A. Pengertian HAM
Dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia dijelaskan mengenai hak
asasi manusia sebagai :
“pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang
sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota
keluarga kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia”.
Ada pula pengertian lain yaitu, Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki
manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang
melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil
kita dapat hidup sebagai manusia. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan
manusia, lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut
syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan
tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan.
Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau
egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan
terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial
tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM Islam
mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan
penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam
memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama,
satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia
lainya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, yang
artinya sebagai berikut : “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu
dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia
di antara kaum adalah yang paling takwa.”
HAM dalam Islam terpusat pada 5 hal pokok dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang
disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam).
Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu,
yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-
mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas
jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas
kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga keturunan).
Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan
tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas
individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat
dengan negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.
4. Hak persamaan
Islam tidak hanya mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak di antara manusia
tanpa memndang warna kulit, ras atau kebangsaan, melainkan menjadikannya
realitas yang penting. Ini berarti bahwa pembagian umat manusia ke dalam bangsa-
bangsa, ras-ras, kelompok-kelompok dan suku-suku adalah demi untuk adanya
pembedaan, sehingga rakyat dari satu ras atau suku dapat bertemu dan berkenalan
dengan rakyat yang berasal dari ras atau suku lain.
Al-Qur’an menjelaskan idealisasinya tentang persamaan manusia dalam Surat
Al-Hujarat ayat 13, yang artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu
laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
adalah yang paling takwa.”
5. Hak mendapatkan pendidikan
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kesanggupan
alaminya. Dalam Islam, mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hak, tapi
juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh
hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Menuntut ilmu adalah kewajiban
bagi setiap muslim.”
Di samping itu, Allah juga memberikan penghargaan terhadap orang yang
berilmu, di mana dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11 dinyatakan bahwa Allah
meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu.
6. Hak kebebasan berpendapat
Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan pendapatnya
dalam batas-batas yang ditentukan hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak
seorangpun diperbolehkan menyebarkan fitnah dan berita-berita yang mengganggu
ketertiban umum dan mencemarkan nama baik orang lain. Dalam mengemukakan
pendapat hendaklah mengemukakan ide atau gagasan yang dapat menciptakan
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kebebasan berpendapat dan mengeluarkan
pendapat juga dijamin dengan lembaga syura, lembaga musyawarah dengan rakyat,
yang dijelaskan Allah dalam Surat Asy-Syura ayat 38, yang artinya : “Dan urusan
mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.”
7. Hak kepemilikan
Islam menjamin hak kepemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan
cara apa pun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya,
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 188, yang artinya : “Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar
kamu dapat memakan harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal
kamu mengetahuinya.”
8. Hak mendapatkan pekerjaan
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak, tetapi juga sebagai
kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin, sebagaimana sabda
Nabi saw : “Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang dari pada
makanan yang dihasilkan dari tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
Di samping itu, Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam
hadits : “Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu
Majah)
A. Piagam Madinah ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad
SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua
suku suku dan kaum kaum penting di Yatsrib (kemudian bernama Madinah) pada
tahun 622 M. Dokumen tersebut disusun sejelas jelasnya dengan tujuan utama
untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani Aus dan Bani Khazraj di
Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak hak dan
kewajiban kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas
lain di Madinah, sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas,
yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
Aturan di Madinah dikenal dengan Piagam Madinah, sedangkan di Indonesia
dikenal dengan UUD 1945, didalamnya juga memuat tentang pengakuan hak-
hak asasi manusia baik antara rakyat dengan rakyat maupun antara rakyat
dengan pemerintah, pengaturan itu bukan berarti pembatasan hak asasi manusia
melainkan justru untuk melindungi hak-hak asasi masing-masing pihak dalam
berbagai bidang kehidupan yang harus dihormati dan dilaksanakan. untuk
mengatur serta memberikan perlindungan terhadap kemajemukan tersebut
dibuatlah konstitusi yang dijadikan landasan hidup bersama dalam negara.
Kelahiran Piagam Madinah tidaklah lepas dari adanya hijrah Nabi Muhamad
SAW dari Makkah ke Madinah, dan merupakan kepanjangan dari dua perjanjian
sebelumnya yaitu bai’at aqabah 1 dan 2
Dengan tercapainya kesepakatan antara kaum di Madinah, maka semakin
heterogenlah masyarakat yang menduduki Madinah. Selain itu, perjanjian ini juga
menjadi sangat penting bagi diri Nabi sendiri. Piagam madinah ini secara tidak
langsung menunjukkan kapasitas Nabi sebagai seorang pemimpin dan politikus
yang ulung, ditandai dengan :
1. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyatukan umat Islam dalam satu panji,
yaitu Islam, dengan mengabaikan perbedaan suku, ras dan kabilah. Dan
menyatukan hati semua kaum muslimin dalam satu perasaan.
2. Menjadikan agama sebagai alasan yang paling kuat, sebagai pengerat antar
umat mengalahkan hubungan antar keluarga.
3. Bahwa ikatan yang terbangun atas dasar agama terdapat didalamnya hak-hak
atas setiap individu, dan tercapainya kedamaian dan ketentraman umat.
4. Adanya kesamaan hak antara kaum muslimin dan yahudi dalam hal maslahat
umum, dan dibukannya pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin
memeluk agama Islam dan melindungi hak-hak mereka.
Piagam madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4 tahapan yang
berbeda. Pada penulisan pertama terdapat 28 pasal, yang didalamnya mengatur
hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada penulisan yang kedua ada 25
pasal yang mengatur hubungan antara umat Islam dan Yahudi. Dan penulisan
yang ketiga terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2
Hijrah, yang merupakan penekanan atau pengulangan dari pasal pertama dan
kedua. Sedangkan pada tahap yang keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan
mengatur hubungan antara kabilah yang memeluk Islam.
Adapun isu HAM yang dikandung oleh Piagam Madinah, ialah: (1) Hak atas
kebebasan beragama; (2) Hak atas persamaan di depan hukum; (3) Hak untuk
hidup; dan (4) Hak memperoleh keadilan.
Hak atas kebebasan beragama merupakan salah satu isu HAM yang penting dan
dikandung oleh Pasal 25 Piagam Madinah, yakni:
“Etnis Yahudi dari Suku ‘Awf adalah satu umat dengan orang mukmin. Bagi etnis
Yahudi agama mereka; dan bagi orang muslim agama mereka. Juga (kebebasan ini
berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan
jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.”
Hak atas persamaan di depan hukum diungkapkan dalam Pasal 26 s/d Pasal 35,
sebagaimana tersebut berikut ini:
Pasal 26
“Etnis Yahudi suku Najjar diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 27
“Etnis Yahudi suku Harts diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 28
“Etnis Yahudi suku Sâ’idah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 29
“Etnis Yahudi suku Jusyam diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 30
“Etnis Yahudi suku Aus diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 31
“Etnis Yahudi suku Tsa’labah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf,
kecuali orang yang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan
keluarganya.”
Pasal 32
“Suku Jafnah dari Tsa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Dinasti
Tsa’labah).”
Pasal 33
“Etnis Yahudi suku Syutaibah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Awf.
Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).”
Pasal 34
“Sekutu-sekutu Tsa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (suku Tsa’labah).”
Pasal 35
“Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).”