Anda di halaman 1dari 12

SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM: AL-QUR’AN

Amalia Lutfiani (2011027054)

Afifah (2011027052)

Islam Madina (2000027007)

Nabila Zalva A (2000027010)

Nadia Alma S (2000027017)

Qayyimatul Jauziyah (2000027005)

Zulfa Laila Fitri (2000027068)

Pendahuluan

Pada dasarnya, sumber hukum adalah segala sesuatu yang memiliki potensi untuk
menciptakan atau menghasilkan aturan yang memiliki kekuatan mengikat, sehingga jika
aturan tersebut dilanggar, akan berakibat pada sanksi yang tegas dan nyata. Dalam konteks
hukum Islam, sumber hukum Islam mencakup segala sesuatu yang dijadikan dasar, panduan,
atau acuan dalam syariat Islam. Al-Qur'an merupakan sumber hukum pertama dalam Islam,
berupa wahyu atau kalamullah yang telah dijamin keotentikannya dan terhindar dari campur
tangan manusia. Dengan proses penyucian ini, posisi al-Qur'an sebagai sumber hukum utama
ditegaskan.

Oleh karena itu, sebagai sumber utama, al-Qur'an harus memiliki sifat dinamis, benar,
dan mutlak. Dinamis berarti al-Qur'an dapat diterapkan di mana saja, kapan saja, dan untuk
siapa saja. Kebenaran al-Qur'an dapat diuji melalui realita atau fakta yang terjadi dalam
kehidupan nyata. Akhirnya, kebenaran al-Qur'an tidak perlu dipertanyakan dan tidak dapat
digantikan oleh sumber lain.1

Sebagai dalil muttafaq, al-Qur'an menduduki posisi yang paling utama karena
merupakan kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah
Muhammad bin Abdullah dengan menggunakan bahasa Arab dan makna yang tepat. Hal ini
berfungsi sebagai bukti bagi Rasul untuk menegaskan statusnya sebagai Rasulullah, sebagai
undang-undang bagi mereka yang mengikuti petunjuknya, dan sebagai bentuk ibadah bagi
mereka yang membacanya.

1. Sejarah Turunnya Al-Qur’an

Para ulama membagi sejarah turunnya Al-Qur’an dalam dua periode:

1
Jaya, S. A. F. (2020). Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal Indo-Islamika,
9(2), 204–216. https://doi.org/10.15408/idi.v9i2.17542
Para ulama membagi sejarah turunnya Al-Qur’an dalam dua periode: (1) Periode
sebelum hijrah (ayat-ayat makkiyyah); dan (2) periode sesudah hijrah (ayat-ayat
madaniyyah), tetapi disini akan dipetakan menjadi tiga periode guna mempermudah dalam
pengklasifikasiannya.

Periode pertama, pada awal turunnya wahyu yang pertama (al-alaq 1-5) Muhammad
SAW diangkat menjadi Rasul, dan hanya berperan sebagai nabi yang tidak diperintahkan
untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya. Sampai pada turunnya wahyu yang kedua
barulah Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, dengan
adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74: 1-2).
(Quraish Shihab, 2006: 35).

Kemudian sesudah itu, kandungan wahyu ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama,
pendidikan bagi Rasulullah saw, dalam membentuk kepribadiannya (Q.s. Al-Muddatsir [74]:
1-7). Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai ketuhanan (Q.s. Al-A’la [87] dan
Al-Ikhlash [112]. Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta
bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat Jahiliah pada saat
itu. Dapat dilihat, misal dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang
menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menjelaskan kewajiban terhadap
fakir-miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong

Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan berbagai macam
reaksi dikalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksireaksi tersebut nyata dalam tiga hal
pokok: Pertama, Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaranajaran
Al-Qur’an. Kedua, Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Qur’an,
karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan
tradisi nenek moyang (QS 43:22), atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu
golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim
memperoleh kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan apalagi yang tinggal untuk kami. Ketiga,
Dakwah Al-Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah
lainnya. (Quraish Shihab, 2006: 36)

Periode kedua, sejarah turunnya Al-Qur’an pada periode kedua terjadi selama 8-9
tahun, pada masa ini terjadi pertikaian yang luar biasat antara kelompok Islam dan Jahiliah.
Kelompok oposisi terhadap Islam menggunakan berbagai cara untuk menghalangi kemajuan
dakwah Islam. Pada masa itu, ayat-ayat Al-Qur’an di satu pihak, silih berganti turun
menjelaskan kewajibankewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika
itu (Q.s. An-Nahl [16]: 125). Sementara di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman terus
mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran (Q.S 41: 13). Selain itu, turun
juga ayat-ayat mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat (Q.S. Yasin [36]: 78-82).
(Quraish Shihab, 2006: 37) Di sini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah sanggup
memblokade paham-paham jahiliah dari segala sisi sehingga mereka tidak lagi memiliki arti
dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode ketiga, pada periode ini dakwah Al-Qur’an telah mencapai atau mewujudkan
suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan
ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah).
Periode ini berlangsung selama 10 tahun. Ini merupakan periode yang terakhir, saat Islam
disempurnakan oleh Allah SWT dengan turunnya ayat yang terakhir, Al-Maidah [5]: 3, pada
saat Rasulullah Saw wukuf pada haji wada’ 9 Dzulhijjah 10 H/7 Maret 632 M. Dan ayat
terakhir turun secara mutlak, surat Al-Baqarah [2]: 281, sehingga dari ayat pertama kalinya
memakan waktu sekitar 23 tahun.2

2. Urgensi Memahami Al-Qur’an

Di antara urgensi memahami Al-Qur’an yaitu:

1. Di antara perkara penting yang menjadi sebab pentingnya memahami Al-Qur’an


adalah “pemahaman” (al-fahmu). Yaitu, diberikan pemahaman tentang apa yang
diinginkan oleh Allah Ta’ala dan juga apa yang diinginkan (dimaksudkan) oleh
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena mayoritas manusia diberikan
ilmu, namun tidak diberikan pemahaman (al-fahmu). Tidaklah cukup bagi seseorang
kalau hanya menghapal Al-Qur’an namun tidak memiliki pemahaman. Betapa banyak
orang yang berdalil dengan ayat Al-Qur’an namun tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga dengan itu, mereka pun
terjatuh dalam kesesatan.3

3. Surat Makkiyah dan Madaniyah

Al-qur’an turun secara berangsur-angsur. Oleh karenanya, dalam perspektif masa


diturunkannya Al-qur’an, dibagi menjadi dua yakni makkiyyah dan madaniyyah. Makkiyah
adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah kendatipun bukan
turun di Mekkah, Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah
saw. hijrah ke Madinah kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah
hijrah disebut madaniyah.4

Menurut Al Zarqani, pengelompokan ayat-ayat yang dilihat dari masa


diwahyukannya memiliki beberapa manfaat, diantaranya :

1) Digunakan dalam mengetahui ayat mansukh dan nasikh.

2
Cahaya Kaeroni. “Sejarah Al-Qur’an”. Jurnal Historia, 2017, Vol. 5 No.2
3
https://muslim.or.id/58539-pentingnya-pemahaman-dalam-mempelajari-al-quran-dan-as-sunnah.html,
diakses 25 Juli 2023, 23.15.
4
Husni, Muhammad. "Studi Al-Qur’an: Teori Al Makkiyah dan Al Madaniyah." Al-Ibrah 4.2
(2019) hal. 70
2) Dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya yang bijaksana secara
umum. sehingga meningkatkan keyakinan terhadap Islam dalam mendidik manusia baik
secara perorangan maupun golongan.

3) Meningkatkan keimanan terhadap kebenaran Al-Qur’an karena melihat besarnya


perhatian umat Islam sejak turunnya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
Al-Qur’an sehingga mengetahui ayat-ayat mana yang diturunkan sebelum hijrah dan
sesudahnya5.

Dibawah ini adalah perbedaan yang terdapat diantara ayat-ayat makkiyyah dan madaniyyah6:

MAKKIYYAH MADANIYYAH

Setiap surat yang di dalamnya mengandung Setiap surat berisi kewajiban atau sanksi
surat sajadah hukuma) Setiap surat yang di dalamnya
disebut orang-orang munafik kecuali surat
al Ankabut. Ia adalah Makkiyah

Setiap surat yangmengandung lafad kalla Setiap surat yang di dalamnya terdapat
Lafad ini hanya terdapat dalam separoh dialog dengan ahli kitab
terakhir dari Al-Qur’an dan disebutkan
sebanyak 33 kali

Setiap surat mengandung Ya Ayyuhannas Menjelaskan masalah ibadah, muamalah,


kecuali surat aal Hajj pada akhir suratnya had, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan sosial, hubungan internasional,
baik diwaktu damai maupun diwaktu
perang, kaidah hukum dan masalah
perundang-undangan

Setiap surat yangmengandung kisah para Seruan terhadap Allah dari kalangan
nabi dan umat terdahulu kecuali surat al Yahudi dan Nasrani dan ajakan kepada
Baqarah mereka untuk masuk Islam,

Setiap surat yang mengandung kisah Menyingkap perilaku orang-orang


Adam dan iblis kecuali surat al Baqarah munafik, menganalisis kejiwaannya,
membuka kedoknya dan menjelaskan
bahwa ia berbahaya bagi agama

Setiap surat yang mengandung Suku kata dan ayatnya panjang-panjang


huru-huruf mungqatha’ah dan hija’I kecuali dan dengan gaya bahasa yang

5
Ibid, hal 82
6
Ibid, hal 75-79
surat al Baqarah sedangkan surat Ra’ad memantapkan syariat serta menjelaskan
masih diperselisihkan tujuan dan syariatnya

berisi pokok keimanan, hari akhir, surge mengandung izin untuk berperang atau
dan neraka. Isinya mengajak manusia keterangan tentang perang dan hukumnya.
pada jalan lurus. Berakhlak karimah dan Berisi tentang waris, perdata, pidana,
kebajikan. kemasyarakatan dan kenegaraan

4. Masa Kodifikasi al-Qur’an


5. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an

Setiap apa yang sudah menjadi ketetapan Allah maka akan ada sebuah
manfaat yang dapat kita ambil , seperti pada cara turunnya Al-Qur’an yang mana
Al-Qur’an sendiri diturunkan tidak sekaligus lengkap dari surat Al-Fatihah sampai
dengan surat An-Nas, akan tetapi diturunkan secara berangsur-angsur. Diantara
hikmah dan tujuan diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah :

1. menguatkan hati nabi Muhammad saw dalam menerima dan menyampaikan


kalam Allah. Dalam perjalanan dakwahnya Nabi saw sering sekali
menghadapi tantangan, oleh karenanya dengan diturunkannya Al-Qur’an ini
sebagai penghibur beliau dikala menghadapi kesulitan, kesedihan maupun
perlawanan dari orang-orang kafir.
2. Al-Quran merupakan mukjizat terbesar nabi untuk menjawab dan mematahkan
tantangan orang-orang kafir. Dari mereka sering kali memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang bermaksud untuk melemahkan serta menantang
juga menguji kenabian Rasulullah saw, misalnya dengan menanyakan kapan
harik kiamat itu datang dan lain sebagainya.
3. Memudahkan nabi dalam menghafal lafadz Al-Qur’an, yang mana bahwa
dahulu Rasulullah saw merupakan seorang ummi/tidak bisa membaca maupun
menulis dan Al-Qur’an sebagai kalam Allah maka harus dipahami sesuai
dengan apa yang telah Allah firmankan, maka dengan diturunkannya
berangsur-angsur dapat memudahkan Rasulullah untuk memahami kandungan
dari setiap ayat yang diturunkan dan dapat menyampaikan kepada umat
dengan penyampaian yang baik.
4. Memudahkan pada masa itu untuk menghafal, mencatat dan memahami
Al-Qur’an. Saat itu kegiatan membaca dan menulis masih sangat langka
karena banyaknya orang yang tidak bisa membaca dan alat tulis yang terbatas
sehingga kebanyakan dari mereka mengandalkan akalnya untuk menghafal.
5. Memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk meninggalkan
tradisi-tradisi jahiliyah sedikit demi sedikit. Misalnya turun ayat pengharaman
khamr yang kala itu minuman khamr adalah salah satu tradisi masyarakat arab
yang sangat melekat, dalam hal itu Allah menurunkan ayat khamr tidak
langsung mengatakan bahwa khamr itu haram, akan tetapi Allah turunkan
secara berangsur-angsur misalnya disebutkan bahwa khamr memiliki manfaat
namun sangat sedikit dibandingkan dengan kemudharatannya, kemudian turun
ayat selanjutnya bahwa orang yang meminum khamr tidak boleh
melaksanakan shalat karena hilang kesadarannya sampai pada kemudian Allah
mengharamkan khamr tersebut.
6. Menjawab problematika masyarakat, biasanya ayat Al-Qur’an turun dalam
kondisi atau peristiwa tertentu yang mana isi dari ayat tersebut merupakan
jawaban langsung dari Allah untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan umat saat itu.
7. Mengetahui naskh dan mansukh dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan
hukum.
8. Memberikan pengaruh yang besar dalam proses dakwah islam dan
pembentukan umat. 7
6. Contoh Pengambilan Hukum Syara’

Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang bersifat global dan hanya beberapa
yang bersifat mendetail. secara garis besar penjelasan hukum oleh Al-Quran terdiri
dari tiga cara, yaitu:

a. Ijmali (global)

penjelasan Al-Quran bersifat umum, sedangkan sunnah Nabi nantinya dapat


menjelaskan lebih mendetail. sebagaimana perintah mendirikan sholat,
menunaikan zakat dan penjelasan lafaz yang tidak jelas secara makna. Allah
swt berfirman “Dirikanlah Sholat” dalam surah Al-Baqarah: 43. ayat tersebut
merupakan perintah untuk mendirikan sholat, tanpa adanya penjelasan
mengenai tata cara dan waktu pelaksanaannya. maka disini peran Sunnah
Nabi, “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat”.

b. Tafshili (Terperinci)

Al-Quran memaparkan hukum secara terperinci yang disertai penjelasan


secara detail, sedang sunnah Nabi menjadi penguat bagi penjelasan Al-Quran.
Contohnya dalam hal hukum waris, tata cara dan hitungan dalam talaq,
mahram, tata cara li’an (saling melaknat) antara suami dan istri, dan penetapan
hukuman dalam kasus pidana hudud.

Allah berfirman dalam surah An Nisa: 176,

ۚ‫ك‬ َ ‫ت فَلَهَا نِصْ فُ َما تَ َر‬ ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ ُأ ْخ‬ َ ‫ك لَي‬ َ َ‫ك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالكَاَل لَ ِة ۚ ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ هَل‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫ك ۚ وَِإ ْن َكانُوا ِإ ْخ َوةً ِر َجااًل‬َ ‫ان ِم َّما تَ َر‬ِ َ‫َوهُ َو يَ ِرثُهَا ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن َكانَتَا ْاثنَتَي ِْن فَلَهُ َما الثُّلُث‬
ِ ‫ظ اُأْل ْنثَيَي ِْن ۗ يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ْم َأ ْن ت‬
‫َضلُّوا ۗ َوهَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬ ِّ ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َح‬
َّ ِ‫َونِ َسا ًء فَل‬

7
Kurniasih, dkk. Hikmah Penurunan Al-Qur’an Secara Berangsur. Jurnal : Mimbar Agama dan
Budaya. Vol. 38. No. 2. 2021. Hal. 82-83
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”

c. Isyarah (Isyarat)

Penjelasan Al-Quran hanya sebatas pokok hukum, baik secara isyarat maupun
ungkapan langsung. sedangkan Sunnah Nabi menjelaskan hukum yang
terkandung dalam pokok bahasan tersebut secara terperinci. sebagai contoh
dalam firman Allah, An-Nisaa: 25

ِ ‫ت ِمنَ ْٱل َع َذا‬


‫ب‬ َ ْ‫ص َّن فَِإ ْن َأتَ ْينَ بِ ٰفَ ِح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن نِصْ فُ َما َعلَى ْٱل ُمح‬
ِ َ‫ص ٰن‬ ِ ْ‫فَِإ َذٓا ُأح‬

“dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”

Ayat ini memberikan isyarat hukuman yang berlaku kepada budak atau hamba
sahaya yaitu setengah dari besaran hukum yang ditimpakan kepada orang
merdeka.8

8
Septi Aji Fitra Jaya, Al Quran dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. hlm. 210-211
Masa kodifikasi Al-Qur’an

Pengumpulan Al-Qur’an atau kodifikasi telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW,
bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana diketahui,
Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW
membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk
mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.

Pengumpulan Al-Qur’an merupakan suatu tahap penting dalam sejarah Al-Qur’an.


Dari itu Al-Qur’an terpeihara dari pemalsuan dan persegketaan mengenai ayat-ayatnya
sebagaimana terjadi pada ahli kitab, serta terhindar dari kepunahan. Pada masa Rasulullah
SAW masih hidup, pengumpulan dan penyatuan Al-Qur’an dilakukan dengan 2 cara, yaitu
pengumpulan dalam dada (penghafal) dan penulisan.

A. Pengumpulan Al-Qur’an konteks hafalan masa Rasulullah.

Pengumpulan dengan cara menghafal dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat.
Penghafal ini sangat penting mengingat Al- Qur’an diturunkan kepada Nabi yang tidak
bisa membaca dan menulis. Oleh karena itu ketika datang wahyu, Rasulullahah SAW
langsung menghafal dan memahaminya. Demikianlah Rasulullah adalah orang pertama
yang menghafal Al-Qur’an. 9

Setelah menerima wahyu, Rasulullah SAW mengumumkannya di hadapan para


sahabat dan memerintahkan mereka untuk menghafalnya. Mereka merenungkan
ayat-ayat tersebut dan berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran yang terkandung
di dalamnya. Mengenai para penghafal Al-Qur’an pada masa Nabi ini, dalam kitab
shahih-nya, Al-Bukhori telah mengemukakan tentang tujuh penghafal Al-Qur’an
dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas‟ud, Salim bin Ma‟qil maula
Abi Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin
Sakan dan Abu Ad-Darda.10

A. Pengumpulan Al-Qur’an dalam konteks penulisan Pada masa Rasulullah SAW

Rasulullah SAW mangangkat para penulis wahyu al-quran (asisten) dari


sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali Muawiyah, Ubay bin Ka‟ab dan Zaid bin Tsabit.

9
Miftahul Munir, Metode Pengumpulan Al-Qur’an, hlm 146.
10
Ibid 147.
Bila ayat turun, ia memerintahkan menuliskannya dan menunjukkan, di mana tempat ayat
tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam
hati. Sebagian sahabat juga menulis al-quran atas inisiatif sendiri pada pelepah kurma,
lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang
binatang. Zaid bin Tsabit berkata, “Kami menyusun al-quran di hadapan Rasulullah SAW
pada kulit binatang”. Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat
dalam penulisan al-quran. Alat-alat yang digunakan tulis menulis tidak cukup tersedia
bagi mereka, selain hanya sarana-sarana tersebut. Tetapi hikmahnya, penulisan al-quran
ini semakin menambah kuat hafalan mereka.

Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu, antara lain adalah: Abu Bakar
Al-Shiddiq, Umar bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit,
Ubay bin Ka‟ab, Mu‟awiyah bin Abi Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan
Amr bin As. Tulisan ayat-ayat al[1]quran yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah
Rasulullah SAW. Mereka pun masing-masing menulis untuk disimpan sendiri. Walaupun
demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam satu mushaf (sebuah buku yang
terjilid seperti sekarang ini), melainkan masih berserakan.11

Penulisan al-quran dilakukan sesuai tartib (urutan) ayat sebagaimana ditunjukkan


Nabi SAW sesuai perintah Allah SWT. Jadi, tartib ayat al-quran adalah tauqifi (menurut
ketentuan wahyu, bukan ijtihad). Artinya, susunan ayat dan surah dalam al-quran
sebagaimana terlihat sekarang dalam mushaf-mushaf adalah sesuai dengan perintah dan
wahyu dari Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Proses penulisan al-quran seperti itu
berlangsung terus sampai Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah SAW wafat, al-quran
telah sempurna dihafal oleh para sahabat dan lengkap tertulis di pelepah, kulit, kepingan
batu, dan lain-lain. Inilah masa awal penulisan atau kodifikasi Al-Qur’an, yaitu terjadi
pada zaman Nabi.

B. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Shiddiq

Pada masa ini terjadi pertempuran di Yamamah, yaitu “Perang Kemurtadan (riddah)”.
Perang ini terjadi pada tahun ke-12 H, yakni perang antara kaum muslimin dan kaum
murtad (pengikut Musailamatul Kadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana

11
Ibid hlm 148.
mengakibatkan 70 penghafAl-Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur. (Subhi As-Shalih,
1999:85)

Akibat banyaknya penghafal Al-Qur’an yang terbunuh, hal ini membuat Umar ibn
al-Khattab risau tentang masa depan Al-Qur’an. Sebab itu beliau mengusulkan kepada
Khalifah Abu Bakr untuk melakukan pengumpulan Al-Qur’an. Kendatipun pada mulanya
Abu Bakr ragu-ragu untuk melakukan tugas itu, karena dia belum mendapat wewenang
dari Nabi Muhammad saw. Secara jelas, keraguan ini nampak ketika Abu Bakar berdialog
dengan Umar ibn al-Khattab, Abu Bakar berkata: “Bagaimana aku harus memperbuat
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ?” sambil balik bertanya.
Demi Allah, kata Umar, “Ini adalah perbuatan yang sangat baik dan terpuji”. Hingga pada
akhirnya beliau menyetujuinya.

Kemudian beliau menugasi Zaid ibn Tsabit untuk menuliskannya. Perlu diketahui
juga bahwa metode yang ditempuh Zaid ibn Tsabit dalam pengumpulan Al-Qur’an terdiri
dari empat prinsip: Pertama, apa yang ditulis dihadapan Rasul. Kedua, apa yang
dihafalkan oleh para sahabat. Ketiga, tidak menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum
disaksikan (disetujui) oleh dua orang saksi, bahwa ia pernah ditulis dihadapan Rasul.
Keempat, hendaknya tidak menerima dari hafalan para sahabat kecuali apa yang telah
mereka terima dari Rasulullah SAW.12

C. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Shiddiq

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman
dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar yakni menyalin mushaf yang dipegang Hafsah yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan
standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil

12
Cahya Khaeroni, SEJARAH AL-QUR’AN (Uraian Analitis,Kronologis, dan Naratif tentang
Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an), Jurnal Historia hlm 197 - 198
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam
penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.13

Naskah itu kemudian disempurnakan oleh dua orang pejabat Umayyah, Ibn Muqlah
dan Ibn ‘Isa pada 933 dengan bantuan Ibn Mujahid. Ibn Mujahid mengenali adanya tujuh
corak pembacaan Al-Qur’an, yang berkembang karena tidak adanya huruf vokal dan
tanda baca.

Ada satu konsekuensi yang harus diterima oleh umat Islam akibat kebijakan khalifah
Utsman bin affan. Kalau dirunut ulang dari awal, bahwa sebelum pembukuan Al-Qur’an,
kita tidak bisa membayangkan betapa banyak ragam bacaan pada saat itu. Al-Qur’an
begitu sangat plural, kaya akan bacaan dan maknanya. Tetapi searah dengan kebijakan
politik khalifah Utsman, Al-Qur’an menjadi tampil dalam bentuk tunggal, Al-Qur’an
versi mushaf Utsmani. Inilah mushaf yang dianggap paling sah dan benar sampai
sekarang. Tentunya, sah dan benar dalam pandangan khalifah saat itu yang memiliki
inisiatif dan otoritas untuk membukukannya. Dari sudut pandang ini, tampilnya mushaf
versi Utsman sebagai mushaf resmi Umat Islam tidak lain adalah hasil dari tafsiran atas
berbagai mushaf yang berkembang pada saat itu, yang didalamnya melibatkan proses
selektifitas, pembuangan dan penambahan.14

Kesimpulan

Kesimpulan dari al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam adalah bahwa al-Qur'an
adalah kitab suci serta wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
melalui perantaraan malaikat Jibril. Sebagai sumber hukum, al-Qur'an memiliki posisi
yang paling utama dan dianggap sebagai pedoman utama bagi kehidupan umat
Muslim.

Al-Qur'an berfungsi sebagai hukum tertinggi yang mengatur perilaku, moralitas,


etika, dan seluruh aspek kehidupan manusia dalam tatanan Islam. Karena sifatnya
yang dianggap sempurna, al-Qur'an mengandung petunjuk dan hukum-hukum yang
berlaku untuk seluruh umat Muslim tanpa terbatas pada waktu dan tempat tertentu.

Selain itu, al-Qur'an juga menyediakan bimbingan dan inspirasi bagi umat Muslim
dalam mencari solusi atas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur'an memiliki otoritas yang

13
Ibid hlm 198
14
Ibid hlm 199
tak terbantahkan dan dianggap sebagai rujukan utama bagi para ulama dalam
menetapkan hukum dan fatwa.

Dengan mematuhi dan mengimplementasikan ajaran al-Qur'an, umat Muslim


diharapkan dapat hidup dalam harmoni, keadilan, dan kasih sayang, serta mencapai
tujuan utama mereka, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.Al-Qur'an adalah firman Allah yang selalu benar
dan berlaku di setiap zaman dan tempat. Segala permasalahan pada dasarnya dapat
ditemukan jawabannya dalam al-Qur'an, karena sifatnya yang merupakan petunjuk
yang benar. Petunjuk yang benar akan memberikan solusi yang tepat. Meskipun
al-Qur'an hanya terdiri dari 30 juz, tetapi petunjuk yang terkandung di dalamnya
sangat lengkap dan mencakup semua persoalan yang ada. Dengan demikian, al-Qur'an
menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara yang umum,
terperinci, dan sesuai dengan inti permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Kurniasih, Maulana, Dyah Ayu Lestari and Ahmad Fauzi. Hikmah Penurunan Al-Qur’an Secara
Berangsur. Jurnal : Mimbar Agama dan Budaya. Vol. 38. No. 2. 2021.

Jaya, S. A. F. (2020). Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal Indo-Islamika, 9(2),
204–216. https://doi.org/10.15408/idi.v9i2.17542

Husni, Muhammad. "Studi Al-Qur’an: Teori Al Makkiyah dan Al Madaniyah." Al-Ibrah 4.2
(2019)

Munir, Miftahul, (2021), Metode Pengumpulan Al-Qur’an, KARIMAN : J URNAL


Pendidikan Keislaman, volume 9, nomor 1.

Khaeroni, Cahya, (2017), SEJARAH AL-QUR’AN (Uraian Analitis,Kronologis, dan Naratif


tentang Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an), Jurnal HISTORIA, volume 5, nomor 2.

Jaya, Septi Aji Fitra, (2019), Al-Quran dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal
Indo-Islamika, volume 9, nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai