalam Mengantisipasi Perkembangan
Kejahatan: Dalam Polisi dan Masyarakat, Senat Mahasiswa H UII, Yogyakarta,
1995.
3. Budihardjo, Tata Ruang Pembangunan Daerah Untuk Meningkatkan Ketahanan
Nasional, University Press, Yogyakarta, 1995, cet. 1.