Anda di halaman 1dari 11

Kaum Salaf

Pengertian Salaf

Kata salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafan yang artinya


telah lalu. Contoh penggunaan kata salaf yaitu pada kalimat al-qaum
as-sullaf artinya kaum terdahulu. Bentuk jamaknya aslaf atau sullaf.
Menurut Ibnu Manzhur, kata salaf berarti “orang yang mendahului
kita”, baik dari orangtua maupun orang-orang terdekat (kerabat)
yang lebih tua usianya dan lebih utama. Oleh karena itu, generasi
pertama dari umat ini, yaitu kalangan tabi’in, disebut dengan assalaf
ash-Shalih.1

Adapun menurut istilah, kata salaf telah dipergunakan oleh


para ulama terdahulu dengan beragam makna yang ditujukan. Imam
al-Ghazâlî (w. 505 H/1111 M) mendefinisikannya dengan mazhab
para sahabat nabi dan tabi’in.2 Syekh Ibrahim al-Bajuri (w. 1276
H/1860 M) mendefinisikan salaf dengan arti orang-orang terdahulu
dari kalangan para nabi, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.3
Thablawi Mahmud Sa’ad mengartikan salaf ialah ulama terdahulu,
yaitu ulama-ulama shalih yang hidup pada tiga abad awal peradaban
Islam.4

Asy-Syahrastani (474–548 H) berpendapat bahwa ulama salaf


tidak menggunakan takwil dalam menafsirkan ayat-ayat
mutaysabihat dan tidak memiliki paham tasybih (antropomorfisme).
Kemudian Mahmud Al-Bisybisyi mendefinisikan salaf sebagai
shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in adalah orang-orang yang

1
Ibnu Manzhûr, Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr al-Ifriqi al-Mishri,
Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr al-Sadir, 1992), j. VI, hal. 331.
2
Imam Al-Ghazali, Ilzâm al-Awam an Ilm al-Kalâm, hal. 62
3
Syekh Ibrahim al-Bâjûrî, Tuhfah al-Murîd syarh Jauharah at-Tauhid, hal.
231
4
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2015), hal. 133.

1
sikapnya menolak penafsiran yang mendalam terhadap sifat-sifat
Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan
keagungan-Nya.5

William Montgomery Watt berpendapat bahwa gerakan


Salafiyah berkembang di Baghdad pada abad ke-13. Kala itu terjadi
semangat yang menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme dari
kalangan penganut Imam Hanbali. Di Damaskus, kalangan penganut
tersebut semakin kuat karena adanya kedatangan para pengungsi
dari Irak yang disebabkan karena terjadinya serbuan tentara Mongol
atas Irak. Di antara sekian banyak pengungsi, terdapat satu keluarga
dari Harran, Turki, yaitu keluarga Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah
(1263—1328 M) merupakan ulama besar yang juga penganut Imam
Hanbali.6

Ibrahim Madzkur mengemukakan beberapa karakteristik


ulama salaf atau Salafiyah, di antaranya sebagai berikut:

1. Lebih mendahulukan riwayah (naql) daripada dirayah (aql).


2. Dalam persoalan pokok agama (ushuluddin) dan persoalan
cabang agama (furu’uddin), hanya berpatok dari penjelasan-
penjelasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Mengimani Allah tanpa perenungan yang lebih dalam (tentang
dzat-Nya) dan tidak memiliki paham antropomorfisme.
4. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya,
tidak berusaha untuk menakwilkannya.

Berdasarkan karakteristik tersebut, maka beberapa ulama


yang dapat dikategorikan sebagai ulama salaf antara lain ialah
‘Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin
Abdul Al-‘Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’far Ash-Shadiq (148 H),

5
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2015), hal. 134.
6
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2015), hal. 134.

2
dan imam madzhab yang empat (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal). 7

Dari berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ulama, maka


dapat dipahami bahwa pengertian istilah salaf adalah generasi awal
Islam dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Adapun
menurut paham Salafi sendiri, yang dimaksud dengan salaf adalah
sahabat nabi, tabi’in, dan pengikut mereka dari generasi tiga yang
terbaik berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW.:8

َ ُ َّ ُ َ ُ َّ ُ َ َّ ُ ‫َ ر‬
‫اس ق رر ِ ين ث َّم ال ِذ ري َن َيل رون ُه رم ث َّم ال ِذ ري َن َي ل رون ُه رم‬
ِ ‫خ ْي الن‬
Artinya: “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi
berikutnya.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 3651
dan Muslim, no. 2533)9

Adapun yang dimaksud dengan Salafi adalah orang yang


menisbatkan dirinya kepada madzhab atau manhaj salaf.
َ َّ
Sebagaimana yang diungkapkan Imam adz-Dzahabi : – ‫السل ِ يف‬
َ َّ َ ‫َ ُ َ َ ر َ َ ََ ئ ر‬ ‫َ ر َ َر‬
" ‫السل ِف‬ ‫ل َمذ ه ِب‬ ِْ ‫“ ِبفتحت‬
‫ي – وهو من كان ع‬ Artinya: As-Salafi adalah

orang yang berjalan di atas madzhab salaf.10 Berdasarkan defenisi


tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa salafi atau paham salafi
bukanlah suatu organisasi gerakan, akan tetapi merupakan manhaj
(metode) yang telah dicontohkan dari generasi awal, dari kalangan
shahabat dan tabi’in.

7
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2015), hal. 134.
8
Hal ini disebutkan oleh „Amru Abdul Mun‟im Sulaim dalam kitabnya, al-
Manhaj as-Salafi „inda Syeikh al-Albani, hal. 11.
9
Muhaimin Ashuri, “Keutamaan Para Sahabat Nabi”
(https://muslim.or.id/7201-keutamaan-para-sahabat-nabi.html diakses pada
tanggal 17 Februari 2021).
10
Az-Zahabi Syamsuddin Muhammad bin Ahmad (w. 748 H), Siyar A‟lâm
an-Nubala‟, (Beirut: ar-Risalah, 1995), j. VI, hal. 21.

3
Harun Nasution mengungkapkan bahwa, secara kronologis,
Salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal (780—855 M).
Kemudian ajarannya dikembangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah
(1263—1328 M), dipopulerkan oleh Imam Muhammad bin Abdul
Wahab (1703—1792 M), dan akhirnya berkembang secara sporadis 11
di dunia Islam. Di Indonesia, gerakan ini lebih banyak dilaksanakan
oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), bahkan
Muhammadiyah. Beberapa gerakan lainnya pada dasarnya juga
menganggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi dengan teologi
yang sudah dipengaruhi oleh pemikiran logika. Sementara itu, dari
para ulama yang menyatakan dirinya sebagai ulama salaf, mayoritas
mereka tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan
masalah teologi (ketuhanan).12

Ahmad ibn Hambal

Ibnu Hanbal memiliki nama lengkap Ahmad bin Hanbal bin Hilal
bin Asad al-Marwazi al-Baghdadi. Ibnu Hanbal lahir di Marw (saat ini
bernama Mary, kota di Turkmenistan), di Baghdad, Irak pada tahun
164 H/780 M. Nama kuniyahnya adalah Abu Abdillah. Sejak usia 15
tahun, beliau telah hafal Al-Qur’an dan mendalami berbagai ilmu. Ia
merantau ke Syam, Hijaz, dan Yaman. Terkenal dengan keshalihan
dan kezuhudannya. Imam Ibnu Hanbal berguru dengan sejumlah
ulama terkemuka, di antaranya Imam Syafi’i, Waki bin Jarrah, dan
Sufyan bin ‘Uyainah. Imam Syafi’i memuji Imam Ibnu Hanbal:
“Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya
tinggalkan yang lebih terpuji, lebih shalih, dan yang lebih berilmu
daripada Ahmad bin Hanbal.”

11
Di dalam KBBI, sporadis adalah keadaan penyebaran tumbuhan atau
penyakit di suatu daerah yang tidak merata dan hanya dijumpai di sana sini.
12
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2015), hal. 135.

4
Ibnu Hanbal adalah Imam yang keempat dari fuqaha’ Islam.
Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat yang luhur dan
tinggi yaitu sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang hidup
semasa dengannya, juga orang yang mengenalnya. Beliau
merupakan imam bagi umat Islam seluruh dunia, juga mufti bagi
negeri Irak dan seorang yang alim tentang hadist-hadist Rasulullah
SAW. Juga seorang yang zuhud, penerang untuk dunia dan sebagai
teladan bagi orang-orang ahli sunnah, seorang yang sabar di kala
menghadapi ujian.13

Pemikiran Teologi Ibnu Hanbal

a. Pemikiran teologi Ibnu Hanbal tentang ayat-ayat


mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibnu Hanbal
cenderung menggunakan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada
pendekatan takwil, terutama pada yat-ayat yang berkaitan
dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.14
Hal tersebut terbukti ketika beliau ditanya tentang
penafsiran ayat 5 surat Thaha:
َ ‫ر‬
‫است ٰوى‬ ‫ش‬ ‫ر‬‫َا َّلر رح ٰم ُن َع َل ْال َع ر‬
ِ
Artinya: “(Yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas
‘Arasy.” (Q.S. Thaha [20]: 5)

Ibnu Hanbal menjawab: “Istiwa’ di atas arasy terserah Dia dan


bagaimana Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang
pun yang sangup menyifatinya.”
Selanjutnya, ketika beliau ditanya tentang makna hadits
nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman

13
Ahmad asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab,
(Semarang: Amzah, 1991), hal. 190.
14
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2015), hal. 137.

5
melihat tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan,
Ibnu Hanbal menjawab: “Kami mengimani dan membenarkannya,
tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan-pernyataannya, Ibnu Hanbal tampak
bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits
mutasyabihat kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, serta
menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Beliau tidak
menakwilkan pengertian lahirnya.15
b. Pemikiran teologi Ibnu Hanbal tentang status Al-Qur’an
Pada suatu masa, Ibnu Hanbal pernah mengalami sebuah
persoalan yang kemudian menjerumuskannya ke dalam penjara,
yaitu persoalan teologis tentang status Al-Qur’an. Apakah Al-
Qur’an diciptakan (makhluk) karena hadis (baru) ataukah tidak
diciptakan karena qadim. Paham yang diakui oleh pemerintah
resmi kala itu, yaitu Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan
Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq, adalah paham
Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak bersifat
qadim, tetapi baru dan diciptakan. Sebab, bagi Mu’tazilah, paham
adanya qadim di samping Tuhan adalah syirik, dosa besar yang
tidak diampuni oleh Tuhan.16
Karena tampak tidak sejalan dengan paham resmi tersebut,
Imam Hanbal kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat
pemerintah. Pandangan Ibnu Hanbal tentang status Al-Qur’an
dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, gubernur
Irak kala itu:
Ishaq : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibnu Hanbal : Sabda Tuhan.
Ishaq : Apakah ia diciptakan?

15
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2015), hal. 137.
16
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2015), hal. 138.

6
Ibnu Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari
itu.
Ishaq : Apa arti ayat: Maha Mendengan (Sami’) dan Maha
Melihat (Bashir)? (Ishaq ingin menguji Ibnu Hanbal tentang
paham antropomorpisme).
Ibnu Hanbal : Tuhan Menyifatkan diri-Nya (dengan kata-kata
itu).
Ishaq : Apa artinya?
Ibnu Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia
sifatkan pada diri-Nya.
Dari dialog tersebut, Ibnu Hanbal terlihat tidak ingin
membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Beliau hanya
mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan
dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan sifat Allah hanya kepada Allah dan Rasul-
Nya.17

Ibnu Taimiyah sangat memahami bahwa penyakit umat kala


itu adalah kemurnian akidah yang kian terancam di tengah derasnya
kehancuran filsafat yang menyamar dan menyambar akidah Islam
lewat teologi Mu’tazilah, mistifikasi yang mengaburkan akal sehat,
serta tokoh-tokoh kebid’ahan dan kesyirikan yang menjamur. Oleh
karena itu, beliau berikhtiar, berkonsentrasi untuk melestarikan dan
memagari kembali kemurnian akidah umat.

Ibn Taimiyah

17
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2015), hal. 138.

7
Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin
Abi al-Halim bin Taimiyah. Nama kuniyahnya adalah ‘Abul Abbas.
Beliau lahir di Harran, Turki pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 661 H.
Beliau adalah salah satu dari sedikitnya manusia yang Allah beri
nikmat berupa tumbuh di keluarga ulama dan cendekia yang sehari-
harinya bergulat dengan ilmu. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu
Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam ibn Abdillah bin Taimiyah,
seorang syaikh, khatib, dan hakim di kotanya. Kondisi itulah yang
membentuk jiwa serta menumbuhkan semangat Ibnu Taimiyah
dalam menuntut ilmu.18

Ibnu Taimiyah sangat memahami bahwa penyakit umat kala


itu adalah kemurnian akidah yang kian terancam di tengah derasnya
kehancuran filsafat yang menyamar dan menyambar akidah Islam
lewat teologi Mu’tazilah, mistifikasi yang mengaburkan akal sehat,
serta tokoh-tokoh kebid’ahan dan kesyirikan yang menjamur. Oleh
karena itu, beliau berikhtiar, berkonsentrasi untuk melestarikan dan
memagari kembali kemurnian akidah umat.

Meskipun Ibnu Taimiyah memiliki akal yang cemerlang, di


dalam karya tulis beliau tidak didapati bahwa beliau menampakkan
akal pada hierarki puncak sebagai instrument beragama dan
memahami hakikat ilmu dalam Islam. Dalam memahami dalil dan
berpendapat, Ibnu Taimiyah tidak pernah sekalipun
menginterpretasikan sendiri setiap dalil. Beliau senantiasa merujuk
pada pemahaman para Salafush Shalih (shahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in) yang mana hal itu merupakan formula konkrit yang dijamin
langsung oleh Allah melalui lisan mulia Rasul-Nya untuk memahami
agama Islam dengan benar. Sebagaimana metode beragama ini pula
yang dianut oleh para imam terdahulu, semisal Imam Hanafi, Imam

18
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2015), hal. 139.

8
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, serta orang-orang yang bersama
mereka.

A. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah mengkritik kaum Asy’ariyah atas penolakan


mereka terhadap kehendak bebas. Ia menganggap tindakan
semacam itu menafikan ketentuan-ketentuan agama dan
menyisihkan agama sebagai landasan etika. Baginya, manusia
adalah pelaku asli yang memilki kehendak bebas. Ibnu Taimiyah juga
merasa keberatan dengan pandangan Mu’tazilah yang menyamakan
Allah dengan esensi-Nya. Baginya, Islam pertama-tama adalah
sebuah agama kenabian dengan penekanan pada wahyu dalam
membimbing manusia. Metode agama dan teologi yang menetapkan
nalar manusia sebagai sumber kebenaran, sepenuhnya keliru dalam
konteks keagamaan. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Allah itu
kekal mutlak dan satu-satunya sumber perintah moral bagi manusia.
Tidak ada satupun sumber pengetahuan kecuali wahyu Allah. Oleh
karena itu, umat Islam harus berfokus kepada tafsir tekstual wahyu
Allah.19

Ibnu Taimiyah memiliki konsep teologi yang terbagi menjadi


tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Tauhid al-Rububiyah

Adalah bentuk pengesaan kepada Allah SWT. dalam tiga hal


yang meliputi penciptaan (al-khalq), kepemilikan (al-mulk),
dan pengaturan (al-tadbir). Dalam hal ini hanya Allah yang
menciptakan alam semesta dan semua perlengkapannya dan
hanya Dia lah yang memiliki semua isi alam ini, tidak ada

19
Rifai Shodiq Fathoni, “Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263—1328 M)”
https://wawasansejarah.com/pemikiran-ibnu-taimiyah/)

9
ciptaan sekecil apapun kecuali Dia lah yang memilikinya. Lebih
dari itu, Dia juga yang mengatur semua keharmonisan,
keserasian, dan keselarasan alam semesta ini.

2. Tauhid al-Uluhiyah

Tauhid ini merupakan bentuk pengesaan terhadap Allah SWT.


dalam bentuk ibadah, dengan seorang hamba tidak akan
melakukan penyembahan kepada selain Allah SWT. dengan
membersihkan segala sekutu dari-Nya. Dia lah dzat yang
berhak untuk disembah, diagungkan dan dibesarkan nama-
Nya.

Dalam dua tauhid yang pertama ini, Ibnu Taimiyah


membedakan antara kalimat “al-Rab” dan “al-Ilah” yang
sebenarnya mempunyai kesamaan arti, yaitu Tuhan. Menurut
beliau kedua kalimat yang bersinonim ini mempunyai arti yang
sangat beda: “al- Rab” bermakna Dia lah dzat yang
menciptakan hamba-Nya dan memberikan semua ciptaan-Nya
kepadanya serta mengatur dan menunjukannya pada jalan-
Nya yang lurus (al-Shirath al-Mustaqim). Sedangkan kalimat
“al-Ilah” bermakna Dia lah dzat yang berhak untuk dituhankan
dan disembah dengan rasa cinta, pasrah, penghormatan, dan
pengagungan, tiada sekutu bagi-Nya.

3. Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat

Para ulama sepakat, baik salaf maupun khalaf tentang dua


tauhid yang pertama, walaupun mereka berbeda pada istilah
yang dipakainya. Berbeda sekali dengan jenis tauhid yang
ketiga, yang telah dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah tentang
nama-nama Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya. Beliau sangat
berbeda dengan kebanyakan ulama kalam dan filsuf (ulama
khalaf) dalam memberikan dan menetapkan nama-nama dan

10
sifat-sifat Allah SWT. Menurut beliau, nama-nama dan sifat-
sifat Allah telah ditetapkan-Nya dalam Al-Qur’an sebagaimana
Dia menamai dan mensifati diri-Nya sendiri dengan tanpa
penta’wilan, penyamaan dengan ciptaan-Nya, dan tanpa harus
dihitung dengan bilangan yang sangat terbatas, delapan,
sepuluh, dua puluh, atau bahkan menafikannya. Hal tersebut
sangat bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan Allah
SWT., dengan manafikan atau mambatasi nama atau sifat-Nya
tersebut berarti mengurangi kebesaran dan kesempurnaan-
Nya. Dia lah Tuhan yang Maha Sempurna dan disucikan dari
segala kekurangan.20

20
Saprijal, “Konsep Teologi Ibnu Taimiyah dan Konsep Teologi Al-Ghazali”
(http://saprijalismi.blogspot.com/2011/11/konsep-teologi-ibnu-taimiyah-dan-
konsep.html?m=1)

11

Anda mungkin juga menyukai