Anda di halaman 1dari 4

PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM MELALUI YURISPRUDENSI

PERADILAN AGAMA
(Kewarisan Anak Perempuan Sebagai Ashabah)

Drs. H. Abd. Salam, Sh. Mh. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo)
Rozalina (STAI Al-Hidayah)

ABSTRACK
This study intends to reflect on the legal reforms brought by the KHI (Islamic Law Commission) when
we have used this KHI at the age of the revelation of the Koran to the Prophet, which is 22 years 2
months 22 days in addition to evaluating legal reforms carried out through jurisprudence. This study
aims to provide legal reforms in accordance with existing social law in the community regarding
inheritance rights, especially for women. This study uses the method of literature research or library
research. Collection of various materials related to the title of the discussion sourced from Electronic
Books and other literature studies. The Compilation of Islamic Law has presented new laws that are
more accommodating to the Indonesian atmosphere and deviations from classical fiqh, especially the
Syafi'i madhhab in KHI can be considered as a new historical chapter that follows legal developments
at the academic level so that it can be accepted by the community.

ABSTRAK
Kajian ini bermaksud merefleksi pembaharuan hukum yang dibawa KHI (Komilasi Hukum Islam)
disaat kita telah menggunakan KHI ini seusia pewahyuan al-Quran diturunkan kepada Rasulullah yaitu
22 tahun 2 bulan 22 hari disamping mengefaluasi pembaharuan hukum yang dilakukan melalui
yurisprudensi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pembaruan hukum yang sesuai dengan
hukum social yang ada dimasyarakat mengenai hak waris terkhusus untuk pihak wanita. Penelitian ini
menggunakan metode srtudi literatur atau penelitian Pustaka. Pengumpulan berbagai bahan materi yang
berkaiatan Dengan judul bahasan bersumber pada Buku Elektronik dan studi literatur lainnya.
Kompilasi Hukum Islam telah menghadirkan hukum-hukum baru yang lebih akomodatif terhadap
suasana ke Indonesiaan serta Penyimpangan dari fiqih-fiqih klasik utamanya madzhab Syafi’i dalam
KHI dapat dianggap sebagai new historical chapter yang mengikuti perkembangan hukum pada level
akademik sehingga dapat diterima oleh masyarakat.

Keyword: KHI (Kompilasi Hukum Islam), Waris, Yurisprudensi.

PENDAHULUAN
Perkembangan sosial yang senantiasa tumbuh cepat, menjadikan para ahli hukum Islam mulai
menyadari ketertinggalan fiqih warisan para ulama’ terdahulu. Kesadaran ini mendorong para pemikir
Islam untuk mewacanakan pembaharuan fiqhiyah. Hal ini juga disadari oleh para ahli hukum Islam di
Indonesia yang tidak menghendaki hukum Islam ditinggalkan oleh ummatnya, disisi lain, hukum adat
dan hukum Barat seakan menempati hukum yang realis, membumi.
Perlunya membina fiqih yang berkepribadian Indonesia sudah pernah dikemukakan oleh Prof.
Hasbi As-Shiddieqi sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun1960;Menurutnya diperlukan fiqih
yang cocok dengan kebutuhan ummat Islam di Indonesia agar fiqih tidak diperlakukan sebagai barang
antik yang hanya sekedar dipajang menggantung dilangit tak berfungsi. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Prof. Hazairin dalam bidang fiqih kewarisan Islam.1 Wacana yang telah lama berkembang tersebut
akhirnya dapat diwujudkan oleh ulama Indonesia dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
melalui Instruksi Presiden No. 1/1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk dipedomani oleh umat Islam
Indonesia.
Kajian ini bermaksud merefleksi pembaharuan hukum yang dibawa KHI disaat kita telah
menggunakan KHI ini seusia pewahyuan al-Quran diturunkan kepada Rasulullah yaitu 22 tahun 2 bulan
22 hari disamping mengefaluasi pembaharuan hukum yang dilakukan melalui yurisprudensi.
Peta Pembaharuan Hukum
Hingga saat ini setidak-tidaknya ada tiga kelompok yang mewarnai perkembangan pemikiran
Islam. Pertama, mereka yang sering disebut sebagai kelompok liberal-progesif .Yaitu pemikiran yang
menganggap pembaharuan Islam sebagai sebuah keharusan. Kelompok ini memandang bahwa ada
begitu banyak ajaran dan doktrin Islam di masa silam yang tidak lagi cocok dengan tuntutan dunia
modern. Di antara mereka adalah Mohammad Arkoun,Fatimah Mernissi, Muhammad Abid al-Jabiri,
Aziz Azmeh, Nasr Hamid AbuZayd, dan Abdullahi Ahmed An-Naim. Kelompok ini terlahir karena
keyakinan atas spirit of progress didalam Islam. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan,
kesetaraan, dan keadilan.Kemandekan (stagnasi) hukum Islam terjadi karena tidak disertakannya
pembaharuan pada konsep methodologi (ushul fiqih). Ushul fiqih sejak dicetuskan dan disosialisasikan
oleh Imam Syafi’i sebagai perintisnya diterima oleh umat Islam tanpa reserve. Padahal ushul fiqh
sebagai hasil ijtihad tentu harus senantiasa terus ditinjau ulang.
Mereka berpendapat bahwa pengaruh pemikiran Imam Syafi’i terlampau kuat tertanam sebagai
pondasi epitimologis ummat Islam (fuqoha’) ketika beliau mengeluarkan kaidah fiqhiyah “idza shahhal
al-hadits fahuwa madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah teks telah teruji keshahihannya itulah madzhabku”.
Kaidah tersebut secara paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya dibidang
hukum. Sehingga ummat Islam berkutat dalam “tradisi-tradisi tekstual”. Kebenaran hukum hanya bisa
ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks), karena itu nash Al-Qur-an dan Hadist
senantiasa dipegang teguh secara tekstual, tanpa memperhatikan latar belakang sejarah(sosiohistoris)
yang meliputinya saat tasyri’ itu ditetapkan.
Paradigma Syafi’i tersebut telah lama mendominasi dan menjadi world-view jalan pikiran
ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian lahirlah kaidahushuliyah“al-’ibrotu bi
umumil lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan pegangan adalah bunyi tekstualnya bukan latar
belakang yang melingkupinya. Padahal moral-etic Al-Qur-an untuk mewujudkan keadilan sosial yang
menjadi tujuan universal syari’at Islamakan lebih Nampak jelas bila kita memahami dan menelusuri
latar belakang sosio-historis masyarakat ArabketikaAl-Qur-an itu diturunkan. Singkatnya agar Islam
dapat menjawab tantangan zaman, makaobat yang tepat adalah dekonstruksi syari’ah.
Kedua adalah kelompok moderat-konservatif, yaitu para intelektual dan tokoh Islam yang
berusaha mengikuti pola dan alur berpikir sebagian besar kaum muslim. Mereka juga percaya akan
pentingnya pembaharuan Islam dan menyadari bahwa ada sebagian ajaran Islam yang kurang cocok
dengan konteks dunia modern. Tapi mereka malah lebih memilih memahami ulang dengan melakukan
sedikit modifikasi yang hati-hati dan lamban terhad apa jaran Islam. Kelompok ini antara lain adalah
Wahbah az-Zuhaily, Ramadhanal-Buthi,Mustafa Az-Zarqa, Muhammad al-Ghazali, Anwar Jundi, dan
juga Yusuf al-Qardlawy. Meski mereka tampak mengobarkan semangat ijtihad, tetapi pada dasarnya
mereka masih terkekang dengan teks-teks agama yang hendak mereka perbaharui. Ajakan mereka untuk
membuka kembali pintu ijtihad adalah ajakan setengah hati. Karena mereka masih menfatwakan bahwa
ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan syarat-syarat yang sangat rumit yang
dibikin oleh para ulama abad pertengahan. al-Imam al-Juwaini. Ia adalah orang pertama yang
menentukan syarat-syarat dan klasifikasi ijtihad dengan begitu rumit lewat karyanya Matanul Waraqât.
Sebelumnya, ijtihad sebenarnya hanyalah aktivitas berpikir biasa yang dilakukan hampir semua
ulama terhadap teks agama. Itu sebabnya, orang seperti Imam Syafi’i sajaa tau ulama-ulama mazhab
lainnya tidak pernah detil membincangkan syarat-syarat ijtihad. al Qardlawy dan az-Zuhaily ternyata
juga belum berani keluar dari pakem-pakem ijtihad yangt elah dibikin oleh para ulama abad pertengahan
itu. Maka yang mereka lakukan adalah konstruksi atau reaktualisasi.
Kelompok ketiga adalah kelompok puritan-ekstrimis, yaitu para sarjana dan tokoh agama yang
menolak secara keseluruhan gagasan pembaharuan Islam sambil terus menerus mengajak kaum muslim
kembali kepada masa silam Islam. Dalam wacana pemikiran, mereka dikenal sebagai gerakan atau
kelompok salafi. Istilah ini merujuk kepada periode kehidupan
Nabi dan para sahabatnya. Orang-orang salafi ini sangat terobsesi untuk menghadirkan
kehidupan dan perilaku Nabi di zaman modern. Buat mereka, tidak peduli apakah Islam yang mereka
hadirkan cocok dengan dunia sekitar atau tidak. Yang penting adalah mereka merasa sedang
menjalankan kehidupan yang sama persis seperti Nabi menjalankannya.
Dalam pandangan kaum puritan, kedua kelompok tersebut dicap liberal dan telah keluar dari
Islam, lantaran keduanya dianggap terlalu mengedepankan aspek mashlahah (kebajikan publik) dan
akal dalam analisis fikih
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode srtudi literatur atau penelitian Pustaka. Pengumpulan
berbagai bahan materi yang berkaiatan Dengan judul bahasan bersumber pada Buku Elektronik dan
studi literatur lainnya.
HASIL PEMBAHASAN
Hasil dan Pembahasan
Pembaharuan hukum Islam yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut bukan sekedar
pembaruan yang tidak berdasar, akan tetapi secarateoritis Mahkamah Agung mempunyai landasan
epitimologis yang cukup kuat, yaitu:
Tiga ayat waris dalam surat an-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176 tidak semua kata waladatauaulaad
(jama’) diartikan anak laki-laki saja: Dalam Surat An-Nisa’ ayat 12; wa lakumnisfuma taraka
azwaajukum in lam yakun lahunna walad, fain kana lahunna waladunfalakumur rubu’u”, ulama fara’id
mengetrapkan bahwa bagian waris suami (duda) akanturun dari ½ (setengah) menjadi ¼ (seperempat)
jika ia mewarisi bersama anak pewaris baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Hal ini
menunjukkan bahwa lafad walad pada ayat tersebut diartikan anak laki-laki mencakup anak perempuan;
Demikian juga hak kewarisan istri (janda), akan menurun bagiannya dari ¼ (seperempat) menjadi 1/8
(seperdelapan) jika ia mewarisi bersama anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan,jumhur
mendasarkan An-Nisa ayat 12: ”wa laha nisfu maa taraktumin lamyakunlakumwalad”.

KESIMPULAN
1. Kompilasi Hukum Islam telah menghadirkan hukum-hukum baru yang lebih akomodatif terhadap
suasana ke Indonesiaan sehingga selalu stay dalam tradisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia
melalui pendekatan-pendekatan Maslahah al-Mursalah, Syadal dhara’i’ dan al-‘Adah
Muhakkamah.
2. Penyimpangan dari fiqih-fiqih klasik utamanya madzhab Syafi’i dalam KHI dapat dianggap sebagai
new historical chapter yang mengikuti perkembangan hukum pada level akademik sehingga dapat
diterima oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
DRS. H. ABD. SALAM, S. M. (2013). Refleksi 22 Tahun Pembuatan Kompiasi Hukum Islam.
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama.
Ita Ma’rifatul Fauziyah, Y. (2022). PENERAPAN WARIS 1:1 DALAM YURISPRUDENSI ISLAM
PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial,
1444-1456.
Prof. DR. Paulus Effendi Lotulung, S. (1997/1998). PERANAN YURISPRUDENSI SEBAGAI
SUMBER HUKUM. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
Dan Hak Asasi Manusia RI.

Anda mungkin juga menyukai