Anda di halaman 1dari 7

Mu`tazilah

Makna dan Munculnya Aliran Mu’tazilah

Secara harfiah kata Mu'tazilah berasal dari i'tazala yang berarti


"berpisah" atau "memisahkan diri", yang berarti juga "menjauh" atau
"menjaukan diri", secara teknis, istilah Mu'tazilah dapat menunjuk pada
dua golongan.
Golongan yang pertama (selanjutnya disebut Mu'tazilah I) muncul
sebagai respons politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral
politik, khususnya dalam arti sikap yang lunak dalam menengahi
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan lawannya, terutama
pertentangan Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan yang
netral politik masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum
Mu'tazilah karena mereka menjauh kan diri dari pertikaian masalah
Khilafah.
Golongan kedua selanjutnya disebut (Mu'tazilah II) muncul sebagai
respons persoalan teologis yg berkembang dikalangan khawarij dan
Murji'ah karena peristiwa tahkim. Golongan Mu'tazilah ini muncul karena
mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan Murji'ah tentang
pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Versi lain
yang dikemukakan oleh al-Baghdadi (w.409 H) menyatakan bahwa Washil
dan temannya, 'Amr bin 'Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasa Al-Basri dari
majelisnya karena ada pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar
dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-
Basri dan berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar itu mu'min
dan tidak kafir. Oleh karena itu, golongan itu dinamakan Mu'tazilah.
Versi lain di kemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan
bahwa Qatadah bin Da'mah (w.118 H) pada suatu hari masuk Masjid
Basrah dan bergabung dengan majlis 'Amr bin 'Ubaid yang dikira adalah
majlis Hasan Al-Basri. Setelah Qatadah mengetahui nya bahwa majlis
tersebut bukan majlis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
sambil berkata "Ini kaum Mu'tazilah". Sejak itu kaum tersebut dinamakan
Mu'tazilah.
Al-Mas'udi (w. 956 M) memberikan keterangan tentang asal usul
kemunculan Mu'tazilah dengan tidak menyangkut-pautkan dengan
peristiwa antara Washil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu'tazilah,
karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukan mu'min dan bukan
pula kafir, melainkan menduduki tempat diantara kafir dan mu'min (al-
manzilah bain al-manzilatain). Dalam arti, memberi status orang yang
berbuat dosa besar jauh dari golongan mukmin dan kafir.

1
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1954 M)
menerangkan bahwa nama Mu'tazilah sudah terdapat sebelum adanya
peristiwa Washil dan Hasan Al-Basri, dan sebelum timbulnya pendapat
tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu'tazilah di berikan kepada
golongan orang-orang yang tidak mau berinvestasi dalam pertikaian politik
yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia
menjumpai pertikaian disana, yaitu satu golongan mengikuti pertikaian itu,
sedangkan golongan lain menajauhkan diri ke kharbita (i'tazalat ila
kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi
Thalib, Qais menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut dengan
mu'tazilin, sedangkan Abu Al-Fida' (1273-1331 M) menanamkan dengan
Mu'tazilah.
Golongan Mu'tazilah dikenal juga nama nama lain. Seperti ahl at-
tawhid wa al-'adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan
tuhan dan ahl-atwhid wa al-'adl yang mempertahankan keesaan murni dan
keadilan tuhan. Adapun lawan Mu'tazilah memberi nama golongan ini
dengan al-qadariyah dengan alasan mereka menganut faham free will and
free act, yaitu bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat,
menamakan juga Al-Mu'aththilah karena golongan Mu'tazilah berpendapat
bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di
luar dzat tuhan; menanyakan juga wa'diyyah karena mereka berpendapat
bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat
akan hukum-hukum Tuhan.
Ada juga yang menamakan mu`tazilah ini dengan nama rasionalis
Islam, karena mereka memberikan porsi yang besar kepada akal dan
sangat rasional dalam membicarakan teologi atau ketuhanan.

Pokok-Pokok Ajaran Mu’tazilah

Ada lima pokok ajaran Mu`tazilah. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah


yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah At-Tauhid (pengesanaan
Tuhan), Al-Adl (keadilan Tuhan), Al-Wa’d wa Al-Wa’id (janji dan ancaman
Tuhan), Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan
Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar (menyeru pada kebaikan dan
mencegah pada kemungkaran).

1. At-Tauhid
Ajaran yang paling penting dari kaum Mu’tazilah adalah At-Tauhid
atau ke-Maha Esaan Allah.Bagi mereka, Allah baru dapat dikatakan Maha

2
Esa jika ia merupakan zat yang usik, tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia. Oleh karena itu,Kaum Mu’tazilah menolak paham
Antropomorphisme,yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai
makhluk-Nya. Mereka juga menolak paham Beatific Vision, yaitu
pandangan bahwa tuhan dapat dilihat oleh manusia.Satu-satunya Sifat
Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah sifat
Qadim. Paha mini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-
sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat Tuhan. Menurut
paham ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi
kaum Mu’tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha
Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya, tetapi itu tak dapat dipisahkan
dari Dzat Tuhan dengan kata lain, sifat-sifat itu merupakan esensi Dzat
Tuhan.Bagi Mu’tazilah pahm ini mereka muculkan karena keinginan untuk
memelihara kemurnian ke-Maha esaan Tuhan.

2. Al-‘Adl
Doktrin al `adl ada hubungannya dengan al tauhid. Kalau dengan al
Tauhid kaum Mu`tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaannya
dengan makhluk, maka dengan al `adl mereka ingin mensucikan Tuhan
perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya tuhan
yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk terdapat
perbuatan dzalim. Tuhan dalam pandangan Mu`tazilah tidak berbuat
buruk, bahkan tidak bisa berbuat buruk karena perbuatan buruk hanya
timbul hanya dari orang yang bersifat tidak sempurna. Sebaliknya Tuhan
wajib untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia
(al-salah wal aslah).

3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id

Kaum Mu’tazilah yakin bahwa tuhan pasti akan memberikan pahala


dan akan menjatuhkan siksa kepada manusia di Akhirat kelak. Bagi mereka
Tuhan tidak dikatakan adil jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan tidak menghukum orang jahat. Keadilan menghendaki

3
supaya orang bersalah diberi hukuman berupa neraka dan orang yang
berbuat baik diberi hadiah berupa surga sebagaimana dijanjikan Tuhan.

4. Al-Manzilah Bain Manzilatain


Pososi menengah bagi yang berbuat dosa besar, juga erat kaitannya
dengan prinsip keadilan Tuhan. Orang yang dosa besar bukanlah kafir,
karena mereka masih percaya kepada Allah dan Rosul-Nya, tetapi mereka
bukan pula Mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna. Karena
bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula,
ia sebenarnya tak harus masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar
surga dan neraka. Inilah yang sebenarnya keadilan. Tetapi karena tempat
tidak ada, kaum Mu`tazilah akhirnya berpendapat orang yang berdosa
besar dimasukkan di neraka tetapi mendapatkan siksaan yang lebih ringan.

5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar

Mengenai hal ini kaum Mu’tazilah berpendapat sama dengan


pendapat golongan-golongan umat Islam lainnya. Bahwa amar ma`ruf nahi
mungkar adalah kewajiban semua umat Islam. Kalaupun ada perbedaan
hanya dari segi pelaksanaannya, apakah seruan untuk berbuat baik dan
larangan berbuat buruk itu dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.
Kalau kaum khawarij menggunakan metode kekerasan, Mu`tazilah
menggunakan metode seruan atau ajakan tanpa kekerasan.

Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah

Tokoh-tokoh Mu‟tazilah sangat banyak, akan tetapi yang nampak


jelas peranannya dalam perkembangan aliran Mu‟tazilh, baik berupa
pikiran maupun usaha lainya yang berkaitan dengan Mu‟tazilah, yaitu
antara lain:

1. Washil bin Atha’ al-Ghazzal (80-131 H)


Washil dilahirkan dimadinah dan kemudian menetap di Basrah. Ia
merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran Mu‟tazilah. Karenanya,
ia diberi gelar kehormatan dengan sebutan Syeikh al-Mu‟tazilah wa
Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua dalam Mu‟tazilah.

4
2. Abul al-Huzail al-Allaf (135-226 H/753-840 M).
Abul Huzail lahir di Kota Basrah 135 H. Ia menjadi pimpinan aliran
Mu‟tazilah Basrah. Ia mempelajari buku-buku Yunani dan banyak
terpengaruh dengan buku-buk itu. Karena dialah aliran Mu‟tazilah
mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya antara lain:
a) Tentang Arad
b) Menetapkan bagian yang tidak dapat dibagi lagi (atom)
c) Gerak dan Diam
d) Hakikat Manusia adalah badanya
e) Gerak Penghuni Surga dan Neraka
f) Qadar
3. Ibrahim bin Syyar an-Nazzam (wafat 231 H/845 M).
Ibrahim adalah murid Abul Huzail al-Allaf, orang terkemuka, lancar
bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Ketika kecil ia
banyak bergaul dengan orang-orang bukam dari golongan islam, dan
sesudah dewasa bnyak berhubungan dengan filosof-filosof masanya.
Beberapa pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu‟tazilah lainya.
Pendapat-pendapatnya antara lain:

a) Tentang Benda (Jisim)


b) Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi (atom).
c) Teori lompatan (Tafrah)
d) Tidak ada “diam” (inrest)
e) Hakikat manusia adalah jiwanya
f) Berkumpunya kontradiksi dalam suatu tempat, menunjukan adanya
Tuhan
g) Teori sembunyi (kumun)
h) Berita yang benar ialah diriwayatkan oleh orang yang
i) I‟jaz Quran (daya pelemah) terletak dalam pemberitaan yang gaib.
4. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i (135-267 H).
Dilahirkan pada tahun 135 H dan wafat 267 . panggilan akrabnya
ialah Al-Jubba‟i, dinisbahkan kepada daerah kelahirannya di Jubba. Ia

5
adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka Ahlussunnah Waljamaah Imam
Abu Hasan al-Asy‟ari.

5. Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M).


Tidak dicantumkan tanggal kelahirannya, Ia merupakan pendiri
Mu‟tazilah di Bagdad.

6. Jarullah Abul Qasim Muhammad bin Umar (467-538 H/1075-


1144 M).
Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di
Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang
menelorkan karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.

7. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani


alAsadi (325-425 H).
Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray Teheran. Ia hidup
pada masa kemunduran Mu‟tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha
mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Mu‟tazilah melalui
karya tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan
berpengaruh adalah Syarah Ushul al-khamsah dan al-Mughni fi Ahwali wa
al-Tauhid.

6
7

Anda mungkin juga menyukai