Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan kitab selengkap-lengkapnya. Ia mengandung semua aspek


kehidupan baik tentang dunia ataupun akhirat. Dari satu ayat Al-Qur’an dapat ditarik beberapa
hal bahkan antara seseorang dengan orang yang lain berbeda pendapat dalam menafsirkan dan
menyimpulkan maksud yang terkandung dalam ayat tesebut. Perbedaan pendapat dalam
menafsirkan dan menyimpulkan ayat sudah menjadi tradisi dan merupakan Rahmat bagi umat
manusia. Dalam Al-Qur’an tedapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang keadilan, keujuran, dan
moral. Sebagaimana kejujuran, keadilan, dan moral sudah tertanam dalam kehidupan
bermasyarakat. Sikap tersebut merupakan tatanan kehidupan masyarakat dini hari.

Allah menciptakan manusia dalm berbagai sifat dan pribadi. Antara satu orang dengan yang
lain tentu saja tidak sama. Keadilan dapat dimaknai sebagai perbuatan yang sesuai dengan
norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku. Atau dapat dikatakan juga menetapkan sesuatu
pada proporsinya. Orang yang berakal hendaknya bertutur dengan perkataan yng jujur,
bermanfaat, dan meneduhkan suasana. Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman
untuk selalu berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa keselamatan. Kejujuran
bisa berupa perkataan, bisa juga perbuatan. Jujur dalam berkata artinya tidak berdusta., dan jujur
dalam perbuatan artinya tidak curang. Dalam kehidupan bermasyarakat semestinya dilandasi
dengan moral yang baik, karena moral tersebut mencerminkan sifat seseorang. Moral dapat
dipahami sebagai istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia
dengan nilai ketentuan baik atau buruk, benar atau salah. Berikut dalam makalah ini akan
membahas tentang tafsir ayat-ayat yang berkenaan tentang keadilan, kejujuran, dan moral.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tafsir surah An-Nisa ayat 58-59?
2. Bagaimana tafsir surah Al-Ma’arij ayat 32-33?
3. Bagaimana tafsir surah Al-Hujurat ayat 11-12?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui tafsir surah An-Nisa ayat 58-59
2. Untuk mengetahui tafsir surah Al-Ma’arij ayat 32-33
3. Untuk mengetahui tafsir surah Al-Hujurat ayat 11-

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penafsiran QS. An-Nisa’ : 58-59

 Ayat 58

           
             
 
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan
dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari
khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang dinilai oleh pemberinya dapat
memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.1

Kata amanat dalam ayat ini menjangkau amanat yang dipesankan oleh Allah kepada
hamba-hamba-Nya, seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, pembayaran kaffarat, penunaian
kewajiban shalat, zakat, puasa, pembayaran kaffarat, penunaian nadzar dan lain-lain amanat yang
hanya diketahui oleh Allah dan hamba yang bersangkutan, dan amanat yang diterima oleh
seseorang dari sesamanya seperti titipan-titipan yang disertai dengan atau tanpa bukti. Semuanya
itu diperintahkan oleh Allah agar ditunaikannya. Karena jika tidak akan diambilnya dari padanya
di hari Qiamat.

Banyak di antara para mufassirin yang meriwayatkan bhwa ayat ini diturunkan berkenaan
dengan kunci Ka’bah yang diterima oleh Rasululla saw. dari juru kuncinya Utsman bin Abi
Thalhah yang sudah turun-temurun memegang jabatan itu sejak zaman Jahiliyyah, kemudian
dikembalikannya kepadanya sebagai amanat yang patut disampaikan kepada yang berhak
menerimanya. Cerita lengkapnya mengenai serah terima kunci Ka’bah ini adalah menurut
riwayat Muhammad bin Ishak dari Shafiyah binti Syaibah adalah sebagai berikut:

Sesudah Mekkah ditaklukkan oleh pasukan Rasulullah saw. dan orang-orang sudah
kembali tenang dan tentram, keluarlah Beliau menuju Baitullah, berthawaf tujuh kali putaran
seraya berada di atas punggung kendaraanya, sambil menyentuhkan tongkatnya pada dinding
Ka’bah. Kemudian setelah selesai berthawaf dipanggilnyalah Utsman bin Thalhah, lalu
1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet.ViI, 2006), hlm. 479
2
diambilnya kunci Ka’bah dari tangannya dan masuklah Beliau ke dalam. Beberapa berhala dan
barang-barang yang berbentuk pujuaan, di antaranya sebuah patung merpati dari kayu, yang
ditemuinya oleh Rasullah di dalam Ka’bah segera dihancurkannya oleh Beliau dengan tangannya
sendiri dan dilemparkannya keluar. Kemudian berdirinlah Rasulluah saw. di ambang pintu
Ka’bah, sedang orang-orang sudah datang berkerumun menunggu apa yang akan diucapkan oleh
Beliau.

Setelah selesai berkhutbah dan duduk kembali dalam masjid, datanglah Ali bin Abi Thalib
memohon dari Beliau agar menyerahkan kunci Ka’bah yang sudah berada di tangan beliau itu
kepadanya, agar supaya dengan demikian dia (Ali bin Abi Thalib) mendapat kemulian
menghimpun dua jabatan di tangannya, yaitu jabatan juru kunci Ka’bah dan pelayan minum
jemaah haji.

Tanpa menghiraukan permohonan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bahkan bertanya. ‘’Di
manakah Utsman bin Thalhah?’’ kemudian kepadanyalah diserahkan kunci itu seraya berkata:

َ ‫ َحكَ ِم ْفتَا هَا‬. ُ‫َوبِ ٍّر َوفَا ٍء يَوْ ُم اليَوْ َم يَاع ُْث َمان‬
‫ك‬
Artinya: Inilah kuncimu, hai Utsman, hari ini adalah hari kebaktian dan penunaian amanat, dan
dibacalah ayat 58 tersebut diatas.

Diriwayatkan bahwa Ustman Ibnu Khattab tatkala mendengar Rasulullah membaca ayat ini
sekeluarnya dari Ka’bah, berkata ia, ‘’Ayah-bundaku penebus dari Beliau, sungguh belum
pernah aku mendengarnya membaca ayat ini sebelumnya’’.2

Agama mengajarkan bahwa amanah/kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan sabda


Nabi saw., ‘’Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah.’’ Selanjutnya, amanah yang
merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut membutuhkan
kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan
keyakinan.

Diatas, terbaca bahwa ayat ini menggunakan bentuk jamak dari kata amanah. Hal ini
karena amanah bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non-material dan
bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah agar ditunaikan. Ada amanah antara manusia
dengan Allah, antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan lingkungannya,
dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Masing-masing memiliki rincian, dan setiap rincian
harus dipenuhi, walaupun seandainya amanah yang banyak itu hanya milik seseorang.

Selain kewajiban menunaikan amanat, Allah swt. dalam ayat ini memerintahkan hendaklah
orang yang menjadi hakim menghukum dengan adil dan mengeluarkan hukuman yang sama rata
di antara sesame manusia. Ketika memerintahkan menunaikan amanah, ditekankannya bahwa

2
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, ( Surabaya: PT Bina Ilmu,
cet.II, 2005), hlm. 451
3
amanah tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya, dan ketika memerintahkan
menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya apabila kamu menetapkan hukum diantara
manusia. Ini berart bahwa perintah berlaku adil itu ditujukan terhadp manusia secara
keseluruhan.

Dengan demikian, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa
membedakan agama, keturunan atau ras. Ayat-ayat al-Quran yang menekankan hal ini sungguh
banyak. Salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi saw. yang hampir saja terperdaya
oleh dalih seorang muslim yang munafik, yang bermaksud mempermasalahkan seorang Yahudi.
Dalam konteks inilah turun firman-Nya: ‘’Dan janganlah engkau menjadi penentang orang-
orang yang tidak bersalah, karena (membela) orang-orang yang khianat’’ (QS. An-Nisa[4]:
105). Nabi saw. pun seringkali mengingatkan hal ini, misalnya dengan sabda beliau, ‘’Berhati-
hatilah! Doa orag yang teraniaya diterima Allah, walaupun dia durhaka, (karena)
kedurhakaannya dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri’’ (HR.Ahmad dan al-Bazzar
melalui Abu Hurairah)

Kemudian Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu dengan perintah-
Nya agar kamu menunaikan amanat dan melaksanakan hukum yang adil diantara sesame
manusia, perintahkan-perintahkannya yang lain dan syari’at-syari’at-Nya yang sempurna dan
luas jangkauannya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar kata-katamu serta mengetahui
segala perbuatan dan kelakuanmu.

 Ayat 59

        


            
         
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas yang bercerita bahwa ayat ini turun
sehubungan dengan peristiwa pengutusan Rasulullah saw. kepada Abdullah bin Hudzafah
mengeplai suatu dataseman untuk menghadang kaum musyrikin. Sedang menurut ceritanya Ali
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad ialah, bahwa Rasulullah saw. telah mengirim suatu
detasemen untuk penghadangan, sebagai kepalanya telah ditunjuk seorang dari sahabat Anshar.
Di tengah perjalanan terjadilah hal-hal yang menimbulkan amarahnya sang kepala. Maka
dikumpulkanlah para anggota detasemen itu dan ditanya. ‘’Tidaklah Rasulullah saw. telah
memerintahmu taat kepada ku?’’. ‘’benar,’’ jawab mereka.
4
Jika demikian, kata sang kepala, kumpulkanlah kayu bakar untukku. Kemudian dibakarlah
kayu yang sudah terkumpul sehingga menjadi api yang cukup besar, lalu berkata kepada anggota
detasemennya, ‘’ Aku perintahkan kamu terjun ke dalam api ini.’’ Seseorang anggota remeja
berkata kepala kawan-kawannya menanggapi perintah sang kepala, ‘’Kamu telah lari kepada
Rasulullah untuk menghindari api (neraka), maka janganlah tergaa-gesa melakukan perintah itu
sebelum menemui Rasulullah saw. dan bila Beliau menyuruhmu terjun ke dalam api itu, maka
laksanakanlah.’’

Setelah mereka tiba kembali menemui Rasulullah dan menceritakan, apa yang telah terjadi,
bersabdalah Beliau:

‫ف فِى اِنَّ َماالطَّا َعةُ اَبَدًا لَوْ َد َخ ْلتُ ُموْ هَا َما َخ َرجْ تُ ْم‬
ِ ْ‫ال َم ْعرُو‬
Artinya: ‘’Andaikan kamu terjun ke dalam api itu, niscaya kamu tidak akan keluar untuk selam-
selamanya. Sesungguhnya taat yang diperintahkan itu ialah hbila mengenai hal-hal yang ma’ruf
dan baik.’’3

Ayat ini dan yat-ayat sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang lalu,
mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan-
Nya serta berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak dan lain-lain. Perintah-perintah itu,
mendorong manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong
menolong dan membantu, taat kepada Allah dan Rasul, serta tunduk kepada ulil amri,
menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Quran dan Sunnah, dan
lain-lain yang terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat mendatang, sampai ada perintah
berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan ayat-ayat ini secara umum.4

Secara Khusus dapat dikatakan bahwa setelah ayat uang lalu memerintahkan untuk
menetapkan hukum yang adil, maka ayat di atas pun yang berwenang menetapkan hukum.
Secara berturut dinyatakan-Nya; Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dalam
perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam al-Quran dan taatilah Rasul-Nya, yakni
Muhammad saw. dalam segala macam perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun
perntah untuk tidak melakukannya, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, dan
perkenankan juga perintah ulil amri, yakni yang berwenang menangani urusan-urusan kamu,
selama mereka merupakan bagian diantara kamu wahai orang-orang mukmin, dan selama
perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah atau perintah Rasul-Nya. Maka jika kamu
tarik menarik, yakni berbeda pendapat tentang sesuatu karena kamu tidak menemukan secara
tegas petunjuk Allah dalam al-Quran dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang shahih,
maka kembalikanlah ia kepada nilai-nilai dan jiwa firman Allah yang tercantum al-Quran, serta
nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasul saw. yang kamu temukan dalam sunnahnya, jika kamu benar-

3
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, ( Surabaya: PT Bina Ilmu,
cet.II, 2005), hlm. 453
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet.ViI, 2006), hlm. 482
5
benar beriman secara mantap dan bersinambung kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, yakni sumber hukum ini adalah baik lagi sempurna, sedang selainya buruk atau
memiliki kekurangan, dan di samping itu, ia juga lebih baik akibatnya, baik untuk kehidupan
dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak.

Perintah taat kepada Rasul saw. adalah perintah tanpa syarat, dan ini menunjukkan bahwa
tidak ada perintah Rasul yang salah atau keliru, tidak ada juga bertentangan dengan perintah
Allah swt., karena jika ada, maka tentu kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan
perintah taat kepada Allah, dan tentu juga ada di antara perintah beliau yang keliru.

Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ( ‫ )األمر أولي‬uil amr. Dari segi bahasa, (
‫ )أولي‬uli adalah bentuk jamak dari (‫ )ولي‬waliy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan
menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata
(‫ )األمر‬al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, uli al-amr adalah orang-orang
yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan
dalam mengenai persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapa mereka? Ada yang berpendapat
bahwa mereka adalah para pengusaha/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka
adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.

Perlu dicatat bahwa kata al-amr berbentuk makrifat atau definite. Ini menjadikan banyak
ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan
kemasyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Selanjutnya, karena Allah
memerintahkan umat Islam taat kepada mereka., maka ini berarti bahwa ketaatan tersebut
bersumber dair ajran agama, karena perintah Allah adalah perintah agama. Disisi lain, bentuk
jamak pada kata uli dipahami oleh smentara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu,
yakni satu badan atau lembaga yang berwenang menetapkan dan membatalkan sesuatu –
katakanlah- misalnya dalam hal pengangkatan kepala negara, pembentukan undang-undang dan
hukum, atau yang dinamai (‫ل أهل‬rr‫د الح‬rr‫ )والعق‬ahlu al-halli wa al’aqad. Mereka terdiri dari
pemuka-pemuka masyarakat, para ulama, petani, buruh, wartawan, dan kalangan profesi lainnya
serta angkatan bersenjata. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh pengarang tafsir al-Manar,
yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dan Rasyid Ridha, juga oleh al-Maraghi.

Bentuk jamak itu tidak mutlak dipahami dalam arti badan atau lembaga yang
beranggotakan sekian banyak orang, tetapi bisa saja mereka terdiri dari orang perorang, yang
masing-masing memiliki wewenang yang sah untuk dari atasannya untuk mengatur lalu lintas.
Ketika menjalankan tugas tersebut, dia berfungsi sebagai salah seorang ulil amri. Wewenang
yang diperoleh, baik sebagai badan maupun perorangan, bisa bersumber dari masyarakat yang
akan diatur urusan mereka –katakanlah melalui pemelihan umum- dan bisa juga melalui
Pemerintah yang sah, yang menunjuk kelompok orang atau orang yang tertentu untuk menangani
satu urusan. Menurut Thahir Ibn ‘Asyur karena adanya pada orang-orang tertentu sifat-sifat dan
kreteria terpuji, sehingga mereka menjadi teladan dan rujukan masyarakat dalam bidangnya.
6
Ulama dan cendikiawan yang jujur adalah orang-orang yang memiliki otoritas di bidangnya.
Bagi mereka, tidak perlu ada peunjukan dari siapa pun, karena ilmu dan kejujuran tidak
memerlukannya. Masyarakat sendiri dengan meneladani dan merujuk kepada mereka dan
berdasarkan pengalaman masyarakat selama ini, yang langsung memberi wewnang tersebut
secara faktual, walau tidak tertulis.

Ayat 58 dan 59 di atas, dinilai oleh para ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung
prinsip-prinsip pokok ajaran islam dalam hal kekuasaan dan pemerintahan. Bahkan, pakar tafsir
Rayid Ridha berpendapat, seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang pemerintahan,
maka kedua ayat ini telah memadai.

Kalau pada ayat 58 ditekankan kewajiban menunaikan amanah, antara lain dalam bentuk
penegakkan keadilan, maka berdampingan dengan itu, dalam ayat 59 ditetapkan kewajiban atas
masyarakat untuk taat kepada ulil amri, walaupun sekali lagi harus digarisbawahi penegasan
Rasul saw. Bahwa: ‫ ( ال طاعة لمخلوفي معصية الخالق‬tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk
dalam kemaksiatan kepada khaliq). Tetapi, bila ketaatan kepada ulil amri tidak mengandung atau
mengakibatkan kedurhakaan maka mereka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak
berkenaan di hati yang diperintah. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda: “Seorang muslim
wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja ( yang diperintahkan oleh ulil amri) suka
atau tidak duka. Tetapi bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh
memperkenankan, tidak juga taat” (HR.Bukhari dan Muslim melalui Ibn Umar).

Taat dalam bahsa al-Qur’an berati tunduk, menerima secara tulus dan atau menemani. Ini
berarti ketaatan dimaksud sekedar melaksanakan apa yang diperintahkan, tetapi juga ikut
berpastisipasi dalam upaya dilakukan oleh penguasa untuk mendukung usaha-usaha pengabdian
kepada masyarakat.

Sementara ulama berpendapat bahwa ayat ini mengandung informasi tentang dalil-dalil
hukum syari’at, yaitu: al-Qur’an dan Sunnah yang ditunjuk oleh perintah taa kepada Allah dan
taat kepada Rasul, ijma’au kesepakatan, yang diisyaratkan oleh kata (‫)أولي االمرمنكم‬, dan Analogi
atau qiyas yang dapat dipahami dari perintah mengembalikan kepada nilai-nilai yang terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan ini tentunya dilakukan dengan berijtihad.

Ayat ini juga mengisyaratkan berbagai lembaga yang hendaknya diwujudkan unnat islam
untuk menangani urusan mereka, yaitu lembaga eksekutit, yudikatif, legislatif.

Sementara ulama memahami bahwa pesan ayat ini adalah menekankan perlunya
mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya, khususnya jika muncul perbedaan
pendapat. Ini terlihat dengan jelas pada pernyataan, ‘

7
Dan adat-adat sesudahnya yang mengecam mereka yang ingin mencari sumber hukum
selain Rasul saw., lalu penegasan bahwa Rasul saw. tidak diutus kecuali untuk ditaati, dan
penafian iman bagi yang tidak menerima secara tulus ketetapan Rasul saw.

B. Penafsiran QS Al-Ma’arij : 32-33

 Ayat 32

     


32. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.

Menurut tafsir Al-Misbah ayat di atas menggunakan bentuk jamak untuk kata ‫ أمانات‬dan
bentuk tunggal untuk kata ‫ عبد‬. Ini agaknya disebabkan karena amanat beraneka ragam, yaitu
antara manusia dengan Allah, dengan sesamanya, dengan lingkungannya serta dengan dirinya
sendiri. Bahkan setiap nikmat yang Allah berikan kepada seseorang adalah amanat yang harus
ditunaikannya dengan baik. Sedang ‘abd (perjanjian) tidak serinci itu.5

Memelihara amanat dan janji di dalam islam dimulai dengan memelihara amanat terbesar
yang telah ditawarkan oleh Allah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Tetapi mereka
menolak untuk memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah
amanat oleh manusia. Hal ini sebagaimana disebut dalam surah al-Azhab ayat 72.6

        


          
72. Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,
dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat
bodoh, (QS. Al-Ahzab:72)

Dalam Tafsif Ibnu Katsir َ‫ َوالَّ ِذينَ هُ ْم أل َمانَاتِ ِه ْم َو َع ْه ِد ِه ْم َرا ُعون‬, yaitu bila mereka diberi amanat
tidak mengkhianatinya dan bila berjanji tidak pernah melanggarnya. Inilah sifat-sifat orang yang
beriman, sedangkan yang sebaliknya adalah sifat orang munafik. Rasulullah memberi kabar ke
pada ummatnya bahwa jika khianat terus meraja lela di muka bumi ini maka ia merupakan
petanda akan dekatnya hari kiamat.7

5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet.VI, 2006), hlm. 447
6
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an (surahAl-Ma’arij - An-naas) , ( Jakarta: Gema
Insani Press, cet.1, 2006), hlm. 27.
7
Syaikh M. Abdul Athi Buhairi, Tafsir Aya-ayat Yaa Ayyuhal-ladziina Aamanuu, ( Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2005), hlm. 17.
8
Amanat tersebut adalah amanat akidah dan komitmen padanya secara sukarela tanpa ada
paksaan. Adapun perjanjian pertama yang ditetapkan atas fitrah manusia ketika mereka dalam
sulbi adalah bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan mereka, dan mereka naik saksi atas
penciptaan mereka pada perjanjian ini. Dari amanat dan perjanjian ini timbullah semua amanat
dan perjanjian di dalam pergaulan dunia. Islam sangat ketat terhadap masalah amanat dan janji di
atas. Agama islam secara tegas dan berulang-ulang menegaskan bahwa masyarakat harus
ditegakkan di atas landasan yang kokoh dari akhlak, kepercayaan, dan kemantapan. Juga
menjadikan panuaian amanat dan perjanjian sebagai ciri jiwa yang beriman, sebagaimana ia
menjadikan pengkhianatan terhadap amanat dan janji ini sebagai ciri jiwa yang munafik dan
kafir. Masalah ini disebutkan dalam banyak tempat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga
tidak dapat disangsikan lagi betapa pentingnya masalah ini dalam tradisi islam.8

Al-Ma’aarij ayat 32 di atas memuji mereka yang berada dalam batas yang dibenarkan,
yakni akan memperoleh syurga dan terpuji pula atas orang-orang yang terhadap amanat-amanat
yang dipikulkan atas mereka oleh Allah atau manusia baik yang berkaitan dengan urusan dunia
dan yang berkaitan dengan akhirat. Mereka juga memelihara dan menunaikan sebaik mungkin
dan tidak menyia-nyiakan atau menghilangan tidak juga mengurangi atau merusak perjanjian-
perjanjian yang dilakukan dengan pihak-pihak yang bersangkutan.

 Ayat 33

    


33. dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.

‫والَّ ِذينَ هُ ْم بِ َشهَادَاتِ ِه ْم قَائِ ُمون‬,


َ yaitu orang-orang yang memikul dan menunaikan secara baik dan
sempurna kesaksian-kesaksian tanpa dipengaruhi oleh kepentingan diri, keluarga atau kelompok
dan walaupun terhadap kawan dan lawan.9 Dan mereka orang yang selalu memelihara
kesaksiannya, tidak menambahi, mengurangi, atau menutup-nutupinya. Dan orang yang
menutupinya maka sungguh telah berdosa hatinya.10

Allah menggantungkan banyak hak kepada kesaksian ini. Bahkan, pelaksanaan hudud
(hukum had) pun digantungkan padanya kesaksian ini. Karena itulah, Allah mempertegaskan
penunaian kesaksian ini dan tidak boleh mengabaikan kesaksian sama sekali, serta tidak
dibolehkan menyembunyikan kesaksian di dalam sidang peradilan. Di antara bentuk pemberian
saksi itu adalah menyampaikan secara benar tanpa ada kecerendungan kepada salah satu pihak.

8
Sayyid Qurthubi, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, ( Jakarta: Gema Insani Press, cet.1, 2006), hlm. 27.
9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, ( Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet.VI, 2006), hlm. 446.
10
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, ( Jakarta: Gema Insani,
cet.II, 2005), hlm. 812
9
Bahkan, Allah menghubungkan penunaian kesaksian ini dengan ketaatan kepada-Nya
sebagaimana firman Allah: At-Thalaq ayat 2

       


           
            
Artinya : apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik
atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (QS. At-Thalaq:2)

Di sini Allah menjadikan penunaian kesaksian sebagai sifat orang-orang beriman yang
merupakan salah satu dari sekian bentuk amanat dan menunjukkan betapa pentingnya hal itu.

C. Penafsiran QS. Al-Hujurat : 11-12

 Ayat 11

           
            
          
      
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman[1410] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Allah SWT melarang kita mengejek dan menghina orang lain, sebagaimana yang telah
ditetapkan di dalam hadis sahih bahwa Rasulullah saw. bersabda,

ْ َ‫ق ب‬
‫ط ُر اَ ْل ِك ْب ُر‬ ِّ ‫اس َو َغ ْمصُ ْال َح‬
ِ َّ‫ الن‬- ‫ َويُرْ َوى‬- ُ‫اس َو َغ ْمط‬
ِ َّ‫الن‬
‘’Kesombongan itu adalah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia’’.

Kesombongan ini hukumannya haram. Boleh jadi, orang dihina itu kedudukannya lebih
mulia di sisi Allah. Itulah sebabnya Allaj SWT berfirman, ‘’Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka diolok-olokkan itu
lebih baik dari mereka yang mengolok-olokkan itu. Dan Jangan pula wanita mengolok-olokkan

10
wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita yang diperolok-olokkan itu lebih baik dari wanita
yang memperolok-olokkan. ‘’Ayat ini merupakan larangan bagi laki-laki dan wanita.

Firman Allah SWT, ‘’Dan janganlah kamu mencela diri kamu sendiri.’’ Ini seperti firman-
Nya, ‘’ Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri’’ (an-Nisaa’: 29) Maksudnya ialah
janganlah satu sama lain saling membunuh. Sedangkan, maksud penggalan di atas ialah
janganlah satu sama lain saling mencela. Al-Hamz adalah mencela dengan perbuatan. Sedangkan,
al-Lamz adalah mencela dengan perkataan. Hal itu dilakukan untuk menghina orang lain dan
berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Dan, mengadu domba manusia termasuk mencela
lewat perkataan. Sebagaimana yang telah difirmankan-Nya,

    


‘’Kecelakaanlah bagi setiap pencela dengan ucapan dan pencela dengan perbuatan.’’

(al-Humazah: 1)

Firman Allah SWT selanjutnya, ‘’Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar
yang buruk’’ Yaitu, janganlah kalian memanggil sebagian kalian dengan sebutan yang buruk
yang tidak enak bila didengar oleh seseorang. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Abu
Jubairah bin Dhahhak mengatakan (212), ‘’Ayat ini, dan janganlah kamu panggil-memanggil
dengan gelar yang buruk diturunkan berkenaan dengan kami, Bani Salamah. Perawi
mengatakan, Rasulullah saw. sampai di kota Mekkah . Dan, tidak ada seseorang pun diantara
kami melainkan dia mempunyai dua atau tiga nama. Maka bila beliau memanggil seseorang
dengan salah satu namanya, maka orang-orang mengatakan, ‘’ya Rasulullah, dia marah jika
dipanggil dengan nama itu’’. Makan turunlah ayat, dan jangalah kamu panggil memanggil
dengan dengan gelar yang buruk.’’ Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud.

Firman Allah SWT selanjutnya, ‘’seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk
sesudah iman.’’ Yaitu, sejelek-jelek sifat dan nama ialah yang buruk. Yaitu, saling memanggil
dengan sebutan yang buruk, sebagaimana sifat menyifati yang dilakukan oleh orang-orang
jahiliah, setelah kalian masuk Islam dan kamu memahami keburukannya. ‘’Dan barangsiapa
yang tidak bertorbat’’ dari kelakuan seperti ini, ‘’maka mereka itulah orang-orang yang zalim.’’

 Ayat 12

         
            
            

11
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang beriman banyak berprasangka, yaitu


melakukan tuduhan dan sangkaan buruk terhadap keluarga , kerabat, dan orang lain tidak pada
tempatnya, sebab sebagian dari prasangka itu adalah murni perbuatan dosa. Maka jauhilah
banyak berprasangka itu sebagai suatu kewaspadaan. Dirawayatkan kepada kami dari Amirul
Mukminin Umar bin Khathab bahwa beliau mengatakn, ‘’Berprasangka baiklah terhadap tuturan
yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman, sedang kamu sendiri mendapati adanya
kemungkinan tuturan ini mengandung kebaikan.’’

Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda,

‫ أَ ْك َذبُ الظَّ َّن فَإِ َّن َوالظَّ َّن اِيَّا ُك ْم‬،‫ث‬


ِ ‫ َواَل ْال َح ِد ْي‬r‫ َواَل َواَل ت ََح َّسسُوْ ا ت ََج َّسسُوْ ا‬r‫تَبَا َغضُوْ ا َواَل تَ َحا َس ُدوْ ا َواَل تَنَافَسُوْ ا‬
(‫ رواه‬r‫ ومسلم البخاري‬r‫إِ ْخ َوانًا هّٰللا ِ ِعبَا َد َو ُكوْ نُوْ ا َواَل تَدَابَرُوْ ا )وأبوداود‬،
‘’Janganlah berprasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.
Janganlah kamu meneliti rahasia yang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling
mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-
hamba Allah yang bersaudara.’’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Muslim serta Abu Dawud dari al-Arbi
dari Malik. Dan, dalam hadits Anas bin Malik dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

(‫ و مسلم رواه‬r‫ق أَخَاهُ يَحْ ج َُر أَ ْن لِ ُم ْسلِ ٍم يَ ِحلُّ َواَل ) الترمذى‬


rَ ْ‫أَي ٍَّم ثَاَل ثَ ِة فَو‬...
‘’… seorang muslim tidak boleh memboikot (memusuhi) saudaranya lebih dari tiga hari.’’

Diriwayatkan oleh Muslim dan Tarmidzi, lalu beliau menyahihkannya dari hadits Sufyan
bin Uyainah.

Firman Allah SWT, ‘’Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.’’ Yakni, satu
sama lain saling mencari-cari kesalahan masing-masing. Dan inilah tajassus biasanya digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang berarti jelek. Dari kata itu pula lahir istilah jasus (mata-mata).
Adapun pengertian tajassus biasanya digunakan untuk sesuatu yang baik. Seperti firman Allah
SWT ketika menceritakan tentang Ya’qub a.s. yaitu, ‘’Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka
carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya…’’ Akan tetapi terkadang kedua istilah ini
digunakan untuk menunjukkan hal yang jelek, sebagaimana yang terdapat di dalam hadits di
atas.

12
Firman Allah SWT selanjutnya, ‘’Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian
yang lain.’’ Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah. Dan telah ditafsirkan pula
pengertiannya oleh Rasulullah saw., sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata:

‫فَقَ ْد تَقُوْ ُل َما فِ ْي ِه‬ ْ ‫ال ؟ َم‬


‫ هللاِ َرسُوْ ُل يَا‬: ُ‫اال ِغ ْيبَة‬ َ ‫ قِي َْل يَ ْك َرهُ بِ َما أَ َحا‬: َ‫َكانَ إِ ْن أَ ْف َرأَيْت‬
َ َ‫ ق‬: َ‫ك ِذ ْكرُك‬
‫قِي َْل‬
(‫بَهَتَّهُ فَقَ ْد تَقُوْ ُل َما فِ ْي ِه يَ ُك ْن لَ ْم َوإِ ْن إِ ْغتَ ْبتَهُ )الترمذى و داود ابو رواه‬،
‘’Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud dengan ghibah itu? Rasulullah menjawab, ‘’Kamu
menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.’’ Ditanyakan lagi, ‘’Bagaimanakah
bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakana?’ Rasulullah saw. menjawab ,
‘’Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakana, maka otulah ghibah
terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu sudah berbohong.’’
(HR. Abu Dawd dan Turmizi)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tarmidzi yang mengatakan ‘’Hadits ini hasan dan
shahih.’’ Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Ghibah adalah haram berdasarkan ijma’. Tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini
kecuali bila terdapat kemashlahatan yang lebih kuat, seperti penetapan kecacatan oleh perawi
hadits, penilaian keadilan, dan pemberian nasihat. Demikian pula ghibah yang sejenis dengan
ketiga hal ini. Sedangkan selain itu, tetap berada di dalam pengharaman yang sangat keras dan
larangan yang sangat kuat. Itulah sebabnya Allah SWT menyerupakan perbuatan ghibah dengan
memakan daging saudaranya yang sudah mati’’ Yaitu, sebagaimana kamu membenci hal ini
secara naluriah, maka kamu pun harus membencinya berlandaskan syariat, karena hukumannya
akan lebih hebat dari sekedar memakan bangkai manusia. Dan jalan pikiran ini merupakan cara
untuk menjauhkan diri dari padanya dan bersikap hati-hati terhadapnya, sebagaimana yang telah
disabdakan Rasulullah saw. berkenaan dengan orang yang mengambil kembali apa yang telah
diberikannya, ‘’seperti anjing yang muntah, kemudian memakan kembali muntahannya ini.’’

Firman Allah SWT, ‘’Dan bertakwalah kepada Allah’’ Yaitu, pada perkara yang telah Dia
perintahkan dan Dia larang kepada kamu. Dan jadikanlah Dia sebagai pengawas kamu dalam hal
itu dan takutlah kepada-Nya. ‘’Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. ‘’ Yaitu Allah Maha Penerima taubat kepada siapa saja yang kembali bersandar
kepada-Nya.

Jumhur Ulama mengatakan, ‘’Cara yang mesti ditempuh oleh orang yang bertobat karena
menceritakan saudaranya ialah hendaknya ia menghentikan perbuatan itu dan bertekad tidak
akan mengulanginya.’’ Dan apakah menjadi syarat pula menyesali perbuatan yang telah lalu itu
dan meminta maaf kepada orang yang telah digunjingkannya itu? Maka diantara ulama ada yang
berpendapat demikian. Adapun yang lainnya mengatakan, ‘’Tidak menjadi syarat baginya
meminta maaf kepada orang itu. Karena, bila dia memberitahukan kepada orang itu tentang

13
pergunjingannya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada ia tidak mengetahui apa yang
telah dipergunjinginya itu di tempat di mana ia telah menggunjing orang tersebut. Dan, agar dia
menghindari gunjingan orang lain terhadap orang itu sesuai dengan kemampuannya. Umpatan
dibayar dengan pujian.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ayat 58 dan 59 di atas, dinilai oleh para ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung
prinsip-prinsip pokok ajaran islam dalam hal kekuasaan dan pemerintahan. Bahkan, pakar tafsir
Rayid Ridha berpendapat, seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang pemerintahan,
maka kedua ayat ini telah memadai. Kalau pada ayat 58 ditekankan kewajiban menunaikan
amanah, antara lain dalam bentuk penegakkan keadilan, maka berdampingan dengan itu, dalam
ayat 59 ditetapkan kewajiban atas masyarakat untuk taat kepada ulil amri.

Al-Ma’aarij ayat 32 di atas memuji mereka yang berada dalam batas yang dibenarkan,
yakni akan memperoleh syurga dan terpuji pula atas orang-orang yang terhadap amanat-amanat
yang dipikulkan atas mereka oleh Allah atau manusia baik yang berkaitan dengan urusan dunia
dan yang berkaitan dengan akhirat. Dan pada ayat 33, Allah menjadikan penunaian kesaksian
sebagai sifat orang-orang beriman yang merupakan salah satu dari sekian bentuk amanat dan
menunjukkan betapa pentingnya hal itu.

Pada surah Al-Hujurat ayat 11 dan 12 Allah melarang kita mengejek dan menghina orang
lain, serta melarang hamba-hamba-Nya yang beriman banyak berprasangka, yaitu melakukan
tuduhan dan sangkaan buruk terhadap keluarga , kerabat, dan orang lain tidak pada tempatnya,
sebab sebagian dari prasangka itu adalah murni perbuatan dosa. Maka jauhilah banyak
berprasangka itu sebagai suatu kewaspadaan.

14
DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet.VI, 2006

Sayyid Quthubi, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an (surahAl-Ma’arij - An-
naas) , Jakarta: Gema Insani Press, cet.1, 2006

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4,
Jakarta: Gema Insani, cet.II, 2005

Syaikh M. Abdul Athi Buhairi, Tafsir Aya-ayat Yaa Ayyuhal-ladziina Aamanuu, Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2005

15

Anda mungkin juga menyukai