Minyak Nabati
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pengelolaan Limbah
Dosen pengampu: Vina Amalia, S.Pd., M.Si.
Disusun oleh:
Anisa Zahrah (1157040004)
Helmi Fauzi (1157040025)
Monita (1157040038)
Septiani Adita (1157040057)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018
1. Proses Pengolahan Industri Sabun, Deterjen dan Produk-produk Minyak
Nabati
1.1 Sabun
Proses yang akan dijelaskan di bawah ini adalah merupakan teknik pengolahan
yang dibangun oleh Binacchi & Co. Proses ini paling baik dipahami dalam dua aliran:
sabun mengalir dalam urutan yang diberikan di bawah ini terhadap arus balik lye
(dibaca lee di Britania Raya dan Selandia Baru dan lie di Amerika Serikat), lye adalah
suatu larutan air asin yang digunakan untuk memisahkan antara gliserin dan sabun [1]
Saponifikasi
Bahan baku pembuatan sabun tidak hanya berasal dari satu jenis lemak atau
minyak, biasanya dicampur dengan berbagai macam jenis minyak atau lemak, seperti
minyak kelapa, lemak hewani, minyak sawit dan lainnya. Pencampuran ini tidak lepas
dari produk target yang akan diproduksi apakah yang akan diubah kekerasannya,
aromanya atau jumlah busa yang dihasilkan. Perbedaan komposisi yang terkandung
mempengaruhi sifat-sifat produk, komposisi ini terus diperhatikan supaya dapat
menentukan biaya yang dapat diterima dari proses produksi hingga ke penjualan
produk.
Proses saponifikasi mencampurkan bahan baku minyak dan lemak yang
ditambahkan dengan basa NaOH. Gambar 1.1 menunjukan reaksi yang terjadi ketika
bahan baku lemak bereaksi dengan sejumlah basa NaOH menghasilkan sabun dan
sejumlah gliserol atau gliserin (nama komersil).
Skema pada pembuatan sabun Gambar 1.2 menunjukan proses penyabunan
dilakukan di awal dengan menambahkan campuran minyak dan lemak beserta larutan
NaOH, pada proses tersebut ditambahkan sebagian lye untuk proses pemisahan antara
sabun dan gliserin.
Triglisserida Basa NaOH Gliserol Sabun
Gambar 1.1 Proses reaksi yang terjadi pada pembentukan sabun
Pemisahan Lye
Sabun yang masih basah dipompa ke static separator - suatu wadah untuk
mengendapkan. Campuran sabun dan lye dipompa ke dalam tangki, ia memisahkan
berdasarkan beratnya. Lye yang telah habis mengendap ke dasar yang mana itu akan
disalurkan ke bagian pemulihan gliserin karena mengandung gliserin yang tinggi,
sementara sabun naik ke atas dan disalurkan untuk diproses lebih lanjut.
Pencucian Sabun
Sabun masih mengandung sebagian besar gliserin pada tahap ini dan campuran
ini dihilangkan dengan lye yang baru ke dalam kolom pencucian.
Pemisahan Lye
Kandungan lye pada campuran masih tinggi, sehingga dilakukan pemisahan
kembali dengan sentrifugasi, sehingga akan didapatkan sejumlah lye yang baru dan
disatukan untuk digunakan kembali. Pemisahan ini juga bertujuan untuk memenuhi
standar minimum kandungan lye yang boleh terkandung dalam sabun.
Netralisasi
Meskipun tingkat kaustiknya cukup rendah, tapi masih sangat tinggi untuk
beberapa sabun toilet dan sabun cuci. NaOH dihilangkan melalui reaksi dengan asam
lemah seperti minyak kelapa (yang mengandung kadar asam lemak bebas yang cukup
besar ), asam lemak minyak kelapa, asam sitrat atau asam fosfat seseuai dengan
kapasitas ekonomi yang dimiliki produsen. Pada tahap ini juga ditambahkan zat-zat
preservatif atau pengawet.
Gambar 1.2 Skema pembuatan sabun yang dilakukan oleh Binacchi & Co
Pengeringan
Terakhir, kandungan air harus dikurangi menjadi sekitar 12%. Hal ini dilakukan
dengan memanaskan sabun hingga sekitar 125oC di bawah tekanan (untuk mencegah
air mendidih saat sabun masih dalam pipa) dan kemudian menyemprotkannya ke ruang
yang dievakuasi pada 40 mm Hg (5.3 kPa). Panas laten penguapan hilang ketika air
mendidih mengurangi suhu sabun menjadi 45oC, di mana suhu itu membeku ke dinding
ruang. Setelah dikeringkan, sabun lalu dibuat kepingan-kepingan yang kemudian dapat
diproses lebih lanjut untuk bentuk-bentuk tertentu.
1.2 Deterjen
Deterjen menggunakan surfaktan sintetis sebagai pengganti garam asam lemak
logam yang digunakan dalam sabun. Surfaktan dibuat dalam bentuk bubuk dan cair,
dan dijual sebagai bubuk laundry, pembersih permukaan keras, cairan pencuci piring,
kondisioner kain dan lainnya. Kebanyakan deterjen memiliki sabun dalam campuran
bahan mereka, tetapi biasanya lebih berfungsi sebagai depresan busa daripada sebagai
surfaktan. Depresan bekerja dengan menjaga partikel-partikel asing yang masuk
bercampur dengan minyak agar terus terpisah satu sama lain sehingga tidak terbentuk
endapan pengotor. Berikut di bawah ini pemaparan proses pembuatan deterjen, baik
berupa serbuk dan cairan [1].
2. Karakteristik Limbah
2.1 Sabun
2.1.1 Klasifikasi Sabun
Klasifikasi sabun menurut pH :
pH 5 – 8: dianggap lembut untuk kulit
pH 8 – 10: pH optimal untuk sabun badan
pH 10 – 12: untuk laundry / mencuci baju
Sabun dapat dibedakan sesuai jenis dan fungsinya yaitu:
Sabun keras atau sabun cuci.
Dibuat dari lemak dengan NaOH, misalnya Na – Palmitat dan Na – Stearat.
Sabun lunak atau sabun mandi.
Dibuat dari lemak dengan KOH, misalnya K-Palmitat dan K-Stearat [3]
c. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid,
sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang
bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non
polar. Molekul sabun mempunyai rantai hydrogen CH3(CH2)16 yang bertindak
sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organik
sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut
dalam air.
d. Sabun adalah surfaktan yang digunakan dengan air untuk mencuci dan
membersihkan. Banyak sabun merupakan campuran garam natrium atau kalium dari
asam lemak yang dapat diturunkan dari minyak atau lemak dengan direaksikan
dengan alkali (seperti natrium atau kalium hidroksida).
2.2 Deterjen
2.2.1 Klasifikasi Deterjen Cair
Menurut kandungan gugus aktifnya maka deterjen diklasifikasikan sebagai
berikut:
Deterjen jenis keras
Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan
tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan
pencemaran air. Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Proses pembuatan ABS ini
adalah dengan mereaksikan Alkil Benzena dengan BelerangTrioksida, asam Sulfat
pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil BenzenaSulfonat. Jika dipakai
Dodekil Benzena maka persamaan reaksinya adalah:
C6H5C12H25 + SO3C6H4C12H25SO3H (Dodekil Benzena Sulfonat)
Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan Natrium
Dodekil Benzena Sulfonat.
Deterjen jenis lunak
Deterjen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak
oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai. Contoh: Lauril Sulfat
atau Lauril Alkil Sulfonat (LAS). Proses pembuatan (LAS) adalah dengan mereaksikan
Lauril Alkohol dengan asam Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan
reaksi:
C12H25OH + H2SO4 C12H25OSO3H + H2O.
Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan larutan NaOH sehingga
dihasilkan Natrium Lauril Sulfat.
Sifat kimia
Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut:
a. Surfactant
Surfactant (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai
ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan hidrofob (suka lemak). Bahan aktif ini
berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran
yang menempel pada permukaan bahan.
b. Filler
Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai
kemampuanmeningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh Sodium
sulfat.
c. Additive
Additive adalah bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih
menarik,misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dst, tidak berhubungan
langsung dengandaya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud
komersialisasi produk. Contoh: Enzim,Boraks,Sodium klorida, Carboxy Methyl
Cellulose (CMC).
d. Suds Regulator (pengatur busa)
Untuk membantu surfactant dalam proses pencucian. contoh: asam lemak Abrasive.
e. Water softener
Untuk menetralkan efek dari “kekerasan “ ion-ion pada bahan lain.
f. Oxidants
Untuk pemutihan dan disinfeksi
g. Bahan Non-surfactant yang dapat mempertahankan kotoran di skorsing
Enzymes. [4]
4. Produk-produk Minyak Nabati
Biodiesel merupakan suatu nama dari Alkil Ester atau rantai panjang asam
lemak yang berasal dari minyak nabati maupun lemak hewan. Biodiesel dapat
digunakan sebagai bahan bakar pada mesin yang menggunakan diesel sebagai bahan
bakarnya tanpa memerlukan modifikasi mesin. Biodiesel adalah senyawa mono alkil
ester yang diproduksi melalui reaksi transesterifikasi antara trigliserida (minyak nabati,
seperti minyak sawit, minyak jarak dan lain-lain) dengan metanol menjadi metil ester
dan gliserol dengan bantuan katalis basa. Biodiesel mempunyai rantai karbon antara 12
sampai 20 mengandung oksigen. Adanya oksigen pada biodiesel membedakannya
dengan petroleum diesel (solar) yang komponen utamanya hanya terdiri dari
hidrokarbon. Jadi komposisi biodiesel dan petroleum diesel sangat berbeda. Berikut
dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini persyaratan biodiesel menurut SNI-04-7182-
2006.
Tabel diatas menyajikan persyaratan mutu biodiesel di Indonesia yang
dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan
Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Februari 2006 (Soeriwidjaja, UGM 2006).
Parameter yang menunjukkan keberhasilan pembuatan biodiesel dapat dilihat dari
kandungan gliserol total dan gliserol bebas (maksimal 0,24%-b dan 0,02%-b) serta
angka asam (maksimal 0,8) dari biodiesel hasil produksi. Terpenuhinya semua
persyaratan SNI-04-7182-2006 oleh suatu biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel
tersebut tidak hanya telah dibuat dari bahan mentah yang baik, melainkan juga dengan
tata cara pemrosesan serta pengolahan yang baik pula.
Tabel 3.1 Batas pencemaran yang boleh dikeluarkan oleh kegiatan industri [5]
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk sabun atau minyak atau
diterjen.
4. Unit Pengolahan
Pengolahan limbah deterjen bisa menggunakan metode Furnace Bottom Ash
(FBA). Sampel air yang digunakan adalah limbah deterjen dengan FBA sebagai
adsorben. Alat yang digunakan untuk analisa kadar deterjen adalah spektrofotometer.
Air limbah deterjen dan kecepatan pengadukan dengan menggunakan putaran shaker
150 rpm selama 15 menit. Sedangkan variabel yang divariasikan adalah [6]:
Konsentrasi surfaktan dalam limbah deterjen: 49, 83 dan 99,97 ppm.
Waktu pengambilan sampel (menit): 15, 30, 45, 60, 75.
Berat media adsorben: 20, 25, 30, 35, 40 gram.
Diameter media 4,75 – 2,63 ; 2,36 –1,18; 1,18 – 0,34.
Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun yang diterapkan di
perusahaan produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak pengumpulan air limbah
sisa deterjen. Di dalam bak pengumpulan limbah tersebut diletakkan pompa celup yang
harus terendam air untuk menghindari terbentuknya gelembung/buih deterjen. Pompa
celup ini berfungsi sebagai sirkulasi limbah. Selanjutnya di luar bak penampungan
dibuat bak kecil dan pompa dosing yang berisi larutan anti deterjen, misalnya jika
deterjen yang terbuang banyak mengandung deterjen anionik, maka untuk menetralisir
diberikan larutan deterjen kationik sebagai anti deterjennya, demikian pula sebaliknya.
Kemudian larutan anti deterjen ini dimasukkan ke dalam bak penampungan dan
dilakukan proses penetralan. Pada proses penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di
dalam bak penampungan dengan analisis deterjen sistem MBAS (Metilen Blue Active
Surfactan) atau dengan sistem Titrasi Yamin yang secara khusus untuk mengetahui
kadar deterjen. Misalnya kadar deterjen 50 ppm dapat dilakukan uji coba dengan
pemberian larutan anti deterjen sebanyak 5 mL permenit dengan pompa dosing sampai
kadar deterjen 0 ppm.
Pengolahan limbah pabrik sabun juga bisa diproses dari soap gliserin menjadi
triasetin. Komposisi dari soap / crude Gliserin (Limbah Pabrik Sabun) yaitu [6]:
Gliserin = 36,25%
Minyak lemak = 1,26%
Sabun Na = 0,42 %
NaCl = 1,03%
H2O = 61,04%
Unit pengolahan / alat yang digunakan adalah:
Penangas air
Labu leher tiga
Termometer
Motor penggerak
Pendingin
Prosedur Percobaan :
Proses Penjernihan Limbah :
Masukkan 4 liter limbah pabrik sabun yang masih terdiri dari berbagai
komposisi zat-zat lain ke dalam labu pemisah dan diamkan sejenak sehingga muncul
dua lapisan, kemudian taruhlah beaker gelas di bawah labu pemisah untuk tempat
penampung. Ambil lapisan bawah dengan cara penutup pada labu pemisah dibuka
pelan-pelan sehingga lapisan bawah keluar ke beaker glass sampai batas lapisan atas
dengan bawah pada labu pemisah. Lakukan sampai minyak lemaknya tidak ada.
Campurkan larutan tawas sebanyak 50 mL, kemudian diaduk dan diamkan sampai
larutan tersebut menjadi jernih. Larutan yang sudah jernih dipanaskan pada suhu 100
°C, biarkan airnya menguap sampai diperoleh gliserin dan didinginkan.
Proses Asetilasi
Pasang perlengkapan alat-alat untuk proses asetilasi dengan baik. Ambil 100 mL
gliserin yang sudah didinginkan, masukkan ke dalam labu asetilasi (labu leher tiga).
Ambil 200 mL CH3COOH glasial dan katalis H2SO4. Kemudian campurkan
dipanaskan pada derajat panas dan waktu yang telah ditentukan sehingga diperoleh
triasetin. pekat 6 Ml campurkan ke dalam asetilasi.
Penetapan Kadar Triasetin
Setelah dingin, ambil hasil asetilasi sebanyak 10 mL, kemudian dinetralkan dengan
larutan NaOH 1,0 N dan menggunakan indikator p.p.
Setelah netral, ditambahkan lagi 100 mL NaOH 1,0 N kemudian dididihkan selama 15
menit. Setelah dingin tambahkan indikator p.p, kemudian dititrasi dengan larutan HC1
1,0 N. Catat dengan baik dan benar pada pembacaan titrasinya.
Gambar 4.1 Alur proses pengolahan limbah sabun, deterjen dan produk-produk
minyak nabati
Daftar Pustaka
[1] B. Slinger, Chemistry in the Marketplace (3rd ed), Sydney: Harcourt Brace
Jovanovich, 1986.
[3] H. Hart, Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat, Jakarta: Erlangga, 2013.
[4] Isminingsih, Analisa Zat Aktif Pemrukaan Dan Detergensi, Bandung: Institut
Teknologi Tekstil, 1972.
[7] R. Dewati and H. Teddy, "Pengolahan Limbah Pabrik Sabun dari Soap Gliserin
Menjadi Triasetin," Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, vol. 2, no. 2.