Anggota Kelompok :
1.Muhammad Rafiq Fariez Aditya Fadillah
2.Muhammad Wafik Qurrahman
3.Saifuddin Alim
4.Septiandi Nur Fadhilah
1.Pengertian Mu’tazilah.
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tizal yang artinya
memisahkan diri, pada mulanya nama ini diberikan oleh orang dari luar
Mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan
memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan
selanjutnya, nama ini kemudian disetujui oleh pengikut Mu’tazilah dan
digunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka. Sejarah
munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah,
tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pelopornya.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-
Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam
Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus
mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan
tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun
dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa
khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar
diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). Aliran m’tazilah
merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat
dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam.
2) latar belakang dan sejarah awal aliran.
Aliran mu'tazilah lahir pada tahun 120 H, pada abad permulaan
kedua hijriyah di kota Basrah dan mampu bertahan sampai sekarang,
aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijriyah yakni di
istilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral
dalam peristiwa politik yakni peristiwa meletusnya perang jamal dan
perang sifik,yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau
terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka
dan memilih jalan tengah.
3.Doktrin Ajaran Aliran Mu’tazilah.
1.At-Tauḥid (Keesaan Allah) Meyakini sepenuhnya hanya Allah Swt. yang Maha
Esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Mereka menganggap konsep tauhid ini
yang paling murni sehingga mereka senang disebut ahlut tauḥīd (pembela
tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah Swt., mereka meniadakan
segala sifat Allah, yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar
Dzat-Nya. Kaum Mu’tazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam
pengertian sesuatu yang melekat pada Dzat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha
Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi Dzat-Nya. Mu’tazilah juga meyakini
bahwa al-Quran adalah mahluk.
2. Al-‘Adl (Keadlilan Tuhan) Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah
bahwa Allah Swt. tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan
manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang
ditetapkan Allah Swt. pada diri manusia itu. Allah tidak memerintahkan sesuatu
kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-
kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-
keburukan yang dilarang-Nya. Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil
bagi Allah Swt. seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya,
sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan
dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya
sendiri.
Adapun sesuatu yang datang pada benda-benda itu adalah hasil dari
hukum alam. Contohnya, jika sebuah batu dilontarkan ke air maka gelombang air
yang dihasilkan oleh batu yang dilempar merupakan hasil dari kreasi batu itu
sendiri bukan hasil ciptaan atau kehendak Tuhan.
7) Bisyr al- Mu’tamir (767 M /150 H di Merv sampai 841 M/ 227 H di Baghdad )
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan
manusia. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi
perbuatan dosa besar, akan mendapan siksa ganda, meskipun ia telah bertobat
atas dosa besarnya yang terdahulu.