Afifah (2011027052)
Pendahuluan
Pada dasarnya, sumber hukum adalah segala sesuatu yang memiliki potensi untuk
menciptakan atau menghasilkan aturan yang memiliki kekuatan mengikat, sehingga jika
aturan tersebut dilanggar, akan berakibat pada sanksi yang tegas dan nyata. Dalam konteks
hukum Islam, sumber hukum Islam mencakup segala sesuatu yang dijadikan dasar, panduan,
atau acuan dalam syariat Islam. Al-Qur'an merupakan sumber hukum pertama dalam Islam,
berupa wahyu atau kalamullah yang telah dijamin keotentikannya dan terhindar dari campur
tangan manusia. Dengan proses penyucian ini, posisi al-Qur'an sebagai sumber hukum utama
ditegaskan.
Oleh karena itu, sebagai sumber utama, al-Qur'an harus memiliki sifat dinamis, benar,
dan mutlak. Dinamis berarti al-Qur'an dapat diterapkan di mana saja, kapan saja, dan untuk
siapa saja. Kebenaran al-Qur'an dapat diuji melalui realita atau fakta yang terjadi dalam
kehidupan nyata. Akhirnya, kebenaran al-Qur'an tidak perlu dipertanyakan dan tidak dapat
digantikan oleh sumber lain.1
Sebagai dalil muttafaq, al-Qur'an menduduki posisi yang paling utama karena
merupakan kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah
Muhammad bin Abdullah dengan menggunakan bahasa Arab dan makna yang tepat. Hal ini
berfungsi sebagai bukti bagi Rasul untuk menegaskan statusnya sebagai Rasulullah, sebagai
undang-undang bagi mereka yang mengikuti petunjuknya, dan sebagai bentuk ibadah bagi
mereka yang membacanya.
1
Jaya, S. A. F. (2020). Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal Indo-Islamika,
9(2), 204–216. https://doi.org/10.15408/idi.v9i2.17542
Para ulama membagi sejarah turunnya Al-Qur’an dalam dua periode: (1) Periode
sebelum hijrah (ayat-ayat makkiyyah); dan (2) periode sesudah hijrah (ayat-ayat
madaniyyah), tetapi disini akan dipetakan menjadi tiga periode guna mempermudah dalam
pengklasifikasiannya.
Periode pertama, pada awal turunnya wahyu yang pertama (al-alaq 1-5) Muhammad
SAW diangkat menjadi Rasul, dan hanya berperan sebagai nabi yang tidak diperintahkan
untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya. Sampai pada turunnya wahyu yang kedua
barulah Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, dengan
adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74: 1-2).
(Quraish Shihab, 2006: 35).
Kemudian sesudah itu, kandungan wahyu ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama,
pendidikan bagi Rasulullah saw, dalam membentuk kepribadiannya (Q.s. Al-Muddatsir [74]:
1-7). Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai ketuhanan (Q.s. Al-A’la [87] dan
Al-Ikhlash [112]. Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta
bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat Jahiliah pada saat
itu. Dapat dilihat, misal dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang
menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menjelaskan kewajiban terhadap
fakir-miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan berbagai macam
reaksi dikalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksireaksi tersebut nyata dalam tiga hal
pokok: Pertama, Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaranajaran
Al-Qur’an. Kedua, Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Qur’an,
karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan
tradisi nenek moyang (QS 43:22), atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu
golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim
memperoleh kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan apalagi yang tinggal untuk kami. Ketiga,
Dakwah Al-Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah
lainnya. (Quraish Shihab, 2006: 36)
Periode kedua, sejarah turunnya Al-Qur’an pada periode kedua terjadi selama 8-9
tahun, pada masa ini terjadi pertikaian yang luar biasat antara kelompok Islam dan Jahiliah.
Kelompok oposisi terhadap Islam menggunakan berbagai cara untuk menghalangi kemajuan
dakwah Islam. Pada masa itu, ayat-ayat Al-Qur’an di satu pihak, silih berganti turun
menjelaskan kewajibankewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika
itu (Q.s. An-Nahl [16]: 125). Sementara di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman terus
mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran (Q.S 41: 13). Selain itu, turun
juga ayat-ayat mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat (Q.S. Yasin [36]: 78-82).
(Quraish Shihab, 2006: 37) Di sini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah sanggup
memblokade paham-paham jahiliah dari segala sisi sehingga mereka tidak lagi memiliki arti
dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode ketiga, pada periode ini dakwah Al-Qur’an telah mencapai atau mewujudkan
suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan
ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah).
Periode ini berlangsung selama 10 tahun. Ini merupakan periode yang terakhir, saat Islam
disempurnakan oleh Allah SWT dengan turunnya ayat yang terakhir, Al-Maidah [5]: 3, pada
saat Rasulullah Saw wukuf pada haji wada’ 9 Dzulhijjah 10 H/7 Maret 632 M. Dan ayat
terakhir turun secara mutlak, surat Al-Baqarah [2]: 281, sehingga dari ayat pertama kalinya
memakan waktu sekitar 23 tahun.2
2
Cahaya Kaeroni. “Sejarah Al-Qur’an”. Jurnal Historia, 2017, Vol. 5 No.2
3
https://muslim.or.id/58539-pentingnya-pemahaman-dalam-mempelajari-al-quran-dan-as-sunnah.html,
diakses 25 Juli 2023, 23.15.
4
Husni, Muhammad. "Studi Al-Qur’an: Teori Al Makkiyah dan Al Madaniyah." Al-Ibrah 4.2
(2019) hal. 70
2) Dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya yang bijaksana secara
umum. sehingga meningkatkan keyakinan terhadap Islam dalam mendidik manusia baik
secara perorangan maupun golongan.
Dibawah ini adalah perbedaan yang terdapat diantara ayat-ayat makkiyyah dan madaniyyah6:
MAKKIYYAH MADANIYYAH
Setiap surat yang di dalamnya mengandung Setiap surat berisi kewajiban atau sanksi
surat sajadah hukuma) Setiap surat yang di dalamnya
disebut orang-orang munafik kecuali surat
al Ankabut. Ia adalah Makkiyah
Setiap surat yangmengandung lafad kalla Setiap surat yang di dalamnya terdapat
Lafad ini hanya terdapat dalam separoh dialog dengan ahli kitab
terakhir dari Al-Qur’an dan disebutkan
sebanyak 33 kali
Setiap surat yangmengandung kisah para Seruan terhadap Allah dari kalangan
nabi dan umat terdahulu kecuali surat al Yahudi dan Nasrani dan ajakan kepada
Baqarah mereka untuk masuk Islam,
5
Ibid, hal 82
6
Ibid, hal 75-79
surat al Baqarah sedangkan surat Ra’ad memantapkan syariat serta menjelaskan
masih diperselisihkan tujuan dan syariatnya
berisi pokok keimanan, hari akhir, surge mengandung izin untuk berperang atau
dan neraka. Isinya mengajak manusia keterangan tentang perang dan hukumnya.
pada jalan lurus. Berakhlak karimah dan Berisi tentang waris, perdata, pidana,
kebajikan. kemasyarakatan dan kenegaraan
Setiap apa yang sudah menjadi ketetapan Allah maka akan ada sebuah
manfaat yang dapat kita ambil , seperti pada cara turunnya Al-Qur’an yang mana
Al-Qur’an sendiri diturunkan tidak sekaligus lengkap dari surat Al-Fatihah sampai
dengan surat An-Nas, akan tetapi diturunkan secara berangsur-angsur. Diantara
hikmah dan tujuan diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah :
Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang bersifat global dan hanya beberapa
yang bersifat mendetail. secara garis besar penjelasan hukum oleh Al-Quran terdiri
dari tiga cara, yaitu:
a. Ijmali (global)
b. Tafshili (Terperinci)
ۚك َ ت فَلَهَا نِصْ فُ َما تَ َر ٌ ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ ُأ ْخ َ ك لَي َ َك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالكَاَل لَ ِة ۚ ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ هَل َ َيَ ْستَ ْفتُون
ك ۚ وَِإ ْن َكانُوا ِإ ْخ َوةً ِر َجااًلَ ان ِم َّما تَ َرِ ََوهُ َو يَ ِرثُهَا ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن َكانَتَا ْاثنَتَي ِْن فَلَهُ َما الثُّلُث
ِ ظ اُأْل ْنثَيَي ِْن ۗ يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ْم َأ ْن ت
َضلُّوا ۗ َوهَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم ِّ لذ َك ِر ِم ْث ُل َح
َّ َِونِ َسا ًء فَل
7
Kurniasih, dkk. Hikmah Penurunan Al-Qur’an Secara Berangsur. Jurnal : Mimbar Agama dan
Budaya. Vol. 38. No. 2. 2021. Hal. 82-83
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
c. Isyarah (Isyarat)
Penjelasan Al-Quran hanya sebatas pokok hukum, baik secara isyarat maupun
ungkapan langsung. sedangkan Sunnah Nabi menjelaskan hukum yang
terkandung dalam pokok bahasan tersebut secara terperinci. sebagai contoh
dalam firman Allah, An-Nisaa: 25
“dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
Ayat ini memberikan isyarat hukuman yang berlaku kepada budak atau hamba
sahaya yaitu setengah dari besaran hukum yang ditimpakan kepada orang
merdeka.8
8
Septi Aji Fitra Jaya, Al Quran dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. hlm. 210-211
Masa kodifikasi Al-Qur’an
Pengumpulan Al-Qur’an atau kodifikasi telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW,
bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana diketahui,
Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW
membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk
mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.
Pengumpulan dengan cara menghafal dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat.
Penghafal ini sangat penting mengingat Al- Qur’an diturunkan kepada Nabi yang tidak
bisa membaca dan menulis. Oleh karena itu ketika datang wahyu, Rasulullahah SAW
langsung menghafal dan memahaminya. Demikianlah Rasulullah adalah orang pertama
yang menghafal Al-Qur’an. 9
9
Miftahul Munir, Metode Pengumpulan Al-Qur’an, hlm 146.
10
Ibid 147.
Bila ayat turun, ia memerintahkan menuliskannya dan menunjukkan, di mana tempat ayat
tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam
hati. Sebagian sahabat juga menulis al-quran atas inisiatif sendiri pada pelepah kurma,
lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang
binatang. Zaid bin Tsabit berkata, “Kami menyusun al-quran di hadapan Rasulullah SAW
pada kulit binatang”. Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat
dalam penulisan al-quran. Alat-alat yang digunakan tulis menulis tidak cukup tersedia
bagi mereka, selain hanya sarana-sarana tersebut. Tetapi hikmahnya, penulisan al-quran
ini semakin menambah kuat hafalan mereka.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu, antara lain adalah: Abu Bakar
Al-Shiddiq, Umar bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit,
Ubay bin Ka‟ab, Mu‟awiyah bin Abi Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan
Amr bin As. Tulisan ayat-ayat al[1]quran yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah
Rasulullah SAW. Mereka pun masing-masing menulis untuk disimpan sendiri. Walaupun
demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam satu mushaf (sebuah buku yang
terjilid seperti sekarang ini), melainkan masih berserakan.11
Pada masa ini terjadi pertempuran di Yamamah, yaitu “Perang Kemurtadan (riddah)”.
Perang ini terjadi pada tahun ke-12 H, yakni perang antara kaum muslimin dan kaum
murtad (pengikut Musailamatul Kadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana
11
Ibid hlm 148.
mengakibatkan 70 penghafAl-Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur. (Subhi As-Shalih,
1999:85)
Akibat banyaknya penghafal Al-Qur’an yang terbunuh, hal ini membuat Umar ibn
al-Khattab risau tentang masa depan Al-Qur’an. Sebab itu beliau mengusulkan kepada
Khalifah Abu Bakr untuk melakukan pengumpulan Al-Qur’an. Kendatipun pada mulanya
Abu Bakr ragu-ragu untuk melakukan tugas itu, karena dia belum mendapat wewenang
dari Nabi Muhammad saw. Secara jelas, keraguan ini nampak ketika Abu Bakar berdialog
dengan Umar ibn al-Khattab, Abu Bakar berkata: “Bagaimana aku harus memperbuat
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ?” sambil balik bertanya.
Demi Allah, kata Umar, “Ini adalah perbuatan yang sangat baik dan terpuji”. Hingga pada
akhirnya beliau menyetujuinya.
Kemudian beliau menugasi Zaid ibn Tsabit untuk menuliskannya. Perlu diketahui
juga bahwa metode yang ditempuh Zaid ibn Tsabit dalam pengumpulan Al-Qur’an terdiri
dari empat prinsip: Pertama, apa yang ditulis dihadapan Rasul. Kedua, apa yang
dihafalkan oleh para sahabat. Ketiga, tidak menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum
disaksikan (disetujui) oleh dua orang saksi, bahwa ia pernah ditulis dihadapan Rasul.
Keempat, hendaknya tidak menerima dari hafalan para sahabat kecuali apa yang telah
mereka terima dari Rasulullah SAW.12
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman
dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar yakni menyalin mushaf yang dipegang Hafsah yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan
standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil
12
Cahya Khaeroni, SEJARAH AL-QUR’AN (Uraian Analitis,Kronologis, dan Naratif tentang
Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an), Jurnal Historia hlm 197 - 198
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam
penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.13
Naskah itu kemudian disempurnakan oleh dua orang pejabat Umayyah, Ibn Muqlah
dan Ibn ‘Isa pada 933 dengan bantuan Ibn Mujahid. Ibn Mujahid mengenali adanya tujuh
corak pembacaan Al-Qur’an, yang berkembang karena tidak adanya huruf vokal dan
tanda baca.
Ada satu konsekuensi yang harus diterima oleh umat Islam akibat kebijakan khalifah
Utsman bin affan. Kalau dirunut ulang dari awal, bahwa sebelum pembukuan Al-Qur’an,
kita tidak bisa membayangkan betapa banyak ragam bacaan pada saat itu. Al-Qur’an
begitu sangat plural, kaya akan bacaan dan maknanya. Tetapi searah dengan kebijakan
politik khalifah Utsman, Al-Qur’an menjadi tampil dalam bentuk tunggal, Al-Qur’an
versi mushaf Utsmani. Inilah mushaf yang dianggap paling sah dan benar sampai
sekarang. Tentunya, sah dan benar dalam pandangan khalifah saat itu yang memiliki
inisiatif dan otoritas untuk membukukannya. Dari sudut pandang ini, tampilnya mushaf
versi Utsman sebagai mushaf resmi Umat Islam tidak lain adalah hasil dari tafsiran atas
berbagai mushaf yang berkembang pada saat itu, yang didalamnya melibatkan proses
selektifitas, pembuangan dan penambahan.14
Kesimpulan
Kesimpulan dari al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam adalah bahwa al-Qur'an
adalah kitab suci serta wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
melalui perantaraan malaikat Jibril. Sebagai sumber hukum, al-Qur'an memiliki posisi
yang paling utama dan dianggap sebagai pedoman utama bagi kehidupan umat
Muslim.
Selain itu, al-Qur'an juga menyediakan bimbingan dan inspirasi bagi umat Muslim
dalam mencari solusi atas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur'an memiliki otoritas yang
13
Ibid hlm 198
14
Ibid hlm 199
tak terbantahkan dan dianggap sebagai rujukan utama bagi para ulama dalam
menetapkan hukum dan fatwa.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniasih, Maulana, Dyah Ayu Lestari and Ahmad Fauzi. Hikmah Penurunan Al-Qur’an Secara
Berangsur. Jurnal : Mimbar Agama dan Budaya. Vol. 38. No. 2. 2021.
Jaya, S. A. F. (2020). Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal Indo-Islamika, 9(2),
204–216. https://doi.org/10.15408/idi.v9i2.17542
Husni, Muhammad. "Studi Al-Qur’an: Teori Al Makkiyah dan Al Madaniyah." Al-Ibrah 4.2
(2019)
Jaya, Septi Aji Fitra, (2019), Al-Quran dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal
Indo-Islamika, volume 9, nomor 2.