Anda di halaman 1dari 20

KECERDASAN SPIRITUAL

Linus K. Palindangan
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita
Alamat Email: linusxpalindangan@yahoo.com
Abstract: Living a spiritual life is often misunderstood by most people. In fact, every human
being needs to be spiritually intelligent. The purpose of this paper is to provide an insight into
the deeper spiritual intelligence and intact on. The approach used in this study is the research
methods literature. Based on this study it can be concluded that: (1) awareness is is a gateway to
spiritual intelligence, (2) awareness leads to self-awareness and awareness of others that
include: moral awareness, social consciousness and cosmic consciousness, (3) spiritual
intelligence can be trained in a way that is simple and practical
Abstrak: Menjalani hidup secara spiritual sering disalah-pahami oleh kebanyakan orang.
Padahal setiap manusia perlu cerdas secara spiritual. Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan
suatu wawasan tentang kecerdasan spiritual secara lebih mendalam dan utuh. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pustaka. Berdasarkan penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa: (1) kesadaran adalah adalah merupakan pintu gerbang menuju
kecerdasan spiritual, (2) kesadaran mengarah pada kesadaran diri dan kesadaran akan yang lain
yang meliputi: kesadaran moral, kesadaran sosial dan kesadaran kosmis, (3) kecerdasan spiritual
dapat dilatih dengan cara yang sederhana dan praktis
Kata kunci: Kecerdasan, spiritual, kecerdasan spiritual, kesadaran
Pendahuluan
Spiritual merupakan suatu istilah yang kurang begitu menarik bagi banyak individu.
Karena kebanyakan individu menganggap spiritual terlalu abstrak, hanya cocok untuk mereka
yang alim; yang selalu rajin pergi ke rumah ibadah; mereka yang satu kaki sudah menapak di
surga. Padahal sesungguhnya menjadi lebih cerdas secara spiritual adalah kebutuhan dan
kerinduan setiap manusia. Camkanlah baik-baik hal-hal berikut: Adakah orang di kedalaman
hatinya benar-benar tidak mengingingkan kebahagiaan, kebebasan, suka cita, damai sejahtera
dan hidup dipenuhi cinta? Atau Adakah individu yang secara jujur merindukan hidup yang selalu
diliputi rasa sakit hati, kesepian, ketakutan, kecemasan, kekacauan dan pertentangan?
Kerinduan akan hal-hal itulah yang menjadi fokus pembahasan mengenai spiritual. Jika
demikian maka spiritual sesungguhnya merupakan hal yang sangat praktis; sangat konkret dan
merupakan kebutuhan mendasar setiap individu. Tulisan ini disusun dengan tujuan memberikan
wawasan dan pengetahuan tentang apa itu spiritual dan bagaimana mengajari diri sendiri

1
menjalani hidup secara lebih sadar. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian
pustaka.
Tulisan ini disajikan dalam beberapa bagian. Bagian awal adalah pendahuluan, kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan singkat tentang pengertian spiritual. Selanjutnya bagian berikut
berturut-turut membahas tentang spiritual dan agama, kesadaran: pintu gerbang menuju
kecerdasan spiritual, kesadaran terhadap apa saja dan menjadi cerdas secara spiritual. Seluruh
rangkaian tulisan ini diakhiri dengan penutup singkat.

Apa itu spiritual?


Spiritual berasal dari kata spiritus (Bahasa Latin: diturunkan dari akar kata spirare). Kata
spiritus sendiri memiliki banyak arti, seperti: hidup, napas, roh, kesadaran diri, keberanian,
bahkan diartikan juga sebagai Roh Kudus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata spiritual
diartikan sebagai yang bersifat rohani. Sedangkan kata spiritualitas diberi arti kehidupan rohani.
Spiritual merupakan istilah yang relatif agak baru apabila dibandingkan dengan istilah kesalehan
hidup. Spiritual dalam pemakaiannya mengacu pada pengolahan hidup rohani melalui pola hidup
tertentu yang dipraktekkan secara bersama, contohnya adalah cara hidup yang dijalani
Benediktus (555) bersama para pengikutnya. Sementara kesalehan hidup mengacu pada
pengolahan hidup rohani melalui suatu pola hidup tertentu yang dilakukan secara individual,
contohnya adalah Sidharta Gautama dari India (623 SM) yang hidup bertapa di tengah hutan di
India dan Antonius dari Mesir (251) yang hidup bertapa di gua padang gurun di Mesir.
Baik istilah kesalehan maupun spiritual, bukanlah istilah yang begitu populer. Setelah
dikaitkan dengan istilah kecerdasan, kata spiritual kemudian menjadi begitu populer seperti saat
ini. Adalah Danah Zohar dan Ian Marshall yang pertama kalinya mempublikasikan bukunya
dengan judul Spiritual Quotient: Spiritual Intelligence, Ultimate Intelligence, tahun 2000. Sejak
itu pemakaian istilah Spiritual Intelligence atau kecerdasan spiritual semakin sering
didiskusikan. Kecerdasan spiritual dalam tulisan ini secara sederhana didefinisikan sebagai
kepandaian orang menyadari segala-galanya yang terus berubah dalam hidup ini secara utuh dan
menyeluruh, sebagai baik adanya.

2
Spiritual dan agama
Spiritual dan agama umumnya dikaitkan begitu saja. Individu umumnya memahami
bahwa jalan untuk menjadi cerdas secara spiritual tiada lain adalah melalui agama. Bahkan
secara umum diyakini bahwa agama pastilah akan membawa individu menjadi cerdas secara
spiritual. Dan individu yang mengetahui banyak tentang agama (agamanya) biasanya diterima
begitu saja sebagai individu yang cerdas secara spiritual (paling tidak individu yang seagama
dengannya). Sebaliknya individu yang belum tahu banyak tentang agama (agamanya) cenderung
dianggap dan bahkan menganggap diri belum cerdas secara spiritual. Lebih lagi individu yang
mengaku tidak menganut agama, umumnya dianggap begitu saja sebagai tidak cerdas secara
spiritual.
Tentu saja mentalitas seperti itu, patut diteliti, direfleksikan dan dipertanyakan. Apakah
benar spiritual selalu berkaitan dengan agama? Apakah agama pasti akan membawa individu
yang menganutnya menjadi cerdas secara spiritual? Apakah individu yang mengetahui banyak
tentang agamanya pastilah cerdas secara spiritual? Apakah individu yang tidak beragama dengan
sendirinya tidak cerdas secara spiritual? Pertanyaaan-pertanyaan ini akan digunakan untuk
meneliti dan merefleksikan secara lebih mendalam mentalitas yang telah disinggung
sebelumnya.
Sebelum menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan dibahas sedikit tentang
agama yang dimaksudkan dalam tulisan ini. Agama adalah sistem doktrin (dogma dan hukum),
struktur organisasi (vertikal dan horizontal), perilaku etis (terhadap Tuhan dan manusia) dan
tatacara pemujaan (personal dan komunal). Jadi yang terpenting dalam agama ialah kepatuhan
pada sistem doktrin, struktur organisasi, perilaku etis dan tatacara pemujaan seperti yang telah
digariskan oleh pendiri agama (Njiolah, 2002: 8) dan selanjutnya oleh para penggantinya.
Pemahaman tentang agama yang demikian dibedakan pula dari pemahaman tentang iman. Iman
dipahami sebagai tanggapan nyata seluruh pribadi manusia terhadap panggilan Tuhan dan
kepatuhan penuh kepada kehendakNya, bukan kepercayaan akan dogma, ketaatan pada hukum
atau kerajinan dalam ibadat. Jadi yang terpenting dalam iman ialah relasi atau hubungan personal
manusia dengan Tuhan, bukan kebenaran teologis, kesetiaan legalistis atau kesalehan kultis
(Njiolah, 2002: 8).
Selanjutnya adalah penyelidikan terhadap kemampuan spiritual yang ada pada manusia.
Manusia baik secara individual maupun secara kolektif menyadari bahwa ia terdorong untuk

3
mengalami hidup secara lebih utuh, lebih sempurna dan lebih membahagiakan. Manusia tidak
pernah menerima dirinya sebagai sudah sempurna, sudah utuh. Ia mengalami dirinya selalu
ditarik ke atas (baca: yang spiritual) seperti: ke kebahagiaan, kesempurnaan, kebijaksanaan,
keutamaan, kebaikan terus-menerus. Kenyataan ini memberikan kepada kita informasi penting
bahwa secara kodrati manusia sudah dengan sendirinya terbuka pada yang spiritual. Simaklah
apa yang pernah dikatakan oleh Pierre Theilhard De Chardin (1881-1955): Kita bukan manusia
dengan pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami hidup sebagai
manusia.
Dari uraian singkat itu dapatlah dikatakan bahwa dengan agama atau tanpa agama setiap
orang dapat saja mengusahakan untuk cerdas secara spiritual. Sebab adanya manusia itu sudah
terbuka dan terarah pada yang spiritual. Tentu saja dengan adanya agama jalan menuju cerdas
secara spiritual semakin ditegaskan. Bukan itu saja, dengan adanya agama, yang spiritual juga
mendapatkan tujuannya yang terakhir. Maksudnya ialah bahwa dengan dan melalui agama
diketahui dan dikenalilah tujuan terakhir dorongan spiritual itu, yakni Sang Pencipta segalanya.
Individu yang beragama berkeyakinan bahwa Sang Pencipta itu adalah sumber dan sekaligus
tujuan akhir segala sesuatu. Jadi apabila manusia baik secara individual maupun secara kolektif
mengalami dorongan ke yang spiritual, maka dorongan itu tidak lain adalah dorongan yang
memang sesuai dengan tujuan akhirnya sendiri yakni Sang Maha Sumber dan Tujuan segala-
galanya.
Secara primordial dapat dikatakan bahwa manusia dengan sendirinya terarah pada tujuan
adanya atau pada yang spiritual. Artinya setiap orang secara pra refleksi mengalami dorongan ke
arah spiritual. Akan tetapi dorongan itu tidak dengan sendirinya dapat dengan mudah
diidentifikasi sebagai dorongan ke arah spiritual. Permasalahan lainnya ialah kenyataan bahwa
setiap individu mempunyai kuasa atas diri dan hidupnya sendiri. Akibatnya ialah, di satu sisi ia
mengalami dorongan ke arah spiritual, di sisi lain ia juga memiliki kemampuan untuk memilih
mengikuti dorongan itu atau menolaknya. Selain itu manusia juga secara kodrati memiliki
pengenalan, pengetahuan, dan kesadaran akan hal-hal spiritual secara terbatas dan tidak
sempurna. Dalam keadaan seperti itu manusia dapat keliru mengenali, keliru mengetahui dan
keliru memilih. Dapat juga terjadi bahwa seorang individu belum menyadari nilai-nilai spiritual.
Dalam kondisi yang demikian itu setiap individu yang berusaha untuk cerdas secara spiritual
tidak dengan sendirinya dapat menjadi cerdas secara spiritual. Begitu pula halnya mengenai

4
peranan agama. Agama tidak dengan sendirinya dapat menuntun orang menjadi cerdas secara
spiritual. Bahkan agama dapat menghambat orang untuk menjadi cerdas secara spiritual apabila
tidak hati-hati.
Sebagai individu beragama, orang barangkali akan sangat terkejut mengetahui bahwa ia
terkadang lebih mementingkan upacara-upacara ritual; upacara-upacara pemujaan ketimbang
mencintai dan menolong sesama; lebih mementingkan tempat ibadah dari pada manusia; lebih
memilih membela dan memperjuangkan Tuhan daripada memelihara dan melindungi kehidupan
yang ada dalam diri sesama; lebih menganggap agamanya lebih penting daripada manusia; atau
bahkan menganggap agamanya lebih penting daripada Tuhan sendiri. Sekilas pernyataan-
pernyataan itu tampak berlebihan. Tetapi apabila pernyataan-pernyataan tersebut direfleksikan
secara lebih mendalam dan kemudian dikaitkan dengan realita, akan semakin jelas bahwa
sesungguhnya pernyataan-pernyataan itu bukanlah omong kosong, khususnya jika menyaksikan
sekelompok individu merusak individu lain dengan mengatasnamakan agama.
Sejak lahirnya agama-agama besar dunia ribuan atau ratusan tahun yang lalu hingga saat
ini kekerasan atas nama agama masih sering dijumpai. Boleh jadi ada orang tertentu yang
sengaja menyalahgunakan agama, atau menafsirkan keliru ajaran-ajaran agama demi tujuan
pribadinya. Akan tetapi tindakan kekerasan dan pembunuhan atas nama agama adalah suatu
bagian nyata kehidupan manusia hingga kini. Dalam hal ini agama justru dapat menghambat
orang untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual.
Bagaimana pun juga agama itu adalah jalan. Jalan menuju pada suatu tujuan. Tujuannya
ialah Sang Sumber dan Tujuan segala sesuatu. Oleh karena itu yang patut dilakukan adalah
memperlakukan jalan tersebut sebagai sarana menuju tujuan, dan bukan menjadikannya tujuan.
Itu berarti jalan (baca: agama) tersebut perlu sedemikian rupa dijaga agar berguna dan digunakan
sesuai dengan maksud adanya. Agama perlu dijadikan jalan yang senantiasa dapat dilalui oleh
setiap penganutnya menuju Sang Sumber dan Tujuan segalanya. Bagaimanakah mewujudkan hal
itu secara konkret? Sesungguhnya agama tidaklah bermasalah sejauh penghayatan dan
pengamalannya tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan seluruh ciptaan yang lain. Bahkan
sebaliknya sembah-bakti kepada Tuhan harus nyata dalam penghormatan, penghargaan dan cinta
kepada yang lain. Theilhard De Chardin mengungkapkannya demikian: cinta yang paling
konkret kepada Tuhan adalah mencintai seluruh ciptaannya, semesta ini dan segala isinya.
Menjaga dan melestarikan lingkungan adalah bakti paling konkret kepada Tuhan. Memajukan

5
umat manusia adalah cara paling konkret memuliakan Tuhan. Singkatnya cinta kepada Tuhan
serasi, sejiwa dan sejalan dengan cinta kepada umat manusia dan seluruh ciptaan lainya. (bdk.
Dähler & Chandra, 1995: 81)

Kesadaran: pintu gerbang menuju kecerdasan spiritual


Dalam teorinya tentang evolusi, Theilhard De Chardin membagi proses evolusi alam
semesta dalam tiga fase. Fase pertama diawali dengan terbentuknya bumi (baca: materi) dari
bahan-bahan purba (geosfeer). Setelah berlangsung selama miliaran tahun evolusi selanjutnya
memasuki fase kehidupan (biosfeer). Pada fase ini materi memasuki kehidupan (vitalisasi
materi). Fase ketiga terjadi ketika evolusi memasuki fase pikiran (noosfeer). Pada fase ini
kehidupan memasuki kesadaran akan dirinya sendiri, berkat akal budi. Tidaklah mengherankan
apabila Theilhard De Chardin menegaskan bahwa perjalanan evolusi saat ini berada pada
manusia; tepatnya pada kesadaran manusia. Pada tahap ini manusia menjadi sadar dan mulai
bertanya tentang tujuan hidupnya, tentang keberadaannya di semesta ini, tentang keberadaanya
di tengah semua yang hidup, tentang kelangsungan kehidupan di bumi. Manusia pun menjadi
sadar akan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, terhadap semua yang ada di bumi ini,
terhadap kelangsungan hidup bangsa manusia, terhadap kelangsungan hidup di bumi itu sendiri
(bdk., Dähler & Chandra, 1971: 71-75).
Sudah cukup lama para ahli psikologi berusaha untuk menjelaskan tentang fenomena
kesadaran. Kesadaran pernah didefinisikan sebagai tingkat kesiagaan individu pada saat ini
terhadap rangsangan eksternal dan internal, atau kesiagaan individu terhadap peristiwa-peristiwa
lingkungan dan sensasi tubuh, memori dan pikiran. Oleh karena definisi ini dianggap
mengabaikan fakta tentang kesadaran saat individu mencoba memecahkan suatu masalah atau
secara sengaja memilih salah satu tindakan sebagai reaksi terhadap lingkungan dan tujuan
pribadi, maka definisi tersebut diperbaharui. Selanjutnya kesadaran didefinisikan sebagai
keadaan yang melibatkan pemantauan diri sendiri dan lingkungan sehingga persepsi, memori,
dan proses berpikir, serta yang melibatkan pengendalian diri sendiri dan lingkungan sehingga
individu mampu memulai dan mengakhiri aktivitas perilaku dan kognitif (Atkinson dkk., 2005:
343)
Berbagai usaha telah dilakukan oleh para ahli psikologi untuk memberikan rumusan yang
lengkap dan menyeluruh tentang kesadaran akan tetapi hingga kini mereka belum juga

6
menemukan rumusannya yang memadai. Para ahli psikologi terdorong oleh hakekat ilmu
psikologi yang hendak mengungkap dan menjelaskan fenomena kesadaran dengan konsep-
konsep secara terang benderang. Dalam sejarah pemikiran, mentalitas yang demikian itu pernah
terjerembab ke dalam apa yang dikenal dengan nama rasionalisme (Bahasa Latin: dari kata ratio
yang artinya akal budi). Rasionalisme berarti paham atau anggapan yang mengatakan bahwa
segala sesuatu yang ada harus dapat dimengerti dengan jelas. Maka sesuatu yang tidak dapat
dimengerti dengan jelas, harus dianggap tidak ada.
Selama ribuan tahun para guru spiritual dari Timur diketahui mendalami kesadaran
melalui berbagai macam bentuk penghayatan hidup yang dilakukan terus-menerus dengan
disiplin tinggi tanpa dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya mereka mengajarkan kepada murid-
murid mereka melalui latihan dan cerita atau perumpamaan-perumpamaan atau melalui teka-teki
yang harus dipecahkan melalui suatu latihan tertentu. Jadi para Guru Spiritual mendalami
kesadaran melalui praktik hidup. Mereka beranggapan bahwa kesadaran adalah bagian realitas
dan berlangsung dalam kesatuan dengan seluruh realitas yang dinamis, yang terus-menerus
berubah bagai air yang mengalir; menjelaskannya dalam konsep-konsep berarti membuatnya
statis, beku, dan terasing dari hakikatnya. Lagi menurut mereka, realitas itu dinamis, terus-
menerus berubah, sementara kata-kata dan konsep-konsep itu statis, beku dan tidak berubah.
Realitas berlangsung dalam keterhubungannya dengan realitas yang lain, sementara kata-kata;
konsep-konsep memotong-motong, mengurung, dan membatasi realitas (bdk., de Mello, 2011:
188-198)
Berdasarkan cara pandang semacam itu para Guru Spiritual beranggapan bahwa
pengalaman jauh lebih kaya dari pada ungkapannya dalam bentuk kata-kata atau konsep-konsep.
Artinya kesadaran yang dialami jauh lebih kaya, lebih utuh dan lebih dekat dengan aslinya
dibandingkan dengan ungkapannya dalam bentuk kata-kata atau konsep-konsep. Selain itu ada
juga aspek pengalaman kesadaran yang belum bisa (atau bahkan tidak bisa?) diungkapkan dalam
bentuk kata-kata atau konsep-konsep. Sebab individu belum memiliki konsep yang memadai
untuk membahasakannya. Dengan lain perkataan bahasa yang digunakan individu belum
memiliki kata-kata yang memadai untuk mengungkapkannya. Oleh karena itu para Guru
Spiritual lebih memilih mengalaminya secara langsung daripada bergulat dengan konsep-konsep.
Sejauh ini pembahasan mengenai definisi kesadaran seolah-olah telah menuntun pada
pertentangan; pertentangan antara mendefinisikan kesadaran dengan mengalaminya secara

7
langsung. Namun sesungguhnya pertentangan itu bukanlah masalah yang tidak bisa dipecahkan,
terutaman jika disadari sepenuhnya tentang hakekat dan realitas manusia. Maksud pernyataan
tersebut adalah: pertama, realitas yang dialami manusia sesungguhnya berlangsung dalam
perubahan yang harmonis. Artinya pertentangan itu tidaklah terjadi dalam realitas yang dialami.
Kedua, hakekat manusia, tepatnya masing-masing pribadi manusia adalah misteri.
Gabriel Marcel (1889-1973) - seorang filsuf Perancis keturunan Yahudi – pernah
memberi penjelasan tentang misteri. Marcel membuat pembedaan antara apa yang disebutnya
problème dengan apa yang disebutnya mystère (atau misteri). Menurut Marcel problème adalah
permasalahan-permasalahan seperti yang dihadapi dalam ilmu-ilmu alam. Dalam bidang ini pada
dasarnya permasalahan selalu dapat dipecahkan, tentu saja dengan syarat bahan dan metodenya
ada dan cukup diketahui. Singkatnya problème pada dasarnya dapat dipecahkan sampai tuntas.
Sementara mystère atau rahasia adalah permasalahan-permasalahan yang tidak mungkin dapat
dipecahkan secara tuntas. Sebab dalam menghadapi mystère akal budi manusia seakan-akan
berhadapan dengan samudera tanpa dasar. Usaha apapun yang dilakukan tidak akan mampu
menyentuh dasarnya (bdk., Driyarkara, 2006: 23)
Setelah mengetahui tentang misteri, marilah kita menyelidiki salah satu aspek hakiki
manusia, dan menjelaskannya mengapa manusia disebut misteri. Manusia adalah kesatuan antara
roh dan materi. Sebagai materi (baca: jasmani) manusia tunduk pada semua hukum materi;
berada dalam ruang dan waktu; mengalami keausan, kerusakan dan pembusukan. Sebagai roh,
manusia melampaui ruang dan waktu; berdaulat dan bersemayam di atas dirinya sendiri; mampu
untuk memusatkan dalam dirinya alam semesta serta hukum-hukumnya dan menyatukannya
dengan dirinya sendiri (bdk., Leahy, 2003: 281). Sebabai roh, manusia tentu saja tidak bisa kita
jelaskan secara tuntas.
Oleh karena kesadaran adalah salah satu bentuk aktivitas roh, maka kesadaran juga
adalah misteri, sama halnya dengan pikiran atau kehidupan dan beberapa pertanyaan filsafat
lainnya. Sebagai misteri, kesadaran tentulah tidak bisa diselami dan diungkapkan seluruhnya
secara terang benderang dan tuntas. Namun demikian, hal ini sama sekali tidak berarti bahwa
kita tidak bisa membahasnya. Kita dapat membahas kesadaran; kita pun akan mengetahuinya,
tetapi pengetahuan kita tentangnya tidak akan pernah terang benderang dan tuntas. Dalam tulisan
ini keasadaran didefinisikan sebagai keadaan dimana individu peka, tahu dan mengerti tentang
sesuatu.

8
Kesadaran akan apakah?

Agar bertumbuh menjadi cerdas secara spiritual, setiap individu perlu memiliki kesadaran
terhadap berbagai hal. Kesadaran yang paling awal adalah kesadaran diri. Kesadaran diri adalah
keadaan ketika orang semakin peka, tahu dan mengerti tentang dirinya sendiri. Kesadaran diri
ini mencakup kepekaan, pengetahuan dan pengertian seseorang pada suasana hatinya, pada
tubuhnya secara keseluruhan; pemahaman tentang martabatnya sebagai manusia dan harkatnya
sebagai pribadi unik hingga keberadaannya di semesta ini. Kluckhohn dan Murray (1954) pernah
menuturkan bahwa orang dalam segi-segi tertentu adalah seperti semua orang lain, seperti
beberapa orang lain, dan seperti tak seorang pun. (Hall & Lindzey, 2005: 5) Benar bahwa pribadi
manusia adalah unik. Pribadi manusia adalah istimewa tak tergantikan. Inilah salah satu alasan
mengapa pribadi manusia begitu berharga.
Beberapa contoh bentuk konkret kesadaran diri ini tampak pada: pertama kemampuan
orang mendeteksi diri mereka, pengalaman dan hidup mereka seperti mereka sedih atau gembira,
marah atau tenang, sakit atau sehat, sedang jatuh atau bangun, sadar atau bermimpi, berbicara
atau mendengarkan, sendirian atau bersama individu lain dsb. Kedua, kemampuan manusia
mengola kehidupan emosinya. Menurut Goleman, individu yang memiliki kesadaran diri yang
tinggi tampak dalam kejernihan pikiran mereka menghadapi emosi mereka. Kesadaran diri
tersebut boleh jadi itu jugalah yang melandasi ciri-ciri lain pada mereka seperti mereka lebih
mandiri; lebih yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwa mereka bagus dan
cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Apabila suasana hati mereka sedang jelek,
mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka mampu melepaskan diri dari suasana
itu dengan lebih cepat (bdk., Goleman, 2003: 65).
Kesadaran selanjutnya adalah kesadaran akan yang lain. Kesadaran akan yang lain ini
meliputi kesadaran moral, kesadaran sosial dan kesadaran kosmis (bdk. Dähler & Chandra, 1995:
83). Berikut ini adalah pembahasan singkat tentang kesadaran-kesadaran tersebut satu demi satu.
Yang pertama adalah kesadaran moral. Kesadaran moral dalam tulisan ini didefinisikan sebagai
kepekaan seseorang akan apa yang baik dan yang buruk serta kemampuannya untuk
membedakan keduanya; kepekaannya dan penghargaannya pada martabat dan hak-hak asasi
manusia yang tercermin dalam sikap dan cara hidup yang berperikemanusiaan; serta

9
kepekaannya pada hukum yang tampak pada kehendak baik untuk menaati aturan yang disadari
baik.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa yang baik dan yang buruk dalam kehidupan ini
sudah dengan sendirinya jelas, dengan demikian sudah jelas pula perbedaan antara keduanya.
Tentu saja anggapan tersebut benar untuk beberapa hal, tetapi tidak untuk beberapa yang lain.
Sebagai contoh: perbuatan membohongi orang tua sendiri demi mendapatkan izin pergi keluar
rumah untuk menghabiskan malam minggu bersama pacar, kiranya dengan mudah dikenali
sebagai perbuatan yang tidak baik karena berbohong. Akan tetapi tindakan membohongi seorang
pemuda – yang membawa senjata tajam - sedang mencari seseorang yang kita kenal karena
tuduhan telah merampas pacarnya, tidak dengan mudah kita dapat menyebutnya tindakan yang
tidak baik. Begitu pula dengan kegiatan perusahaan-perusahaan memproduksi berbagai jenis
plastik secara massal untuk memenuhi berbagai keperluan manusia, dengan mudah dikenali
sebagai perbuatan yang baik. Tetapi apabila perusahaan-perusahaan yang bersangkutan tidak
peduli dan tidak mau bertanggung jawab terhadap produk mereka yang di kemudian hari disadari
telah mencemari lingkungan maka kegiatan memproduki plastik secara massal tersebut tidak lagi
dengan mudah dikenali sebagai tindakan yang baik.
Dari contoh tersebut tampak bahwa selain melatih diri peka terhadap yang baik dan yang
buruk, kesadaran moral juga tidak lepas dari dimilikinya pengetahuan dan pengertian yang
mendalam, menyeluruh, tepat dan benar tentang sesuatu. Semua itu berguna untuk semakin
mengetahui dan mengerti tentang martabat dan hak-hak asasi manusia, sikap dan cara hidup yang
manusiawi; serta semakin sadar tentang yang baik dan yang buruk serta perbedaannya, sehingga
dengan demikian kita dapat bersikap dan bertindak secara tepat dan benar.
Yang kedua adalah kesadaran sosial. Kesadaran sosial di sini didefinisikan sebagai
kepekaan seseorang untuk mengetahui dan mengerti serta mengamalkan sikap dan cara hidup
yang tepat dalam pergaulan dan dalam menjalin relasi dengan orang lain. Kesadaran sosial ini
sesungguhnya dibangun di atas kemampuan-kemampuan lain, seperti kemampuan mengola
emosi dan menguasai diri; kemampuan mengungkapkan perasaan sendiri; Kemampuan membaca
pesan-pesan nonverbal pada orang lain; kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain
dan terlibat dalam pergulatan mereka serta kemampuan menangani emosi individu lain. Di sini
tampak bahwa kesadaran sosial sesungguhnya bertolak dari kemampuan menangani diri sendiri
menuju pada kemampuan menjalin relasi dengan orang lain. Hal yang sama dengan itu,

10
diungkapkan dengan cara berbeda oleh Nicolaus Driyarkara (1913-1967) demikian: Semakin
sempurna manusia sebagai pribadi, semakin sempurna juga ia dalam hidup bersama. Masih ada
ungkapan lain yang senafas dengan itu seperti: semakin sempurna orang memperlakukan
dirinya, semakin sempurna pula ia memperlakukan orang lain. Atau semakin sempurna orang
mencintai dirinya, semakin sempurna pula ia mencintai orang lain.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pribadi manusia adalah istimewa, memiliki
martabat yang tak tergantikan, maka kesadaran diri sebagai pribadi unik tersebut telah mengantar
pula kepada kesadaran sosial yaitu bahwa pribadi-pribadi yang lain itu juga adalah unik. Secara
sosial hubungan pribadi dengan pribadi ini diuraikan dengan indah oleh Martin Buber (1878-
1965) dalam hubungan Ich-Du atau I-Thou: Aku-Engkau. Hubungan Ich (Aku) dengan Du
(Engkau) menurut Buber merupakan hubungan yang setara dan sederajat; merupakan hubungan
timbal balik yang sempurna. Hubungan Aku-Engkau tak pernah ada hubungan penguasaan Aku
terhadap Engkau atau sebaliknya Engkau terhadap Aku. Engkau adalah misteri tak terkatakan
yang tak pernah merupakan pengalaman ilmiah. Engkau adalah misteri yang tak pernah secara
penuh diketahui oleh Aku (bdk., Sastrapratedja, 2010: 62). Engkau adalah misteri yang tak
pernah bisa ditangkap sepenuhnya oleh Aku. Demikian pula Aku adalah misteri yang tak pernah
secara penuh diketahui oleh Engkau. Aku adalah misteri yang tak pernah bisa ditangkap
sepenuhnya oleh Engkau. Aku adalah misteri bagi Engkau demikian juga sebaliknya.
Kesadaranku sebagai pribadi unik; tiada duanya, tak ternilai harganya mengantar Aku
menyadari Engkau sebagai pribadi yang juga unik, tiada duanya dan tak ternilai. Aku adalah
pribadi yang berharga persis seperti Engkau. Nilai Aku sebagai pribadi persis sama dengan nilai
Engkau sebagai pribadi. Aku unik Engkau pun demikian. Aku misteri, Engkau juga. Andaikata
setiap individu dari seluruh bangsa manusia selalu menyadari kebenaran ini, maka kita boleh
berharap bahwa manusia akan hidup dalam harmoni satu dengan yang lain; bangsa-bangsa akan
hidup dalam damai satu sama lain. Setiap individu akan hidup dalam ketulusan; menjalani hidup
secara otentik tanpa ketakutan-ketakutan tertentu. Harapan semacam ini bukanlah suatu yang
muluk terutama jika disadari bahwa kesadaran sosial ini berlangsung dalam proses.
Salah satu bentuk konkret proses kesadaran sosial ini tampak pada perkembangan
kemampuan pengetahuan, pengertian dan pengalaman manusia tentang pergaulan yang hanya
berorientasi pada keluarga sendiri, selanjutnya berkembang ke pergaulan dalam satu suku,
kemudian berkembang lagi menjadi pergaulan dalam satu bangsa dan saat ini umat manusia

11
semakin menyadari pentingnya pergaulan antar bangsa. Kesadaran yang terakhir ini telah
mendorong lahirnya suatu mentalitas baru. Mentalitas yang menyadari pentingnya solidaritas
internasional atau humanisme universal, yang intinya adalah kesadaran bahwa sesungguhnya
semua bangsa saling membutuhkan; saling melengkapi dan saling tergantung. Semua bangsa
akhirnya akan menjadi satu keluarga umat manusia dengan tidak terdapat orang asing lagi (bdk.
Dähler & Chandra, 1995: 154).
Jadi umat manusia tetap dalam sistem keluarga, suku dan bangsa akan tetapi umat
manusia sudah hidup dengan mentalitas baru; hidup dengan cara pandang yang baru; hidup
dengan cara yang baru. Singkatnya manusia hidup dengan kesadaran yang baru; kesadaran
bahwa setiap orang, keluarga, suku, bangsa dan seluruh umat manusia saling membutuhkan;
saling melengkapi; saling tergantung. Mereka adalah saudari dan saudara. Mereka merupakan
satu keluarga; keluarga manusia yang serumah di atas satu bumi.
Yang ketiga adalah kesadaran kosmis. Kesadaran kosmis dapat didefinisikan sebagai
kepekaan dan kemampuan manusia mengetahui, mengerti dan mengalami proses-proses di alam
semesta, baik proses hidup maupun proses yang tidak hidup termasuk berbagai peristiwa alam
lainnya serta mengalami dirinya sebagai bagian daripadanya. Kesadaran kosmis yang berkaitan
dengan proses hidup mencakup kesadaran akan proses-proses hidup dalam segala yang hidup di
semesta kita, mulai dari proses hidup di dalam berbagai jenis makhluk hidup yang terkecil
seperti dalam virus, bakteri, hingga tumbuhan termasuk dalam siklus-siklus kehidupan.
Sementara kesadaran kosmis yang berkaitan dengan proses yang tidak hidup mencakup berbagai
perubahan tanah, batuan, air dan udara; perubahan musim, peredaran tata surya kita, peredaran
galaksi kita hingga peredaran seluruh semesta yang tanpa batas ini yang tampaknya bergerak dan
berlangsung dalam suatu gerakan yang harmonis.
Beberapa dari proses alam tersebut dapat dengan mudah diamati seperti tampak pada
beberapa contoh berikut. Kita tahu bahwa hampir semua jenis makhluk hidup ada dalam dua
jenis; yakni jenis betina dan jantan. Pada tahap tertentu kedua jenis makhluk hidup dari
spesiesnya mengalami dorongan internal untuk melakukan penyatuan bagiannya yang tertentu
untuk dapat menghasilkan keturunan mereka yang baru. Apakah arti kenyataan ini? Artinya,
makhluk hidup termasuk manusia tidak akan pernah bisa menghasilkan suatu keturunan baru
dengan penyatuan sesama jenis. Keturunan hanya dapat diperoleh dari penyatuan bagian tertentu
dari dua jenis makhluk hidup dari spesiesnya. Arti lain dari kenyataan tersebut adalah bahwa

12
kedua jenis makhluk hidup dalam spesiesnya masing-masing ada untuk saling melengkapi demi
kelangsungan spesiesnya. Dengan lain perkataan anggapan yang mengatakan jenis tertentu lebih
penting dari jenis lainnya tidak bisa dipertahankan, tidak relevan dan bertentangan dengan
adanya makhluk itu sendiri.
Contoh yang lain dari proses alam yang mudah diamati adalah biji buah-buahan dari
tumbuh-tumbuhan. Prosesnya demikian: apabila buah dari suatu tumbuhan yang telah matang
dipetik lalu biji-bijinya dijemur di bawah terik sinar matahari selama beberapa hari, biji-bijian itu
akan tampak seperti benda mati. Biji-biji tersebut juga dapat disimpan berbulan-bulan bahkan
dapat bertahan selama beberapa tahun. Yang mengagumkan adalah kenyataan bahwa apabila
biji-biji tersebut diletakkan di atas tanah yang terbuka dan disiram dengan air, maka dalam
beberapa hari biji-biji tersebut akan mengeluarkan tunas dan akar. Apabila cukup mendapatkan
makanan dan air dari dalam tanah serta sinar matahari, maka tunas tersebut dapat bertumbuh
menjadi tumbuhan baru. Luar biasa! Sesuatu yang tampak sudah mati selama berbulan-bulan
atau bahkan beberapa tahun dapat hidup kembali. Biji-bijian tersebut merupakan salah satu
contoh terbaik dari apa yang dikenal dengan istilah menyimpan potensi untuk hidup dan
bertumbuh. Tentu saja setiap orang, sekali lagi setiap orang memiliki potensi untuk hidup dan
berkembang jauh lebih kaya dari pada sekedar biji-bijian.
Salah satu proses hidup yang tidak kalah mengagumkan adalah proses metamorphose.
Metamorphose (Bahasa Yunani) berasal dari kata meta yang artinya sesudah, di balik, di atas dan
morphe yang berarti tidur atau mimpi. Metamorphose berarti mengalami pengalihan ke bentuk
yang lain dalam keadaan tidur. Salah satu contoh makhluk hidup yang mengalami metamorphose
adalah kupu-kupu. Kupu-kupu yang sudah dewasa akan segera mencari daun hijau dan aman
untuk kawin dan bertelur. Setelah itu kupu-kupu tersebut akan segera lemah dan mati. Setelah
tiba waktunya, telur kupu-kupu itu akan segera menjadi ulat. Ulat tersebut akan mencari pohon
yang rindang dan menetap di situ. Ulat itu akan terus makan daun-daunan di situ hingga tidak
bisa lagi bergerak. Kemudian ulat akan diam pada salah satu bagian pohon yang aman dan
perlahan-lahan kulitnya akan mengeras dan berubah menjadi kepompong. Apabila diamati dari
luar, kepompong tampak seperti sesuatu yang telah mati. Namun jika dibiarkan kepompong
tersebut pada suatu saat akan terbuka pada salah satu ujungnya dan seekor kupu-kupu muda akan
berjuang keras untuk keluar. Metamorphose ini adalah contoh paling baik mengenai apa yang
dikenal dengan istilah proses transformasi dalam kehidupan; suatu proses peralihan dari suatu

13
bentuk hidup tertentu ke suatu bentuk hidup yang lain. Sebenarnya proses peralihan dari suatu
bentuk hidup tertentu ke bentuk hidup yang lain terjadi pada hampir semua jenis makhluk hidup
meskipun melalui proses yang tidak persis sama seperti metamorphose.
Sekarang marilah kita memperhatikan proses alam yang lainnya yang tampak dalam
siklus hujan. Kita awali pengamatan kita dengan mengamati turunnya hujan di atas permukaan
bumi. Air hujan kemudian meresap ke dalam tanah selanjutnya membentuk sumber-sumber mata
air. Air dari sumber-sumber mata air tersebut menyatu lalu membentuk aliran sungai yang
selanjutnya mengalir menuju ke laut. Oleh karena panas sinar matahari, air laut mengalami
penguapan. Uap air laut selanjutnya naik ke atas dan tertiup angin kepegunungan. Semakin lama
semakin tinggi karena massanya lebih ringan dari pada udara. Pada ketinggian tertentu, suhu uap
air itu semakin turun, sampai tekanan air dalam udara itu menyamai atau bahkan melewati
tekanan maksimum uap air pada suhu tersebut. Tekanan uap air tersebut mengecil dengan
turunnya suhu udara. Kemudian uap air tersebut berubah menjadi butir-butir air. Dengan
demikian terbentuklah awan. Butiran-butiran air tersebut akan bergabung, karena senyawa.
Gabungan butiran air menyebabkan massa air bertambah berat, yang pada akhirnya tidak mampu
lagi melayang karena beratnya, lalu jatuh dan menimpah butiran-butiran air di bawahnya, dan
terjadilah hujan.
Proses lain yang agak sulit dirasakan akan tetapi merupakan realitas semesta kita adalah
gerak seluruh semesta. Kita awali dengan dengan gerak bumi kita. Perubahan siang dan malam
merupakan perputaran bumi pada porosnya. Selanjutnya bumi bersama dengan planet lainnya
beserta dengan satelitnya-satelitnya beredar mengitari matahari. Itulah tata surya kita. Tata surya
kita bersama ribuan kelompok bintang beredar membentuk galaksi bimasakti. Menurut para ahli
astronomi, galaksi kita; bimasakti hanya salah satu di antara satu trillium galaksi lain, yang
masing-masing mempunyai garis tengah sejuta tahun cahaya, dan masing-masing terpisah sangat
jauh dari yang lain. Sehingga andaikata kita dapat menjelajahinya dengan kecepatan cahaya, 100
tahun pun belum cukup menyeberang dari satu galaksi ke galaksi lainnya.
Contoh terakhir yang akan dibahas adalah evolusi. Entah berapa usia alam semesta kita,
yang dapat dikemukakan adalah dugaan. Para ahli menduga bumi kita sudah berumur sekitar 5
miliar tahun. Selama umur bumi tersebut berlangsunglah proses-proses di atasnya, termasuk
evolusi itu sendiri. Bila usia bumi kita dibandingkan dengan usia manusia yang paling tua (130
tahun) sekalipun, menurut hitungan kita saat ini, maka satu generasi manusia yang pernah lahir

14
dan hidup di atas muka bumi tidak lebih dari sekali kedipan mata saja. Kesadaran ini
mengingatkan saya pada sebuah kisah yang biasa digunakan untuk menyampaikan tentang teori
evolusi. Cerita tentang lalat.
Konon sekumpulan lalat hinggap pada seorang putri yang sedang tidur pulas. Seekor lalat
lain yang sudah sedikit mengalami penyadaran datang dan menyampaikan kepada kumpulan
lalat tersebut bahwa putri dimana mereka hinggap itu dulunya adalah bayi yang sangat kecil tak
berdaya. Tetapi setelah melalui ribuan hari ia kemudian menjadi ada seperti sekarang ini. Setelah
ribuan hari putri ini akan menjadi tua dan mati. Tentu saja lalat yang umurnya hanya satu hari
tidak akan mampu membayangkan bagaimana putri pernah berupa bayi kecil ribuan hari
sebelumnya dan akan menjadi tua dan mati ribuan hari sesudah itu. Tentu saja ini adalah ceritera
rekaan yang tidak pernah terjadi. Meskipun demikian pesannya cukup jelas. Yaitu bahwa
kemampuan manusia untuk mengerti evolusi yang telah berlangsung miliaran tahun tidak dengan
muda dapat dipahami dan dibayangkan terutama jika dikaitkan dengan umur manusia yang
hanya puluhan tahun saja.
Pada kenyataannya kesadaran kosmis telah menuntun umat manusia meraba-raba asal
dan sumber dari semesta yang maha luas ini dengan segala isinya teristimewa kesadaran yang
ada pada manusia itu sendiri. Kesadaran kosmis telah mengarahkan manusia pada tingkat
kesadaran lain yang memungkinkannya terbuka pada Realitas yang lain yang ada di balik alam
semesta ini: Sang Pencipta. Dalam bahasa para teolog dikenal dengan istilah wahyu kodrati,
artinya melalui alam semesta beserta seluruh isinya, tersingkaplah Sang Pencipta sendiri. Atau
Sang Pencipta menyatakan diriNya melalui alam semesta dan seluruh isinya. Meskipun
kesadaran akan Sang Pencipta ini barangkali seumur dengan kesadaran itu sendiri, namun hingga
kini tema ini masih tetap mengundang perdebatan. Tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut
tentang perdebatan ini.
Berdasarkan pada uraian sebelumnya saya berkeyakinan bahwa masih akan banyak hal
lain yang akan memasuki pintu gerbang kesadaran manusia yang saat ini belum disadari. Sebagai
informasi kecil saja, 200 tahun yang lalu bangsa manusia belum menyadari bahwa perbudakan
adalah suatu yang melanggar harkat dan martabat pribadi manusia. 150 tahun yang silam bangsa
manusia juga belum mempermasalahkan emansipasi wanita. Sekarang kedua hal tersebut telah
disadari sebagai bagian dari hak asasi manusia.

15
Menjadi cerdas secara spiritual
Untuk menjadi cerdas secara spiritual, setiap individu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Bahkan tanpa bersekolah pun seorang individu dapat menjadi cerdas secara spiritual. Seorang
individu tidak perlu pula jatuh bangun untuk menjadi cerdas secara spiritual. Meskipun tanpa
sengaja ada individu kadang menjadi lebih cerdas secara spiritual setelah melewati penderitaan
dan kesulitan. Tak usah pula individu membayar mahal untuk menjadi cerdas secara spiritual.
Tidak usah juga individu memikirkan hal yang rumit-rumit untuk menjadi cerdas secara spiritual,
yang perlu dilakukan hanyalah hal yang sederhana dan praktis. Setiap individu yang mau
menjadi cerdas secara spiritual hanya butuh sadar. Invidu perlu menyadari bahwa ia sering tidak
sadar, tidak sadar bahwa ia hidup; tidak sadar bahwa ia memiliki keluarga; tidak sadar bahwa ia
berada bersama orang lain; tidak sadar bahwa ia bekerja. Yang lebih aneh lagi adalah kenyataan
bahwa kebanyakan individu tidak sadar bahwa ia sedang bernafas; tidak sadar bahwa ia sakit;
tidak sadar bahwa ia tidak sadar, bahkan tidak sadar bahwa ia kadang kala berusaha untuk tidak
mau sadar. Itulah masalah serius pertama yang perlu dibereskan bila orang mau cerdas secara
spiritual.
Setelah sadar, selanjutnya individu perlu sadar diri. Orang hanya butuh peka pada diri
sendiri dan melatih diri melakukan refleksi diri; melihat ke dalam diri sendiri. Pada umumnya
melatih diri melihat ke dalam pada awalnya sering menakutkan bahkan boleh dikatakan
menyakitkan, sebab ketika itu mulailah terlihat diri sendiri dengan segala kelebihan dan
khususnya kekurangannya. Dikatakan khususnya kekurangan sebab menyadari kekurangan-
kekurangan diri sendiri untuk pertama kalinya cukup menakutkan dan menyakitkan. Seiring
dengan semakin akrabnya individu dengan dirinya sendiri apa adanya, rasa takut dan sakit itu
perlahan hilang pula. Secara praktis melatih diri menjadi sadar dapat dilakukan dengan cara
mengajari diri sendiri masuk dalam keheningan beberapa menit setiap hari untuk sekedar
berdiam diri atau juga untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman diri sendiri.
Langkah selanjutnya untuk mempertajam kesadaran diri adalah dengan membuat tubuh
bergerak, entah berolah raga atau bekerja secara fisik yang dapat menyebabkan tercurahnya
keringan dan tersalurkannya tenaga fisik. Bagaimana pun juga tubuh manusia telah “dirancang”
antara lain untuk bekerja. Jadi melakukan pekerjaan fisik secara tepat bukan saja menyehatkan
tubuh itu sendiri, melainkan juga dapat membakar hancur sikap agresif dan frustrasi. Selain itu
bekerja secara tepat dapat juga membuat tidur lebih lelap. Bahkan untuk tiba pada suatu

16
pengalaman spiritual tertentu, orang kadang perlu berada pada kondisi fisik tertentu, yaitu
kondisi dimana individu secara fisik lebih peka, lebih terbuka dan lebih waspada. Salah satu cara
untuk membawa kondisi fisik berada dalam kondisi seperti itu adalah berolah raga atau bekerja.
Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mempertajam kesadaran moral. Salah satu
cara untuk mempertanjam kesadaran moral adalah dengan melatih diri peka mengidentifikasi dan
membedakan tentang yang baik dan yang buruk dalam situasi konkret hidup sehari-hari. Untuk
mewujudkan hal tersebut setiap individu dewasa normal sesungguhnya sudah dibekali dengan
perangkat internal oleh kehidupan. Perangkat internal yang dimaksudkan adalah suara hati. Suara
hati tidak lain adalah kesadaran individu tentang benar-salahnya suatu tindakan atau baik
buruknya suatu kelakuan tertentu berdasarkan suatu prinsip atau norma moral. Jadi untuk
meningkatkan kesadaran moral, orang perlu belajar peka mendengarkan suara hatinya. Tidak
hanya peka mendengarkan suara hatinya, individu juga perlu mengikutinya.
Agar kepekaan mendengar dan mengikuti suara hati semakin tajam maka setiap individu
perlu: pertama, bersedia terus-menerus belajar guna meningkatkan pengetahuan dan pengertian
moralnya. Tujuannya adalah untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam
membuat penilaian moral. Misalnya karena pengetahuan yang terbatas tentang dampak moral
radiasi, keamanan dan sampah nuklir, orang dengan mudah menyetujui begitu saja pembangunan
pembangkit listrik tenaga nuklir demi memenuhi kebutuhan listrik di daerahnya. Kedua,
memiliki pengalaman menyaksikan sendiri bagaimana nilai moral dihayati dan diamalkan oleh
individu-individu yang lain. Dalam kaitannya dengan itu, maka suasana hubungan antar pribadi
yang dijiwai semangat kasih, menjadi sangat relevan. Umumnya individu merasa dididik dan
dikembangkan pribadinya, bukan pertama-tama karena diberi tahu ini dan itu, tetapi karena
ditarik oleh keteladanan. Dengan demikian nilai-nilai moral tidak lagi menjadi suatu yang
abstrak tetapi konkret tampak pada individu-individu yang dijumpai dalam hidup sehari-hari.
Ketiga, adanya kehendak yang kuat. Individu dengan kehendak yang lemah mudah jatuh ke
dalam godaan untuk tidak melaksanakan apa yang diketahui dan bahkan diyakini sebagai baik
dan benar. Untuk itu individu perlu setia dan konsisten mengikuti dan melaksanakan apa yang
diketahuinya baik dan benar, agar dengan demikian kehendaknya semakin kuat.
Yang berikutnya perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran sosial. Beberapa cara
berikut dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran social. Pertama individu harus mampu
ikut merasakan apa yang dirasakan oleh individu lain. Kedua, kepekaan dan kepedulian pada

17
keadaan individu lain atau mau terlibat dalam pergulatan individu lain. Kepekaan dan kepedulian
pada individu lain ini, sebenarnya berakar pada belas-kasih pada sesama. Sulit dibayangkan
bagaimana seorang individu dapat peka dan peduli kemudian terlibat sungguh-sungguh dalam
pergulatan sesama tanpa adanya belas-kasih kepada mereka. Belas-kasihlah yang mendorong
seorang individu secara suka rela mau terlibat dalam pergulatan indvidu lain, peka dan peduli
pada kebutuhan mereka. Tidak adanya belas-kasih pada keadaan sesama amat nyata terlihat pada
para psikopat, pemerkosa dan pemerkosa anak-anak; para pecandu tindak kekerasan. Lemahnya
belas kasih pada sesama sebenarnya sering juga menyamar dalam bentuk sikap dan kata-kata
yang kasar, menghina dan melecehkan. Ketiga, membiasakan diri peka pada pesan-pesan non-
verbal pada indivudi lain. Keempat, belajar mengemukakan emosi pada individu lain secara
konstruktif, tepat dan bijaksana. Kelima, membiasakan diri untuk merundingkan pemecahan
masalah khususnya bila hal tersebut menyangkut banyak individu. Keenam, membiasakan diri
membuat analisis sosial untuk mendeteksi serta memahami perasaan, motif, dan keprihatinan
orang lain. Pemahaman terhadap perasaan individu lain dapat membawa ke suatu keakraban dan
rasa kebersamaan.
Kesadaran selanjutnya yang perlu dikembangkan adalah kesadaran kosmis. Para guru
spiritual sudah lama mengajarkan bahwa hadir dan menjalin kontak dengan salah satu proses
alam itu akan mengantar individu pada suatu bentuk kesadaran tertentu; kesadaran yang
mengantar individu pada suatu cara hidup yang baru. Mereka mengajarkan: masuklah ke dalam
harmoni alam dan Anda akan mengalami bahwa Anda yang disapa oleh alam dan bukannya
Anda yang menyapa; Anda yang ditatap dan bukannya Anda yang menatap; Anda yang diajari
dan bukannya Anda yang mengajari. Barangkali kesadaran yang demikian inilah yang kemudian
mengantar Fransiskus dari Asisi (1182-1226) mampu menyapa segala sesuatu di semesta ini baik
yang hidup maupun yang tidak hidup sebagai saudari dan saudaranya.
Cara yang lain adalah dengan membiasakan diri mengalami realitas seperti mereka apa
adanya, dan bukan seperti yang kita inginkan. Jadi yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah
mencoba memahami realitas serta melihat dan menerima mereka seperti apa adanya mereka itu.
Perhatikanlah contoh yang amat konkret ini: manusia dan hewan menghirup oksigen yang
membuatnya dapat hidup dan kemudian mengeluarkan sisa pembakaran yaitu karbondioksida
yang merupakan racun bagi manusia. Tumbuhan-tumbuhan justru membutuhkan karbondioksida
untuk membuatnya hidup dan mengeluarkan oksigen yang selanjutnya menjadi sumber hidup

18
manusia dan hewan. Ketika seorang individu mampu sampai pada tingkat kesadaran seperti ini
dan berusaha untuk menerima tumbuhan-tumbuhan seperti mereka apa adanya, tanpa keinginan-
keinginan atau prasangka, maka ia akan menyadari bahwa ternyata ia tidak bisa bertahan hidup
tanpa tumbuhan. Hal yang sama persis terjadi pada realitas yang lain seperti tanah, air, udara
sebagainya. Mereka yang telah tiba pada tingkat kesadaran ini tidak akan lagi memperkosa
realitas dalam bentuk perilaku seperti merusak lingkungan. Mereka akan lebih menghargai
proses dalam apa saja yang mereka hadapi. Jadi bukannya merusak realitas, ia justru menjaga,
memelihara dan mencintainya.

Penutup
Dari seluruh uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, pertama: kesadaran adalah
adalah merupakan pintu gerbang menuju kecerdasan spiritual, kedua: kesadaran mengarah pada
kesadaran diri dan kesadaran akan yang lain yang meliputi: kesadaran moral, kesadaran sosial
dan kesadaran kosmis, ketiga: kecerdasan spiritual dapat dilatih dengan cara (1) membangun
kesadaran, (2) melatih kesadaran diri, (3) melatih kesadaran moral, (4) melatih kesadaran sosial,
dan (5) melatih kesadaran kosmis.

19
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Rita dkk., 2005. Pengantar Psikologi. Batam: Interaksara.

Buzan, T., 2003. Sepuluh cara jadi orang yang cerdas secara spiritual, Gramedia, Jakarta.

Dahler F., Chandra 1995, Asal dan tujuan manusia, Kanisius, Yogyakarta.

de Mello, A., 2011. Butir-butir Mutiara Pencerahan, Gramedia, Jakarta.

Driyarkara, N., 2006. Karya Lengkap Driyarkara, Gramedia, Jakarta.

Goleman, Daniel. 2003. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.

Hall, Calvin S. & Lindzey, G., 2005. Teori-teori Sifat dan Behavioristik, Kanisius, Jogyakarta.

Leahy, Louis, 2001. Siapakah Manusia, Kanisius, Yogyakarta.

Njiolah, H., 2002. Beriman dan beragama menurut Kitab Suci, Yayasan Pustaka Nusantara,
Yogyakarta.
Prent, K. C.M., dkk., 1969. Kamus Latin-Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Pristio, A., 2005. Jalan Spiritual Sehari-hari, Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta.

Sastrapratedja, M., 2010. Filsafat Manusia I, Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai