Anda di halaman 1dari 10

E.

Tokoh Pembaharu pada Periode Klasik sampai Modern


1. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
Nama lengkapnya Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad, lahir di Harran, Turki pada 22
Januari 1263, dan meninggal pada 27 September 1328. la berasal dari keluarga
cendekiawan. Ayahnya bernama Shihabuddin Abdul Halim seorang ahli hadits dan ulama
terkenal di Damascus; demikian juga kakeknya, Syekh Majuddin Abdul Salam, adalah
ulama terkemuka. Mereka semua adalah pernuka dalam mazhab Hambali. Ibnu Taimiyah
belajar al-Qur'an dan Hadits dari ayahnya, kemudian sekolah di Damascus. Pada usia 10
tahun ia telah mempelajari kitab-kitab hadits utama, hafal al-Qur'an, belajar ilmu hitung
dan sebagainya. Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam dan filsafat yang menjadi
keahliannya. Karena penguasaannya di bidang kalam, filsafat, hadits, al-Qur'an, tafsir dan
fikih, pada usia 30 tahun ia sudah menjadi ulama besar pada zamannya. Ibnu Taimiyah
kuat memegang ajaran kaum salaf. la juga seorang penults yang tekun dan produktif.
Karyanya berjumlah 500 jilid.
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis, Empiris dalam arti
bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran
(al-haqiqah fi al-a'yan la fi al-adhhan), dan rasionalis dalam-arti ia tidak
mempertentangkan antara akal dengan naqi (al-Qur'an dan hadits) yang sahih. la menolak
logika sebagai metode berpikir deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji
materi keislaman secara hakiki.
Materi keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen dan pengamatan
langsung (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 169). Adapun beberapa upaya
pembaharuannya antara lain sebagai berikut.
Pertama, sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham tauhid. Ia
menentang segala bentuk bid'ah, takhayid dan khurafat. Menurutnya, aqidah tauhid yang
benar adalah aqidah salaf, aqidah yang bersumber dari teks al-Qur'an dan Hadits, bukan
diambil dari dalildalil rasional dan filosofis. Dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, ia
mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah secara jelas termaktub dalam al-Qur'an dan
hadits. Pendapat yang membatasi sifat Allah pada sifat dua puluh dan pendapat yang
menafikan sifat-sifat Allah, bertentangan dengan aqidah salaf. Walaupun ia menetapkan
adanya sifat-sifat Allah, ia menolak mempersamakan sifat-sifat Allah dengan sifatsifat
makhluk. Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa tamtsil (menyamakan sifat-
sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan tanzih (menafikan sifat-sifat Tuhan). Ia juga
gigih menentang penggunaan ta'wil dalam menjelaskan sifat-sifat Allah. Ta'wil kata
"yad" (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya. Ia tetap mempertahankan arti
"yad" dengan tangan. Demikian pula dengan ayat-ayat mutasyabihat lainnya. Inilah yang
ia sebut al-aqidah al-wasithiyah.
Kedua, ia menggatakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-ajaran
al-Qur'an dan hadits, serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan
ajaran-ajaran agama. Menurutnya, metode penafsiran al-Qur'an yang terbaik adalah tafsir
al-Qur'an dengan al-Qur'an. Jika tidak didapati dalam al-Qur'an, baru dicari dalam hadits.
Jika penjelasan ayat tidak dijumpai dalam hadits, dicari dari perkataan shahabat. Kalau
juga tidak didapati, maka dicari dalam perkataan tabi'm. Ayat al-Qur'an harus ditafsirkan
menurut bahasa al-Qur'an dan hadits. Di sini tampak bahwa Ibnu Taimiyah adalah
pembaharu yang mempergunakan metode berpikir kaum salaf.
Ketiga, karena untuk kembali pada al-Qur'an dan hadits diperlukan ijtihad, maka ia
menentang taklid. Ia menolak sikap umat Islam yang mengekor pada para mujtahid yang
telah mendahului mereka, sementara pokok persoalan sudah berubah. Taqlid adalah sikap
yang membuat umat Islam mundur, sebab taqlid berarti menutup pintu ijtihad, membuat
otak menjadi beku. Pahadal sudah sangat lama umat Islam berada dalam kegelapan akibat
pintu ijtihad dinyatakan tertutup. Menurutnya, ijtihad terbuka sepanjang masa, karena
kondisi manusia selalu berubah. Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum
yang sumbernya dari wahyu. Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan
masyarakatnya sesuai dengan petunjuk wahyu.
Keempat, di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam. Menurut Ibnu
Taimiyah, pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya, itulah yang
diambil. Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan didasarkan atas kemauan nafsu.
Semua pendapat harus mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima, dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu metode baru.
la tidak mendasarkan keputusan hukum berdasarkan pada 'illat, tetapi berdasarkan
hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya mempertimbangkan aspek-aspek hikmah
dalam keputusan hukum tersebut. Di sinilah sesungguhnya letak relevansi sekaligus
keluwesan Ibnu Taimiyah dalam merumuskan ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya.

2. Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1730-1791)


Nama lengkapnya Muhammad Ibn Abdul Wahhab Ibn Sulayman Ibn All Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rashid al-Tamimi. la lahir di Uyaynah pada 1730 M/1115 H.
Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di Najd. Dari ayahnya ia memperoleh
pendidikan di bidang keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits,
dan hukum madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak
melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn
al-Qay-yim al-Jauziyah, sehingg-a ia benar-benar menjadi seorang ulama, ahli hukum
dan pembaharu ternama.
Proses pembahamannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan
khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh banyak
pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal berjudul Kitab al-
Tauhid. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul Wahhab semakin
populer dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah Kerajaan Ibn Saud.
Inti gerakan pembaharuannya adalah; pertama, pembaharuan Islam yang paling
utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn Abdul Wahhab
dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga macam; tauhid -rububiyah,
tauhid uluhiyah dan tauhid al-asma' wa al-sifat (C.M.Helm, 1981: 88-89). Menurut
Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam semesta yang maha kuasa, dan melarang
penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Dialah yang menciptakan
manusia dan alam dari tiada. Eksistensi Allah dapat dirasakan melalui tanda-tanda dan
ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh alam, seperti siang dan malam, matahari dan bulan,
gunung-gunung dan sungai-sungai, dan seterusnya. Allah adalah Tuhan yang berhak
disembah. Segala urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada al-Qur'an dan
Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan apapun (QS. Asy-
Syura/42:11). Baik dan bui-uk berasal dari Allah dan manusia tidak bebas berkehendak.
Wahhab tidak mempercayai superioritas ras; superioritas atau inferioritas tergantung pada
ketaqwaan pada Allah. Tauhid uluhiyyah dipandang sebagai tauhid amali. Tauhid ini
didasarkan atas rukun Islam dan mkun Iman. Yang termasuk dalam tauhid ini adalah
semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman serta perjuangan dengan
penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan pada Allah. Wahhab percaya pada
makna harfiah al-Qur'an temasuk ungkapan-ungkapan antropomorfisme tentang Allah;
tetapi bukan berarti ini mengharuskan antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat
bahwa orang beriman akan melihat Allah di surga, tetapi bentuk dan rupa Allah
melampaui akal manusia (Saedullah, 1973:138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul.
Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha mencari
perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik. Demikian
juga bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan orang suci sangat dilarang
dalam Islam dan Allah tidak akan memberikan ampunan bagi mereka yang melakukan
perbuatan demikian. Ini bukan berarti ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun
perbuatan-perbuatan bid’ah, takhayul dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya
dihindarkan agar iman tetap suci dan terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).
Ketiga, sumber-sumber syari'ah Islam adalah al-Qur'an dan Sunnah. Menurutnya, Al-
Qur'an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan pada Muhammad melalui
malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling penting bagi syari'ah. Ia hanya mengambil
keputusan berdasarkan ayat-ayat muthkamat dan tidak berani mempergunakan akal dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim
mengikuti penafsiran al-Qur'an generasi al-salaf al-shalih. Sementara itu, Sunnah Nabi
adalah sumber terpenting-kedua. Sedangkan ijma' adalah sumber ketiga bagi syari'ah
dalam pengertian terbatas; ia hanya mempercayai kesucian ijma' yang berasal dari tiga
abad pertama Islam, karena hadits yang memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban atas setiap
masalah, dikembangkan Muslim selama 3 abad pertama (D.S. Margouliouth,t,th.: 661). Ia
menolak ijma' dari generasi belakangan. Oleh karena itu, menurutnya semua komunitas
Muslim dapat melakukan kesalahan dalam menyusun hukum-hukum secara independen
melalui proses ijma’. Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti hadits yang otentik
daripada pendapat para ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn
Hanbal, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan
dinamika kehidupan Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad
terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi siapapun untuk
mengikuti salah satu dari empat madzhab Imam asalkan sesuai dengan al-Qur'an dan
Sunnah.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya negara
dalam memberlakukan secara paksa syari'ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada
di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama dan
komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan konsensus komunitas Muslim,
maka ia harus ditaati. la juga memandang sah upaya penggulingan khalifah yang tidak
kompeten oleh kompeten melalui kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah
yang tidak kompeten tetap harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari'ah dan tidak
menentang ajaran-ajaran al-Qur'an dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad
untuk melaksanakan syari'ah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh penjuru dunia
(R.B. Winder, 1965:12).
Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari segala hid'ah,
takhayzd dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan pembaharuan
yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di negara Arab sendiri ajaran-ajaran
Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul
Aziz.

3. Jamaluddin al-Afghani (1838/1839-1897)


Jamaluddin al-Afghani lahir di Asadabad, Afghanistan pada 1838/1839. Meskipun
lahir di Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syi'ah Iran. Namun, tidak ada bukti yang
menguatkan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Syi'ah. Pendidikan
dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad. Kemudian ia melanjutkan
pendidikan di kota-kota suci kaum Syi'ah pada 1805. Di dinilah ia banyak dipengaruhi
para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir al-Din al-Tusi.
Perjalanan hidup Jamaluddin sebenarnya lebih mirip seorang politik dari pada
pembaharu Islam (L. Stoddard, 1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas yang ia lakukan.
Pada umur 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di
Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian
diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan.
Jamaluddin pernah tinggal di India meskipun tidak lama. Setelah itu menetap di
Mesir dari 1871 hingga 1879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di kota ini, ia
menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan penafsiran filsafat Islam.
Ketika Mesir berada dalam krisis politik dan keuang-an pada akhir 1870, fcokoh ini
mendorong para pengikutnya untuk menerbitkan surat kabar politik. Ia banyak
memberikan ceramah dan melakukan aktivitas politik sebagai pemimpin gerakan bawah
tanah. Para pengikutnya antara lain Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, Sa'ad Zaghlul,
dan Ya'kub Sannu. Pada 1889 Ia membentuk partai Hizbul Wathani dan berhasil
menggulingkan Raja Mesir Khedewi Ismail, meskipun kemudian ia diusir oleh penguasa
baru Tawfik (Harun Nasution, 1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi ke Paris dan bersama-sama muridnya yang bernama
Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-'Urwah at Wutsqa. Pada tahun 1884 pergi
ke Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond Wolff tentang masalah Mesir.
Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk membantu penyelesaian sengketa Rusia dan
Iran. Akhirnya diusir keluar Iran oleh penguasa Syah Nasir al-Din karena perbedaan
faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk
membantu pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Pengaruh Jamaluddin
yang cukup besar, membuat Abdul Hamid khawatir jika posisinya akan terongrong.
Selanjutnya Abdul Hamid mengeluarkan kebijakan untuk membatasi aktivitas politik
Jamaluddin. Di kota inilah Jamaluddin tinggal hingga akhir hayatnya, meninggal pada
1897 karena penyakit kanker.
Meskipun karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin al-
Afghani telah berjasa memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam modern.
Pengalamannya berkelana ke Negara-negara Barat, membawa pada suatu kesimpulan
bahwa dunia Islam dalam keadaan mundur, sementara Barat mengalami kemajuan. Ini
mendorongnya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Pemikiran pembaharuannya
didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa,
zaman, dan keadaan. Jika ada pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan
mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam,
menurutnya, disebabkan karena mereka statis, taqlid dan fatalis. Umat Islam telah
meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya, al-Islam mahjubun bi al-Muslim. Umat
Islam juga terbelakang dari segi pendidikan dan kurang pengetahuan mengenai dasar-
dasar ajarannya, serta lemah rasa persaudaraan akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin
mengemukakan dan memperjuangkan gagasan pembaharuannya meliputi: pertama, dari
sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan pentingnya kepercayaan
pada akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan dengan kepercayaan pada TYihan.
Jamaluddin mengajarkan hal yang dibela oleh para filosof, mendakwahkan agama dan
rasionalisme kepada massa, serta hukum alam pada para elite Muslim. la berusaha
mengelaborasi interpretasi Islam modernis dan pragmatis (Nikki R. Keddie, 1995: 25-
27).
Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir dan
India. Lebih luas dari itu, juga menawarkan gagasan dan gerakan Pan-Islam sebagai
antiimperialisme dan mempertahankan kemerdekaan Negara-negara Muslim. Pan-Islam
dalam pengertian kesatuan politik atau lebih umum kesatuan Negara-negara Gerakan
Muslim tersebut, semakin menguat dan mampu menggalang solidaritas Muslim untuk
menentang Kristen dan penjajah Barat. Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris
inilah yang membuat Jamaluddin semakin populer di dunia Islam saat itu. Maka jasanya
adalah memberikan kontribusi pemikiran Islam modern khususnya berkenaan dengan
politik (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara pria dan wanita dalam
beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya, keduanya mempunyai akal untuk
berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar rumah, jika situasi
menuntut semacam itu. Dengan demikian, Jamaluddin menginginkan agar wanita juga
meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju
dan dinamis ( Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 300).

4. Muhammad Abduh (1848-1905)


Muhammad Abduh lahir pada 1848 M di sebuah desa di Propinsi Gharbiyyah, Mesir.
Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah, dan nama lengkapnya adalah
Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Abduh berasal dari keluarga petani yang
sederhana, taat dan cinta ilmu. Ia belajar membaca dan menulis dari orang tuanya. Dalam
waktu dua tahun telah mampu menghafal seluruh isi Al-Qur'an (Muhammad Abduh,
t.th.:28). Pendidikan selanjutnya di Thanta. Namun tidak puas karena metode pengajaran
di Thanta diutamakan hafalan tanpa pengertian, sama halnya dengan metode pengajaran
yang umum diterapkan di dunia Islam ketika itu, kemudian kembali ke kampungnya. Oi-
ang tuanya memerintahkan Abduh agar kembali ke Masjid Ahmadi di Thanta, dan
berguru kepada Syekh Darwisy Bimbingan dari Syekh yang dengan tekun untuk
menumbuhkan kembali sikap cintanya pada ilmu dan mengarahkannya pada kehidupan
sufi. Kemudian melanjutkan studi di al-Azhar, namun hanya mendapatkan pelajaran
agama saja. Di Universitas ini ditemukan metode pengajaran yang sama dengan di
Thanta. Pada 1871, Abduh bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani dan memperoleh
pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (Albert Hourani, 1962:108).
Pertemuannya dengan Jamaluddin membuatnya semakin kecewa terhadap metode
pengajaran al-Azhar, dengan mengungkapkan pernyataannya yang penuh dengan rasa
kekecewaan, bahwa metode pengajaran yang verbalis itu merusak akal dan daya nalar.
Rasa kecewa itulah yang menyebabkannya menekuni berbagai masalah agama, sosial,
politik, dan kebudayaan. Abduh juga terhbat dalam kegiatan politik praktis yang berujung
pada pengasingannya ke luar negeri dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan yang
dimotori oleh 'Urabi Pasya pada tahun 1882 (Charles J. Adams, 1933: 52). la tambah
bersemangat melancarkan kegiatan politik dan dakwah, di tempat pengasingannya di
Paris, bukan hanya ditujukan kepada rakyat Mesir, tetapi juga kepada penganut Islam di
seluruh dunia. Bersama Jamaluddin menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang
disebut dengan al-'Urwah al-Watsqa. Ide gerakan ini membangkitkan semangat umat
Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lothrop Stoddard, 1966:46-80). Umur
majalah tersebut tidak lama karena pemerintah kolonial melarang peredarannya di
daerah-daerah yang mereka kuasai. Setelah penerbitannya dihentikan, ia mengunjungi
Tunis dan beberapa negara Islam lainnya, sebelum akhirnya kembali ke Beirut pada
tahun 1884.
Abduh lebih banyak menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab
di Beirut. Di kota inilah ia menyelesaikan Risalah al-Tauhid. Pada tahun 1888 ia kembali
ke Mesir setelah masa pengasingannya berakhir. Karir Abduh memasuki babakan baru.
Kesan keterlibatan Muhammad Abduh dalam Pemberontakan 'Urabi Pasya tampaknya
belum terhapus di hati Khedewi Tawfik penguasa Mesir saat itu. Permohonan Abduh
agar ia diizinkan mengajar di Dar al-'Ulum ditolaknya. Sebaliknya ia menawarkan kepada
Abduh jabatan hakim di kota Benha dan di luar kota Kairo. Abduh sebenarnya tidak
menyenangi jabatan tersebut ia melihat tidak adajalan lain yang lebih baik, maka
menerima tawaran tersebut. Jabatan itu diterima dan dimanfaatkan untuk merealisasi cita-
cita pembaharuannya. Ia juga menjabat sebagai penasehat pada Mahkamah Tinggi di
Kairo.
Ada tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan, hukum,
dan wakaf. Pertama, pembaharuan di bidang pendidikan dipusatkan di al-Azhar. Ia
beralasan bahwa al-Azhar adalah pusat pendidikan Mesir dan dunia Islam.
Memperbaharui perangkat pendidikan berarti memperbaharui lembaga pendidikan Islam
keseluruhan. Sebaliknya, membiarkannya dalam keadaan demikian, berarti membiarkan
Islam menemui kehancuran. Cita-cita yang demikian mungkin dilaksanakan karena
kedudukannya sebagai wakil pemerintah Mesir dalam Dewan Pimpinan al-Azhar yang
dibentuk atas usulnya.
Pembaharuan yang dilakukannya menyangkut sistem pengajaran, seperti metode,
kurikulum, administrasi dan kesejahteraan para guru, bahkan juga mencakup sarana fisik,
seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi
mahasiswa (Harun Nasution, 1987: 20-21). Dampak positif dari pembaharuannya antara
lain tampak pada jumlah murid yang diuji setiap tahun. Kalau sebelumnya murid yang
bersedia diuji setiap tahun hanya lebih kurang enam orang, maka setelah pembaharuan
jumlah tersebut meningkat menjadi sembilan puluh lima orang dan sepertiganya berhasil
lulus.
Kedua, pembaharuan di bidang hukum. Sebagai mufti di tahun 1899, menggantikan
Syekh Hasunah al-Nadawi, memberi peluang baginya untuk mengadakan pembaharuan
di bidang tersebut. Usahanya yang pertama adalah memperbaiki kesalahan pandangan
masyarakat, bahkan pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai
hakim. Para mufti berpandangan bahwa sebagai mufti yang ditunjuk negara tugas mereka
hanya sebagai penasihat hukum bagi kepentingan negara. Mereka melepaskan diri dari
orang yang mencari kepastian hukum. Di luar itu seakan tidak menjadi urusannya.
Pandangan ini diluruskan oleh Abduh denganjalan memberi kesempatan kepada siapa
pun yang memerlukan jasanya. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat untuk negara,
tetapi juga untuk masyarakat luas. Agaknya ada makna positif dari usaha Abduh terutama
bagi masyarakat, yaitu agar kehadiran mereka tidak hanya dibutuhkan oleh negara, tetapi
juga oleh masyarakat (Arbiyah Lubis, 1993: 118).
Ketiga, wakaf juga merupakan institusi yang menjadi perhatiannya. Wakaf
merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu, sedangkan dalam pengelolaan
administrasi sangat tidak efektif. Untuk itu ia membentuk Majelis Administrasi Wakaf
dan duduk sebagai anggota. Abduh berhasil memasukkan perbaikan masjid sebagai salah
satu sasaran rutin penggunaan dana wakaf, maka mulailah memperbaiki perangkat
masjid, pegawai masjid sampai kepada para imam dan khatib. Perhatian Abduh terhadap
perbaikan masjid ini dilatarbelakangi oleh situasi masjid-masjid di Mesir. Misalnya
dalam penyampaian khutbah yang tidak bersifat mendidik, tetapi tebih menjurus kepada
penyuguhan masalah-masalah hukum yang kurang beralasan dan tidak dapat dipegangi
(Al-Manar, Vol. VIII:491). Itulah sebabnya ia menetapkan beberapa persyaratan bagi
para khatib, antara lain mengharuskan mereka yang dari al-Azhar, agar salah paham
terhadap ajaran agama dapat dikurangi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa periode yang paling penting dalam
perjalanan hidup Muhammad Abduh adalah periode setelah kembali dari pengasingan. J.
Adams (1933: 18) melukiskannya sebagai periode berada di puncak karir, karena pada
masa itu dapat merealisasi cita-cita pembaharuan, mengemukakan ide, dan pemikirannya
tentang Islam, yang mengangkat namanya ke permukaan dan dikenal ke hampir seluruh
penjuru dunia Islam.
Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dibawanya
dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapi
adalah para ulama yang berpikiran statis beserta orang awam yang dapat mereka
pengaruhi. Khedewi sendiri pun akhirnya tidak menyetujui pembaharuan fisik yang
dibawanya, terutama tentang institusi wakaf, yang menyangkut dengan masalah
keuangan. Mungkin karena melihat sukarnya penghalang yang harus dilalui, maka pada
tahun 1905 bersama-sama dengan Abd al-Karim Salman dan Syekh Sayyid al-Hambali
mengundurkan diri dari Dewan Pimpinan al-Azhar. Dengan mengundurkan diri tersebut
beberapa rencana yang telah disusunnya tidak dapat lagi dilaksanakan. Beberapa bulan
kemudian jatuh sakit pada suatu malam ketika berangkat ke Eropa. Seminggu kemudian
wafat, tepat pada 11 Juli 1905.

5. Muhammad Rasyid Ridha


Muhammad Rasyid Ridha lahir di Suriah pada tahun 1865 dan wafat tahun 1935.
Seorang pemikir dan ulama pembaru dalam Islam di Mesir pada awal abad ke-20. Ia
dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan Nabi
Muhammad SAW melalui garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Talib. Itulah sebabnya
ia memakai gelar sayyid. Pendidikannya diawali dengan membaca al-Qur'an, menulis dan
berhitung di kampungnya, Qalamun, Suriah. Berbeda dengan anak-anak seusianya,
Muhammad Rasyid Ridha lebih senang menghabiskan waktunya untuk belajar dan
membaca buku dari pada bermain. Sejak kecil ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi
dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah lancar membaca dan menulis, Muhammad Rasyid Ridha masuk ke Madrasah
ar-Rasyidiyah, yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Di sekolah itu ia belajar
ilmu bumi; ilmu berhitung; ilmu bahasa, seperti nahwu dan saraf (ilmu tata bahasa Arab);
dan ilmu-ilmu agama, seperti akidah dan ibadah. Hanya setahun ia belajar di sini, karena
ternyata sekolah itu khusus diperuntukkan bagi mereka yang ingin menjadi pegawai
pemerintah, sedangkan ia tidak berminat mengabdi untuk pemerintah.
Ketika berumur 18 tahun, Ridha kembali melanjutkan studinya dan sekolah yang
dipilihnya adalah Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah yang didirikan Syekh Husain
al-Jisr. Dibandingkan dengan Madrasah ar-Rasyidiyah, madrasah inijauh lebih maju, baik
dalam sistem pengajaran maupun materi yang diajarkan. Di sini belajar mantiq,
matematika, dan filsafat, di sampingjuga ilmu-ilmu agama. Gurunya, Syekh Husain al-
Jisr, dikenal sebagai seorang yang banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah
dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran-pikiran
gnrunya yang sangat mempengaruhi ide pembaruan Rasyid Ridha adalah bahwa satu-
satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah
memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode
Eropa. Syekh Husain al-Jisr berpendapat demikian karena sekolah-sekolah yang didirikan
bangsa Eropa dan Amerika di Suriah saat itu banyak diminati anak-anak pribumi.
Keadaan ini justru mengkhawatirkan al-Jisr karena di sekolah-sekolah itu tidak disajikan
materi pelajaran agama.
Selain menekuni pelajarannya di Madrasah al-Wathaniyyah al-lslamiyyah, Raayid
Ridha juga tekun meng-ikuti berita perkembangan dunia Islam melalui surat kabar
al-'Urwah al-Wutsqa (Ikatan Yang Kuat; surat kabar berbahasa Arab yang dipimpin oleh
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, diterbitkan di pengasingan mereka di
Paris). Melalui surat kabar mi Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu
yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ide-ide
pembaruan yang dikumandangkan oleh kedua tokoh itu melalui surat kabar al-'Urwah al-
Wutsga sangat berkesan dalam diri Rasyid Ridha dan menimbulkan keinginan yang kuat
di hatinya untuk bergabung dan berguru pada keduanya.
Keinginan Rasyid Ridha untuk bertemu al-Afghani tidak tercapai karena ia lebih
dahulu meninggal sebelum Rasyid Ridha sempat menjumpainya. Sebaliknya, Muhammad
Abduh sempat dijumpainya ketika yang disebut terakhir ini berada dalam
pembuangannya, di Beirut. Pertemuan dan dialog-dialog antara Ridha dan Abduh
semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dan
belenggu keterbelakangan di kehodohannya. Rasyid Ridha banyak menyerap pikiran-
pikiran dan pandangan-pandangan Muhammad Abdi dalam usaha memajukan umat
Islam.
Setelah Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir, ia kemudian mengikutinya
pada tahun 1898. Setibanya di Mesir, ia mengusulkan kepada gurunya, Muhammad
Abduh, agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pikirannya.
Atas dasar ini terbitlah sebuah majalah yang diberi nama al-Manar, nama yang diusulkan
Rasyid Ridha dan disetujui Muhammad Abdul. Dalam terbitan perdananya dijelaskan
bahwa tujuan al Manar sama dengan al-'Urwah al-Wutsqa, yaitu untuk memajukan umat
Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang.
Setahun setelah al-Manar terbit, ia mengajukan saran kepada gnrunya agar
menafsirkan al-Qur'an dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman, Ketika itu
Muhammad Abduh aktif mengajar tafsir al-Qur'an di al-Azhar. Sebagai murid, Rasyid
Ridha mencatat kuliah-kuliah gurunya, lalu catatannya itu diserahkan kepada gurunya
untuk dikoreksi Selesai diperiksa, catatan itu diterbitkan dalam majalah al-Manar.
Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah al-Manar inilah yang
kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar. Sampai wafatnya, Muhammad Abduh
hanya sempat menafsirkan hingga surah an-Nisa' ayat 125. Penafsiran ayat-ayat
selanjutnya dilakukan oleh Kasyid Ridha sendiri.
Rasyid Ridha juga seorang pengikut tarekat, yaitu Thareqat Naqsyabandiyah.
Berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran
tarekat yang berlebihan dalam cara beribadat dan pengkultusan seorang guru membuat
seseorang mempunyai sikap statis dan pasif. Sikap-sikap seperti itu jelas merugikan
umat Islam.
Ide-ide pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Ridha adalah dalam bidang
agama, bidang pendidikan, dan bidang politik. Dalam bidang agama ia berpendapat
bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran agama
Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-
sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid'ah dan
khurafat. Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali
berpegang kepada al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW dan tidak terikat dengan
pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modern.
Mengenai ajaran Islam, Rasyid Ridha membedakan antara masalah peribadatan (yang
berhubungan dengan Tuhan) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan
manusia). Yang pertama telah tertuang dalam teks Al-Qur'an yang qath'i (tunjukannya
jelas, pasti) dan hadits mutawatir. Menurutnya, untuk hal yang kedua ini akal dapat
digunakan sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Rasyid
Ridha kemudian menyoroti paham fatalisme yang menyelimuti umat Islam waktu itu.
Menurut Rasyid Ridha, ajaran Islam sebenarnya mengandung paham dinamika, bukan
fatalisme. paham dinamika inilah yang membuat dunia Barat maju. Rasyid Ridha
menjelaskan paham dinamika dalam Islam dengan mengambil bentuk jihad, yaitu kerja
keras dan rela berkorban demi mencapai keridaan Allah SWT. Etos jihad inilah yang
mengantarkan umat Islam ke puncak kejayaannya pada zaman klasik. Idenya yang lain
adalah toleransi bermadzhab. Rasyid Ridha melihat fanatisme madzhab yang tumbuh di
kalangan umat Islam mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Oleh karena itu, perlu
dihidupkan toleransi bermadzhab, bahkan dalam bidang hukum perlu diupayakan
penyatuan madzhab, walaupun ia sendiri pengikut setia Madzhab Hanbali.
Dalam bidang pendidikan Rasyid Ridha mengikuti gurunya, Muhammad Abduh.
Ridha sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan. Umat Islam hanya dapat maju
apabila menguasai bidang pendidikan, Oleh karena itu, ia selalu menghimbau dan
mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-
lembaga pendidikan. Menurut Rasyid Rida, membangun lembaga pendidikan lebih
bermanfaat dari pada membangun masjid. Apa artinya masjid jika pengunjungnya
hanyalah orang-orang bodoh. Sebaliknya, lembaga pendidikan akan dapat menghapuskan
kebodohan dan pada gilirannya membuat umat menjadi maju dan makmur. Usaha yang
dilakukannya di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan
utama untuk mencetak kader-kader mubaligh yang tangguh sebagai imbangan terhadap
sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Cairo dengan
nama Madrasah ad-Da'wah wa al-Irsyad. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu agama,
seperti al-Qur'an, tafsir, akhlak dan Hik-mah at-tasyri’ (hikmah ditetapkannya syariat),
bahasa Eropa, dan ilmu kesehatan. Setelah itu, Rasyid Ridha mendapat undangan dari
pemuka Islam India untuk mendirikan lembaga yang sama di sana.
Selain aktif di bidang pendidikan, ia juga aktif berkiprah di dunia politik.
Kegiatannya antara lain menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, sebagai
delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921, sebagai anggota Komite Politik di Cairo
tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem
tahun 1931. Ide-idenya yang penting di bidang politik adalah tentang ukhuwwah
Islamiyah (persaudaraan Islam). Ia melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam
ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Untuk itu, ia menyeru umat Islam agar
bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan
tunduk kepada satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Akan
tetapi, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bukan seperti di Barat, melainkan negara
dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa al-Khulafa' ar-Rasyidun (empat
khalifah besar). Khalifah haruslah seorang mujtahid (ahli ijtihad) dan dalam menjalankan
roda pemerintahannya, ia dibantu oleh para ulama. Hanya dengan sistem khilafah,
ukhuwwah Islamiyah dapat diwujudkan. Dalam bukunya al-Khilafah, Rasyid Ridha
menjelaskan secara panjang lebar mengenai khilafah, antara lain disebutkan bahwa fungsi
khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan
bermusyawarah mengenai masalah-masalah yang tidak dijelaskan dalam nash. Khalifah
bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan alil al-hall wa al-'aqd
yang anggota-anggotanya terdiri atas para ulama dan pemuka-pemuka masyarakat. Tugas
alil al-hall wa al-'aqd, selain mengawasi jalannya roda pemerintahan, juga mencegah
terjadinya penyelewengan oleh khalifah. Lembaga ini berhak menindak khalifah yang
berbuat dhalim dan sewenang-wenang.
Pengaruh pemikiran pembaharuan Rasyid Ridha dan gurunya, Muhammad Abduh, terasa sampai
ke Indonesia. Ide-idenya yang terkandung dalam majalah al-Manar, khususnya mengenai
pemberantasan bid'ah dan khurafat, banyak mengilhami timbulnya gerakan pembaharuan di
Indonesia. Bukti-bukti yang dapat dikemukakan sebagai adanya pengaruh ide-ide Rasyid Ridha
di Indonesia, antara lain, terbitnya majalah al-Munir di Padang yang dikelola oleh ulama-ulama
yang pernah belajar di Mekah. Majalah ini mengulas berita-berita yang dimuat dalam majalah
al-Manar. Ulama-ulama Indonesia banyak yang tertarik untuk membaca al-Manar, baik semasa
berada di Mekah maupun setelah kembali ke Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya
pertanyaan ulama Indonesia terhadap Rasyid Ridha melalui al-Manar mengenai nasionalisme,
patriotisme, dan semangat ukhuwwah Islamiyah (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jilid 3,
1993: 255-257).

Anda mungkin juga menyukai