Anda di halaman 1dari 9

PENALARAN DEDUKTIF DAN INDUKTIF SISWA DALAM

PEMECAHAN MASALAH TRIGONOMETRI DITINJAU DARI


TINGKAT IQ

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penalaran deduktif dan atau induktif
siswa dalam pemecahan masalah trigonometri ditinjau dari tingkat IQ. Penelitian
ini merupakan penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Subjek
penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI IPA sebanyak 3 siswa dengan tingkat IQ
yang berbeda, yaitu normal, superior, dan very superior. Selanjutnya untuk menguji
kevalidan data yang diperoleh, digunakan triangulasi waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) siswa yang mempunyai IQ normal dalam
memahami masalah menggunakan penalaran induktif. Dalam merencanakan
penyelesaian menggunakan penalaran deduktif dan induktif. Dalam melaksanakan
rencana penyelesaian dan memeriksa kembali penyelesaian menggunakan penalaran
deduktif dan induktif, (2) siswa yang mempunyai IQ superior dalam memahami
masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan penyelesaian, dan memeriksa
kembali penyelesaian menggunkan penalaran deduktif dan induktif, dan (3) siswa
yang mempunyai IQ very superior dalam memahami masalah menggunakan
penalaran deduktif dan induktif. Dalam merencanakan penyelesaian, melaksanakan
rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali penyelesaian menggunakan
penalaran deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka terdapat perbedaan dalam penggunaan
penalaran deduktif dan atau induktif siswa dalam memecahkan masalah
trigonometri. Siswa yang mempunyai IQ normal masih menggunakan penalaran
induktif dalam memecahkan masalah trigonometri, siswa yang mempunyai IQ
superior menggunakan penalaran deduktif dan induktif dalam memecahkan masalah
trigonometri, sedangkan siswa yang mempunyai IQ very superior menggunakan
penalaran deduktif dalam memecahkan masalah trigonometri.
Kata kunci:

Maria Theresia Nike K PENDAHULUAN


Guru Matematika SMAK Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan
Santa Maria Surabaya menemui berbagai masalah yang semakin hari
email: semakin kompleks seiring dengan bertambahnya usia
nike_ningrum@yahoo.co.id dan tanggungjawab. Setiap manusia mempunyai cara
yang berbeda-beda dalam menyikapi masalah
tersebut.
Untuk mengatasi masalah, orang harus belajar
bagaimana menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
National Council of Supervisors of Mathematics (NCTM:
2000) menyatakan bahwa ―belajar menyelesaikan
masalah merupakan alasan utama dalam belajar
matematika‖.
Untuk menentukan pemecahan mana yang membawa
pada tujuan yang diinginkan, membutuhkan
penalaran matematika yang baik. Permendiknas

Maria Theresia Nike K: Penalaran Deduktif dan Induktif | 67


Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 68

Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran menyatakan bahwa tujuan
pembelajaran matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Menurut Santrock (2010) penalaran (reasoning) adalah pemikiran logis yang
menggunakan logika induksi dan deduksi untuk menghasilkan kesimpulan. Ada
beberapa tipe dalam penalaran matematika, dua di antaranya yaitu penalaran deduktif
dan induktif. Penalaran deduktif adalah suatu proses penarikan kesimpulan dari hal-
hal yang umum ke hal-hal yang khusus. Sedang penalaran induktif adalah suatu
proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum
berdasar hal-hal khusus yang telah diketahui benar.
Matematika sebagai ilmu memiliki pola pikir yang berbeda dengan matematika
sekolah. Matematika sebagai ilmu berpola pikir deduktif. Hal ini berarti bahwa sifat
atau teorema yang ditemukan secara induktif ataupun empirik harus kemudian
dibuktikan kebenarannya dengan langkah-langkah deduktif. Sedangkan pada
matematika sekolah, meskipun pada akhirnya diharapkan siswa mampu berpikir
deduktif, namun dalam proses pembelajarannya dapat menggunakan pola pikir
induktif dengan maksud untuk menyesuaikan dengan tahap perkembangan
intelektual siswa (Soedjadi: 2000). Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa para guru dalam memberikan latihan soal pemecahan masalah trigonometri
hanya menggunakan penalaran deduktif.
Menurut para ahli psikologi, kemampuan untuk pemecahan masalah, penalaran dan
kemampuan berpikir abstrak biasanya dikaitkan dengan intelegensi orang yang
bersangkutan. Soemanto (2006) menyatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan
―problem solving‖ dalam segala situasi yang baru atau yang mengandung masalah.
Thurstone (dalam Suryabrata, 2004) berpendapat bahwa pada intelegensi seseorang
terdapat faktor penalaran atau reasoning, yaitu faktor yang mendasari kecakapan untuk
berpikir logis.
Menurut ilmu psikologi, kecerdasan seseorang berbeda, dapat diukur dan ditetapkan
kategorinya. Seperti yang diungkapkan oleh Soemanto (2006), cara menentukan
tingkat dan kategori dari intelegensi seseorang, secara luas menggunakan tes
intelegensi Binet. Tes Intelegensi Binet menggunakan pedoman perbandingan tetap
antara umur mental seseorang (MA, mental age) dengan umur kronologis (CA,
chronological age) dikalikan dengan 100. Rasio ini dapat dinyatakan secara matematiks
menjadi IQ = (MA/CA)(100). Umur mental adalah tingkatan rata-rata intelegensi
pada usia tertentu, sedangkan usia kronologis adalah usia yang bersangkutan sesuai
tanggal kelahiran.
Selanjutnya Soemanto (2006) menuliskan bahwa salah satu ahli psikologi yang telah
menemukan klasifikasi tingkatan Intelligence Quotient (IQ) adalah Woodworth dan
Marquis (dalam Soemanto, 2006) mengemukakan bahwa ada 9 klasifikasi tingkatan
IQ seseorang, mulai dari yang terendah yang disebut dengan idiot sampai yang
tertinggi yang biasa disebut genius (luar biasa). Klasifikasi tingkatan IQ selengkapnya
terdapat pada tabel berikut:
Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 69

Tabel 1
Klasifikasi Kecerdasan berdasarkan Skor IQ

Skor IQ Klasifikasi
140-ke atas Genius (luar biasa)
120-139 Very Superior (amat cerdas)
110-119 Superior (cerdas)
90-109 Normal (average)
80-89 Dull (bodoh)
70-79 Border line (batas potensi)
50-69 Morrons (debiel)
30-49 Embicile (embisil)
Di bawah 30 Idiot
Klasifikasi IQ tersebut menunjukkan bahwa IQ setiap orang berbeda dan
berdasarkan pendapat Thurstone (dalam Suryabrata, 2004) bahwa pada intelegensi
seseorang terdapat faktor penalaran, maka perbedaan IQ akan memberikan penalaran
yang berbeda pula.
Berdasar uraian di atas, peneliti melakukan penelitian dengan judul: Penalaran
Deduktif dan atau Induktif Siswa SMA dalam Pemecahan Masalah Trigonometri
Ditinjau dari Tingkat IQ.

Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: (1) nagaimanakah penalaran deduktif dan atau induktif siswa SMA
yang mempunyai IQ very superior (amat cerdas) dalam memecahkan masalah
trigonometri? (2) bagaimanakah penalaran deduktif dan atau induktif siswa SMA yang
mempunyai IQ superior (cerdas) dalam memecahkan masalah trigonometri? (3)
bagaimanakah penalaran deduktif dan atau induktif siswa SMA yang mempunyai IQ
normal (average) dalam memecahkan masalah trigonometri?

Penalaran
Di dalam kamus besar Indonesia (Depdikbud: 1990) dituliskan bahwa nalar
merupakan pertimbangan tentang baik dan buruk; aktivitas yang memungkinkan
seseorang berpikir logis. Penalaran terjemahan dari reasoning. Santrock (2004)
mengemukakan bahwa penalaran (reasoning) adalah pemikiran logis yang
menggunakan logika induksi dan deduksi untuk menghasilkan simpulan. Pernyataan
serupa dikemukakan oleh Depdiknas (2003) bahwa penalaran adalah suatu kegiatan
berpikir khusus untuk menarik kesimpulan.
Penalaran merupakan suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan
atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada pernyataan yang telah
dibuktikan (diasumsikan) kebenarannya juga dikemukakan oleh Tim PPPG
Matematika (dalam Shadiq:2005). Penalaran matematika sebagai bagian dari berpikir
matematika yang melibatkan pembentukan generalisasi dan menarik kesimpulan yang
valid tentang ide dan bagaimana hal itu terkait.
Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 70

Dengan demikian penalaran adalah suatu kegiatan berpikir logis dengan logika ilmiah
untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang kebenarannya
berdasarkan pada pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan sebelumnya.

Penalaran Deduktif
Sternberg (2006) mengemukakan bahwa penalaran deduktif adalah proses penalaran
dari satu atau lebih pernyataan umum terkait dengan apa yang diketahui untuk
mencapai satu kesimpulan logis tertentu. Sumaryono (1999) menyebutkan bahwa
penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan yang bertolak dari hal-hal yang
bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Pendapat di atas sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Tim PPPG (dalam Shadiq: 2004) bahwa penalaran deduktif
adalah penarikan kesimpulan yang prosesnya melibatkan teori atau rumus matematika
lainnya yang sebelumnya sudah dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan penjelasan dari Tim PPPG, penalaran deduktif adalah suatu proses atau
suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru
dengan menggunakan atau melibatkan teori maupun rumus matematika sebelumnya
yang sudah dibuktikan kebenarannya.

Penalaran Induktif
Penalaran induktif adalah proses penalaran dari fakta-fakta atau observasi-observasi
spesifik untuk mencapai kesimpulan yang dapat menjelaskan fakta-fakta tersebut
secara koheren (Sternberg: 2006). Penarikan kesimpulan yang bertolak dari hal-hal
yang khusus atau spesifik ke hal-hal yang bersifat umum juga dikemukakan oleh
Sumaryono (1999) dan Santrock (2004). Demikian juga dengan Tim PPPG (dalam
Shadiq : 2004) mengemukakan bahwa penalaran induktif merupakan suatu kegiatan,
suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat
suatu pernyataan baru yang bersifat umum berdasar pada beberapa pernyataan
khusus yang diketahui benar.
Dengan demikian penalaran induktif diartikan sebagai suatu proses atau aktivitas
berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang
bersifat umum berdasarkan pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar.

Pemecahan Masalah Trigonometri


Pemecahan masalah trigonometri adalah suatu prosedur atau cara yang digunakan
dalam menyelesaikan masalah trigonomteri, yang meliputi rumus jumlah dan selisih
dua sudut, karena menurut Budiarto (2004) rumus-rumus (2), (3), dan (4) merupakan
pengembangan dari rumus (1).

Intelegence Quotient
Walgito (1980) menyatakan bahwa perkataan intelegensi dari kata Latin intelligere yang
berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan lain (to
organize, to relate, to bind together). Menurut Sterberg (2006), intelegensi adalah
kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan untuk beradaptasi
dengan lingkungan. Thorndike (dalam Walgito:1980) mengemukakan bahwa
“Intelegence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point
of truth or fact”. Orang dianggap intelegen apabila resposnya merupakan respons yang
baik atau sesuai terhadap stimulus yang diterimanya.
Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 71

Dengan demikian intelegensi adalah kemampuan berpikir seseorang atau kemampuan


untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Tes Intelegensi dan Tingkat Intelegensi


Upaya untuk mengetahui tingkat kecerdasan telah dilakukan oleh para ahli psikologi,
antara lain pada tahun 1905, seorang Perancis bernama Alfred Binet mengembangkan
tes intelegensi yang digunakan secara luas untuk mengukur kecerdasan seseorang,
yang disebut dengan tes IQ (Mulyasa: 2004). Suryabrata (2006) menyatakan bahwa
Tes Binet-Simon memperhitungkan dua hal, yaitu umur kronologis (chronological age
yang disingkat dengan C.A) dan umur kecerdasan atau umur mental atau umur
inteligensi (mental age yang disingkat dengan M.A).
Untuk menghitung tingkat kecerdasan sesorang menggunakan perbandingan tetap,
yaitu perbandingan antara umur mental dengan umur kronologis. Secara matematis,
perhitungan tersebut dapat ditulis:
MA
IQ  x 100
CA
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, IQ (Intelligence Quotient) merupakan hasil tes yang
berupa skor yang menggambarkan kecerdasan seseorang. Soemanto (2006)
menjelaskan mengenai klasifikasi kecerdasan seseorang berdasarkan skor IQ-nya.
Tabel 2
Klasifikasi Kecerdasan Berdasarkan IQ

Skor IQ Klasifikasi
140-ke atas Genius (luar biasa)
120-139 Very superior (amat cerdas)
110-119 Superior (cerdas)
90-109 Normal (average)
80-89 Dull (bodoh)
70-79 Border line (batas potensi)
50-69 Morrons (debiel)
30-49 Embicile (embisiel)
Di bawah 30 Idiot
Thurstone (dalam Sternberg, 2008) menyimpulkan bahwa inti inteligensi terletak
dalam tujuh faktor yang dikenal dengan kemampuan mental primer. Salah satu
kemampuan mental primer adalah penalaran induktif. Thurstone dan Gardner (dalam
Suryabrata, 2004) juga menyatakan bahwa pada intelegensi seseorang terdapat faktor
penalaran atau reasoning, yaitu faktor yang mendasari kecakapan untuk berpikir logis.
Selain Thurstone (dalam Sternberg: 2008) juga menyakini multi-kemampuan yang
membentuk inteligensi, salah satunya adalah kecerdasan logis matematis yang
mencerminkan jenis intelegensi untuk memecahkan masalah/persoalan matematika,
menyelesaikan pembuktian matematis, dan penalaran logis. Berdasarkan pendapat
Thurstone dan Gardner, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara IQ, pemecahan masalah dan penalaran.
Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 72

Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang penalaran deduktif dan atau
induktif dalam pemecahan masalah trigonometri dari subyek penelitian ditinjau dari
tingkatan IQ. Karena dalam penelitian ini disimpulkan secara kualitatif mengenai
penalaran deduktif dan atau induktif siswa dalam pemecahan masalah trigonometri
ditinjau dari tingkat IQ, maka penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan
pendekatan kualitatif.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI jurusan IPA dengan tingkat IQ yang
berbeda-beda, yaitu kategori siswa dengan tingkat IQ very superior, kategori siswa
dengan tingkat IQ superior, kategori siswa dengan tingkat IQ normal.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu tes tulis dan
wawancara. Tes tulis yang digunakan adalah tes pemecahan masalah trigonometri
yang berkaitan dengan rumus trigonometri untuk jumlah dan selisih dua sudut yang
telah dipelajari oleh siswa kelas XI IPA SMA. Sedangkan wawancara yang digunakan
adalah wawancara semiterstruktur.
Dalam penelitian ini, menggunakan triangulasi waktu, yang berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu yang berbeda.
Teknik analisis datanya menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif
dilakukan dalam suatu proses, berarti analisis data sudah dapat dilakukan sejak
pengumpulan data di lapangan dan berakhir pada waktu penyusunan laporan
penelitian. Analisis data dalam penelitian ini merujuk dari pendapat Miles dan
Huberman (dalam Sugiyono, 2008) yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Prosedur penelitian prosedur yang ditempuh peneliti ini meliputi: (1) tahap persiapan.
Tahap persiapan meliputi menyusun dan menyempurnakan proposal dan menyusun
instrumen pendukung, (2) penentuan subjek penelitian. Setelah diperoleh subjek,
peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tentang kesiapan waktunya, (3)
pengumpulan data. Untuk mendapatkan data yang digunakan dalam mengetahui
penalaran deduktif dan induktif dalam pemecahan masalah trigonometri, langkah-
langkah yang dilakukan adalah pemberian tes pemecahan masalah trigonometri untuk
menentukan penalaran deduktif dan induktif siswa dalam pemecahan masalah
trigonometri dan wawancara. Wawancara yang dilakukan meliputi wawancara
klarifikasi atas jawaban siswa pada tes pemecahan masalah trigonometri yang telah
dikerjakan siswa dan wawancara konfirmasi untuk menggali data yang tidak
terungkap dari hasil jawaban tertulis siswa, (4) analisis data, dan (4) menyusun laporan
penelitian.

BAHASAN UTAMA
Berdasarkan analisa data dan penyimpulan data, diperoleh data sebagai berikut:
Dalam memecahkan soal nomor 1, baik siswa dengan kategori kecerdasan normal
maupun superior menggunakan cara mengganti variabel dengan besar sudut
sembarang atau dengan menggunakan hal-hal yang khusus dalam menyelesaikan soal
pemecahan masalah trigonometri sehingga solusi yang diperoleh belum dapat
Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 73

dikatakan benar. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan kategori kecerdasan
normal dan superior menggunakan penalaran induktif.
Siswa dengan kategori kecerdasan very superior menyelesaikan soal pemecahan masalah
trigonometri dengan menggunakan rumus atau teori yang telah dipelajari sebelumnya
sehingga diperoleh solusi yang benar. Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa dengan
kategori kecerdasan very superior menggunakan penalaran deduktif.
Siswa dengan kategori kecerdasan normal memahami sebagian hal-hal yang diketahui
dalam soal namun belum dapat mengaitkan dengan hal-hal lain yang diperlukan
dalam menyelesaikan soal pemecahan trigonometri. Hal ini menunjukkan bahwa
siswa dengan kategori kecerdasan normal kurang baik dalam merespon soal yang
diterimanya.
Dalam memecahkan masalah trigonometri, semua tingkatan IQ pada umumnya
menggunakan penalaran deduktif saja atau penalaran induktif saja.

PENUTUP
Berdasarkan analisis data dan hasil penelitian, diperoleh simpulan sebagai berikut:
Dalam memahami masalah, siswa yang mempunyai IQ normal menggunakan
penalaran induktif berdasarkan pengamatan, yaitu nilai yang sudah diketahui dan yang
belum diketahui dari masalah trigonometri yang diberikan. Dalam merencanakan
penyelesaian, siswa menggunakan penalaran induktif dengan cara pemisalan dan
penalaran deduktif dengan cara menggunakan rumus atau sifat matematika. Dalam
melaksanakan rencana penyelesaian, siswa menggunakan penalaran deduktif dan
induktif. Penalaran induktif digunakan dengan cara memisalkan dan penalaran
deduktif digunakan dengan cara menggunakan rumus atau sifat matematika yang
telah dipelajari. Dalam memeriksa kembali penyelesaian, siswa menggunakan
penalaran deduktif dengan cara menggunakan rumus atau sifat matematika yang
berbeda dari yang digunakan sebelumnya tetapi sudah dipelajari sebelumnya.
Dalam memahami masalah, siswa yang mempunyai IQ superior meggunakan
penalaran deduktif berdasarkan teori dan menggunakan penalaran induktif
berdasarkan pengamatan masalah trigonometri yang diperoleh, yaitu nilai yang sudah
diketahui dan yang belum diketahui. Dalam merencanakan penyelesaian, siswa
menggunakan penalaran induktif dengan strategi yang digunakan untuk memecahkan
masalah adalah pemisalan dan menggunakan penalaran deduktif berdasarkan rumus
atau sifat matematika yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam melaksanakan rencana
penyelesaian, siswa menggunakan penalaran deduktif dan induktif. Penalaran induktif
digunakan dengan cara memisalkan dan penalaran deduktif digunakan dengan cara
menggunakan rumus atau sifat matematika. Dalam memeriksa kembali penyelesaian,
siswa menggunakan penalaran deduktif dan induktif, karena siswa menggunakan
pemisalan terlebih dahulu dan kemudian disubstitusikan ke rumus atau sifat
matematika.
Dalam memahami masalah, siswa yang mempunyai IQ very superior menggunakan
penalaran deduktif dan penalaran induktif berdasarkan pengamatan terhadap nilai
yang sudah diketahui dan nilai yang belum diketahui dari masalah trigonometri.
Dalam merencanakan penyelesaian, siswa menggunakan penalaran deduktif
berdasarkan rumus atau sifat matematika yang akan digunakan dalam menyelesaikan
masalah trigonometri. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, siswa
Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 74

menggunakan penalaran deduktif berdasarkan rumus atau sifat matematika yang telah
dipelajari sebelumnya. Dalam memeriksa kembali penyelesaian, siswa menggunakan
penalaran deduktif, karena siswa menggunakan rumus atau sifat matematika.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Lentera Cendika.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006. Standar Isi. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Matematika
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Balitbang.
________. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka.
Hudoyo, Herman. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan Implementasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: Key Curriculum
Press.
Wilson, Patricia S. 1993. Research Ideas for the Classroom High School Mathematics. New
York: Macmillan Publishing Company.
Polya, G. 1973. How to Solve It. New Jersey: Princeton University.
Rohmad. 2008. Penggunaan Pola Pikir deduktif dan Induktif dalam Pembelajaran Matematika
Beracuan Konstruktivisme. Online (file:///F:/KULIAH/penggunaan-pola-pikir-
induktif-deduktif.html, diakses 5 Mei 2012, pukul 21.08 WIB).
Santrock, John W. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. Yogyakarta:
Widyaiswara PPPG Matematika.
Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sternberg, Robert J. 2006. Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan dengan Pendekatan Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sumaryono, E. 1999. Dasar-dasar Logika. Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PR
Remaja Rosdakarya.
Teguh B., Mega. 2004. Trigonometri. Departemen Pendidikan Nasional. Online
(http://rasyid14.files.wordpress.com/2008/09/trigonometri1.pdf, diakses 3
Maret 2012).
Jurnal APOTEMA, Vol. 1, No. 2, Juni 2015 | 75

Tim. 1995. Matematika SMU 2A untuk Kelas 2 Tengah Tahun Pertama. Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri.
Walgito, Bimo. 1980. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
Lee Peng Yee. 2008. Teaching Secondary School Mathematics. Singapore: McGraw-Hill
Education.

Anda mungkin juga menyukai