BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber utama ajaran Agama Hindu adalah Veda. Veda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang di
dalam Bahasa Sanskerta disebut Úruti, artinya yang terdengar atau yang didengarkan oleh orang-
orang suci, yakni para mahàrûi. Úruti disebut juga “Sabda-Brahman”, yakni wacana Tuhan Yang Maha
Esa, oleh karena itu disebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (Divine Origin). Para mahàrûi
memperoleh wahyu tersebut, oleh karena itu para mahàrûi disebut “Mantradraûþaá” (yang memperoleh
wahyu berupa mantra Veda) dan bukan “Mantrakartaá” (yang membuat atau mengarang mantra Veda).
Di samping Veda sebagai sumber tertinggi ajaran Agama Hindu terdapat juga sumber-sumber lainnya
yang disebut susastra Hindu.
Dapat pula ditambahkan bahwa kitab-kitab Tattva di Bali sebenarnya merupakan kajian dari teologi
Hindu atau Brahmavidyà, khususnya kitab-kitab Úaiva Siddhànta yang cukup banyak jumlahnya. Kitab-
kitab ini merupakan rujukan utama pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali yang berpadu dengan
unsur-unsur sekta yang lain dan dikembangkan dalam wadah budaya Bali.
Pada mulanya teologi merupakan istilah yang digunakan oleh para pemikir Kristen untuk menunjukkan
suatu disiplin ilmu yang membahas hal Tuhan dan Ketuhanan. Terminologi teologi telah menjadi disiplin
ilmu yang diakui oleh para pakar atau ilmuwan dan secara aksiologis atau manfaat dalam
penerapannya telah meluas ke seluruh dunia. Disiplin ilmu teolgi menjadi demikian sangat berarti,
karena kebeadaannya telah memenuhi tiga persyaratan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, yakni: (1)
syarat ontologis atau objeknya jelas, (2) syarat epistemologis (procedure), dan (3) syarat aksiologis
(makna atau manfaat). Karena keabsahan dan keakuratan dari disiplin ilmu teologi tersebut, maka
epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan, rujukan dalam berteologi dari semua agama tanpa
menyadari bahwa terminologi teologi setiap agama tidak persis sama (Donder, 2006:15).
Bila memperhatian uraian di atas, maka brahmavidyà di dalamnya sudah mencakup pengertian teologi
yang sangat luas dan dalam, dalam susastra Hindu berbagai atribut penggambaran Tuhan Yang Maha
Esa tampak dalam dua pandangan yang berbeda, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi
(Personal God) dan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak berpribadi (Impersonal God). Untuk kepentingan
bhakti (devotion) Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi menjadi objek pemujaan umat Hindu
umumnya.
Singkatnya, meskipun batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah,
namun bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalin dengan cara seperti yang telah
disampaikan yaitu kaitannya dengan model-model pengetahuan barat dan dengan suatu model agama
general.
Tradisi cenderung beragam berdasarkan inti doktrin yang lebih kurang bersifat “terben” (given, bahasa
Bali muleketo), dan semua agama memiliki doktrin yang sifatnya seperti ini. Standar kualitas konseptual
tradisi Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter bagi Hindu
way of life.
1) Konsep Hindu berpusat pada gagasan tentang Brahman sebagai realitas ultimate di balik alam,
2) Àtmà sebagai diri inner dalam manusia,
3) Karma manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus,
4) Penyelamatan sebagai pelepasan diri dari kelahiran kembali,
5) Cara-cara penyadaran inner (jñàna), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah kuasa
Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai manifestasi-Nya seperti Śiva, Viûóu, Devì,
dan dua inkarnasi dari Viûóu (avatàra) yakni Ràma dan Kåûóa.
John Hick menguraikan bahwa ada tiga sikap teologis pokok yang dapat diterapkan tradisi keagamaan
terhadap wilayah keagamaan yang lebih luas: (1) Eksklusivisme, suatu pendapat bahwa satu-satunya
posisi yang benar adalah posisi keagamaannya sendiri, (2) Inklusivisme, suatu pandangan bahwa
tradisi keagamaan !ain juga memuat kebenaan religius tetapi di hari akhir akan dimasukkan ke dalam
posisi yang mereka miliki, (3) Pluralisme, pendapat bahwa tradisi-tradisi keagamaan
mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi respon
terhadapnya, dari sana muncul jalan kultur yang berbeda-beda bagi manusia. Tiga sikap teologis itu
beranggapan bahwa seseorang mencari dengan berangkat dari suatu sistem teologis partikular dan
berdasar pada sistem lainnya sebagai entitas yang terpisah. Sikap-sikap ini mengasumsikan nahwa
teologi berarti teologi partikular dari suatu tradisi keagamaan partikular.
Agama Hindu sejak diturunkannya kitab suci Veda sudah mengamanatkan umatnya untuk
mengembangkan sikap inklusivisme dan pluralisme artinya mengakui ada kebenaran pada tradisi
keagamaan lain serta adanya beragam konsepsi yang sejati (the real) dan memberi respon
terhadapnya, seperti tampak dalam perkembangan agama Hindu di Bali, kepercayaan kepada roh suci
leluhur masih mendapatkan tempat yang semestinya.
BAB IV KESIMPULAN
Ilmu Ketuhanan dalam agama Hindu diberi bermacam macam istilah, salah satuanya yaitu “Brahma
Vidya”. Brahma Vidya merupakan salah satu dari ajaran agama Hindu yang membahas mengenai
teologi Hindu. Didalam ajaran Brahma Vidya tidak saja membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa,
Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur, tetapi juga membahas ciptaan-Nya.