0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
228 tayangan37 halaman
Islam dan demokrasi memiliki hubungan yang kompleks. Islam mendukung nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, konsultasi, dan kerjasama sosial. Nabi Muhammad meletakkan dasar-dasar pemerintahan demokratis di Madinah melalui Piagam Madinah. Ajaran Islam juga mendukung pluralisme dalam artian menghormati keragaman suku dan bangsa, meski tidak mengakui kebenaran agama selain Islam.
Islam dan demokrasi memiliki hubungan yang kompleks. Islam mendukung nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, konsultasi, dan kerjasama sosial. Nabi Muhammad meletakkan dasar-dasar pemerintahan demokratis di Madinah melalui Piagam Madinah. Ajaran Islam juga mendukung pluralisme dalam artian menghormati keragaman suku dan bangsa, meski tidak mengakui kebenaran agama selain Islam.
Islam dan demokrasi memiliki hubungan yang kompleks. Islam mendukung nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, konsultasi, dan kerjasama sosial. Nabi Muhammad meletakkan dasar-dasar pemerintahan demokratis di Madinah melalui Piagam Madinah. Ajaran Islam juga mendukung pluralisme dalam artian menghormati keragaman suku dan bangsa, meski tidak mengakui kebenaran agama selain Islam.
Oleh : Listiyowati (15061165) Maria Ulfah (15061169) Universitas Mercu Buana Yogyakarta Tahun 2016 Apa itu Demokrasi ? Secara Etimologi Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani yaitu Demos = rakyat, Kratos/ Kratein= Pemerintah.
Atau lebih dikenal semboyan Government of
the people, by the people and for the people. (Abraham Lincoln) Hubungan Islam dgn Demokrasi Hubungan Islam dengan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Sebab, Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan, demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antaranggota masyarakat serta simbol yang diyakini membawa banyak nilai-nilai positif. Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang kompleks. Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Khalid Abu al-Fadl (2004), mengatakan bahwa meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial. Tradisi dan Praktek Demokrasi dalam Islam
Stigma negatif yang tersemat dalam pengertian
demokrasi menjadikan demokrasi teralienasi dalam dialektika konsep konsep ideal negara dalam sejarah. Hingga berkembangnya Islam di Timur Tengah pada abad ke 7, istilah demokrasi belum juga dikonotasikan positif. Bahkan, sampai abad ke 7 itu, dalam sejarah politik umat manusia belum dikenal adanya sistem pergantian kekuasaan tidak dengan berdasarkan hubungan darah. (berdasarkan keturunan darah atau dinasti) Namun sejak nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT dan mendapatkan kepercayaan warga untuk memimpin jamaah kaum yang beriman dalam bermasyarakat dan berorganisasi. Sejak inilah muncul preseden baru, bahwa dalam hal memilih pemimpin tidak melulu dari kalangan kerajaan sebagaimana tradisi sebelumnya yang menganut sistem dinasti. Nabi Muhammad bukanlah keturunan nabi atau rasul sebelumnya laiknya nabi Ismail , nabi Ishak dan sebagainya, pula bukan keturunan keluarga kerajaan yang berkuasa, tapi ia hanyalah orang dengan strata sosial biasa yang terpilih sebagai nabi dan Rasul yang kemudian atas kesuksesan usaha dakwahnya terpilih juga untuk memimpin masyarakat Madinah. Dan atas kepemimpinannya yang elegan berhasil mengembangkan jumlah jamaahnya dan ruang garapan teritorinya yang semakin meluas ke luar kota Madinah. Dari fakta empiris ini, maka dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad lah yang lahir menjadi pemimpin pertama organisasi kekuasaan (negara) yang tidak Kemudian, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, disini timbulah masalah mengenai mekanisme pergantian kepemimpinan yang akan menggantikan beliau selanjutnya Dalam catatan sejarah, mekanisme pengangkatan atau pemilihan Khalifah Abubakar Siddik ternyata berbeda dengan cara pemilihan Khalifah Umar bin Khattab. Demikian pula pada pergantian dari Khalifah Umar ke Khalifah Usman bin Affan dan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib jelas menunjukan mekanisme pemilihan atau pengangkatan yang berbeda beda, belum memiliki pola yang tetap. Namun yang pasti, dalam pergantian Kekhalifahan (khalifaurrasyidin ) dari Abu Bakar hingga Usman jelas tidak berdasarkan atas sistem keturunan atau dinasti. Sedangkan sistem dinasti baru muncul kembali sesudah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan yang diteruskan oleh puteranya. Cerminan Sikap Demokrasi Nabi Muhammad SAW Pemerintahan yang dipimpin Rasulullah dan Khulafaurrasyidin merupakan pemerintahan paling demokratis yang pernah ada di dunia, dengan Piagam Madinah sebagai acuan dalam menata hubungan antarwarga masyarakat. Pada masa itu, semua elemen masyarakat mendapat pengakuan dan penghormatan yang setara. Banyak tokoh dunia Barat tercengang dengan adanya fakta Piagam Madinah. Salah satunya adalah Robert N. Bellah yang menuliskan dalam bukunya Beyond Belief (1976), bahwa Muhammad sebenarnya telah membuat lompatan yang amat jauh ke depan. Menurut Bellah, Muhammad telah melahirkan sesuatu (konstitusi Madinah) yang untuk zaman dan tempatnya adalah sangat modern. Setelah Nabi Muhammad (SAW.) bermigrasi ke Madinah, beliau mengangkat budak kulit hitam Ethiopia yang bernama Bilal menjadi pengumandang panggilan shalat (azan). Posisi ini merupakan sebuah kedudukan prestisius bagi seorang budak kulit Pandangan Pluralisme dalam Islam Plural jamak Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur, isu pluralisme kembali menjadi perbincangan. Presiden SBY pun secara khusus memberikan gelar Bapak Pluralisme untuk Gus Dur. Padahal MUI sendiri dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut.
Bagaimana sesungguhnya pluralisme itu
dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya ?? Adapun alasan-alasan yang sering mereka (kaum pluralis) ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut: a. Surat al-Hujurat Ayat 13 Allah swt telah berfirman; Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. (al-Hujurat:13).
Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan
adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme. Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan oleh kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui klaim-klaim kebenaran (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan peradaban-peradaban selain Islam. Ayat ini juga tidak mungkin dipahami, bahwa Islam mengakui keyakinan kaum pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama yang ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, seperti Tuhan yang disembah oleh kaum Muslim. Ayat ini juga tidak mungkin diartikan, bahwa Islam telah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan memeluk agama global (pluralisme). Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme. b. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam
Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk
membenarkan ide pluralisme adalah ayat; Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah:256) Sesungguhnya, ayat ini tidak bisa digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Ayat ini hanya berbicara pada konteks tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk masuk Islam. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Oleh karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Islam membenarkan keyakinan dan ajaran agama selain Islam. Bahkan, ayat ini telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya saja, kaum Muslim tidak diperbolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam. seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
c. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62
Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama- agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah: Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(al-Maidah:69)
Sesungguhnya orang-orang mumin, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah:62). Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabiun, yang taat kepada ajaran agama dan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama- agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah SWT, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Muhammad SAW seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik. d. Ayat Tentang Kalimatun Sawa
Para pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-
ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun sawa. Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Ali Imron:64]) Para pengusung gagasan pluralisme mengatakan, bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip- prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka pun menyimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashrani dalam masalah ketuhanan. Semua menyembah kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kalimat sawa. Menurut Ibnu Katsir, frase kalimat di dalam surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu adalah sawaa bainanaa wa bainakum (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dengan kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata kalimat yang memiliki makna dan pengertian tertentu. Adapun makna hakiki yang dituju oleh frase kalimatun sawaa sawaa bainanaa wa bainakum adalah kalimat tauhid, yaitu allaa nabudu illaa Al-Allah (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah). Inilah makna sesungguhnya dari kalimat sawa, yaitu kalimat Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah) yang berhak untuk disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya. Kalimat ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa AS dan Isa AS Allah swt berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. (al-Nahl:36)
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun
sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (al-Anbiyaa:25) Dari sini dapat disimpulkan, bahwa surat Ali Imron ayat 64 di atas sama sekali tidak menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab (baik Yahudi dan Nashraniy) untuk kembali mentauhidkan Allah swt, sebagaimana yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as dan Isa as. Sebab, kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang jauh dari konsepsi Tauhid. Pandangan Islam terhadap Wanita Peradaban Yunani dan Romawi Menurut Will Durant, di Roma hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya. Sedangkan di Yunani, orang-orang memposisikan kaum perempuan pada kasta yang ketiga (kasta yang paling bawah dalam masyarakat). Perdaban Yahudi Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang dinilai menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan- aturan dalam kehidupan pribadi dan peribadatan masyarakat.
Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa kaum lelaki
dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan. Keunggulan anak laki-laki lebih jauh ditujukan dalam berbagai adat kebiasaan. Peradaban Arab sebelum Islam Sebelum kedatangan Islam, di Jazirah Arab, orang-orang Arab biasa memperlakukan kaum perempuan secara hina. Mengubur hidup-hidup bayi perempuan sesaat setelah mereka dilahirkan merupakan suatu kebiasaan yang sangat umum. Kaum lelaki bisa memiliki sebanyak mungkin istri sekehendak hatinya dan mereka praktis diperlakukan seperti budak. Dalam Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya wanita adalah bagian dari laki-laki demikian pula laki-laki adalah bagian dari wanita, keduanya bersifat saling melengkapi. (QS. Ali Imran : 195) Islam memandang wanita memiliki banyak keistimewaan .Di dalam Al-Quran telah banyak memberitahukan kepada kita semua tentang kedudukan wanita dan emansipasinya dengan kaum laki-laki. Wanita memiliki esensi dan identitas yang sama dengan laki-laki. Bahkan satu surat di dalam Al-Quran mengandung nama perempuan yakni surat An-Nisa. Rasulullah SAW ketika ditanya siapa orang yang paling berhak untuk dihormati dan didahulukan, beliau menjawab ibumu! ibumu! ibumu! kemudian ayahmu. Subhanallah, begitu mulianya seorang wanita di dalam pandangan Islam. Keistimewaan Wanita dalam Islam Laki-laki dan wanita dari asal yang sama, QS. An Nisaa (4) : 1 Tanggung jawab kemanusiaan seorang wanita, QS. Ali Imran (3) : 195 Pembebasan wanita dari kezhaliman jahiliyah, QS. An Nahl (16) : 58-59 Pembebasan wanita dari pengharaman hal yang baik pada masa jahiliyah. Seringkali wanita diharamkan untuk memakan sesuatu atau memiliki sesuatu. Ketika Islam datang maka pengharaman itu digugurkan, sehingga wanita memperoleh hak yang sama mengenai hal ini, QS. Al Anaam (6) : 139 Pembebasan dari harta warisan dan dalam perkawinan, QS. An Nisaa (4) : 19 Pembebasan dari buruknya hubungan keluarga akibat perkawinan. Pada masa jahiliyah, wanita yang telah menikah dengan bapaknya dapat diturunkan kepada anak yang dilahirkannya sehingga akan menimbulkan kerancuan dan kehancuran dalam keluarga namun setelah Islam datang semua itu diharamkan, QS. An Nisaa (4) : 22-23 Pelaksanaan Demokrasi di dunia Muslim Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `konstitusional, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim. Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam. Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus. Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Quran. Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Kedua, al-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an- Nahl: 90; Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya Dukungan Islam mensukseskan Pemilu Pemilu 2014, Lembaga Persahabatan Umat Islam (LPOI) dalam konferensi pers menyampaikan bahwa Umat Islam tidak boleh golput. Partisipasi kita, umat Islam, dalam mensukseskan Pilpres adalah bagian dari upaya menyelamatkan bangsa. Dalam konteks ini, ormas-ormaskhususnya yang berbasiskan keagamaandapat memainkan peran penting dalam mengawal penerapan demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi kepada para anggotanya tentang perlu kepatuhan pada hukum dan keadaban publik dalam demokrasi di Indonesia. Kesimpulan : Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan segala aspek kehidupan. Segalanya telah diatur sesuai dengan perintah dari Allah SWT, termasuk dalam sikap berdemokrasi. Islam merupakan agama yang menghormati pluralitas (keberagaman), sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Islam membawa perubahan yang baik, Kedudukan Wanita sangat dihormati dan dimuliakan dalam Islam. TERIMA KASIH....