Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN MATEMATIKA

HIGHER ORDER THINKING SKILLS (HOTS) DALAM PEMBELAJARAN


MATEMATIKA

Disusun oleh:
Tika Ulfa Mayu NIM. 19709251006
Hanif Fauziyatun NIM. 19709251013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang perlu mendapatkan
perhatian khusus di Indonesia. Matematika dikenal sebagai ilmu dasar yang
melatih peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis, logis, analitis, dan
sistematis yang semuanya merupakan kemampuan higher order thinking. Higher
Order Thinking Skill (HOTS) merupakan keterampilan berpikir yang erat
kaitannya dengan mata pelajaran matematika dan telah menjadi salah satu
prioritas dalam pembelajaran matematika sekolah.
HOTS dalam pembelajaran matematika sangat penting, sebagaimana
ditegaskan dalam BSNP (2006, p.139) bahwa mata pelajaran matematika
diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali mereka dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerja sama. HOTS sangat diperlukan peserta didik karena
permasalahan dalam kehidupan sesungguhnya (real life problems) yang bersifat
kompleks, tidak terstruktur, rumit, baru, dan memerlukan keterampilan berpikir
yang lebih dari sekedar mengaplikasikan apa yang telah dipelajari. Peserta didik
hendaknya kreatif dalam menciptakan penyelesaian dari persoalan yang akan
dihadapi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa HOTS peserta didik secara
umum masih berada dalam taraf yang rendah. Berdasarkan hasil TIMSS (Trends
in International Mathematics and Science Study) 2011 dan PISA (Program for
International Student Assessment) 2009 memperlihatkan bahwa Indonesia berada
pada peringkat bawah dari 65 negara, dengan kelemahan pada (1) memahami
informasi yang komplek, (2) teori analisis dan pemecahan masalah, (3)
pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi
(Winataputra, 2013, p.6). Selain itu, berdasarkan data Puspendik mengenai
laporan Ujian Nasional 2019 pada mata pelajaran matematika tingkat SMA/MA,
persentase peserta didik yang menjawab benar paling rendah yaitu pada
indikator menyelesaikan masalah non-rutin. Persentase untuk indikator tersebut
yaitu 3,85%.
Rendahnya kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik di Indonesia
diperkuat oleh hasil preliminary study yang dilakukan oleh Arifin Riandi dan
Heri Retnawati (2014) pada dua SMP Negeri di kabupaten Hulu Sungai Selatan,
yaitu SMP Negeri 1 Daha Utara dan SMP Negeri 2 Daha Utara. Berdasarkan
hasil pemberian soal HOTS menunjukkan bahwa keterampilan berpikir tingkat
tinggi peserta didik kelas VIII pada dua sekolah yang berjumlah 97 orang tersebut
tergolong sangat rendah.
Masalah nonrutin mengarah kepada masalah proses, membutuhkan lebih dari
sekedar menerjemahkan masalah menjadi kalimat matematika dan penggunaan
prosedur yang sudah diketahui. Masalah nonrutin mengharuskan pemecahan
masalah untuk membuat metode pemecahan sendiri sehingga HOTS sangat perlu
dilatih dan ditingkatkan dalam penyelesaian masalah tersebut. Namun, pada
implementasi HOTS disekolah terdapat berbagai kendala dan masalah, baik dari
sisi guru maupun peserta didik. Oleh karena itu, perlu dibahas apa saja masalah
yang terjadi serta apa saja kesulitan yang dihadapi guru dan peserta didik dalam
penerapan HOTS pada pembelajaran matematika di sekolah. Hal ini bertujuan
agar masalah tersebut dapat teratasi sehingga kemampuan berfikir tingkat tinggi
peserta didik meningkat.

B. PEMBAHASAN
1. Higher Order Thinking Skills (HOTS)
Higher Order Thinking Skills bisa diartikan sebagai kemampuan berpikir
tingkat tinggi. HOTS awalnya dikenal dari konsep Benjamin S. Bloom dkk
dalam buku berjudul Taxonomi of Educational Objectives: The Classification
of Educational Goals pada tahun 1956 atau yang lebih dikenal dengan
sebutan taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom adalah struktur hierarkhi yang
mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi.
Tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah harus
dipenuhi lebih dulu. Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan ini oleh
Bloom dibagi menjadi tiga domain/ranah kemampuan intelektual
(intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam ranah
kognitif, kerangka pikir karya Benjamin Bloom dkk. berisikan enam kategori
pokok dengan urutan mulai dari jenjang yang rendah sampai dengan jenjang
yang paling tinggi, yakni: pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman
(comprehension); (3) penerapan (application); (4) analisis (analysis); (5)
sintesis (synthesis); dan (6) evaluasi (evaluation). Namun, kerangka berfikir
ini kemudian direvisi oleh Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl.
(2001:66-88) menjadi mengingat (remember), memahami/mengerti
(understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi
(evaluate), dan menciptakan (create).
Tiga level pertama (terbawah) merupakan Lower Order Thinking Skills,
sedangkan tiga level berikutnya Higher Order Thinking Skill. Sehingga
kemampuan analisis, evaluasi, dan menciptakan merupakan dasar dari
Higher Order Thinking Skills (HOTS). Menurut Krathwohl (2002) dalam A
revision of Bloom’s Taxonomy, menyatakan bahwa indikator untuk
mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi menganalisis (C4)
yaitu kemampuan memisahkan konsep ke dalam beberapa komponen dan
menghubungkan satu sama lain untuk memperoleh pemahaman atas konsep
secara utuh, mengevaluasi (C5) yaitu kemampua menetapkan derajat sesuatu
berdasarkan norma, kriteria atau patokan tertentu, dan mencipta (C6) yaitu
kemampuan memadukan unsur-unsur menjadi sesuatu bentuk baru yang utuh
dan luas, atau membuat sesuatu yang orisinil.

2. Masalah HOTS dalam Pembelajaran Matematika


Pada pembelajaran matematika di sekolah, beberapa guru telah
menerapkan soal-soal dengan tipe HOTS. Namun, dalam praktiknya, masih
ada beberapa peserta didik yang belum mampu menyelesaikan soal dengan
tipe HOTS.
Berdasarkan klasifikasi yang diungkapkan oleh Newman (1977),
ditemukan total 1200 kesalahan dalam menyelesaikan masalah yang
mengandung HOTS. Dari total kesalahan tersebut, ditemukan 251 kesalahan
disebabkan oleh faktor kemahiran, dan 949 kesalahan disebabkakn oleh
faktor proses matematika (transformasi, kemampuan proses dan encoding).
Hasil dari penelitian ini didukung oleh penelitian Singh et al (Singh et al.,
2010) dan Ellerton dan Clements (1996) yang menemukan bahwa kesalahan
yang disebabkan oleh kemahiran bahasa hanya sedikit dan kesalahan lebih
banyak ditemukan pada proses matematika ketika menyelesaikan ujian.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Samsul Hadi, dkk (Hadi et al.,
2018), ia mengungkapkan beberapa kesulitan yang dialami oleh peserta didik
SMA dalam menyelesaikan masalah HOTS, antara lain :
a. Keterampilan proses matematika
Kesulitan ini diindikasi oleh kesalahan pada mengimplementasikan
formula, kesalahan dalam perhitungan matematika, dan kesalahan dalam
operasi aljabar.
b. Mentransformasikan masalah
Kesulitan ini dindikasi oleh kesalahan peserta didik dalam
mengembangkan model matematika, menentukan rumus untuk
menyelesaikan masalah, dan kesulitan dalam merencanakan
penyelesaian masalah.
c. Memahami butir soal
Kesulitan ini diindikasi oleh kesalahan peserta didik dalam menentukan
apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam butir soal.
d. Encoding
Hal ini diindikasi oleh kesalahan dalam menginterpretasi hasil yang
diperoleh.
Selanjutnya, Samsul Hadi, dkk (Hadi et al., 2018) juga mengungkapkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan-kesulitan peserta didik tersebut
peserta didik tidak terbiasa dengan tes yang mengkur kemampuan HOTS,
ketekunan peserta didik yang rendah dalam menyelesaikan soal HOTS, dan
ada kecenderungan peserta didik untuk tidak menyukai soal cerita.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Norasiah (2002) dan
Rahim (1997) dalam (Abdullah et al., 2015), peserta didik memiliki masalah
dalam mengubah soal matematika ke dalam bentuk matematika dan mereka
juga memiliki masalah dalam memahami istilah-istilah yang ada dalam
matematika. Kesalahan ini mungkin disebabkan oleh cara mengajar guru
yang masih kurang dalam menekankan pemahaman istilah-istilah dalam
matematika.
Menurut Abdullah, dkk (Abdullah et al., 2015), peserta didik memiliki
masalah dalam mengintepretasi soal matematika, gagal dalam merancang
strategi dan mengembangkan rencana, yang akhirnya menyebabkan
kesalahan dalam memilih operasi yang dibutuhkan dan gagal dalam
menyatakan jawaban. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan pula,
kebanyakan peserta didik tidak dapat menyelesaikan soal dalam bentuk
HOTS, hal ini mungkin disebabkan oleh soal tersebut tidak umum dan jarang
mereka temui dan soal tersebut juga berbeda jika dilihat dari aspek organisasi,
konsentrasi, dan level kesulitannya.
3. Penelitian Terkait Peningkatan Kemampuan HOTS Peserta Didik
Model, metode, dan media pembelajaran yang tepat sangat diperlukan
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Guru dapat menciptakan berbagai
situasi kelas, menentukan metode pengajaran yang akan dipakai untuk
membantu peserta didik dalam meningkatkan berbagai kemampuannya.
Dalam meningkatkan HOTS peserta didik, guru harus memfasilitasi peserta
didik untuk menjadi pemikir dan pemecah masalah yang lebih baik yaitu
dengan cara memberikan suatu masalah yang memungkinkan peserta didik
untuk menggunakan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Masalah yang
dimaksud di sini adalah soal yang dibuat oleh guru, dan peserta didik dapat
menafsirkan solusi dari soal tersebut. Menafsirkan solusi mengandung arti
bahwa peserta didik tidak berhenti menelaah soal hanya karena jawaban
terhadap soal telah ditemukan. Permasalahan atau soal yang dapat digunakan
dalam meningkatkan HOTS peserta didik adalah soal HOTS matematika
yang berkriteria: (1) membutuhkan pemikiran yang kompleks untuk
menyelesaikannya (menuntut peserta didik untuk mengeksplorasi dan
menerapkan konsep-konsep matematika, atau hubungan antar konsep), (2)
menggunakan soal/ masalah non-rutin, yaitu masalah yang menuntut peserta
didik menentukan sendiri strategi penyelesaiannya sebelum mereka
menggunakan berbagai rumus yang telah mereka kuasai dan dapat
diselesaikan dengan berbagai cara penyelesaian atau non-algoritmik (baik
menggunakan solusi unggal maupun banyak solusi-open ended), (3)
menuntut peserta didik untuk menggabungkan fakta dan ide dalam
mensintesis, menggeneralisasi, menjelaskan, melakukan dugaan, dan
membuat kesimpulan atau interpretasi (Ariandari, 2015).
Penelitian Suwarsi, Zaenal Mukti, Ardhi Prabowo (Suwarsi et al., 2018)
yang berjudul Meningkatkan Keterampilan HOTS Peserta didik melalui
Permainan Kartu Soal dalam Pembelajaran PBL, hasil penelitiannya
menunjukkan produk yang dikembangkan efektif meningkatkan
keterampilan HOTS peserta didik. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
penerapan PBL membuat peserta didik lebih kreatif, bertindaksengaja,
berpikir secara rasional dan komunikasi antar peserta didik di kelas secara
efektif. Penelitian Arifin Riadi dan Heri Retnawati (Riadi & Retnawati, 2014)
yang berjudul Pengembangan Perangkat Pembelajaran untuk Meningkatkan
HOTS Pada Kompetensi Bangun Ruang Sisi Datar, menghasilkan perangkat
pembelajaran bangun ruang sisi datar yang terdiri dari silabus, RPP, dan LKS
yang valid, praktis, dan efektif. Hasil uji coba lapangan menunjukkan bahwa
kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol dilihat dari ketercapaian
kompetensi, dan HOTS peserta didik pada kelas eksperimen mencapai
kategori minimal B.
Selanjutnya data hasil penelitian yang dilakukan oleh Ajai et al. (Ajai et
al., 2013) juga menunjukkan bahwa peserta didik yang menggunakan
pembelajaran dengan problem-based learning (PBL) dapat mengatur pikiran
dalam pemecahan masalah dan pemerolehan keterampilan yang praktis
dalam matematika. Barrett (Barrett, 2010), dalam penelitiannya juga
mendapati bahwa dalam pembelajaran PBL peserta didik memiliki peran
lebih baik dalam mentransfer pengetahuan dan menggunakannya dalam
berbagai macam situasi.

C. SIMPULAN
Dalam menyelesaikan soal tipe HOTS, kebanyakan peserta didik megalami
kesulitan dalam mentransformasi soal ke dalam bentuk matematika, pemahaman
butir soal serta memilih rumus atau cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh peserta didik yang tidak terbiasa
menghadapi soal-soal tipe HOTS dan cara mengajar guru yang masih kurang
dalam menekankan pemahaman istilah-istilah dalam matematika.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kemampuan HOTS peserta
didik dapat dilakukan melalui penggunaan metode pembelajaran dan media
pembelajaran yang tepat. Metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah
metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Metode pembelajaran ini
dapat membantu peserta didik mengatur pikiran dalam pemecahan masalah dan
pemerolehan keterampilan yang praktis dalam matematika serta memiliki peran
lebih baik dalam mentransfer pengetahuan dan menggunakannya dalam berbagai
macam situasi. Selain metode pembelajaran, media pembelajaran yang dapat
digunakan adalah Permainan Kartu Soal dalam Pembelajaran PBL serta
perangkat pembelajaran bangun ruang sisi datar yang terdiri dari silabus, RPP,
dan LKS yang valid, praktis, dan efektif.

DAFTAR PUSTAKA
-----------------------------------------------------2019.Laporan Hasil Sekolah Ujian
Nasional SMA/MA tahun pelajaran 2018/2019 Diakses 1 Oktober 2019
(https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id/#2019!sma!daya_serap!99&99&99
9!a&03&T&T&1&!1!&)
Abdullah, A. H., Abidin, N. L. Z., & Ali, M. (2015). Analysis of students’ errors in
solving Higher Order Thinking Skills (HOTS) problems for the topic of fraction.
Asian Social Science, 11(21), 133–142. https://doi.org/10.5539/ass.v11n21p133
Ajai, J. T., Imoko, B. I., & Emmanuel, I. O. (2013). Comparison of the Learning
Effectiveness of Problem-Based Learning ( PBL ) and Conventional Method of
Teaching Algebra ., 4(1), 131–136.
Ariandari, W. P. (2015). Mengintegrasikan Higher Order Thinking dalam
Pembelajaran Creative Problem Solving. Seminar Nasional Matematika Dan
Pendidikan Matematika Uny 2015, 489–496.
Barrett, T. (2010). The problem-based learning process as finding and being in flow.
Innovations in Education and Teaching International, 47(2), 165–174.
https://doi.org/10.1080/14703291003718901
Hadi, S., Retnawati, H., Munadi, S., Apino, E., & Wulandari, N. F. (2018). The
difficulties of high school students in solving higher-order thinking skills
problems. Problems of Education in the 21st Century, 76(4), 520–532.
Riadi, A., & Retnawati, H. (2014). Pengembangan Perangkat Pembelajaran untuk
Meningkatkan HOTS pada Kompetensi Bangun Ruang Sisi Datar Developing
Learning Kit to Improve HOTS for Flat Side of Space Competence, 9, 126–135.
Singh, P., Rahman, A. A., & Hoon, T. S. (2010). The Newman procedure for
analyzing Primary Four pupils errors on written mathematical tasks: A
Malaysian perspective. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 8, 264–271.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2010.12.036
Suwarsi, Mukti, Z., & Prabowo, A. (2018). Meningkatkan Keterampilan HOTS Siswa
melalui Permainan Kartu Soal dalam Pembelajaran PBL. Prisma. Prosiding
Seminar Nasional Matematika, 1, 248–255. Diambil dari
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/prisma/article/view/19612/9514

Anda mungkin juga menyukai