Anda di halaman 1dari 39

HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

Oleh: Mahfudz Siddiq

HAM Menurut Konsep Barat

Istilah hak asasi manusia baru muncul setelah Revolusi


Perancis, dimana para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-
tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah
mereka miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang
dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini, muncullah
perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para
raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia.

Diantaranya adalah pengumuman hak asasi manusia dari Raja


John kepada rakyat Inggris tahun 1216. Di Amerika
pengumuman dilakukan tahun 1773. Hak asasi ini lalu diadopsi
oleh tokoh-tokoh Revolusi Perancis dalam bentuk yang lebih
jelas dan luas, serta dideklarasikan pada 26 Agustus 1789.
Kemudian deklarasi Internasional mengenai hak-hak asasi
manusia dikeluarkan pada Desember 1948.

Akan tetapi sebenarnya bagi masyarakat muslim, belum


pernah mengalami penindasan yang dialami Eropa, dimana
sistem perundang-undangan Islam telah menjamin hak-hak
asasi bagi semua orang sesuai dengan aturan umum yang
diberikan oleh Allah kepada seluruh ummat manusia.

Dalam istilah modern, yang dimaksud dengan hak adalah


wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada
seseorang atas sesuatu tertentu dan nilai tertentu. Dan dalam
wacana modern ini, hak asasi dibagi menjadi dua:

a. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu


menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan
pribadi dan hak bekerja.
b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari
masyarakat sebagai anggota keluarga dan sebagai
individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-
tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan
dan hak persamaan dalam hak.

Klasifikasi HAM Barat

Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak


asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :

a. Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di


dalamnya; hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta
tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya:
hak beragama, hak sosial dan berserikat.

b. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan


pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak
kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
c. Pembagian hak menjadi dua: kebebasan negatif yang
memebentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk
kepentingan warga; kebebasan positif yang meliputi
pelayanan negara kepada warganya.

Dapat dimengerti bahwa pembagian-pembagian ini hanya


melihat dari sisi larangan negara menyentuh hak-hak ini.
Sebab hak asasi dalam pandangan barat tidak dengan
sendirinya mengharuskan negara memberi jaminan keamanan
atau pendidikan, dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk
membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme, partai-
partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-
tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk
bekerja dan jaminan sosial.
HAM Menurut Konsep Islam

Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut


pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan
kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh
diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya
darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR.
Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri
dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai
kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan


sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin,
tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak
hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara
diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.
Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi
orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-


hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga
sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak
untuk tetap memerintah. Allah berfirman:

"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di


muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan
munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan."
(QS. 22: 4)

Jaminan Hak Pribadi

Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia


adalah dijelaskan Al-Qur’an:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki


rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS. 24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah
Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang
yang melihat melalui celah-celah pintu atau melalui lubang
tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah
melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka
tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu
membayar denda.

Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu


dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan
mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat.
Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari
keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka."
Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan
Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa
rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh
karenanya kami hanya menghukumi apa yang kami lihat
secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."

Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi


Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama
berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan
untuk mengungkap kasus kejahatan dan kemunkaran,
menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu.
Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran
bukan hasil dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang
agama.

Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala


muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran
pada diri seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti
yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para
ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum
tampak bukti-buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu
dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi
pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya
pengungkapan ini termasuk tajassus yang dilarang agama.
Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM

meskipun dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara


khusus memiliki piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah
memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan pada
bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:

a. Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang


berbicara mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari
sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin
kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan
aspirasi. Misalnya: "Kebenaran itu datangnya dari Rabb-
mu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia
kafir." (QS. 18: 29)

b. Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang


kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim dalam
sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan
berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang
diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.

c. Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang


hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup.
Misalnya: "Barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan ia telah membunuh manusia
seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan
dalam sekitar dua puluh ayat.

d. Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat


tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang
persamaan dalam penciptaan. Misalnya: "... Orang yang
paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa
diantara kamu." (QS. 49: 13)
e. Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara
gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup
muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki
dan wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga menolak teori
Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.

Manusia di mata Islam semua sama, walau berbeda keturunan,


kekayaan, jabatan atau jenis kelamin. Ketaqwaan-lah yang
membedakan mereka. Rakyat dan penguasa juga memiliki
persamaan dalam Islam. Yang demikian ini hingga sekarang
belum dicapai oleh sistem demokrasi modern. Nabi saw
sebagai kepala negara juga adalah manusia biasa, berlaku
terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah
memerintahkan beliau untuk menyatakan: "Katakanlah bahwa
aku hanyalah manusia biasa, hanya saja aku diberi wahyu,
bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa." (QS. 18: 110).

Rumusan HAM dalam Islam

apa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan


buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana
masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya. Para ulama
muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab Fiqh
yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana
ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah menjaga
akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia.

Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu


pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu
Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa
merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk
neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya:
"Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau
menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR.
Muslim).
Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak
manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan
bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi
semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal
shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain.
Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan
hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-
buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).

1. Hak-hak Alamiah

Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh


ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari unsur
yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS. 4: 1,
QS. 3: 195).

a. Hak Hidup

Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang


pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS.
2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya
hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat
saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau
"Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab
mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya
HR. Bukhari).

b. Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi

Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan


kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan
menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak
orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi
seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara


negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang
berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula
hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar
menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan
menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka
tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-
biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan
kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu
tempat peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak
melarang upacara-upacaranya.

Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh


prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan dalam beragama." (QS.
2: 256).

Sedangkan dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal


syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam dengan syarat
mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang.
Firman Allah: "Apabila mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka
atau biarkanlah mereka. Jika engkau biarkan mereka, maka
tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau
menjatuhkan putusan hukum, hendaklah engkau putuskan
dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang
adil." (QS. 5: 42). Jika mereka tidak mengikuti aturan hukum
yang berlaku di negara Islam, maka mereka boleh mengikuti
aturan agamanya - selama mereka berpegang pada ajaran
yang asli. Firman Allah: "Dan bagaimana mereka mengangkat
kamu sebagai hakim, sedangkan ada pada mereka Taurat
yang di dalamnya ada hukum Allah? Kemudian mereka tidak
mengindahkan keputusanmu. Sesungguhnya mereka bukan
orang-orang yang beriman ." (QS.5: 7).

c. Hak Bekerja

Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi


juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu
dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih
baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang
dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan
Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist:
"Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR.
Ibnu Majah).

2. Hak Hidup

Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang


disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah :

a. Hak Pemilikan

Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan


penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain
yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara
kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan
harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian
harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal
kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam
melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia.
Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi
saw: "Jual beli itu dengan pilihan selama antara penjual dan
pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli,
maka mereka diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu
berkah jual-bei mereka dihapus." (HR. Al-Khamsah)

Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan


dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan umum dan
mewajibkan pembayaran ganti yang setimpal bagi pemiliknya.
Sabda nabi saw: "Barangsiapa mengambil hak tanah orang lain
secara tidak sah, maka dia dibenamkan ke dalam bumi lapis
tujuh pada hari kiamat." Pelanggaran terhadap hak umum lebih
besar dan sanksinya akan lebih berat, karena itu berarti
pelanggaran tehadap masyarakat secara keseluruhan.

b. Hak Berkeluarga

Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan


ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali
mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah
perwaliannya (QS. 24: 32). Aallah menentukan hak dan
kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan pada diri
manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.

Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada


kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan
sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi
dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang
sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi
para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya."
(QS. 2: 228)

c. Hak Keamanan

Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan


mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta
benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan
mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).

Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah


tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak memiliki
tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya.
Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan
kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya.
Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan
sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin
ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada
sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam
harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf
dalam Al-Kharaj). Umar jugalah yang membawa seorang
Yahudi tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan
shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.

Bagi para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan


keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-
mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah
menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia." (HR.
Al-Khamsah). Islam memandang gugur terhadap keputusan
yang diambil dari pengakuan kejahatan yang tidak dilakukan.
Sabda nabi saw: "Sesungguhnya Allah menghapus dari
ummatku kesalahan dan lupa serta perbuatan yang dilakukan
paksaan" (HR. Ibnu Majah).

Diantara jaminan keamanan adalah hak mendpat suaka politik.


Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka ke negeri yang
masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat muslim wajib
memberi suaka dan jaminan keamanan kepada mereka bila
mereka meminta. Firman Allah: "Dan jika seorang dari kaum
musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ke tempat yang aman baginya." (QS. 9: 6).

d. Hak Keadilan

Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah


dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79).
Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari
tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah
tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali
oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148).

Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan


kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan
perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-
wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan
dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi
saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan
berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan


dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang lain
dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah
kamu aku beri tahu saksi yang palng baik? Dialah yang
memberi kesaksian sebelum diminta kesaksiannya." (HR.
Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi). Tidak dibenarkan
mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama
apapun. Sebab rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak
yang benar memiliki pembelaan." (HR. Al-Khamsah). Seorang
muslim juga berhak menolak aturan yang bertentangan dengan
syari’ah, dan secara kolektif diperintahkan untuk mengambil
sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim yang
mempertahankan hak.

e. Hak Saling Membela dan Mendukung

Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan


menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan
saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah
kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan
sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling
berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap
muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit,
mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila
bersin." (HR. Bukhari).

f. Hak Keadilan dan Persamaan

Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial


dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi seluruh
umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-
Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi
saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti
aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan


keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari suku
Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh
Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "...
Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan
pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang
melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum
kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk Islam
dan melakukan penganiayaan saat haji, Umar tetap
memberlakukan hukum meskipun ia seorang raja. Atau kisah
Ali yang mengadukan seorang Yahudi mengenai tameng
perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.
Umar pernah berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika
mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah manusia di
hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu.
Sehingga seseorang yang berkedudukan tidak mengharap
kedzalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus asa atas
keadilanmu."

Tentang Kebebasan Mengecam Syari’ah

Sebagian orang mengajak kepada kebebasan berpendapat,


termasuk mengemukakan kritik terhadap kelayakan Al-Qur’an
dan Sunnah sebagai pegangan hidup manusia modern. Disana
terdengar suara menuntut persamaan hak laki-laki dengan
wanita, kecaman terhadap poligami, tuntutan akan perkawinan
campur (muslim-non muslim). Dan bahkan mereka mengajak
pada pemahaman Al-Qur’an dengan mengubah inti misi Al-
Qur’an.

Orang-orang dengan pandangan seperti ini pada dasarnya


telah menempatkan dirinya keluar dari agama Islam (riddah)
yang ancaman hukumannya sangat berat. Namun jika
mayoritas ummat Islam menghendaki hukuman syari’ah atas
mereka, maka jawaban mereka adalah bahwa Al-Qur’an tidak
menyebutkan sanksi riddah. Dengan kata lain mereka ingin
mengatakan bahwa sunnah nabi saw. Tidak memiliki kekuatan
legal dalam syari’ah, termasuk sanksi riddah itu.

Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal penting yang harus
dipahami, yaitu :

a. Kebebasan yang diartikan dengan kebebasan tanpa


kendali dan ikatan tidak akan dapat ditemukan di
masyarakat manapun. Ikatan dan kendali ini diantaranya
adalah tidak dibenarkannya keluar dari aturan umum
dalam negara. Maka tidak ada kebebasan mengecam hal-
hal yang dipandang oleh negara sebagai pilar-pilar pokok
bagi masyarakat.
b. Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalam
Islam, melainkan menjamin kebebasan kepada non-
muslim untuk menjalankan syari’at agamanya meskipun
bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu,
manakala ada seorang muslim yang mengklaim bahwa
agamnya tidak sempurna, berarti ia telah melakukan
kesalahan yang diancam oleh rasulullah saw:
"Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia."
(HR. Bukhari dan Muslim).
c. Meskipun terdapat kebebasan dalam memeluk Islam,
tidak berarti bagi orang yang telah masuk Islam
mempunyai kebebasan untuk merubah hukum-hukum
yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
d. Dalam Islam tidak ada konsep rahasia di tangan orang
suci, dan tidak ada pula kepercayaan yang bertentangan
dengan penalaran akal sehat seperti Trinita dan Kartu
Ampunan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi
penentang Islam untuk keluar dari Islam atau melakukan
perubahan terhadap Islam.
e. Islam mengakui bahwa agama Ahli Kitab. Dari sini Islam
membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab,
karena garis nasab dalam Islam ada di tangan laki-laki.
f. Sanksi riddah tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an
sebagaimana ibadah dan muamalah lainnya. Al-Qur’an
hanya menjelaskan globalnya saja dan menugaskan
rasulullah saw menjelaskan rincian hukum dan kewajiban.
Firman Allah: "Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-
Qur’an agar kamu menjelaskan kepada ummat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkannya." (QS. 16: 44). k
Realisasi HAM dalam Islam

Senin, 17 Januari 2011 14:00 Solihin

Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam,


termasuk kepada kaum perempuan. Nila-nilai fundamental
yang mendasari ajaran Islam seperti perdamaian,
pembebasan, dan egalitarianisme (ajaran bahwa manusia yang
berderajat sama memiliki takdir yang sama pula), termasuk
persamaam derajat antara lelaki dan perempuan banyak
tercermin dalam ayat-ayat al-Qur’an; kisah-kisah tentang peran
penting kaum perempuan dizaman Nabi Muhammad SAW.
Seperti Siti Khodijah, Siti Aisyah, dan lain-lain telah banyak
ditulis. Begitu pula tentang sikap beliau yang menghormati
kaum perempuan dan memperlakukannya sebagai mitra dalam
perjuangan.

Namun dalam kenyataan, dewasa ini dijumpai kesenjangan


antara ajaran Islam yang mulia tersebut dengan kenyataannya
dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang kesederajatan
antara lelaki dan perempuan, masih banyak tantangan dijumpai
dalam merealisasikan ajaran ini, bahkan di tengah masyarakat
Islam sekalipun. Kaum perempuan masih tertinggal dalam
banyak hal dari mitra lelaki mereka. Dengan mengkaji data dan
mencermati fakta yang menyangkut kaum perempuan seperti
tingkat pendidikan mereka, derajat kesehatan, partisipasi
mereka dalam pengambilan keputusan, tindak kekerasan
terhadap perempuan, pelecehan seksual dan perkosaan,
ekspoitasi terhadap tenaga kerja perempuan, dan sebagainya.
Kita dapat menyimpulkan betapa masih memprihatinkannya
status kaum perempuan.

Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan


perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan
perempuan mempunyai derajat yang sama. Namun
masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi
ajaran tersebut. Banyak faktor seperti lingkungan budaya, dan
tradisi yang patriarkat, sistem (termasuk sistem ekoniomi dan
politik) suatu sikap dan perilaku individual yang menentukan
status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut.

Allah SWT menciptakan alam dan seisinya beraneka ragam


termasuk di dalamnya manusia, lelaki dan perempuan. Di
antara semua makhluk-Nya, manusia diciptakan dalam bentuk
yang terbaik (ahsani taqwim) dan dengan kedudukan yang
paling terhormat, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an,
Dan telah Kami muliakan anak Adam, … dan Kami utamakan
mereka melebihi sebagian besar dari makhluk yang Kami
ciptakan. (QS. Al-Israa [17]: 70). Ini merupakan perwujudan
sifat kemuliaan manusia (al-karamah al-insaniyyah), yang
tercermin pada kenyataan bahwa manusia memiliki akal,
perasaan, dan menerima petunjuk. Dengan kemuliaan ini,
manusia disiapkan untuk menjalankan dua misi sekaligus.
Pertama, manusia adalah hamba (‘abid) yang fungsinya adalah
mengabdi kepada-Nya sebagaimana disebutkan dalam ayat …
Dan tiadalah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk
menyembah-Ku. Kedua, manusia adalah wakil atau pelaksana
kekuasaan (khalifah) Allah di muka bumi. Untuk fungsi ini
manusia diberi kekuasaan mengelola, mengolah, dan
memanfaatkan bumi dan seisinya.

Peran sebagai wakil Allah (khalifah) untuk mengelola dunia


yang dipercayakan kepada manusia, baik lelaki maupun
perempuan, membawa konsekuensi. Pertama, manusia secara
kodrati akan senantiasa berusaha untuk berkembang, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif sehingga dapat
memperoleh manfat yang sebesar-besarnya dari pengelolan
mereka terhadap bumi ini. Kedua, ada perbedaan yang bersifat
kodrati antara lelaki dan perempuan karena peran yang
berbeda, dan dengan saling melengkapi anatara lelaki dan
perempuan maka terjadi sinergi untuk memperoleh manfaat
yang maksimal. Ketiga, karena hakikat kemuliaan manusia (al-
karamah al-insaniyyah) dan karena mengemban misi sebagai
khalifah di bumi, maka ada serangkaian hak asasi yang
menjadi hak manusia, yang integral dan inheren serta tidak
terpisahkan dari kemanusiaan itu sendiri. Keempat, bagi
perempuan, karena mereka mengemban peran-peran tertentu,
maka selain memiliki hak asasi secara umum yang berlaku
bagi lelaki dan perempuan, merka juga memiliki hak-hak
khusus yang memungkinkan terlaksananya peran yang
dipercayakan kepadanya.

Tentang penciptaan lelaki dan perempuan itu sendiri, al-Qur’an


mengatakan bahwa salah satu kebesaran Allah adalah
diciptakannya manusia berpasangan, lelaki dan perempuan.

Dan di antara ayat-ayat-Nya yang menandai kekuasan-Nya


ialah bahwa Dia menciptakan dari jenismu sendiri pasangan
(istri-istri) supaya kalian dapat hidup tenang tentram
bersamanya dan diciptakan-Nya antara kalian (suami-istri)
cinta dan kasih sayang. Sungguh yang demikian itu adalah
petunjuk bagi kaum yang menggunakan pikirannnya (QS. Al-
Rum [30] 21).

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang


telah menciptakan kamu dari satu nafs, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya; dan dari keduanya lahir menyebarlah
banyak lelaki dan perempuan (QS. Al-Nisa [4]: 1).

Hai umat manusia, sungguh telah Kami jadikan kamu dari lelaki
dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal (QS. Al-Hujurat
[49]: 13)

Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa lelaki dan perempuan


diciptakan dengan maksud agar mereka hidup tenang dan
tenteram, agar saling mencintai dan mengasihi, agar lahir dan
menyebar banyak lelaki dan perempuan, dan agar saling
mengenal. Ayat-ayat tesebut mangindikasikan hubungan yang
resipokal atau timbal balik antara lelaki dan permpuan. Tidak
satu pun yang mengindikasikan adanya superioritas suatu jenis
atas jenis lainnya.

Agama Membawa Misi Pembebasan


Sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya, perempuan
dan laki-laki mempunyai status sama di hadapan Allah. Islam
mambedakan lelaki dan perempuan karena mereka
mengemban fungsi yang berbeda, tetapi tidak melakukan
diskriminasi. Al-Qur’an secara eksplisit memposisikan
perempuan pada hakikatnya sama seperti lelaki, baik sebagai
‘abid maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi. Perbedaan
yang ada antara lelaki dan perempuan dimaksudkan agar
mereka dapat saling melengkapi dan mendukung guna
mencapai misi hidup mereka di dunia.

Dalam tulisannya, K.H. Abdurrahman Wahid mengemukakan


ada lima hak dasar manusia (al-kulliyah al-khams) yang ada
dalam Islam, yaitu : pertama, hak dasar bagi keselamatan fisik.
Bagi perempuan maupun lelaki sama saja, yaitu perlindungan
bagi warga negara dalam pengertian hak asasi manusia.
Artinya, warga negara tidak boleh disiksa atau dikenai sanksi
fisik apapun, kecuali memang terjadi kesalahan menurut
prosedur hukum yang benar. Kedua, hak dasar akan
keselamatan keyakinan. Orang tidak bisa dipaksa untuk
mengikuti suatu keyakinan. Ia boleh berkeyakinan menurut
pilihannya sendiri, dalam hal agama. Ketiga, hak dasar
mengenai kesucian keturunan dan keselamatan keluarga.
Dalam hak ini baik lelaki maupun perempuan punya hak dasar
yang sama. Keempat, hak dasar yang sama akan keselamatan
milik pribadi. Setiap orang memiliki hak atas harta pribadi yang
tidak boleh diutak-atik oleh siapapun. Kelima, hak dasar akan
keselamatan profesi atau pekerjaan. Kelima hak ini merupakan
hak dasar yang dimiliki perempuan dan laki-laki secara
bersama-sama. Ini adalah hak asasi manusia.

Kesenjangan antara ajaran islam dengan kenyataan memang


sangat besar. Karena pandangan syari’at sudah menjadi
patokan tunggal semenjak berabad-abad lamanya. Tidak
seperti zaman abad pertama hingga keempat Islam, ketika
syari’at diletakkan dalam imbangan yang pas dengan tauhid.
Sekarang tauhid tidak berfungsi. Tauhid saja akan susah tanpa
syari’at. Terlalu berat pada syari’at akibatnya cara penanganan
hubungan antar manusia dalam islam sangat normatif,
termasuk masalah kedudukan perempuan. Pendekatannya
harus di buat tidak terlalu berat pada satu sisi.

Upaya mengubah pandangan masyarakat, khususnya kaum


laki-laki terhadap perempuan, ada yang bersifat radikal
(revolusioner), ada pula yang bersifat evolusioner (evolutif).
Perubahan evolutif ditempuh dengan membuat counter
discourses, misalnya dengan melakukan latihan-latihan atau
forum analisis gender dikalangan ibu-ibu atau bapak sebagai
penyadaran praktis. Penyadaran tadi diharapkan akan
mendesakkan perubahan pada tatanan institusi dan pada level
kehidupan masyarakat.

Upaya penyadaran ini dimaksudkan untuk mengubah persepsi


yang nanti akan mengarah pada perubahan institusi.
Pendekatan revolusioner dilakukan oleh satu atau dua orang
yang sudah sadar, kemudian memaksa perubahan institusi.
Dari situ kemudian diharapkan adanya perubahan kesadaran
secara masif, penyadaran evolutif ditempuh dengan meninjau
kembali ajaran-ajaran yang diskriminatif dan membelenggu
perempuan dalam konteks sejarah, sehingga bisa ditempatkan
secara proporsional dan benar. Sebab sebenarnya ajaran
agama membawa misi pembebasan.[]

Penulis adalah mahasiswa Institut Studi Islam (ISIF) Fahmina


HAM Dalam Perspektif Islam
Diposkan oleh Bagir's Blog di 2:25 PM

Pendahuluan
Agama dan HAM adalah isu yang sering kali dianggap
bertentangan. Agama yang dianggap begitu mengikat,
berbanding terbalik dengan HAM yang dinilai membebaskan
keinginan manusia. Islam dengan syari’ahnya dianggap
menghambat ummatnya dalam menjalankan Hak Asasi yang
mereka miliki, benarkah demikian adanya? Seperti anggapan
yang kerap Barat layangkan pada Islam, Islam dianggap
melakukan kejahatan HAM pada ummatnya. Dalam
kesempatan ini akan dibicarakan topic mengenai HAM dalam
Islam, khususnya ke-Tuhanan dan HAM. Adakah relasi antara
Allah SWT dengan HAM yang dimiliki manusia? Inilah yang
akan menjadi poin utama pembicaraan dalam tulisan ini.
Makna Hak Asasi Manusia
Manusia dan Hak Asasinya tidak dapat dipisahkan,
kemunculan HAM itu sendiri sudah dapat dipastikan sebagai
suatu keniscayaan yang muncul sejak keberadaan manusia
sendiri. Adam sebagai manusia pertama, oleh sebab itu HAM
sudah ada sejak keberadaannya di muka bumi. Islam sebagai
agama yang paling akhir muncul dinilai tidak memadai dalam
memberikan ketetapan undang-undang akan HAM itu sendiri,
apakah hal ini dapat dibenarkan?
Jika kita melihat pada kenyataan sejarah agama samawi, akan
kita dapati beberapa peristiwa penting di dalamnya. Sejak awal
mula penciptaan Adam, Allah SWT sudah memberikan perintah
pada dua makhluk yang paling utama sebelum manusia untuk
bersujud pada Adam. Atas pembangkangan yang dilakukan
Iblis dari golongan Jin, dinilai sebagai satu tindak kejahatan
pada masa itu. Apakah Allah SWT menghilangkan Hak Asasi
yang Iblis miliki, dengan memaksanya sujud kepada Adam?
Kejadian ke-dua terjadi ketika Adam melanggar perintah Allah
SWT untuk tidak memakan buah Khuldi. Apakah Allah SWT
telah menghilangkan Hak Asasi bagi Adam untuk memakan
buah Khuldi? Kejadian ke-tiga terjadi ketika Adam hendak
mengawinkan ke-empat anaknya.Ketika anak Adam beranjak
dewasa, kemudian Allah SWT memerintahkan Adam untuk
mengawinkan keempat anaknya berdasarkan pasangan yang
telah ditentukan, apakah Adam telah menghilangkan Hak Asasi
anaknya sendiri untuk memilih? Berbekal pada ke-tiga kasus
inilah akan kita berikan pembahasan lanjut mengenai posisi
Hak Asasi dalam kehidupan manusia nantinya.
Di era modern ini, banyak sekali kita temui berbagai isu terkait
permasalahan HAM sendiri. Namun hal yang harus kita
pertimbangkan di sini pertama-tama adalah makna dari Hak
Asasi tersebut. Sebagian besar aktifis HAM dewasa ini begitu
gigih dalam menyuarakan HAM sebagai suatu bentuk
kebebasan, dapatkah kita terima adanya kebebasan sebagai
suatu makna yang mewakili HAM? Setiap orang memiliki HAM-
nya masing-masing, sedemikian besar peran HAM dalam
dirinya sehingga tidak ada seorangpun yang berhak
mencampuri HAk yang dimilikinya. Namun permasalahan akan
muncul ketika Hak Asasi seseorang bersinggungan bahkan
menerobos Hak Asasi yang dimiliki orang lain. Jika saja Hak
Asasi diartikan sebagai suatu bentuk kebebasan, maka sudah
sepatutnya bagi setiap orang memiliki Hak yang tak terbatas.
Namun pada kenyataannya, tidak akan dapat kita temui suatu
Hak yang tak terbatas hingga tidak ada seorang-pun yang
berhak mencampurinya. Setiap Hak seseorang, senantiasa
berbatasan dengan Hak orang lain, maka dari itu kebebasan
dinilai tidak mencukupi untuk mewakili Hak Asasi dalam
pemaknaan.
Dari ke-tiga kasus yang kita temui dalam penciptaan manusia
pertama sudah dapat kita lihat bahwa kebebasan bukanlah
kata yang tepat untuk mewakili Hak asasi yang tidak hanya ada
pada manusia, melainkan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah
SWT. Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam, atas ketinggian
yang dimiliki-Nya inilah maka tidak akan dimungkinkan segala
bentuk kesalahan bagi-Nya. Jika kita lihat dari ke-tiga contoh di
atas, pantaskah Allah SWT dengan ke-egoisan-Nya melakukan
berbagai perintah yang memaksa ciptaan-Nya? Dalam Islam,
Perintah dan Kehendak yang Allah SWT miliki adalah
sepenuhnya kebaikan bagi setiap ciptaan-Nya, sedemikian
baiknya sehingga setiap makhluk harus mematuhi-Nya. Bukan
dalam artian memaksa, melainkan untuk mempertahankan
Kebijaksanaan yang dimiliki-Nya. Dia Mengetahui apa yang
tidak kita ketahui, oleh karenanya kita sebagai makhluk yang
penuh dengan kekurangan, sudah sepatutnya untuk mematuhi
Perintah-Nya.
Setiap kelahiran seorang bayi, Allah SWT sesungguhnya telah
membekalinya dengan Hak yang sama sebagaimana manusia
lainnya. Ia memiliki indera, akal, hati, serta segala kelengkapan
yang dimiliki manusia lainnya. Bahkan tidak hanya manusia,
makhluk lain pun juga menerima hal yang sama sebagaimana
kelengkapan yang telah ditentukan-Nya. Adapun cacat atau
kelainan, bukanlah suatu hal yang Allah SWT kehendaki,
karena Allah SWT sesungguhnya menciptakan dalam kebaikan
dan yang membuat buruk suatu keadaan adalah akibat dari
tindakan manusia itu sendiri yang tanpa dia sadari akibatnya.
Dari sini kita dapati bahwasannya Allah SWT dengan begitu
Maha Adil-Nya telah menciptakan suatu system yang begitu
sempurna dalam kehidupan ini. Demikian pula dengan Hak
Asasi yang kita miliki itu bukanlah suatu hal yang ada karena
kita, melainkan suatu anugerah yang Allah SWT berikan
kepada kita, untuk saling memahami antara satu dengan yang
lain. Oleh sebab itu, makna yang paling pantas kita berikan
pada Hak Asasi bukanlah kebebasan, melainkan suatu system
keserasian yang menjaga hubungan kita dengan Allah SWT,
sesama, dan alam.
Sebagaimana yang telah dibicarakan di atas, Hak Asasi adalah
suatu bagian dari diri kita yang sudah ada sejak kita lahir.
Namun agaknya Hak Asasi ini baru berlaku ketika manusia
berinteraksi dalam kehidupannya dengan manusia lain. Agar
terciptanya suatu system harmoni, maka yang perlu
diperhatikan adalah perasaan. Sedemikian tingginya intelektual
yang manusia miliki, hubungan yang harmonis antar sesama
tidak akan pernah terbentuk selama manusia tidak
menggunakan hati dan perasaanya. Bukankah telah kita
rasakan adanya ego yang merusak hubungan kita dengan
orang lain? Oleh sebab itu sudah dapat dipastikan bahwa Hak
Asasi produk bentukan negara barat yang menunjukkan
karakter egoistis tidak akan pernah berhasil dalam mewujudkan
perdamaian dunia. Karena suatu perdamaian akan terwujud
ketika kita mau memahami, bukanlah ketika kita ingin dipahami
oleh masing-masing individu.
Kemunculan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia muncul dari bentuk kesadaran tiap individu
pada individu lainnya. Allah SWT memberikan kita hati sebagai
alat untuk merasakan apa yang dirasakan oleh sesame, inilah
satu upaya bijak Allah SWT untuk membentuk kesadaran bagi
tiap individu. Tanpa adanya hati dan rasa, maka dapat kita
pastikan hingga saat ini tidak akan ada seorangpun yang
mampu menyadari akan hal ini. Bahkan seorang yang memiliki
nalar cukup tinggi sekalipun tidak akan dapat menyadari
realitas akan Hak Asasi, karena Hak seseorang hanya dapat
dirasakan dan bukan untuk dirasionalkan dalam suatu susunan
yang sistematis.
Dari sini sudah dapat kita pastikan bahwa Hak Asasi itu ada
dikarenakan adanya pemberian Allah SWT kepada kita. Namun
tidak hanya berhenti di sini saja, karena Hak Asasi tidak akan
cukup dengan potensi yang Allah SWT berikan, melainkan
harus adanya upaya respon atas potensi tersebut. Respon
inilah yang akhirnya menghasilkan kesadaran dalam diri kita,
dan kita ungkapkan pada orang lain yang dirasakan oleh
mereka. Perasaan yang sama inilah yang kemudian muncul
dalam suatu formula yang disepakati dalam konsep Hak Asasi
Manusia. Inilah yang pada tahap selanjutnya menjadi undang-
undang public yang mengatur ruang gerak HAM bagi masing-
masing individu. Dari sini dapat dipastikan bahwa HAM
bukanlah suatu bentuk kebebasan yang tak terbatas.
Di manakah Hak Asasi Manusia Berlaku?
Manusia adalah makhluk social, oleh karenanya Hak Asasi
yang dimilikinya senantiasa bergantung pada kondisi social
masyarakat yang berlaku. Sebagaimana yang telah
diungkapkan di atas bahwa masing-masing individu memiliki
Hak Asasi yang berbatasan dengan individu lainnya. Di sinilah
peran Hak Asasi Manusia berjalan, dengan adanya
kesepakatan atau satu system social tersebut maka tiap-tiap
individu berhati-hati dalam menjalankan Haknya masing-
masing. Namun jika Hak tiap individu ini tidak diformulasikan
dalam suatu undang-undang, maka akan terjadi kekacauan.
Hal ini bukan dikarenakan adanya paksaan dalam HAM,
melainkan adanya upaya sekelompok manusia yang tidak
bertanggung jawab dalam melaksanakan Haknya dalam
masyarakat. Untuk menghindari upaya kejahatan dalam HAM
inilah, perlu diadakan formulasi undang-undang HAM.
Dari pernyataan di atas sudah dapat kita pastikan bahwa HAM
itu ada ketika kita berinteraksi dengan individu lainnya. Tetapi
ketika kita berhadapan dengan Allah SWT, adakah lagi
tuntutan atas HAM bagi diri kita? HAM adalah anugerah dari-
Nya, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk tidak
mencampurkan urusan kemanusiaan dengan urusan yang
begitu pribadi. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya
adalah permasalahan yang begitu sensitive, tidak ada
seorangpun yang berhak mencampurinya, namun tentu saja ini
berlaku ketika individu tersebut tidak bersinggungan dengan
kepentingan individu lainnya. Satu hal yang perlu kita pahami
dalam hal ini bahwa HAM hanya berlaku ketika kita berada
dalam ruang public masyarakat, namun ketika kita
berhubungan dengan Allah SWT, maka tidak ada lagi yang kita
sebut sebagai HAM, karena allah SWT tidak akan pernah
melakukan kesalahan pada diri kita, justru kita yang kerap kali
melakukan kesalahan kepada-Nya.
Piagam Madinah dan Risalah al Huquq dalam menanggapi
HAM
Piagam Madinah dan Risalah al Huquq adalah beberapa bukti
bahwa Islam juga memiliki tanggapan yang begitu besar dalam
permasalahan HAM. Maka dalam kesempatan ini akan
dibicarakan isu penting terkait pembicaraan ini yang ada dalam
keduanya. Kita mulai pembicaraan ini dengan menelaah isi
pasal 1 Piagam Madinah, “Sesungguhnya mereka satu bangsa
dan negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan)
manusia.” Sebagaimana yang telah kita lihat, bahwa ciri utama
dari HAM dalam Islam bahwa pengaruh Ideologi yang begitu
kuat adalah dasar utama bagi setiap aspek kehidupan
manusia, dalam hal ini yakni iman pada Allah SWT, bukan
berdasarkan kekuasaan manusia. Maka dari itu kita tidak akan
pernah mendapati tatanan masyarakat yang Rasulullah SAW
buat, berdasarkan pada bentuk kerajaan atau kekhalifahan.
Rasul SAW juga tidak pernah menyebut dirinya sebagai
seorang khalifah ataupun raja.
Sedangkan dalam Risalah al Huquq, yang menjadi poin utama
atas susunan Hak yang ada adalah “Hak Allah”, yang berbunyi:
Adapun memenuhi hal Allah yang terbesar atasmu adalah
dengan mengabdi (beribadah) kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Jika kau
kerjakan itu dengan tulus ikhlas, Ia pun akan mewajibkan atas
diri-Nya menyelesaikan segala urusan dunia dan akhiratmu
dan menjaga segala yang kau sukai dari keduanya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Hak Asasi yang
kita miliki adalah kesadaran kita atas potensi yang Allah SWT
karuniakan pada kita. Dan sebagai bentuk rasa syukur kita
melalui ibadah kepada-Nya. Dari kedua poin di atas dapat kita
lihat, bahwa hokum HAM dalam Islam berlandaskan pada asas
ke-Tuhanan. Landasan utama yang diyakini dalam Islam
adalah, manusia tiada memiliki daya apapun, dan Allah SWT
sebagai satu-satunya Zat yang memberikan daya, upaya,
kehendak, serta kebebasan. Oleh karena itu, walaupun
manusia memiliki kebebasan dan kehendak, tetap saja itu
semua pemberian dari Allah SWT. Manusia diberi Hak hanya
untuk memanfaatkan segala pemberian yang Allah SWT
karuniakan pada kita, hanya untuk kebaikan.

Kesimpulan
Hak Asasi yang disebutkan dalam poin-poin universal Barat
seakan-akan terkemas apik sebagaimana halnya yang tertera
dalam Deklarasi Universal. Namun, kita harus melakukan
telaah lebih lanjut atas apa yang ada di dalam Islam. Islam
tidaklah miskin, melainkan kaya. Bahkan sebelum dunia
menemukan Deklarasi Universal, Islam sudah memberikan dua
system undang-undang HAM. Namun yang perlu kita sikapi di
sini adalah; Hak Asasi bukanlah suatu bentuk kebebasan,
melainkan suatu bentuk kesadaran untuk merasakan apa yang
orang lain inginkan, yang terwujud dalam suatu system
harmoni yang menjaga keselarasan tersebut. Hak Asasi adalah
karunia Allah SWT, yang berlaku untuk sesama manusia. Ke-
Tuhanan adalah landasan utama HAM dalam Islam.
REFERENSI
Al- Baqir, Muhammad. Ulama, Sufi, dan Pemimpin Umat:
Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin, Cucu Rasulullah.
Mizan. Bandung: 1993.
Piagam Madinah
12/03/2009 20:40:51

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perpesktif Al-Qur'an dan


Al-Sunnah

Oleh: Ust. Syamsul Arifin Nababan

Pendahuluan

Islam adalah agama rahmatal lil'ālamin (agama yang


mengayomi seluruh alam). Islam mengakui perbedaan sebagai
kenyataan tak terbantahkan. Dengan pengakuan ini, Islam
menghormati keragaman dan menganjurkan agar keragaman
menjadi instrumen kerja sama di antara manusia. Perbedaan
adalah sunnatullah, karena dengannya manusia bisa saling
melengkapi (take and give). Perhatikan QS, 49: 11-13.

Pengakuan, penghormatan, keadilan[1] dan kerja sama


adalah elemen-elemen penting dalam konsep Hak Asasi
Manusia (HAM). Elemen-elemen itu terdapat dalam sumber
Islam (Syari'ah). Memang al-Qur'an tidak berbicara spesifik
tentang HAM. Mengenai HAM, Al-Qur'an berbicara pada
tataran prinsip seperti: keadilan, musyawarah, saling
menolong, menolak diskriminasi, menghormati kaum wanita,
kejujuran, dan lain sebagainya. Rincian atas konsep-konsep itu
dilakukan dalam Hadis dan tradisi tafsir. Karena itu, nilai-nilai
HAM adalah kelanjutan dari prinsip-prinsip ajaran Islam di atas.
Perbedaan antara Syari'ah dan konsep HAM terjadi pada
aspek-aspek rinci (furu'iyyah) sehingga secara prinsipal tidak
ada problem.

Paper berikut akan menyoroti prinsip-prinsip HAM


dalam Islam. Paralelisme antara ajaran Islam dengan konsep
HAM akan dielaborasi sebagai kenyataan bahwa nilai-nilai
universal tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai universal
lainnya. Ada titik temu (common values/kalimatun sawā) antara
Syari'ah dengan konsep HAM dan konsep manusia apapun
yang menyerukan kebajikan-kebajikan universal. Selain itu,
perbedaan antara konsep HAM dalam Islam dan konsep HAM
menurut Barat juga akan disinggung sebagai comparative
perspective (wawasan pembanding).

Nilai-Nilai HAM dalam Syari'ah

Secara normatif, nilai-nilai HAM dirumuskan oleh PBB


dalam sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (Universal Declaration
of Human Rights) PBB pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini
disepakati oleh 48 negara dimaksudkan untuk menjadi standar
umum yang universal dari hak asasi manusia bagi sleuruh
bangsa dan umat manusia. Deklarasi ini menyebutkan seluruh
hak dan kebebasan yang dinikmati setiap individu tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
opini politik, dan opini lainnya, asal-usul kebangsaan atau
sosial, status kekayaan, kelahiran, dan status lainnya.

Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal. Secara umum pasal-


pasal itu mengatur hak-hak yang menjunjung tinggi martabat
manusia baik sebagai individu, anggota masyarakat bangsa,
maupun masyarakat internasional.

Dilihat dari tujuan, nilai-nilai HAM di atas sangat


universal dan baik. Harkat dan martabat manusia dijunjung
tinggi terlepas dari perbedaan ras, agama, warna kulit, dan
perbedaan lainnya. Dalam konteks ajaran Islam, nilai-nilai itu
diakui sebagai sunnatullah.[2]

Islam adalah agama yang universal dan komprehensif


yang melingkupi beberapa konsep. Konsep yang dimaksud
yaitu aqidah, ibadah, dan muamalat yang masing-masing
memuat ajaran keimanan. Aqidah, ibadah dan muamalat, di
samping mengandung ajaran keimanan, juga mencakup
dimensi ajaran agama Islam yang dilandasi oleh ketentuan-
ketentuan berupa syariat atau fikih. Selanjutnya, di dalam
Islam, menurut Abu A'Ala Al-Maududi, ada dua konsep tentang
Hak. Pertama, Hak Manusia atau huquq al-insān al-
dharuriyyah. Kedua, Hak Allah atau huquq Allah. Kedua jenis
hak tersebut tidak bisa dipisahkan. Dan hal inilah yang
membedakan antara konsep HAM menurut Islam dan HAM
menurut perspektif Barat.

Perlu dicatat bahwa inti dari HAM adalah


egalitarianisme,[3] demokrasi, persamaan hak di depan hukum,
dan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Elemen-elemen itu
mengejawantah dalam bentuk di antaranya dalam perbedaan
dan keragaman dalam arti yang luas. Perbedaan, misalnya
dalam pandangan Islam, adalah kehendak Allah karena itu
segala upaya yang memaksa agar semua manusia itu seragam
(satu agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu opini politik)
adalah penyangkalan terhadap sunnatullah itu. Dalam al-
Qur'an Allah menegaskan, yang artinya:

"dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua


orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-
orang yang beriman semuanya?" QS, Yunus [10]: 99.

Kitab tafsir yang sangat dihormati, Tafsir Jalalain,


membuat tekanan sentral yang lebih memperjelas ayat ini
dengan mengatakan, "hendak kau paksa jugakah orang untuk
melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin melakukannya
terhadap mereka?" [4]

Penegasan Jalalain dapat mempertegas bahwa usaha


untuk menyamakan semua perbedaan semua umat manusia
adalah sebuah tindakan pelanggaran HAM. Ini juga
menunjukkan bahwa dengan perbedaan manusia didorong
untuk saling menolong dan bekerjasama. Karena itu, sikap
menghargai atas perbedaan di antara manusia adalah sikap
primordial yang tumbuh secara organik sejak Islam diserukan
kepada umat manusia 1500 tahun yang lalu.

Islam menyadari bahwa mengakui perbedaan adalah


sikap paling realistis. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an Surat
al-Baqarah: 272 "Bukan tugasmu (hai Rasul) memberi petunjuk
kepada mereka. Tetapi Allahlah yang memberi petunjuk
kepada siapapun yang kekehendaki-Nya". Ayat-ayat ini adalah
prinsip HAM dalam beragama dan dalam menghormati
perbedaan. Namun demikian, ayat ini menganjurkan agar
setiap orang yang beriman harus tetap teguh tanpa harus
terpengaruh oleh ajaran yang lain.

Selain prinsip HAM di atas, prinsip-prinsip lain yang


bersifat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia adalah
kritik Islam atas ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan
diskriminasi. Nilai-nilai ini adalah juga yang diperjuangkan oleh
HAM. Sejak 1500 tahun yang lalu, al-Qur'an menyampaikan
kritik ini seperti ketidakadilan ekonomi dalam pernyataan
"kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya
saja", QS, 59:7. Juga aturan zakat dalam QS 9:60 memperkuat
bagaimana Islam peduli pada orang-orang tertindas yang perlu
ditolong dan ditingkatkan harkat dan martabatnya. Melakukan
pembiaran atas nasib orang-orang miskin dan terlantar adalah
perbuatan melanggar agama dan HAM.

Selanjutnya, pada level sosial-politik al-Qur'an ingin


menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari
kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek. Unit keluarga
adalah dasar keharmonisan di mana harkat manusia mulai
ditegakkan. Karena itu al-Qur'an peduli pada aspek ini seperti
diterangkan dalam QS, 2: 83, 4:36, 6:161, 17:23, 29:8, dan
lain-lain. Karena itu, peningkatan harkat dan martabat manusia
hanya bisa bermakna jika dikaitkan dengan aspek keadilan
ekonomi, sosial, dan politik. Prinsip-prinsip al-Qur'an di atas
mengatur sedemikian rupa sehingga hak-hak manusia tidak
dilanggar baik dalam tingkat individu, keluarga, maupun
masyarakat. Baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.
Jadi, persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan
persamaan di depan hukum adalah prinsip-prinsip kunci yang
sangat diperhatikan di dalam Syari'ah. Dalam sejarah
peradaban Islam, prinsip-prinsip ini dipegang oleh umat Islam
sebagai cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dengan prinsip-prinsip yang sangat jelas di atas, maka


setiap pemaksaan kehendak, penindasan, diskriminasi,
intoleransi, terorisme, dan hal-hal yang menyalahi sunnatullah
bukanlah ajaran Islam. Sekalipun hal ini dilakukan oleh oknum
umat Islam, namun ini tetap sebagai bukan ajaran Islam.
Penegasan ini perlu, karena semua pelanggaran HAM dalam
bentuk pemerintahan otoriter (Sadam Husen, Khomeini, Kadafi,
dan lain-lain), dalam bentuk terorisme, dan dalam bentuk
penindasan kaum wanita selalu dialamatkan kepada umat
Islam. Terorisme adalah persoalan politik dan ada di setiap
agama manapun. Terorisme bukan ajaran agama karena ia
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sunnatullah.

Dalam sejarah, pelanggaran semacam ini pernah


dilakukan oleh setiap agama. Namun, akan lebih bijak kalau
pelanggaran dan kekejaman atas nama agama bukan karena
ajaran agama itu sendiri, tetapi semata-mata oleh oknum-
oknum umat beragama yang salah menginterpretasikan ajaran
agamanya. Di sini perlu adanya upaya-upaya kerja sama di
antara semua pemeluk agama untuk mencari akar-akarnya
sehingga ajaran agama tidak menjadi pendorong pelanggaran
HAM.

Secara normatif, tidak ada agama yang menganjurkan


kekerasan, kekejaman, dan pelanggaran atas hak-hak asasi
manusia. Dalam konteks ajaran Islam, ia justru menawarkan
konsep kerja sama berdasarkan keadilan, saling menghormati,
dan persaudaraan. Masalah keyakinan adalah masalah Tuhan,
yang manusia sendiri tidak memiliki kewenangan untuk
mengadili. Hal ini ditegaskan dalam QS, 16:125,
"Sesungguhnya Tuhanmu jauh lebih mengetahui daripada
engkau tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan
siapa yang mendapat petunjuk". Prinsip ini mempertegas
bahwa dahulukan penghormatan terhadap HAM dan jangan
engkau hiraukan keyakinannya selama ia tidak memusuhi dan
melakukan penyerangan. Dengan kata lain, keyakinan yang
berbeda jangan menghalangi kerja sama dan saling
menghormati di antara manusia. Prinsip al-Qur'an ini menjadi
jalan umat Islam untuk menjadi pelopor dalam toleransi dan
penegakan hak-hak asasi manusia. Umat Islam semestinya
tidak gamang berbicara soal HAM, karena prinsip-prinsipnya
telah diajarkan dalam al-Qur'an 1500 tahun yang lalu.[5]
Kegamangan untuk menegakkan HAM oleh umat Islam justru
menandai kemunduran perspektif Islam dan membiarkan
prinsip ini tidak aplikatif.

Penggalian prinsip-prinsip HAM dari Syari'ah memang


sudah mulai dilakukan oleh sejumlah ulama. Hasilnya adalah
munculnya karya-karya tentang HAM. Bahkan dengan
pengayaan baru bahwa Hak Asasi Manusia harus satu paket
dengan Kewajiban[6] Asasi Manusia. Konsep Syari'ah tentang
HAM dan seluk-beluknya masih terus dapat digali. Bahkan bisa
ditambahkan ke dalam muatan HAM yang sudah ada.
Pengembangan nilai-nilai HAM dengan pengayaan prinsip-
prinsip Syari'ah dapat menjadi pilihan masa depan yang
selanjutnya membentuk semacam "Teologi Toleransi", "Teologi
HAM", atau "Teologi Kerukunan Beragama".

Selanjutnya "Teologi HAM" dapat dirumuskan melalui


kajian tafsir tematik (maudhu'iy), yakni mengklasifikasikan ayat-
ayat yang memuat tema HAM kemudian dirumuskan dalam
bentuk konsep-konsep utama tentang "Teologi HAM". Langkah
semacam ini bisa diambil dari lompatan sejarah Islam tentang
HAM sebagaimana tertulis dalam Piagam Madinah (al-Dustur
al-Madinah) dan Cairo Declaration.

Dalam deklarasi Madinah melalui Piagam Madinah


yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-
Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama didirikan
oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman perilaku sosial,
keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas
yang hidup bersama-sama di Madinah.[7]
Fenomena Piagam Madinah yang dijadikan pedoman
perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota
komunitas yang hidup bersama-sama tersebut sampai
menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern
terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah,
yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat
menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran
zaman itu.[8]

Adapun ajaran pokok dalam Piagam Madinah itu


adalah: Pertama, interaksi secara baik dengan sesama, baik
pemeluk Islam maupun non Muslim. Kedua, saling membantu
dalam menghadapi musuh bersama. Ketiga, membela mereka
yang teraniaya. Keempat, saling menasihati. Dan kelima
menghormati kebebasan beragama. Satu dasar itu yang telah
diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi
kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah.

Selain deklarasi Madinah juga terdapat deklarasi Cairo


yang memuat ketentuan HAM yakni Hak Persamaan dan
Kebebasan (QS. Al-Isra : 70, An Nisa : 58, 105, 107, 135 dan
Al-Mumahanah : 8). Hak Hidup (QS. Al-Maidah : 45 dan Al -
Isra : 33). Hak Perlindungan Diri (QS. al-Balad : 12 - 17, At-
Taubah : 6). Hak Kehormatan Pribadi (QS. At-Taubah : 6). Hak
Keluarga (QS. Al-Baqarah : 221, Al-Rum : 21, An-Nisa 1, At-
Tahrim :6). Hak Keseteraan Wanita dan Pria (QS. Al-Baqarah :
228 dan Al-Hujrat : 13). Hak Anak dari Orangtua (QS. Al-
Baqarah : 233 dan surah Al-Isra : 23 - 24).

Selanjutnya, Hak Mendapatkan Pendidikan (QS. At-


Taubah : 122, Al-Alaq : 1 - 5). Hak Kebebasan Beragama (QS.
Al-kafirun : 1 - 6, Al-Baqarah : 136 dan Al Kahti : 29). Hak
Kebebasan Mencari Suaka (QS. An-Nisa : 97, Al Mumtaharoh :
9). Hak Memperoleh Pekerjaan (QS. At-Taubah : 105, Al-
Baqarah : 286, Al-Malk : 15). Hak Memperoleh Perlakuan yang
Sama (QS. Al-Baqarah 275 - 278, An-Nisa 161, Al-Imran :
130). Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqarah : 29, An-Nisa : 29).
Dan Hak Taharan (QS. Al-Mumtaharah : 8). Ayat-ayat di atas
yang secara tematik dapat menjadi konsep-konsep utama al-
Qur'an tentang HAM dapat diperluas lagi.

Dari gambaran di atas baik deklarasi Madinah maupun


deklarasi Cairo, betapa besarnya perhatian Islam terhadap
HAM yang dimulai sejak Islam ada sehingga Islam tidak
membeda-bedakan latar belakang agama, suku, budaya, strata
sosial dan sebagainya.

HAM dan Umat Islam Indonesia

Implementasi HAM di Indonesia mengikuti iklim politik


yang berjalan. Politik di Indonesia bukanlah politik Islam.
Namun demikian, dalam banyak hal nilai-nilai Islam masuk ke
dalam semangat perundangan dan peraturan negara.

Terkait dengan toleransi, kerukunan beragama, dan penolakan


terhadap terorisme, umat Islam Indonesia sebagaimana
diwakili oleh ormas-ormas Islam (Muhammadiyah, NU, Persis,
Al-Irsyad, dan lain-lain) memiliki sikap yang jelas. Umat Islam
Indonesia mendukung toleransi, mengutuk terorisme,
mengembangkan kebajikan-kebajikan sosial, dan aktif dalam
program pemberdayaan perempuan dan pengentasan
kemiskinan melalui unit-unit organisasi di bawahnya.

Karena itu, melihat umat Islam Indonesia harus


dipisahkan dari kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Jika ada
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, maka tidak
otomatis oleh umat Islam. Jika ada kekerasan dilakukan oleh
oknum umat Islam, tidak otomatis oleh Islam. Pemisahan ini
perlu agar segala hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
dianggap sebagai ajaran Islam itu sendiri.

Sikap umat Islam Indonesia terhadap prinsip-prinsip


HAM sudah final dan konklusif. Perbedaannya terletak pada
aspek rincian dan metode implementasi. Karena itu, kerjasama
dan dialog tentang bagaimana menegakkan HAM terus
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek spesifik
dari masing-masing konsep ajaran agama.

Ormas-ormas Islam adalah representasi dari umat


Islam Indonesia. Dalam sejarah HAM, umat Islam justru
menjadi korban pelanggaran HAM oleh negara (rejim politik
tertentu). Tragedi G 30 S, Peristiwa Tanjung Periuk, dan lain-
lainnya adalah contoh pelanggaran HAM yang meminta korban
umat Islam. Dengan demikian, selama ini umat Islam Indonesia
tetap konsisten membela tegaknya HAM dan bahkan sangat
kritis terhadap semua bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh negara ataupun oleh oknum umat Islam.

Karena itu, menilai apakah Islam di Indonesia bagian


dari penegakan HAM harus dilihat dari optik sikap resmi ormas-
ormas Islamnya. Bukan oleh sikap pribadi-pribadi Muslim atau
kebijakan-kebijakan pemerintah. Dari perspektif ini hubungan
antara umat Islam Indonesia dengan prinsip-prinsip HAM
adalah paralel dan bukan antagonistis.

Ormas-ormas Islam Indonesia justru banyak berinisiatif


agar akar-akar terorisme dan akar-akar radikalisme Islam
disembuhkan dahulu melalui pemberdayaan umat dan
pesantren. Pendidikan yang baik dan kesejahteraan yang relatif
aman dapat mengurangi umat Islam dari keterlibatan terorisme
dan radikalisme.

Di sini, fakta HAM tengah mengalami anti-klimaks di


Timur Tengah melalui serangan membabibuta militer Israel
atas komunitas Gaza. Kini korban-korban konflik Israel-
Palestina yang berjumlah lebih dari 1000 orang (termasuk
anak-anak, wanita, dan orang tua) menyuguhkan belum
pulihnya tragedi kemanusiaan di jaman modern. Kerjasama
global yang selama ini terjalin baik dalam menyelesaikan
masalah HAM seperti ternoda dan kehilangan maknanya.
Agama-agama harus menjadi spirit perdamaian dan spirit
penegakan HAM tanpa batas sehingga menjadi topangan kuat
bagi terjalinnya kehidupan manusia yang terlindungi secara
HAM.
Penutup

Dalam Islam, posisi manusia amat penting dan mulia.


Hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia bahkan
menjadi tema utama dalam keseluruhan pembicaraan al-
Qur'an. Ini menunjukkan bahwa trikotomi hubungan antara
Allah, alam semesta, dan manusia menempatkan hubungan
yang sinergis dan harmonis. Dilihat dari kacamata HAM,
trikotomi hubungan itu menunjukan bahwa alam semesta dan
manusia harus saling berkerjasama untuk memenuhi
sunnatullah dan memperoleh ridha Allah.

Karena itu, nilai-nilai HAM dengan prinsip-prinsipnya


yang universal adalah bagian dari semangat dan nilai-nilai
Syari'ah. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya
justru membentuk sebuah sinergitas yang harmonis. Dengan
menilik potensi-potensi nilai HAM dalam Syari'ah, masa depan
HAM di dalam tradisi Islam justru amat cerah dan memperoleh
topangan yang amat kuat. Pertumbuhannya akan mengalami
gerak naik yang amat menggembirakan. Dibutuhkan
pemahaman para ulama yang makin baik tentang sumber-
sumber Syari'ah dan wawasan kemodern tentang HAM.
Dengan wawasan yang luas tentang ini, para ulama akan
menjadi avant-guard (garda depan) bagi penegakan HAM
berdasarkan Syari'ah dan nilai-nilai universal.

Wallahu A'lamu Bil Shawab.

Jakarta, 18 Januari 2009


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an al-Karim

Al-Na'im, Abdullah Ahmed. Towards an Islamic Reformation:


Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse:
Syracuse University Press, 1990).

Syaltut, Mahmud. Islam Aqidah wa Syari'ah (Cairo: Dar al-


Qalam, 1966).

R. Al-Sayyid, "Minal Syu'ub wal qabā'il ilāl umma. Dirāsāt fî


takawwun mafhum al-umma fil islām" dalam Al-Umma wal-
Jama'ah.

Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought


(Cambridge: Uninersity of Cambridge Press, 1997).

Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, terbit dalam banyak


edisi dan tafsir yang saya kutip mengikuti ayat dari QS 10: 99.
Qaradhawi, Yusuf. Ghoirul Muslimin fil mujtama' al-Islami
(Kairo: 1977).

Haikal, Husein. Sîrah Nabawiyah (Kairo: Maktabah al-


‘Arabiyah, 1960).

Bellah, Robert N. (ed.), Beyond Belief (New York: Harper &


Row, edisi paperback, 1976).

[1]Mahmud Syaltuth menyebutkan keadilan merupakan bagian


yang sangat penting dalam sistem yang berorientasi kepada
Tuhan. Dikatakannya, "Keadilan adalah sistem Allah saw. dan
syari'ah-Nya". Baca Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari'ah
(Cairo: Dar al-Qalam, 1966), hlm. 453.

Anda mungkin juga menyukai