Anda di halaman 1dari 12

UTS : Ilmu Kalam

Nama : FEBRIAN SULAKSONO

Dosen : M. Misbah Syam, M.Pd

1. Sebutkan dasar-dasar Qur’ani dan sejarah kemunculan persoalan-persoalan kalam!

2. Bagaimana kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam?

3. Hubungan ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf seperti apa?

4. Sejarah dan pemikiran Khawarij seperti apa?

5. Sejarah dan pemikiran Murji’ah seperti apa?

6. Sejarah dan pemikiran Jabariyah seperti apa?

7. Sejarah dan pemikiran Qodariyah seperti apa?

8. Sejarah dan pemikiran Mu’tazilah seperti apa?

9. Sejarah dan pemikiran Syi’ah seperti apa?

10. Bagaimana perkembangan dan pemikiran Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)?

JAWABAN

1. Dasar-Dasar Qurani Dan Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Ilmu Kalam

Ilmu kalam sering juga disebut Ilmu Ushuluddin, Menurut beberapa tokoh, pengertian
ilmu kalam adalah sebagai berikut :

Musthafa Abdul Raziq Menyatakan Ilmu Kalam yang berkaitan dengan akidah imam ini
sesungguhnya dibangun diatas argumentasi –argumentasi rasional atau ilmu yang
berkaitan dengan akidah imam ini bertolak atas bantuan nalar.

Al Farabi Menyatakan Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas tentang dzat dan
sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah
dunia sampai masalah sesudah mati yang berdasarkan doktrin Islam. Stressing akhirnya
adalah memproduksi ilmu Ketuhanan secara filosofis.”

Ibnu Khaldun menyatakan Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai
argumentasi tentang akidah imami yang diperkuat dalil-dalil nasional.”

Dari bebepa keterangan diatas bisa disimpulkan bahwa ilmu kalam yaitu ilmu yang
membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika serta
filsafat.

Sumber-Sumber Ilmu Kalam yaitu : Al-Qur’an, Al- Hadist, Pemikiran manusia dan Insting.

Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Kalam.

Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang beruntut pada persoalan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang mengkristal menjadi perang Siffin
yang kemudian menghasilkan keputusan tahkim.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir, dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan siapa yang tetap Islam.
Sehingga persoalan ini menimbulkan beberapa aliran antara lain : Aliran Khawarij, Aliran
Murjiah, Aliran Mu’tazilah, Airan Qodariyah, Aliran Jabariyah, Aliran Asy’ariyah(Abu Al
Hasan Al Asy’ari), Aliran Maturidiyah (Abu Mansur M. Al Maturidi)

Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah keduanya sering disebut Ahlussunah wal jamaah.

2. Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam,
yaitu kerangka berfikir rasional dan kerangka berfikir tradisional.

Metode berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip, sebagai berikut:

 Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan tegas dan jelas disebut dalam Al Quran
dan Hadist, yaitu ayat yang Qoth’i.

 Memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta mendirikan
daya yang kuat kepada akal Mu’tazilah.

Metode berpikir tradisional memiliki prinsip-prinsip, sebagi berikut:

 Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni.

 Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

 Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Asy’ariyah

Perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.

 Aliran Antroposentris

Menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan personal.

 Teolog Teosentris

Hakikat realitas transenden bersifat suprakosmos personal dan ketuhanan.

 Aliran Konvergensi / Sintesis

Hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan


impersonal.

 Aliran Nihilis

Hakikat realitas transendental hanyalah ilusi.

3. Hubungan Ilmu Kalam, Filsafat Dan Tasawuf

Titik Persamaan

• Ketiga ilmu tersebut membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.

• Baik ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu
kebenaran.

Titik Perbedaan

Perbedaan diantara ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya.

• Ilmu kalam
 Sebagai ilmu yang menggunakan logika (disamping argumentasi-argumentasi
maqliyah).

 Berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama yang sangat tampak nilai-
nilai apologinya.

 Berisi keyakinan keyakinan agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen


rasional.

 Bermanfaat sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk megenal rasio sebagai
upaya untuk mengenal Tuhan secara rasional.

 Ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliyah/ dialog keagamaan).

 Berkembang menjadi teologi rasional dan tradisional.

• Filsafat

 Sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional.

 Menggunakan metode rasional.

 Berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep.

 Berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara
prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam
dan ekosistemnya secara langsung.

 Berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri.

 Kebenaran yang dihasilkan ilmu filsafat : kebenaran korespomdensi, koherensi, dan


fragmatik.

• Tasawuf

 Lebih menekankan rasa daripada rasio.

 Bersifat subyektif, yakni berkaitan dengan pengalaman.

 Kebenaran yang dihasilkan adalah kebenaran Hudhuri.

 Berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan
rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.

 Berkembang menjadi tasawuf praktis dan teoritis.

Titik Singgung Antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf

• Ilmu Kalam

 Dalam ilmu kalam di temukan pembahasan iman yang definisinya, kekufuran dan
menifestasinya serta kemunafikan dan batasannya.

 Ilmu kalam berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf.

 Ilmu kalam dapat memberikan kontribusi kepada ilmu tasawuf.

• Ilmu Tasawuf

 Ilmu tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid (ilmu kalam).

 Ilmu tasawuf berfungsi sebagai wawasan spiritual dalam pemahaman kalam.


 Ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam
perdebatan–perdebatan kalam.

 Amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan.

 Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid (ilmu
kalam) terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikati.

4. Sejarah dan Pemikiran Khawarij

Sejarah Khawarij

Aliran khawarij muncul setelah adanya peristiwa tahkim, yaitu sebagai upaya
menyelesaikan peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Peperangan
kedua pihak itu terjadi disebabkan karena Mu’awiyah pada akhir 37 H, menolak mengakui
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Karena Ali bin Abi Thalib memindahkan ibu kotanya ke al-
Kufah.

Setelah adanya penolakan tersebut Mu’awiyah segera menghimpun pasukannya untuk


menghadapi kekuatan Ali sehingga terjadilah perang Siffin pada tahun 37 H/ 658 M.
Tentara Ali di bawah pimpinan Malik Al -Asytar hampir mencapai titik kemenangan,
karena bisa mendesak tentara Muawiyah.

Tetapi, Amru bin Asy panglima tertinggi dari pasukan Muawiyah ketika melihat
pasukannya terdesak mundur, ia memerintahkan pasukannya untuk mengangkat tinggi-
tinggi Al-Qur’an dengan ujung tombak sambil berkata Al-Qur’an yang akan menjadi hakim
di antara kita.

Kemudian Ali mendapat desakan dari pasukannya untuk menerima ajakan tersebut. Tetapi
sebagian di antara pasukan Sayyidina Ali ada yang tidak suka menerima ajakan tahkim itu,
Akhirnya kaum ini membenci Ali r.a. karena dianggap lemah dalam menegakkan
kebenaran. Kaum inilah yang dinamakan Khawarij.

Pemikiran Khawarij

 Menganggap kafir orang-orang yang berseberangan dengan mereka, terutama yang


terlibat dalam Perang Shiffin. Karenanya, tidak ada istilah damai untuk penentang
Khawarij, mengingat yang dimaksud ishlah dalam QS. Al-Hujurat: 9 adalah sesama
orang Islam, tidak dengan orang kafir.

 Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan
selamanya masuk neraka.

 Hak khilafah tidak harus dari kerabat nabi atau suku Quraisy khususnya, dan orang
Arab umumnya. Seorang khalifah harus dipilih oleh kaum Muslimin melalui pemilihan
yang bebas. Khalifah yang taat kepada Tuhan wajib ditaati. Sebaliknya, khalifah yang
mengingkari Tuhan dan umat yang durhaka kepada khilafah yang wajib ditaati, boleh
diperangi dan dibunuh.

 Orang musyrik adalah yang melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka, atau
orang yang sepaham tetapi tidak ikut hijrah dan berperang bersama mereka. Orang
musyrik itu halal darahnya. Nasib mereka bersama anak-anaknya akan kekal di neraka.

 Mereka menganggap bahwa hanya daerahnya yang disebut dar al-Islam, dan daerah
orang yang melawan mereka adalah dar al-harb. Karenanya, orang yang tinggal dalam
wilayah dar al-harb, baik anak-anak maupun wanita, boleh dibunuh.

 Ajaran agama yang harus diketahui hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan rasul-
Nya. Selain dua hal itu tidak wajib diketahui.

 Melakukan taqiyyah (menyembungikan keyakinan demi keselamatan diri), baik secara


lisan maupun perbuatan adalah dibolehkan bila keselamatan diri mereka terancam.

 Dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi dosa besar dan
pelakunya menjadi musyrik.
 Imam dan khilafah bukanlah suatu keniscayaan. Tanpa imam dan khilafah, kaum
muslimin bisa hidup dalam kebenaran dengan cara saling menasihati dalam hal
kebenaran.

5. Sejarah dan pemikiran Murji’ah

Sejarah Murji’ah

Murjiah adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang berkembang pada abad pertama
hijriah. Aliran Murjiah terkait dengan pendapat sebagian umat Islam yang menganggap
bahwa penentuan hukum atas konflik politik antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij, ditunda sampai hari perhitungan kelak.

Murjiah tidak berani berpendapat siapa yang salah di antara ketiga golongan tersebut.
Paham itu bertalian dengan nama aliran Murjiah.

Murjiah berasal dari bahasa Arab "arja’an" atau "irja’" yang berarti penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Secara umum dapat diartikan bahwa Murji’ah yaitu orang
yang menunda penjelasan mengenai permasalahan (sengketa) sampai hari perhitungan.

Dikutip dari artikel dalam Jurnal Kajian Islam yang bertajuk "Al Khawarij dan Al Murji’ah:
Sejarah dan Pokok Ajarannya" (2017), kelompok Murjiah muncul pertama kali pada era
akhir pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Tepatnya, pada saat munculnya golongan
yang akan membunuh Usman bin Affan. Kemudian, ada sekelompok sahabat yang memilih
menarik diri dari pertikaian tersebut dan akhirnya mereka disebut golongan Murji’ah.

Sedangkan merujuk ulasan dari Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam yang berjudul
"Khawarij dan Murji’ah: Perfektif Ilmu Kalam" (2018), sebagian ahli sejarah menyebut
Murjiah pertama kali muncul sebagai gerakan yang dibawa oleh Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah (cucu Ali bin Abi Thalib) pada tahun 695 H.

Dalam sebuah surat pendek, Al Hasan menulis bahwa ia menolak berdampingan dengan
kelompok Syiah dan menjauhkan diri dari golongan Khawarij. Hal tersebut dia lakukan
untuk menanggulangi perpecahan umat Islam.

Sementara menurut pendapat sejarawan lainnya, aliran Murji’ah muncul di tengah


perseteruan Ali dan Muawiyah. Pendapat itu menyodorkan teori bahwa kemunculan
Murjiah merupakan imbas dari peristiwa Tahkim (arbitrase) yang menyudahi perang
antara pasukan Ali dan pendukung Muawiyah.

Peristiwa Tahkim membuat kelompok Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi golongan pro
dan kontra. Kelompok yang kontra, dan kemudian menjelma Khawarij, menuding tahkim
merupakan perbuatan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir.

Kelompok yang pro mengatakan bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin dan dosanya
diserahkan kepada Allah SWT. Kelompok pro ini yang pada akhirnya disebut Murjiah.

Pemikiran Murji'ah

Dalam perkembangannya, Murji'ah terbagi menjadi dua golongan besar, yakni kelompok
moderat dan ekstrem. Kemunculan 2 golongan ini berkaitan dengan perbedaan pendapat di
kalangan para tokoh aliran Murjiah.

Dikutip dari buku Akidah Akhlak karya Sihabul Milahudin (2020:27), pemikiran golongan-
golongan dalam aliran Murjiah adalah sebagai berikut.

 Pemikiran Murji'ah Moderat

As-Sahrastani menyebutkan beberapa tokoh yang masuk dalam golongan Murji’ah


Moderat seperti Al Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Golongan Murji’ah Moderat berpaham bahwa orang
mukmin yang berbuat dosa besar tidak dapat disebut kafir. Selain itu, mereka tidak
kekal di dalam neraka dan Tuhan masih dapat mengampuni dosa-dosanya.
 Pemikiran Murji’ah Ekstrem

Golongan Murji’ah Ekstrem dibagi menjadi empat, yakni Al Jahmiah, Al Salihiyah, Al


Yunusiyah, dan Al Khassaniyah. Apa saja pemikiran dari masing-masing kelompok
Murjiah ekstrem itu?

Pertama, Murjiah Al Jahmiyah berpendapat bahwa orang Islam yang menyatakan


kekufuran dengan lisan (ucapan) tidaklah kafir karena iman dan kufur terletak dalam
hati. Selain itu, menurut golongan ini, apabila orang yang mengucapkan kalimat
kekufuran meninggal dunia maka tetap menjadi mukmin sepanjang hatinya tetap
beriman.

Kedua, Mujiah Al Salihiyah berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan dan
kufur yaitu perilaku sebaliknya. Selain itu, golongan ini mengatakan jika salat bukanlah
ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepada Allah SWT.

Ketiga, Murjiah Al Yunusiah berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan pekerjaan


yang jahat tidaklah merusak iman seorang mukmin. Pendapat golongan Al Yunusiah
sama dengan golongan Al Ubaidiyah. Perbuatan jahat tidaklah merusak iman begitupun
perbuatan baik tidak akan mengubah orang yang musyrik.

Keempat, Murjiah Al Khasaniyah berpendapat bahwa jika seseorang mengatakan “saya


tahu Tuhan melarang makan babi, tapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan
untuk dimakan adalah kambing ini,” orang tersebut tetap tergolong mukmin. Jadi,
golongan Murji’ah Al Khasaniyah malah cenerung mentolerir perilaku muslim yang
menyimpang.

6. Sejarah Jabariyah dan Pemikiran

Dari sisi bahasa, Jabariyah berasal dari bahasa Arab, "jabara" yang artinya memaksa. Jadi,
orang-orang Jabariyah menganggap bahwa semua perbuatan manusia adalah "terpaksa".

Mereka meyakini manusia tidak memiliki kekuasaan apa pun atas kehendak dan nasibnya.
Segala tindak-tanduknya, mulai ia lahir, bekerja, siapa jodohnya, hingga ajalnya sudah
ditentukan Allah SWT.

Tidak hanya itu, selepas ia mati pun, Allah sudah menentukan apakah ia masuk surga atau
neraka. Manusia tidak ikut campur sedikit pun atas takdir yang ia miliki. Maka itu, Asy-
Syahratasāni pernah menulis, paham Jabariyah menghilangkan perbuatan manusia dalam
arti yang sesungguhnya dan secara mutlak menyandarkanya kepada Allah SWT.

Dalil paham ini berasal dari banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW, di
antaranya adalah ayat-ayat berikut ini:

“Dan kamu tidak menghendaki [menempuh jalan itu] kecuali bila dikehendaki Allah” (Q.S.
Al-Insan [76]: 30).

Pada surah Al-An'am ayat 111, Allah berfirman: “Mereka sebenarnya tidak percaya
sekiranya Allah tidak menghendaki,” (Q.S. Al-An’am [6]: 111).

Aliran Jabariyah lahir di Khurasan, Persia, dengan tokohnya bernama Jaham bin Shafwan.
Nama lain dari Jabariyah adalah Jahmiyah yang dinisbahkan kepada nama Jaham bin
Shafwan.

Sebenarnya, aliran ini dicetuskan pertama kali oleh Ja'ad bin Dirham, barulah kemudian
diteruskan oleh Jaham bin Shafwan.

Karena pahamnya yang serba pasrah, khalifah pertama dari dinasti Umayyah, Muawiyah
bin Abu Sufyan "mempolitisasinya" sehingga Jabariyah jadi aliran yang memperoleh
dukungan pemerintah Daulah Umayyah (Siswanto, dalam Akidah Akhlak, 2020). Terdapat
sejumlah tokoh aliran Jabariyah yang berpengaruh dalam sejarah pemikiran ilmu kalam.
Dari pemikiran tokoh-tokoh itu, aliran Jabariyah terbagi menjadi dua paham lagi.

Pertama, Jabariyah ekstrem yang dipelopori Ja'ad bin Dirham dan Jaham bin Shofwan.
Sementara yang kedua adalah Jabariyah moderat yang dipengaruhi oleh An-Najjar dan Ad-
Dhirar.

Pemikiran para tokoh itu adalah sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari buku Studi Ilmu
Kalam (2015) yang ditulis oleh Didin Komarudin.

 Ja'ad bin Dirham dan Jaham bin Shafwan

Ja'ad bin Dirham adalah pencetus awal aliran Jabariyah. Setelah diusir dari Damaskus,
Ja'ad pindah ke Kufah dan meneruskan ajarannya. Salah satu muridnya adalah Jaham
bin Shafwan yang menjadikan aliran Jabariyah kian populer di kalangan umat Islam kala
itu.

Menurut Ja'ad bin Dirham dan Jaham bin Shafwan, manusia adalah makhluk yang tak
memiliki kehendak apa pun. Allah yang mengendalikan segala perbuatan manusia.
Aliran Jabariyah ekstrem dari kedua tokoh ini meyakini fatalisme dan manusia adalah
sosok pasif dalam kehidupan dunia.

Selain itu, aliran Jabariyah ekstrem juga berpandangan bahwa surga dan neraka tidaklah
kekal. Menurut pendapat mereka, yang kekal di alam semesta ini adalah Allah SWT. Jika
surga dan neraka juga kekal, maka keduanya akan menyaingi sifat Allah yang Maha
Kekal.

 An-Najjar dan Ad-Dhirar Husain bin Muhammad

An-Najjar dan Dhirar bin Amr sebenarnya juga meyakini bahwa Allah SWT memang
mengendalikan semua perbuatan manusia. Namun, ia berpendapat manusia pun
memiliki peran dalam mewujudkan perbuatan tersebut.

Pendapat kedua tokoh tersebut berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Quran berikut ini:

“Allah-lah yang menciptakan kamu apa yang kamu kerjakan” (Q.S. As-Shaffat [37]: 96).
Dalam surah Al-Balad ayat 10, Dia SWT juga berfirman: "Dan Kami telah menunjukkan
kepadanya dua jalan [jalan kebaikan dan keburukan. Manusia bebas memilih jalan yang
mana]," (QS. Al-Balad [90]: 10).

Menurut pendapat mereka, jika manusia tidak memiliki kehendak bebas sama sekali, maka
akan sangat tidak adil jika manusia diganjar dosa atas perbuatan buruknya atau
memperoleh pahala atas amalan baiknya.

Pemikiran An-Najjar dan Ad-Dhirar melandasi perkembangan kelompok Jabariyah


moderat yang tidak serta-merta menganggap manusia mutlak tunduk pada takdir,
melainkan juga berpartisipasi dalam memutuskan segala perbuatannya.

7. Sejarah dan pemikiran Qodariyah

Salah satu aliran teologi yang tertua dalam Islam adalah Qadariyah. Kemunculan aliran
Qadariyah tidak semata karena dinamika pemikiran dalam Islam, melainkan juga
disebabkan gejolak politik pada masa Dinasti Umayyah I (661-750 M).

Pokok pemikiran para tokoh aliran Qadariyah yang paling masyhur dalam sejarah ialah
pandangan bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will) untuk memutuskan
perbuatannya sendiri. Hal ini membuat Qadariyah bertentangan dengan aliran Jabariyah.

Keyakinan bahwa manusia bebas berkehendak dan bertindak itu melatarbelakangi


penamaan aliran ini dengan istilah Qadariyah. Secara etimologis, Qadariyah dalam bahasa
Arab berakar pada kata qadara, yang berarti memiliki kekuatan atau kemampuan. Qadara
pun bermakna menentukan atau menetapkan.

Ahmad Ismakun Ilyas, dalam "Sejarah Perdebatan Hakikat: Sebuah Telaah Deskriptif
Analitik" yang terbit di Jurnal Al-Turas (Vol 10, No. 1, 2004), menjelaskan pengikut
Qadariyah meyakini, manusia merupakan sang "pencipta" bagi perbuatannya masing-
masing.

Karena itu, dalam doktrin Qadariyah, kekufuran dan perbuatan maksiat diyakini bukan
bagian dari takdir Allah SWT, melainkan bersumber dari kehendak bebas manusia sendiri.
Tokoh Pendiri Aliran Qadariyah

Sosok yang dalam sejarah tercatat sebagai tokoh pendiri aliran Qadariyah adalah Ma'bad
Al-Juhani dan Ghaylan Al-Dimasyq. Nama pertama lebih senior daripada yang kedua.

Ma'bad Al-Juhani yang wafat pada tahun 80 Hijriyah (699 M) lahir di Basrah dan termasuk
generasi tabiin. Ia juga dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis). Adapun Ghailan yang lahir
di Damaskus, dan kesohor sebagai orator sekaligus ahli debat ulung, tercatat wafat pada
tahun 105 H (722 M).

Paham Qadariyah yang dipelopori kedua tokoh itu mulai muncul selepas pergantian
Kekhalifahan Rasyidin ke Dinasti Umayyah. Tepatnya, era setelah perpecahan umat Islam
karena terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib, dan Muawiyah bin Abu Sufyan naik
takhta menjadi khalifah pertama dari Dinasti Umayyah.

Saat itu, banyak masyarakat muslim tidak setuju dengan gaya politik Muawiyah yang
bertolak jauh dari pemerintahan Kekhalifahan Rasyidin. Muawiyah kerap memojokkan
oposisi politiknya. Bahkan, atas kuasa anaknya, Yazid bin Muawiyah, cucu Nabi SAW,
Husein bin Ali dibantai di Karbala.

Menjawab hal tersebut, Muawiyah pun menyatakan apabila ia tidak layak menjadi
pemimpin umat Islam, maka biarlah Allah yang memutuskan, siapa yang akan
menggantikannya menjadi khalifah.

Pemikiran Muawiyah tersebut sejalan dengan aliran Jabariyah (fatalisme) yang menyatakan
bahwa segala urusan yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir. Muawiyah
menganggap bahwa kedudukannya sebagai khalifah terjadi karena ketetapan Allah SWT.
Jika Allah menghendaki untuk mencopot jabatannya, maka ia tak memiliki kuasa melawan-
Nya.

Itulah kenapa, aliran Jabariyah memperoleh dukungan Muawiyah. Sementara itu, aliran
Qadariyah diburu habis-habisan. Salah satu pelopor aliran Qadariyah, Ghaylan Al-Dimasyq
juga sering keluar masuk penjara, hingga ia dihukum mati pada masa Khalifah Hisyam bin
Abdul Malik (724-743 M).

Pengikut Qadariyah diburu karena mendakwahkan bahwa manusia memiliki kehendak


bebas, serta tidak ditentukan oleh takdir. Pemikiran itu menyerang fondasi teologis yang
menjadi alas legitimasi kekuasaan Dinasti Umayyah.

Pokok Pemikiran Aliran Qadariyah

Inti pemikiran aliran Qadariyah adalah kehendak bebas manusia. Artinya, manusia
memiliki daya untuk memutuskan keinginannya secara mandiri, terlepas dari takdir Allah
SWT.

Di saat bersamaan, aliran Qadariyah memandang bahwasanya Allah menganugerahkan


akal agar manusia mempertimbangkan dengan bijaksana setiap laku yang akan
diperbuatnya.

Para pengikut aliran Qadariyah memosisikan akal sebagai instrumen penting; ia adalah
penimbang keputusan manusia. Pandangan bahwa akal (rasio) adalah hal krusial dalam
laku beragama kelak mempengaruhi aliran yang lahir di era kemudian, yakni Mu'tazilah
pada 723 M.

Sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhak (2020) yang ditulis Siswanto, berikut ini dua
pokok pemikiran aliran Qadariyah.

 Melawan kezaliman dengan tangan sendiri

Aliran Qadariyah berpandangan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menegakkan


kebenaran dan melawan kezaliman dengan tangannya masing-masing.

Paham Qadariyah memuat keyakinan bahwa Allah SWT sudah memberi daya dan
kekuatan kepada manusia untuk melawan kezaliman. Jika tidak melakukannya maka
manusia telah berdosa karena melanggar perintah Allah SWT.
Perintah melawan kezaliman ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
“Barang siapa melihat kemungkaran maka lawanlah dengan tangannya. Jika tak sanggup
maka dengan lisannya. Jika tak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu [melawan dengan
hati] adalah selemah-lemahnya iman,” (H.R. Muslim).

Karena paham ini, pengikut aliran Qadariyah menjadi oposisi bagi kebijakan Dinasti
Umayyah yang dinilai melampaui batas-batas syariat. Disebabkan kritik dari Qadariyah
itu, para pentolan aliran ini ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Dinasti Umayyah.

 Keadilan Allah SWT dari kehendak bebas

Manusia diciptakan Allah SWT dengan kehendak bebas. Maka, ia mempunyai


kemampuan mandiri untuk memutuskan perbuatan yang akan dilakukan.

Pemikiran aliran Qadariyah tersebut didasari alasan bahwa Allah SWT memberikan
pilihan kepada manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, beriman atau tetap
pada kekafiran. Karena itu, manusia akan dihakimi, diberi pahala atau diganjar dosa,
berdasarkan pilihannya sendiri.

Dalil mereka bersandar pada firman Allah SWT di surah Al-Kahfi ayat 29 : “Barang siapa
menghendaki [untuk menjadi orang beriman] maka berimanlah, dan barang siapa
menghendaki [untuk menjadi orang kafir] maka kafirlah,” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).

Aliran Qadariyah merupakan antitesa dari paham Jabariyah yang memandang


bahwasanya semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh takdir.

Penganut Qadariyah menilai, jika paham Jabariyah itu benar maka berarti Allah telah
berlaku tidak adil dengan menghukum manusia. Padahal, Allah SWT adalah Tuhan yang
Maha Adil.

Dalam keyakinan penganut aliran Qadariyah, Allah SWT tidak mungkin memberi
hukuman neraka atau menganugerahkan surga untuk perbuatan yang terjadi bukan
karena kehendak manusia itu sendiri.

Oleh karena itu, aliran Qadariyah berpendapat bahwasanya keadilan Allah tercapai
melalui pilihan dan kehendak bebas dari manusia itu sendiri.

8. Sejarah dan pemikiran Mu’tazilah

Salah satu aliran teologi Islam yang mengagungkan akal di atas segala hal adalah
Mu'tazilah. Dalil-dalil nas Al-Quran dan hadis adalah penopang dari kapasitas akal yang
sudah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, demikian kesimpulan umum dari
doktrin ajaran Mu'tazilah. Penganut aliran Mu'tazilah meyakini bahwa akal bisa
mengantarkan pada keimanan dan ketaatan pada Allah SWT.

Aliran Mu'tazilah dipelopori tokoh intelektual muslim bernama Washil bin Atha' Al-
Makhzumi pada tahun 700-an masehi di Irak. Dia dianggap sebagai tokoh pemula yang
membangun aliran ini.

Mengutip ulasan karya Analiansyah bertajuk "Peran Akal dan Kebebasan Bertindak
dalam Filsafat Ketuhanan Mu'tazilah" yang dimuat Jurnal Substantia (Vol. 15, No 1, 2013),
Washil bin Atha’ lahir di Madinah pada masa pemerintahan salah satu khalifah Bani
Umayyah, Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/684-705 M).

Washil bin Atha’ mulai belajar dan mendalami agama Islam di Madinah. Ketika ia
tumbuh dewasa, pengaruh Islam di bawah pemerintahan Khalifah al-Walid I (86-96
H/705-715 M) sedang meluas hingga mencapai Andalusia.

Saat dewasa, ia bermukim di Bashrah. Di kota tersebut, Washil berhubungan dan


menimba ilmu dari banyak tokoh intelektual muslim, terutama Hasan al-Basri.

Selama hidupnya, Washil bin Atha’ memperoleh julukan al-Gazzal (penenun). Sebab, dia
gemar sekali berkeliling dalam pasar tenun dan memberikan sumbangan kepada buruh-
buruh melarat di kilang-kilang tenun.

Sejumlah kitab berpengaruh juga lahir dari pemikiran Washil bin Atha’. Misalnya, kitab
Tabaqat al-Murji'ah, Tabaqat al-'Ulama wa al-Juhala, Kitab al-Taubah, Kitab Manzilah
bain al-Manzilatain, dan Khutbah al-Tauhid wa al-Adl.

Washil bin Atha’ meninggal dunia pada masa pemerintahan Marwan II (127-132 H/744-
750 M), juga khalifah dari Bani Umayyah. Sosoknya pun dikenang sebagai intelektual
muslim yang zahid (asketis).

Salah satu sahabatnya, ‘Amr bin Ubaid menggambarkan Washil bin Atha’ sebagai
seorang muslim zahid yang mendirikan salat di sepanjang malamnya. Washil juga
tercatat berangkat haji dengan jalan kaki sebanyak empat kali.

Pemikiran Washil bin Atha'

Pada mulanya, Washil bin Atha' adalah murid ulama terkenal, Hasan Al-Bashri. Namun,
Washil bin Atha' kemudian mengembangkan paham teologi tersendiri sehingga
menentang pendapat gurunya tersebut.

Alkisah, suatu kali Hasan Al-Bashri menjelaskan pokok-pokok ajaran Khawarij yang
memfatwakan bahwa pelaku dosa besar dihukum kafir. Hasan Al-Bashri mengomentari
bahwa pelaku dosa besar tidak bisa digolongkan sebagai orang kafir, tetapi masin
berstatus mukmin sepanjang ia beriman.

Lantas, Washil bin Atha' berkomentar atas pendapat Hasan Al-Bashri dengan
menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak dapat dikategorikan mukmin, tidak bisa juga
dianggap kafir. Kedudukan pelaku dosa besar, menurut Washil bin Atha', di antara 2
posisi (al-manzilatu baina manzilatain).

Dalam bahasa Arab, "mu'tazilah" artinya (keadaan) memisahkan diri. Pada kasus ini,
penyematan nama Mu'tazilah berasal dari kejadian ketika Washil bin Atha' memisahkan
diri dari golongan Hasan Al-Bahsri.

Lambat laun, Washil bin Atha' mengajarkan pemikirannya hingga menjadi aliran yang
berpengaruh luas dan populer pada masa Dinasti Abbasiyah.

Saking populer dan kuatnya pengaruh Mu'tazilah, ia menjadi mazhab dan aliran resmi
negara pada masa pemerintahan 4 khalifah Abbasiyah, yakni Al-Makmun (198-218 H), Al-
Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq (227-232 H), dan berakhir pada masa Al-Mutawakil
(234 H).

Doktrin Ajaran Mu'tazilah

Doktrin Mu'tazilah terpusat pada 5 dasar ajaran (ushulul khamsah) yaitu, (1) At-Tauhīd
(Keesaan Allah), (2) Al-‘Adlu (Keadilan Allah), (3) Al-Wa’du wa Al-Wa’id (janji dan
ancaman), (4) Al-Manzilah baina Al-Manzilatain (posisi di antara 2 posisi), dan (5) Amar
makruf nahi munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar).

1O. Perkembangan dan pemikiran Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)

Pemikiran Imam Ahmad Ibn Hanbal

Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi
(tekstual) daripada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang
mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara
(kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT.

Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang
beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal
berkata: “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan
maknanya”.

Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh)
makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tetap
mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan
pengertian lahirnya.
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk)
yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham
yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah
Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak
bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping Tuhan,
berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar
yang tidak diampuni Tuhan.

Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang
dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman
bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan
kemakiatan.

Pemikiran Ibnu Taimiyah

Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut:

 Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)

 Tidak memberikan ruang gerak kepada akal

 Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama

 Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it
tabi’in)

 Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-
Nya.

Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim,
menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu
taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi
sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Al-Jauzi berpendapat bahwwa pengakuan ibn Taimiyah
sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.

Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :

 Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri
atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:

 Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan
wahdaniyyat.

 Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.

 Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal
bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah
ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang
beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.

 Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk
seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.

 Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan


seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.

 Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:

 Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri
tashrif/ tekstual)

 Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)

 Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)


 Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi
dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)

 Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-


Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).

Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat


Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus
diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.

Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:

 Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.

 Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta
kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.

 Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.

Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara
manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh
dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis
manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[30]

Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam
sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada
upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah
Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi.
Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang
mustahil.

Perkembangan Salafiyah di Indonesia

Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan Islam


(persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap
sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang
dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka
sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan
masalah teologi (ketuhanan).

Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan


berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij,
Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan
sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-jama’ah, di luar kelompok Syiah.

Anda mungkin juga menyukai