Anda di halaman 1dari 4

Adhe Nuansa Wibisono

Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI


NPM : 1206299023

Literature Review IV – Radikalisasi dan Deradikalisasi

Sumber Utama : Darcy M.E. Noricks, “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs ”,
dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, “ Social Science for Counterterrorism”, (Santa Monica : RAND
Corporation, 2009)

Tahapan Disengagement

Dalam artikel “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs ”, Darcy M.E.
Noricks menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan deradikalisasi, faktor-faktor apa yang
menyebabkan deradikalisasi dan bagaimana proses deradikalisasi itu dilakukan. Deradikalisasi dapat
dipahami baik secara ideologis atau perilaku, Omar Ashour (2008a) dalam tulisannya mendefinisikan
konsep deradikalisasi sebagai proses yang mengarahkan individu atau kelompok untuk mengubah
perilakunya terkait aksi kekerasan – khususnya mengenai kekerasan terhadap warga sipil. Hasil dari
deradikalisasi ideologis dapat dilihat dari perubahan cara pandang individu, sedangkan deradikalisasi
perilaku menekankan perubahan dalam aspek tindakan individu. 1

Ashour (2008a) juga menjelaskan deradikalisasi organisasional yang menjadi fenomena tingkat
kelompok, dan jika proses deradikalisasi berhasil maka akan berdampak menjauhkan seluruh anggota
kelompok dari tindakan terorisme – idealnya strategi ini akan berhasil jika kelompok utama tidak
menghasilkan kelompok sempalan yang lebih radikal. Sebagai contoh dari deradikalisasi organisasional
adalah kelompok yang pernah dikategorikan sebagai kelompok teroris ( Palestine Liberation Organization
dan South Africa – Africa National Congress ) dan kelompok milisi (Kelompok Amal di Lebanon). 2 Di sisi
lain Renee Garfinkel (2007) berpendapat bahwa deradikalisasi memiliki kesamaan dengan pengalaman
spiritual, serupa dengan konversi agama, seperti yang terjadi dalam proses radikalisasi. Sebaliknya dalam
pengalaman radikalisasi, individu yang mengalami deradikalisasi tidak mengadopsi ideologi baru sebagai
fungsi dari partisipasi mereka dalam kelompok yang mendukung. 3

Keputusan untuk melakukan deradikalisasi biasanya merupakan keputusan individual, yang


kemudian individu tersebut terisolasi dari kelompok sosialnya. Hubungan dengan tokoh panutan
(rolemodel) dilihat sebagai hal yang penting dalam menjauhkan individu dari cara pandang yang radikal.
Satu kesamaan proses deradikalisasi dengan proses radikalisasi adalah pengalaman traumatik sang
individu sebelum mengambil keputusan untuk melakukan disengagement. Trauma bertindak sebagai
peristiwa yang memicu transformasi keyakinan individu. 4 Tore Bjorgo (2006) membedakan antara faktor
penarik dan faktor pendorong yang mempengaruhi keputusan individu untuk meninggalkan kelompok
radikal. Faktor pendorong merupakan elemen yang negatif atau kekuatan sosial yang membuatnya tidak
menarik untuk melanjutkan keanggotaan di organisasi tertentu. Faktor-faktor ini juga termasuk tuntutan
pidana, penolakan dari keluarga atau masyarakat atau tindakan kekerasan dari kelompok-kelompok
oposisi.

1
Darcy M.E. Noricks, “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs ”, dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, “ Social Science for
Counterterrorism”, (Santa Monica : RAND Corporation, 2009), hal 300
2
Ibid, hal 300
3
Ibid, hal 301
4
Ibid, hal 301
1
Faktor penarik adalah kekuatan peluang atau daya tarik sosial yang membuat individu mencari
alternatif kehidupan lain yang lebih menjanjikan. Hal ini termasuk “keinginan individu untuk hidup secara
bebas dalam kehidupan yang normal”, pekerjaan baru atau peluang pendidikan yang bisa terganggu jika
keanggotaan individu dalam kelompok terorisme diketahui publik, atau keinginan untuk membentuk
keluarga dan mengambil peranan dan tanggung jawab sebagai orangtua dan pasangan hidup – sebagai
salah satu motif terkuat untuk meninggalkan kelompok militan (Bjorgo, 2006, hal 11-12). 5 Bjorgo
kemudian menekankan bahwa pengaruh dari faktor pendorong akan sulit untuk menjadi faktor penentu
di awal. Sanksi negatif dapat menyebabkan anggota yang lebih baru untuk meninggalkan kelompok,
tetapi beberapa sanksi tertentu juga dapa meningkatkan solidaritas anggota dalam kelompok yang
menghadapi ancaman pihak luar. Faktor terakhir ini akan beresiko jika sanksi negatif tidak cocok dengan
insentif positif yang ada.

Salah satu alasan paling umum untuk tetap bertahan di dalam kelompok adalah ketika individu
tidak memiliki tempat lainnya untuk pergi, dikarenakan hubungan atau relasi yang dimiliki sebelumnya
telah dilepaskan ketika bergabung dengan kelompok dan menjadikan relasi dalam kelompok sebagai
sesuatu yang paling penting. Sang pengkhianat akan “beresiko untuk berakhir di ruang hampa sosial”,
terisolasi, sendirian dan kesepian (Bjorgo, 2006, hal 14). 6 Di sisi lain, alasan paling umum untuk
meninggalkan kelompok adalah pengalaman pribadi terkena tindakan kekerasan oleh anggota kelompok
lainnya. Menurut Bjorgo, hal ini juga merupakan alasan umum untuk meninggalkan kelompok sayap
kanan. Decker dan van Wickle menjelaskan bahwa waktu sesaat setelah terjadi konfrontasi kekerasan
antara kelompok adalah saat yang paling tepat untuk melakukan intervensi – tetapi intervensi ini harus
dilakukan sebelum kelompok dapat membingkai ulang konfrontasi kekerasan sebagai sesuatu yang
meningkatkan solidaritas (hal 270). Pengalaman ini mungkin serupa dengan dengan konsep “trauma”
yang didapatkan melalui proses wawancara yang dilakukan oleh Garfinkel. 7

Pentingnya solidaritas dan komposisi organisasional yang khusus dari kelompok yang disarankan
oleh Klein diangkat oleh Abuza dalam diskusi mengenai Jemaah Islamiyah (JI). Abuza mencatat bahwa
kelompok ini adalah kelompok dengan tingkat keterkaitan dan kesolidan yang sangat tinggi dengan
persahabatan dan ikatan kekerabatan yang diperkuat melalui jalinan pernikahan yang strategis. Ia
menyatakan bahwa “tingkat keterkaitan yang tinggi antar anggota kemungkinan dapat mempengaruhi
tingkat dan proses rehabilitasi”, dan ia mencatat bahwa ikatan soliditas antar anggota JI tetap erat
bahkan setelah kehilangan pemimpin mereka dan perubahan struktur organisasi menyusul serangkaian
penangkapan besar-besaran terhadap anggotanya.8

Program Deradikalisasi

Program deradikalisasi pemerintah Arab Saudi, dimulai pada tahun 2004, didasarkan pada
program konseling yang mencakup partisipasi tahanan dalam diskusi keagamaan, serta partisipasi melalui
konseling psikologis. Tujuan dari program ini adalah agar individu “bertaubat dan meninggalkan ideologi
terorisme” (Boucek, 2007a). Program pelatihan selama enam pekan termasuk diskusi mengenai loyalitas,
kesetiaan dan bahkan prinsip keagamaan yang dianut oleh para tahanan. Dialog keagamaan berfokus
pada gagasan bahwa tahanan secara keliru memahami interpretasi yang keliru tentang ajaran Islam, dan
kemudian secara bersama-sama mencari interpretasi keagamaan yang lebih kontekstual dan moderat.
Proses ini difasilitasi baik oleh partisipasi dari mantan militan yang sekarang tergabung di Komite
Penasehat dan oleh otoritas keagamaan negara Arab Saudi (Boucek, 2007a). 9

5
Ibid, hal 302
6
Ibid, hal 302
7
Ibid, hal 304
8
Ibid, hal 304-305
9
Ibid, hal 307
2
Selain dialog keagamaan, Subkomite Sosial dan Psikologis Arab Saudi juga mengevaluasi status
sosial para tahanan, masalah-masalah psikologis dan jenis bantuan sosial untuk para tahanan dan
keluarganya yang akan dibutuhkan selama masa penahanan. Keluarga para tahanan diberikan bantuan
pendidikan, perawatan kesehatan, bantuan keuangan untuk mengimbangi hilangnya pendapatan selama
masa penahanan. Setelah dibebaskan, program pendampingan pekerjaan dan tunjangan pemerintah
untuk mobil dan apartemen diberikan kepada mereka yang berhasil menyelesaikan program dan
“berubah” menjadi moderat. Para tahanan yang belum menikah didorong untuk menikah, berkeluarga
dan memiliki anak. Akhirnya, program deradikalisasi Arab Saudi ini memberi penegasan dan penjelasam
kepada jaringan keluarga sang tahanan bahwa mereka juga ikut bertanggung jawab atas perilakunya
setelah dibebaskan (Boucek, 2007a).10

Dalam kasus di Singapura, penemuan sel Jemaah Islamiyah pada tahun 2003 mengakibatkan
pembentukan Religious Rehabilitation Group (RRG) yang pada awalnya difokuskan pada individu yang
ditahan karena kasus terorisme. RRG kemudian diperluas perannya juga meliputi anggota keluarga
tahanan atas dasar sukarela dan kemudian pembinaan komunitas muslim secara lebih luas. Ulama
muslim setempat menolong RRG untuk mendiskusikan misinterpretasi Jemaah Islamiyah terhadap ajaran
Islam, kemudian menerbitkan dan mendistribusikan tulisan-tulisan yang lebih moderat mengenai agama
Islam (sebagai contoh “Unlicensed to Kill : Countering Imam Samudra’s Justification for the Bali Bombing
[Hassan, 2006]”), dan memberikan pendidikan tentang Islam moderat baik kepada para tahanan dan
masyarakat yang lebih luas. Selain itu sejumlah kelompok muslim setempat memberikan dukungan
keuangan dan psikologis kepada keluarga yang ditahan, dengan berbagai program seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Data yang ada menyebutkan bahwa 19 orang dari 51 orang tahanan telah
dibebaskan setelah rata-rata mendapatkan tiga tahun masa penahanan diantara tahun 2001 sampai akhir
tahun 2007.11

International Crisis Group (2007) menyatakan bahwa isu deradikalisasi di Indonesia memiliki
kaitan yang erat dengan isu reformasi penjara. Ini bukan hanya dikarenakan kasus korupsi dalam sistem
penjara yang memperkuat pandangan akan pemerintahan yang tidak islami, tetapi juga karena solidaritas
jihad diperkuat oleh kebutuhan untuk bersatu dalam rangka perlindungan melawan geng penjara yang
berbahaya. Program deradikalisasi yang ada cukup serupa dengan yang ada di Arab Saudi dan
Singapura, menekankan keterlibatan mantan militan Jemaah Islamiyah, yang telah meninggalkan
tindakan radikalisme. Selain komponen ideologis, program Indonesia juga menekankan dalam
pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga para tahanan. ICG mencatat terdapat sekitar dua puluh orang
mantan anggota JI dan beberapa organisasi jihad lainnya telah bersepakat untuk bekerjasama dengan
kepolisian Indonesia dalam proses deradikalisasi. 12

Analisa dan Kesimpulan

Proses disengagement dan deradikalisasi merupakan salah satu metode dalam penanganan
kasus terorisme dimana rehabilitasi dan reintegrasi kepada masyarakat luas seorang pelaku terorisme
menjadi tujuan utamanya. Proses ini menjadi sarana penting dalam model penegakan hukum ( law
enforcement model) dalam penanganan terorisme. Pelaku terorisme dalam pendekatan ini dilihat sebagai
manusia secara seutuhnya, sehingga proses penegakan hukum, penahanan, pembinaan yang tercakup
dalam disengagement dan deradikalisasi diharapkan dapat kembali menjadikan seorang pelaku terorisme
untuk meninggalkan ideologi radikal dan kembali memiliki kehidupan normal di masyarakat.
Deradikalisasi dilakukan agar individu pelaku terorisme dapat mengubah cara pandang dan tindakan
radikalnya menjadi lebih moderat dan tidak radikal.

10
Ibid, hal 307-308
11
Ibid, hal 309
12
Ibid, hal 309
3
Selain berfokus kepada pelaku terorisme, program deradikalisasi juga ditujukan kepada keluarga
dan kerabat dekatnya. Hal ini dilakukan agar proses deteksi dini dan pencegahan ideologi radikalisme
dapat dilakukan secara lebih efektif. Selain itu pula aspek sosial-ekonomi juga menjadi hal yang penting
untuk diperhatikan, mengingat dengan ditahannya pelaku terorisme di dalam penjara, maka praktis
pendapatan keluarga pelaku juga akan terkendala, sehingga pemerintah memberikan program bantuan
pendanaan kepada keluarga pelaku, termasuk juga pendidikan untuk anak dan keluarga pelaku. Setelah
pelaku terorisme dibebaskan dilakukan juga pendampingan pekerjaan untuk pelaku agar dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kebijakan yang bersifat soft diplomacy ini diharapkan dapat
memutus mata rantai kekerasan dan radikalisme yang berpotensi untuk tumbuh di lingkar inti pelaku
terorisme, yaitu keluarga serta kerabat, kemudian juga diharapkan program deradikalisasi ini dapat
menjadi penyeimbang bagi pendekatan operasi militer yang seringkali memicu kebencian dari lingkar inti
komunitas kelompok radikal kepada pemerintah dan aparat keamanan.

Referensi

Darcy M.E. Noricks, “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs ”, dalam Paul
K. Davis, Kim Cragin, Ed, “Social Science for Counterterrorism”, (Santa Monica : RAND Corporation, 2009)

Anda mungkin juga menyukai