Anda di halaman 1dari 13

DIMENSI KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN

PENYELENGGARAAN SISTEM PENDIDIKAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan


pendidikan

Dosen pengampu : Rohman Hidayatul At-thoriq M.Pd

Disusun Oleh:
Kotrunnada 2013130
Kholisoh 2013081
Aang Fauzi 2013108
Andini 2013067

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA
2023
1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu
banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu, penulis juga merasa sangat
bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam.

Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
yang merupakan tugas mata kuliah Perbandingan P e nd id ik a n . Penulis sampaikan terima kasih
sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Perbandingan Pendidikan: Rohman
Hidayatul At-thoriq M.Pd dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan-kekurangan baik
dari isinya maupun struktur penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.

Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca

dan khususnya bagi penulis sendiri. Aamiin yaa Robbal‟alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bogor, 06 Juni 2023

Penulis,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................2


DAFTAR ISI ................................................................................................................................................3
BAB I ...........................................................................................................................................................4
8PENDAHULUAN. .....................................................................................................................................4
A. Latar Belakang. ...............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah. ..........................................................................................................................4
BAB II..........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...........................................................................................................................................6
A. Dimensi kehidupan masyarakat yang memengaruhi pendidikan. ............................................................6
B. Teori Pengiring Pengembangan Pendidikan ……………………………………………………….8
A. Kesimpulan. ...................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 13

3
BAB I
PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang.

Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1)
pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan
diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan,
dan memungkinkan setiap warga Negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara
optimal
Sementara itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional merupakan dasar hokum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan
nasional. Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta
strategi pembangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan
dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing dalam kehidupan gelobal.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini memberikan
dasar hukum untuk membangun pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi,
desentralisasi, otonomi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Penerapan semua
ketentuan dalam undang-undang ini diharapkan dapat mendukung segala upaya untuk memecahkan
masalah pendidikan, yang pada gilirannya akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan
terhadap masalah-masalah makro bangsa Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjadi bahan
acuan formal bagi setiap warga negara Republik Indonesia, khususnya bagi para pejabat dan petugas
yang menangani pendidikan. Siapapun yang bertugas dan bertanggung jawab menyelenggarakan
Sisem Pendidikan Nasional, apapun skala dan lingkup serta tingkatnya menginsyafi benar bahwa
pelaksanaan tugasnya merupakan komitmen konstitusional.

B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana dimensi kehidupan masyarakat yang memengaruhi pendidikan?


2. Bagaimana teori-teori pengiring pengembangan pendidikan?

C. Tujuan Penulisan Masalah.

4
1. Untuk mengetahui Bagaimana dimensi kehidupan masyarakat yang memengaruhi pendidikan
2. Untuk mengetahui Bagaimana teori-teori pengiring pengembangan pendidikan?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dimensi kehidupan masyarakat yang memengaruhi pendidikan.

Bahwa penyelenggaraan pendidikan dalam masyarakat tidaklah semata-mata sui generi, maka
perlu kiranya memperhatikan aspek-aspek di luar pendidikan. Aspek di luar pendidikan tersebut
merupakan aspek-aspek kehidupan masyarakat yang selalu bersinggungan dengan pendidikan. Paling
tidak ada tiga aspek penting kehidupan masyarakat yang selalu bersinggungan dengan pendidikan,
yaitu yang meliputi sosial, ekonomi, dan politik.
Dimensi sosial masyarakat adalah salah satu dimensi kehidupan yang ada dalam masyarakat
yang memuat tata struktur dan tata kultur hubungan antar individu warga masyarakat dan juga
kelompok dalam merajut kehidupannya secara kolektif. Sebagai sebuah komunitas sosial dan kultural
kolektif, maka masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, baik secara evolutif
maupun revolutif. Beberapa teori telah menjelaskan tentang perubahan masyarakat yang bergerak
dari kondisi tradisional menuju modern atau dari kondisi agraris menuju pada industrial.
Salah satu tokoh yang menjelaskan perkembangan sosial masyarakat dari kondisi tradisional
menuju kepada kondisi modern adalah Daniel Lerner. Menurutnya, ada lima ciri masyarakat
dikatakan telah mencapai taraf sosial modern (Imam Barnadib,1987), yaitu:
a)Memiliki pertumbuhan ekonomi sampai pada taraf tertentu, atau setidak-tidaknya
pertumbuhan yang memadai untuk produksi dan konsumsi secara teratur.
b) Adanya partisipasi warga masyarakat dalam pemerintahan secara demokratis.
c) Adanya kemampuan berpikir yang rasional dan realistik dari warga masyarakat.
d) Adanya mobilitas masyarakat dalam arti fisik, psikhis, dan sosial.
e) Adanya transformasi pengetahuan, kecakapan, dan ketrampilan kepada warga masyarakat,
sehingga mereka mampu berfungsi secara efektif dalam tata masyarakat.
Kalau pada awal modernisasi suatu negara mempunyai penduduk yang bekerja di sektor
agraris adalah sekitar 85%, maka bila ingin sampai menjadi negara modern adalah dengan cara
bertahap mengurangi profesi penduduk agraris sebesar 5% per tahun menuju profesi perdagangan dan
jasa. Hal ini berarti bahwa modernisasi secara wajar pada negara tersebut membutuhkan waktu 17
tahun. Oleh karena itu untuk mempercepat upaya modernisasi di beberapa negara agraris, dibutuhkan
banyak investasi sosial termasuk pendidikan.
Beberapa negara yang sekarang sudah tergolong mencapai kemajuan sosial sebagaimana
terlihat pada negara-negara maju di Eropa, tidaklah mereka raih secara tiba-tiba. Usaha-usaha
6
pengembangan telah banyak mereka lakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga saat ini
mereka mengalami pertumbuhan sosial dan peradaban yang cukup tinggi.
Menurut Ronald Inglehart (1997), tumbuhnya masyarakat menjadi masyarakat modern
berhubungan erat dengan perubahan nilai kultural yang berawal dari sistem nilai yang dimiliki
sebelumnya. Sistem nilai lama yaitu nilai survival (survival values) meliputi nilai-nilai konservatif
serta nilai-nilai yang berorientasi kepada masa lalu dimiliki oleh negara-negara yang secara sosial
masih tertinggal, sedangkan sistem nilai baru yaitu nilai ekspresi diri (self-expression values) antara
lain meliputi kepercayaan interpersonal, toleransi, proaktif, kreatif, dan partisipasi dalam
pengambilan keputusan membawa masyarakat kea rah kemajuan secara sosial.
Pendapat di atas didukung oleh Harrison (1992) yang berpendapat bahwa pembangunan sosial
masyarakat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kultural dasar masyarakatnya (society’s basic cultural
values). Fukuyama (1995) juga berpendapat bahwa kemampuan masyarakat dalam berkompetisi di
pasar global dipengaruhi oleh kepercayaan sosial (social trust). Kesemuanya itu, merefleksikan
adanya asumsi bahwa masyarakat dewasa ini ditandai oleh perbedaan ciri-ciri kultural yang telah
berlangsung dalam waktu lama, dimana ciri-ciri tersebut selanjutnya akan memiliki dampak penting
pada penampilan kemajuan sosial masyarakat.
Sistem nilai masyarakat akan dapat menggerakkan mereka sebagai modal pembangunan
manakala dilandasi dengan kesadaran sosial. Kesadaran ini menjadi penting mengingat dengan bekal
kesadaran seorang individu atau kelompok masyarakat dapat memanfaatkan sistem nilai yang
dimilikinya secara bertangungjawab untuk kemaslahatan masyarakat seluas-luasnya, sehingga akan
menjadi pemicu luar biasa dalam menggerakkan pembangunan sosial. Persoalannya adalah
bagaimana kesadaran itu dapat dimunculkan? Bagaimana pula mengusahakan kesadaran agar dapat
mempengaruhi perilaku sosial masyarakat menuju pada tatanan sosial yang lebih baik? Pada sisi
inilah sesungguhnya peran pendidikan amat dibutuhkan. Pendidikan memiliki peran vital dalam
menanamkan nilai-nilai perubahan sosial menuju pada sistem baru yang lebih baik. Hilangnya
kesadaran individu atau anggota kelompok masyarakat akan hal tersebut akan berakibat fatal.
Beberapa dampak dari sikap gegabah individu dan anggota masyarakat sebagai akibat dari
ketiadaan kesadaran sosial sebagai anti klimak dari kemajuan peradaban adalah merebaknya aneka
problem sosial, seperti: HIV/aids, kriminalitas, perlombaan senjata nuklir, polusi, inflasi, dan krisis
energi. Hal ini sebagaimana diprihatinkan oleh Fritjof Capra (1997) terhadap kondisi masyarakat
modern dewasa ini.
Aneka problem sosial menurut Fritjof Capra (1997) tersebut memperoleh intensitasnya justru
ketika kemajuan peradaban umat manusia mencapai puncakya. Aneka problem sosial yang bersifat
global dewasa ini disamping disebabkan dari ekses kemajuan ipteks yang terkadang kurang
memperhatikan keseimbangan sosio- ekologis, namun yang lebih penting sebenarnya adalah
7
merosotnya moralitas manusia yang terkadang agak kelewat batas melewati kewajaran sehingga
mengarah kepada perilaku moral yang bersifat destruktif. Oleh karena itulah, peran pendidikan amat
penting untuk meluruskan kembali perilaku moral manusia (Muhammad Abdurrahman, 2003).

B. Teori Pengiring Pengembangan Pendidikan

Telah banyak teori yang menjelaskan tentang pentingnya pengembangan pendidikan bagi
perbaikan masyarakat. Dari teori-teori tersebut diantaranya adalah teori sumberdaya manusia dari
Theodore W. Schultz , teori modernisasi dari Daniel Lerner , dan teori struktural-fungsional dari
Talcott Parsons.
Teori sumberdaya manusia yang dipelopori oleh T.W. Schultz menjelaskan bahwa perkembangan
suatu masyarakat pada dasarnya berlandaskan pada investasi manusia. Dengan semakin
berkualitasnya manusia sebagai penduduk bangsa akan mendorong meningkatanya produktifitas
mereka. Peningkatan produktifitas akan mempenagruhi peningkatan penghasilan penduduk, sehingga
pada gilirannya secara agregat dapat mengangkat masyarakat secara keseluruhan ke arah taraf yang
lebih tinggi. Sehingga kuncinya adalah kualitas manusianya. Oleh karenanya, dalam konteks ini
pendidikan memegang peranan sangat pentingdalam rangka membangun masyarakat.
Sedikit berbeda dengan teori sumberdaya manusia di atas, teori modernisasi tidak saja
menekankan pada peningkatan mutu sumberdaya manusianya akan tetapi juga menekankan
peningkatan infrastuktur sosial menuju yang lebih modern. Infrastuktur sosial menuju yang lebih
modern tersebut adalah infrastruktur sosial yang antara lain meliputi: lembaga-lembaga sosial, alat-
alat komunikasi, termasuk juga lembaga pendidikan.
Dalam pandangan teori ini, banyak terjadi di negara-negara berkembang bahwa ada lembaga-
lembaga modern yang diisi oleh manusia yang kualitasnya masih tradisional seperti manusia-manusia
yang memiliki ciri-ciri kurang produktif, malas, kurang mampu bekerja secara profesional. Manusia-
manusia dengan kualitas rendah atau tradisional tersebut banyak bekerja di pabrik-pabrik, stasiun TV,
badan usaha swasta, dan birokrasi perkantoran pemerintah. Sebaliknya banyak pula manusia-manusia
yang sudah dididik maju akan tetapi bekerja dan menjalankan kelembagaan yang alat-alat
kelengkapannya masih tradisioanal. Oleh karena itu, menurut teori ini pembangunan masyarakat
disamping perlu dimulai dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia juga dengan penyediaan
infrastruktur sosial yang lebih modern.
Sedangkan teori struktural-fungsional yang dipelopori oleh Talcott Pasons, mengajarkan bahwa
masyarakat sebenarnya terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang mempunyai tempat dalam
struktur dengan fungsinya masing-masing, yang kesemuanya saling berhubungan serta harmonis.
Sehingga masyarakat akan berkembang manakala kelompok-kelompok tersebut ditingkatkan
kedudukannya menurut struktur, peran, dan fungsi masing-masing secara harmonis pula. Bila tidak,
maka menurutnya akan terjadi apa yang disebut keadaan ‘Disequilibrium’ atau ‘sosial diorder’.
Sudah barang tentu peranan pendidikan sangat penting dalam rangka pengembangan masyarakat
sebagaimana inti dari teori ketiga ini. Ada beberapa tahap yang dapat dikembangkan, antara lain
adalah: pertama, penidikan universal berlandaskan kebijakan wajib belajar untuk semua warga
masyarakat. Kedua, setelah diadakannya pendidkan universal, kemudian untuk memenuhi minat dan
perhatian tiap kelompok maka dikemangkan kemampuannya baik yang bersifat akademik-imiah
maupun kemampuan vokasional, teknologi, dan profesional. Dengan kedua tahapan inilah maka
perkembangan masyarakat dapat ditingkatknan secra lebih efektif.
Selain dari tiga teori yang telah disebutkan di atas, yakni teori sumberdaya manusia, teori
modernisasi dan teori stuktural-fungsional, terdapat teori lain yang menjelaskan tentang fenomena
yang sama, yaitu: teori mobilitas isi, teori alokasi dan teori legitimasi.
Penjelasan inti dari teori-teori tersebut dapat dipaparkan sebagaimana berikut: teori mobilitas
isi menjelaskan bahwa bila semua anak mengalami dan menikmati pendidikan yang teratur dan
mempunyai sejumlah pengetahuan dan kecakapan leat pendidkan, maka akan terangkatlah
8
masyarakatnya. Sedangkan teori alokasi menyebutkan bahwa pendidikan itu lebih berfungsi segaia
pemilih, penortir, dan penjatah daripada hanya sebagai lembaga sosialisasi.
Adapunn teori legitimasi berpendapat bahwa pendidikan itu sesungguhnya terbangun secara
sosial. Pendidikan dalam hal ini termmasuk sekolah merupakan lembaga yang mencerminkan
berbagai keadaan sosial, sehingga dalam menjalankan program pendidikannya, sekolah bukan hanya
menjadi menjadi wahana sosialisasi, tetapi mampu mempengaruhi terjadinya perubahan atau
peningkatan kualitas kehidupan dalam masyarakat. Teori legitimasi menghendaki agar pendidikan
selalu mengusahakan kerujukan dengan masyarkat. Bila ini dilakukan, maka pendidikan tidak hanya
mempertahankan kemapanan struktur masyarakat melainkan juga dapat berpengaruh ke arah
perbaikan dan perkembangannya.
Perspektif Teoritik Hubungan Pendidikan dan Masyarakat Semua bangsa dewasa ini berusaha
meningkatkan mutu pendidikannya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Berbagai upaya telah
mereka dilakukan melalui aneka cara, baik melalui rekonstruksi fondasi filosofi dan ideologi, revisi
orientasi, penyempurnaan organisasi, maupun perbaikan operasional praktisinya. Beberapa bentuk
nyata yang telah mereka dilakukan
terkait dengan upaya peningkatan mutu antara lain adalah melalui penyempurnaan regulasi atau
perundang-undangan, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, pembaharuan kurikulum,
peningkatan kelengkapan media dan sarana prasarana pendidikan, optimalisasi dukungan manajerial
pendidikan, penambahan besaran pendanaan pendidikan, penyempurnaan alat evaluasi hasil belajar,
dan lain-lain, yang kesemuanya itu bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan.
Upaya peningkatan mutu pendidikan oleh semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia, berangkat dari
adanya keprihatinan mereka akan mutu pendidikan yang masih rendah. Persoalan rendahnya mutu
pendidikan, misalnya yang terjadi di Indonesia, disebabkan antara lain oleh mutu dan distribusi tenaga
kependidikan yang kurang memadai, kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum yang
kurang sesuai, dan lingkungan belajar yang tidak mendukung (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001).
Sehingga aneka persoalan tadi secara bertahap dieliminir melalui langkah-langkah sistematis dan
taktis dengan landasan pemikiran yang matang
Dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan ini, I.L. Kandel
merekomendasikan perlunya perhatian dari pelaku pendidikan terhadap hal-hal yang kelihatannya
tidak tampak (intangible) akan tetapi memiliki pengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan
(Imam Barnadib, 1994). Hal-hal yang tidak tampak tetapi memiliki andil yang cukup besar dalam
penyelenggaraan pendidikan tersebut antara lain berupa ideologi, pandangan hidup, keyakinan,
orientasi nilai pun pula mitos-mitos historis yang berisi cerita kepahlawanan yang hidup dan
dipercaya secara turun temurun dalam suatu bangsa. Ideologi sebagai salah satu faktor intangible
memiliki pengaruh luar biasa dalam penyelenggaraan pendidikan di suatu bangsa. Ideologi menurut
Sargent dalam bukunya ’Contemporary Political Ideologies’ (William F. O’Neil, 2001), diartikan
sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh masyarakat atau
kelompok tertentu. Ideologi berupaya menggambarkan mengenai karakteristik-karakteristik umum
tentang alam dan masyarakat; serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakekat moral, politik,
dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif. Edward Stevens dan George H. Wood
(1987) secara lebih khusus menyebut praktek pendidikan dipengaruhi dan ditentukan oleh apa yang
disebutnya sebagai cita-cita sosial (social ideals). Melalui ideologi atau cita-cita sosial tersebut
penyelenggaraan pendidikan baik yang ada di jalur sekolah maupun luar sekolah ingin dikembangkan
dan ditingkatkan mutunya untuk dapat memainkan peran-peran yang diharap. Misalnya apakah peran
legitimasi atau peran reformasi dari keberadaan lembaga pendidikan. Peran legitimasi dalam arti
bahwa proses pendidikan dapat melestarikan atau melanggengkan formasi sosial yang ada (status
quo), sedangkan peran reformasi dimaksudkan bahwa pendidikan dapat membangun atau bahkan
merubah tatanan sosial menuju yang lebih baik. Kedua peran pendidikan tersebut beserta seluk beluk
penyelenggaraan pendidikan di suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh ideology milikinya. Sebagai
contoh, bangsa Indonesia memiliki ideologi dengan nama ideologi Pancasila, bangsa lain yang
menganut faham agama sebagai pandangan hidupnya meyakini ideologi agama yang dianut. Baik
Pancasila maupun agama sebagai pandangan hidup yang dianut oleh masing-masing penganutnya
9
merupakan kekuatan besar yang mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan. Adapun untuk konteks
dunia, faktor-faktor intangible yang mempengaruhi upaya- upaya penyelenggaraan pendidikan antara
lain adalah pemikiran-pemikiran hasil
keputusan dari beberapa konferensi internasional tentang pendidikan, seperti konferensi
Internasional pendidikan yang pernah disponsori oleh UNESCO yang terjadi di Karachi (1960),
Santiago (1962), Addis Ababa (1965), Soul (1966), Vancouver (1967), Dublin (1968) Abidjan
(1969), Sydney (1970), Jamaika (1971), London (1972), Naerobi (1973), Singapura (1974) dan
tempat-tempat lain yang berlangsung kemudian yang pada akhirnya menghasilkan resolusi-resolusi.
Salah satu bunyi resolusi terpenting dari beberapa konferensi tersebut adalah agar di Afrika dan Asia
dilaksanakan adanya pendidikan universal atau yang dikenal dengan istilah pendidikan untuk semua
(education for all). Beberapa konferensi internasional tentang pendidikan yang telah diselenggarakan
tersebut merupakan komitmen dunia internasional terhadap upaya peningkatan mutu dan perluasan
penyelenggaraan pendidikan. Hal ini jelas dapat mempengaruhi potret penyelenggaraan pendidikan
di beberapa negara terutama negara berkembang.

1
0
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.

Bahwa semua bangsa di dunia berusaha meningkatkan mutu pendidikannya menjadi lebih
baik dari waktu ke waktu. Upaya meningkatkan mutu pendidikan oleh semua bangsa di dunia,
termasuk Indonesia, berangkat dari adanya keprihatinan mereka akan mutu pendidikan yang masih
rendah. Untuk itu, I.L. Kandel merekomendasikan perlunya perhatian dari pelaku pendidikan
terhadap hal-hal yang kelihatannya tidak tampak (intangible) akan tetapi memiliki pengaruh terhadap
penyelenggaraan pendidikan dalam rangka membangun pendidikan yang lebih baik.
Ideologi sebagai salah satu faktor intangible memiliki pengaruh luar biasa dalam
penyelenggaraan pendidikan di suatu bangsa. Melalui ideologi atau cita-cita sosial penyelenggaraan
pendidikan baik yang ada di jalur sekolah maupun luar sekolah ingin dikembangkan dan ditingkatkan
mutunya untuk dapat memainkan peran-peran yang diharap. Baik peran legitimasi ataupun peran
reformasi dari keberadaan lembaga pendidikan.
Faktor intangible lain yang mempengaruhi upaya-upaya penyelenggaraan pendidikan dunia
antara lain adalah pemikiran-pemikiran hasil keputusan dari beberapa Konferensi Internasional
tentang pendidikan yang disponsori UNESCO antara lain yang berlangsung di Karachi (1960),
Santiago (1962), Addis Ababa (1965), Soul (1966), dan tempat lain yang akhirnya menghasilkan
resolusi-resolusi. Salah satu resolusi penting dari Konferensi Internasional tersebut adalah agar di
Afrika dan Asia dilaksanakan program pendidikan untuk semua (education for all).
Pada bagian lain, penyelenggaraan pendidikan tidaklah sui generi, akan tetapi dipengaruhi
oleh banyak hal. Beberapa aspek kehidupan masyarakat di luar pendidikan selalu bersinggungan dan
mempengaruhi pendidikan. Paling tidak ada tiga aspek penting kehidupan masyarakat yang selalu
bersinggungan dengan pendidikan, yaitu aspek sosial, ekonomi, dan politik. Proses hubungan
keterkaitan antara pendidikan dengan masyarakat adalah hubungan interaktif-dialektis.
Banyak teori yang menjelaskan tentang pentingnya pengembangan pendidikan bagi perbaikan
masyarakat. Diantaranya adalah teori sumberdaya manusia (human resources theory) dari Theodore
W. Schultz, teori modernisasi (modernization theory) dari Daniel Lerner, dan teori struktural-
fungsional (structural-functional theory) dari Talcott Parsons (Imam Barnadib, 1987).
Teori Sumberdaya manusia (human resources) menekankan perkembangan masyarakat
berlandaskan pada investasi manusia (human investment) sehingga pendidikan memegang peranan
sangat penting dalam rangka pembangunan masyarakat. Teori modernisasi (modernization theory)
menekankan pada peningkatan mutu sumberdaya manusia serta infrastruktur sosial menuju yang
lebih modern. Antara lain adalah lembaga-lembaga sosial, alat-alat komunikasi, termasuk juga
lembaga pendidikan. Teori Struktural-fungsional (structural-functional theory) mengajarkan bahwa
masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang mempunyai tempat dalam struktur dengan
fungsi masing-masing dan saling berhubungan secara harmonis satu sama lain. Masyarakat akan
berkembang manakala kelompok-kelompok tersebut ditingkatkan kedudukannya menurut struktur,
peran, dan fungsi masing-masing secara harmonis pula, sehingga terwujud keadaan yang disebut
‘social disorder’.
Teori lain dari ketiga teori di atas adalah teori mobilitas isi, alokasi, dan legitimasi (Imam
Barnadib, 1987). Teori mobilitas isi menjelaskan bahwa bila semua anak mengalami dan menikmati
pendidikan yang teratur dan mempunyai sejumlah
1
1
pengetahuan dan kecakapan lewat pendidikan, maka kemajuan masyarakat akan terangkat. Teori
alokasi menyebutkan bahwa pendidikan lebih berfungsi sebagai pemilih, penyortir, dan penjatah dari
pada hanya sebagai lembaga sosialisasi. Sedang teori legitimasi berpendaoat bahwa pendidikan itu
sesungguhnya terbangun (constructed) secara sosial yang mencerminkan berbagai keadaan sosial
(social setting), sehingga sekolah bukan hanya menjadi wahana sosialisasi tetapi juga mampu
mempengaruhi terjadinya perubahan atau peningkatan kualitas kehidupan dalam masyarakat.

1
2
DAFTAR PUSTAKA

Fagerlind, Ingemar and Saha, Lawrence J. 1983. Education and National Development: A
Comparative Perspective. Oxford: Pergamon Press.
Fasil Jalal dan Dedi Supriyadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.
Penerbit kerjasama: Bappenas, Depdiknas, dan Adicita Yogyakarta.
Imam Barnadib. 1994. Pendidikan Perbandingan: Buku-1 Dasar-Dasar. Yogyakarta: Andi Offset.
Imam Barnadib. 1987. Pendidikan Perbandingan Buku Dua: Persekolahan dan Perkembangan
Masyarakat. Yogyakarta: Andi Offset.
Harrison. 1992. Who Prospers? How Culture Values Shape Economic and Political Success. New
York: Basic William F. O’Neil. 2001.
William F. O’Neil. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Edward Stevens dan George H. Wood. 1987. Justice, Ideology, and Education: An Introduction to
the Social Foundations of Education. New York: Random House

1
3

Anda mungkin juga menyukai