Anda di halaman 1dari 6

Akar Fitnah dalam Sejarah Umat Islam

Hingga Lahirnya JIL [1/2]


oleh: Abu Hamzah al-Sanuwi, Lc, M.Ag

Bagian Pertama dari 2 tulisan [1/2]

--------------------------------------------------------------------------------

A. Pada Masa Klasik


Dulu umat Islam adalah satu, agama Islam berdiri tegak pada masa khilafah Abu Bakar
dan Umar Radhiyallahu 'anhuma , takala Umar terbunuh secara syahid maka pecahlah
pintu fitnah, orang-orang yang berhati busuk memimpin demontrasi hingga mereka
menyembelih khalifah Usman ibn Affan al-Syahid tanpa ada perlawanan sedikitpun.
Maka terpecahlah suara umat Islam hingga terjadilah peristiwa perang unta dan perang
shiffin. Maka saat itu muncullah kelompok Khawarij yang mengkafirkan para sahabat-
sahabat besar, lalu muncul Syi'ah (Rafidhah) dan Nashibah.

Pada masa akhir sahabat, muncul Qadariyah, lalu muncul Mu'tazilah di Bashrah,
Jahmiyah dan Mujassimah di Khurasan di tengah-tengah masa Tabi'in ketika sunnah dan
orang-orangnya masih berkuasa, maka ketika masuk abad ketiga, muncullah khalifah al-
Makmun yang cerdik dan rasionallis, dia mendatangkan buku-buku filsafat yunani hingga
Jahmiyah dan Mu'tazilah mengangkat kepala, begitu pula Syi'ah. (Siyar A'lam al-Nubala
11/236).

1. khawarij

Mereka adalah pengikut Ali yang kecewa dengan tahkim, mereka meyakini
bahwa tahkim tersebut maksiat dan kufur, lalu mereka terpecah menjadi 20
kelompok dan yang masih tersisa hingga kini adalah al-Ibadiyah. Mereka
menganggap semua sahabat sebelum tahkim adalah adil semua, kemudian mereka
mengkafirkan sahabat dan orang-orang yang ridha dengan tahkim, dengan
demikian banyak sunnah Nabi yang mereka ingkari, terutama hadits-hadits
tentang fadhilah ahlu bait.

2. Syi'ah

Mereka adalah kelompok yang melampaui batas dalam mencintai Ali t, hingga
mereka mengkafirkan semua sahabat kecuali empat hingga lima belas sahabat
yang dianggap setia dengan Ali. Dengan demikian mereka menolak sunnah-
sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi e , terutama mereka
mengingkari hadits-hadits tentang manaqib sahabat t .
3. Mu'tazilah

Paham I'tizal yang dicetuskan oleh Wasil ibn Atha' (w. 131 H), tidaklah
mengikuti jalur politik sebagaimana khawarij dan syi'ah, tetapi mengikuti jalur
pemikiran murni yang dibangun di atas logika filsafat Yunani, sehingga mereka
mengingkari hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah dan tentang ghaibiyyat.

Mu'tazilah terpecah menjadi 22 kelompok yang saling mengkafirkan di antara


mereka. Di antara pecahan mereka adalah:
- Washiliyah: pengikut Wasil ibn Atha' yang meragukan keadilan para sahabat
sejak terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman).
- Amriyah: Pengikut Amr ibn Ubait yang meyakini kefasikan para sahabat sejak
zaman fitnah.
- Nazhzhamiyah: Pengikut Abu Ishaq Ibrahim ibn Sayyar al-Nazhzhami, yang
mencaci maki para sahabat-sahabat besar dan menuduh mereka dengan kata-kata
dusta, bodoh dan munafik. Ketiga kelompok ini menolak sunnah-sunnah Nabi
yang riwayatnya dari para sahabat tersebut. Lebih dari itu al-Nazhzhami
mengingkari hujjah ijma' dan qiyas dan mengkirai Qath'iyah hadits mutawatir.
- Hudzailiyyah: pengikut Muhammad ibn al-Hudzail al-Allaf, yang menolak
hadits ahad kecuali jika diriwayatkan oleh 20 orang yang salah satunya adalah
ahli Syurga.

Dengan demikian yang membuka pintu lebar-lebar bagi para Orientalis untuk
mencela dan mendustakan para sahabat Nabi e adalah kaum Mu'tazilah setelah
sebelumnya dilakukan oleh Syi'ah.

4. Pengaruh Mu'tazilah pada sebagian ahli fiqh

Setelah serangan Mu'tazilah tehadap sunnah, maka muncullah tokoh Mu'tazilah


Bisyr al-Murisi (w. 218 H) yang dalam fiqh menganut madzhab Hanafi, begitu
pula Qadhi Isa ibn Aban (w. 221 H), mereka berdua berpendapat bahwa Qiyas
(akal) harus didahulukan dari pada hadits ahad bila perawinya tidak faqih seperti
Abu Hurairah dan Anas ibn Malik t . pemikiran mereka yang menyimpang ini
tidak laku hingga akhirnya ada kelompok mutaakhkhirin dari orang-orang
Hanafiyah yang membangun ushul dan furu' berdasarkan pendapat Isa ibn Aban
ini, sehingga mereka menta'wil hadits-hadits shahih dengan ta'wil yang bathil.
(lihat, Shalahudin Maqbul, Zawabi' Fi Wajh al-Sunnah hal. 51-65).

B. Pada Masa Modern


Pada masa modern ini sunnah banyak mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang
jatuh mentalnya dan merasa inforioritas di hadapan peradaban Barat yang menjadi
penjajah.

Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890 M) yang membujuk kaum
muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Iggris, ia juga
menolak Tafsir al-Qur'an yang sudah ada, ia kemudian menulis tafsir dalam 6 jilid
dengan metode baru yang banyak dipengaruhi oleh budaya barat, ia juga menolak ijma'
dan konsep ijjtihad. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang kemudian menjadi
Universitas Aligarh (1920). Sementara itu Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit
of Islam (diterjemahkan oleh HB Yassin dengan judul Api Islam) berusaha mewujudkan
seluruh nilai liberal yang dipuji di Iggris pada masa Ratu Viktoria, Amir Ali memandang
bahwa Nabi Muhammad adalah pelopor agung Rasionalisme. (William Mountgomery
Walf; 132; Jurnal Ulumul Qur'an III/1/1992 hal. 43).

Di Mesir muncul Rifaah al-Thafthawi (1800-1873) dia tinggal 7 tahun di Paris dan
kembali ke Mesir pada tahun 1831, dia adalah peletak batu pertama dalam memusuhi
hijab dengan menghalalkan dansa antara laki-laki dan perempuan.

Pada tahun 1871 seorang Syi'ah Iran dating ke Mesir, dia adalah anggota gerakan
Masuriyah Yahudi yang berpaham Pluralisme (semua agama sama), karena ia
menyebarkan pemikiran revolusi menentang pemerintah, maka pada tahun 1879 oleh
Kadev Taufik, ia dikeluarkan dari Mesir, dia adalah Jamaludin al-Afghanai, guru dari
Muhammad Abduh (1849-1905).

Akar Fitnah dalam Sejarah Umat Islam


Hingga Lahirnya JIL [2/2]
oleh: Abu Hamzah al-Sanuwi, Lc, M.Ag

Bagian kedua dari 2 tulisan

--------------------------------------------------------------------------------

Muhammad Abduh
Abduh adalah murid al-Afghani yang paling menonjol, tapi pengaruhnya melebihi
gurunya karena latar belakang keagamaannya, setelah revolusi Arab oleh murid-murid al-
Afghani yang dipimpin oleh Ahmad Arabi, saat itu Abduh jadi Syeikh al-Azhar, maka
Abduh diasingkan ke Beirut. Hasil revolusi Arab adalah Mesir dikendalikan oleh Iggris.

Setelah pulang dari pembuangan karena syafaat Iggris, Abduh pindah haluan, dari
revolusi menjadi reformasi (modernisasi) yang intinya adalah: mendekatkan Islam
dengan Barat atau menundukan (menyesuaikan) ajaran Islam dengan budaya dan
peradaban Barat. Hal ini telah dimulai oleh Abduh saat ia mendirikan lembaga
pendekatan antara agama-agama di Barat. Akhirnya atas petunjuk Konsul Inggris di
Mesir, Abduh diangkat jadi Mufti Mesir. Abduh memandang bahwa jihad yang ada
dalam Islam hanyalah membela diri, intinya ia ingin bermesraan dan bergandengan
dengan orang kafir, meskipun Mesir, negerinya sendiri dijajah para penyembah salib.
Jadi programnya Abduh adalah:

1. Mendekatkan kaum muslimin kepada orang-orang kafir.


2. Memupus semangat jihad agar hidup tenang tidak ada masalah.
3. Mengajak kepada Nasionalis Mesir, pisah dari khilafah Islamiyah.
4. Kontekstualisasi Islam agar sesuai dengan kehidupan modern dengan cara ta'wil
dan tahrif.
5. Dakwah kepada pembebasan wanita muslimah. Dalam hal ini Abduh dibantu oleh
murid-muridnya yang bernama Qasim amin (penulis buku Tahrir al-Marah,
setelah beberapa tahun ia menulis al-marah al-Jadidah) dan Luthfi Sayyid dan
oleh sahabat-sahabatnya terutama Thaha Husen. Mereka itulah yang memelopori
kelas campur dalam program tinggi di Mesir.

Al-Afghani dan Abduh menjadi besar karena dua kekuatan yang ada dibelakangnya yaitu
Masaniyah dan penjajah.

Perjuangan Abduh yang tadinya ingin membangun bendungan bagi umat Islam agar tidak
terkena terpaan gelombang sekularisme, ternyata menjadi jembatan orang-orang
sekularis.(lihat Sulaiman al-Kharasi, Al-Ashrariyah Qantharah al-Almaniyah, di al-
Karashi @Hotmail.com; Majalah al-Bayan vol. 149/1421 hal. 70,82,83).

Lalu muncul Ali Abdul Raziq (1880-1966) yang menentang system khilafah Islamiyah,
menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad e hanyalah
pemimpin agama, semua jihad yang dilancarkannya hanyalah karena faktor duniawi,
sedangkan khilafah Rasyidah adalah pemerintahan yang tidak agamis. Menurutnya
hukum zaman nabi e itu tidak menentu dan ijma'-pun bukan hujjah, karena itu ia divonis
oleh para ulama sebagai ulama su'. Jejak Ali ini diteruskan oleh Muhammad khalafullah
(1926-1997) yang mengatakan bahwa: yang dikehendaki oleh al-Qur'an hanyalah system
demokrasi tidak ada yang lain. (Charles: Xxi, 18).

Sedangkan di Tunis muncul Burqibah yang mencabuti hijab dari wanita-wanita Tunis,
sehari setelah kemerdekaan. Lalu Thahir al-Haddad penulis kitab Imra'ah Fi al-Syariah
wa al-Mujtama' pada tahun 1930).

Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di perancis, ia


menggagas tafsir al-Qur'an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat
seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan
linguistic. Intinya ia ingin menela'ah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat
modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan
keanekaragaman pemikiran di luar Islam. (Mu'adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang
cara-cara tafsir al-Qur'an, Jurnal Salam vol. 3 no. 1/2000 hal. 100-111; Abd. Rahman al-
Zunaidi: 180; William M Watt: 143).

Di Pakistan muncul Fadzlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi
guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas Tafsir kontekstual, satu-satunya model
tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur'an itu mengandung dua
aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur'an adalah ideal moralnya,
karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan. (Fadzlul Rahman: 21; William M. Watt:
142-143).

Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fadzlur Rahman di Chicago) yang
mempelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan
Abdurrahman Wahid. (Adnan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan Misinya,
menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88).

Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaharuannya sejak tahun 1970-an. Pada
saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: "Rasanya toleransi
agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relatifisme) bentuk-bentuk
formal agama ini dan pengakuan bersama akan memutlakkan suatu nilai yang universal,
yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama"
(Nurchalis Madjid: 239). (Majalah al-Sunnah: Edisi 04/1423 hal.15-16).

Jaringan Islam Liberal


Kemudian lahirlah apa yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL). Lahir di Jl. Utan Kayu
68 H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 maret 2001.
pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di
Paramadina, NU, dan IAIN Ciputat, semisal Ulil Abshar Abdalla, Ichan Loulemba, AE.
Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad
Arsuka. Komunitasa di lapis duanya, banyak pula yang mantan aktifis kelompok studi
tahun 1980-an, yang kemudian sekolah sampai S3 di AS. Komunitas tersebut makin
mengkristal, mereka kemudian mengorganisasikan diri dalam wadah JIL, dengan
semboyan, "Menuju Islam yng membebaskan".

Latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan Islam
militan. Seperti tertulis dalam "Profile" www.Islamlib.com , dinyatakan bahwa lahirnya
JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme dan
fundamentalisme".

Istilah dan wacana Islam Liberal sendiri tidak lebih merupakan hasil "kopi paste" dari
Islamic Liberalism (Cicago 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford
1998). Hasil editan Charles Kurzman. Buku-buku dari dua Islamolog ini, sempat menjadi
bahan diskusi di sederetan kampus di Indonesia. Ketika yayasan Paramadina menerbitkan
edisi buku terjemahan Kurzman, semakin menjamurlah perbincangan seputar "Islam"
gaya baru ini. istilah "Islam" Liberal dipopulerkan oleh Ali Asghar Fyzzer, intelektual
muslim India pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku mengambil istilah itu dari Fyzzer.

Menurut Greg Barton, prinsip sentral "Islam Liberal" atau Neo Modernisme: "suatu
komitmen pada rasionalitas dan pembaruan, keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi
ijtihad, penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam ajaran agama, serta
pemisahan agama dari partai-partai dan posisi non sectarian Negara". Ringkasnya, tema-
tema besar yang menjadi agenda JIL adalah: Rasionalitas, kontekstualisasi ijtihad,
pluralisme dan sekularisme.

Deni JA, kolumnis yang juga anggota JIL menulis, "secara sengaja, kita harus
menempelkan kata Liberal di samping Islam, karena yang kita perjuangkan bukan
interpretasi Islam yang lain, tapi interpretasi Islam yang Liberal, yang sesuai dengan
dasar Negara modern seperti yang berkembang di Negara maju". Ia juga berkata, "Islam
Liberal adalah interpretasi Islam yang mendukung atau paralel dengan civic kultur (pro
pluralisme, equal oportuniti, modernisasi, trust, tolerance, memiliki sense of kommuniti
yang nasional)".

Luthfi juga menulis, "�kalau kita ingin bebas, bebas dari apa dan bebas untuk apa. Saya
kira jawabannya jelas: bebas dari otoritas masa silam dan bebas untuk menafsirkan dan
mengkritisi otoritas tersebut". (Majalah al-Bun-yan Edisi I/ Th.II/ April 2002/Muharram
1423 H, hal. 13-15).

Anda mungkin juga menyukai